Aku menatapnya dengan pandangan tak percaya. Proposal yang menumpuk di depannya itu sama sekali tidak disentuh. Jangankan menyentuh, memandangnya saja dia tak mau. Benar-benar wanita berkepala batu!
"Kau gila!" Aku menggeleng-geleng sambil memungut satu per satu proposal itu, lalu membacanya dengan saksama. Ada satu proposal yang sangat bagus menurutku. Mulai dari latar belakang, isi, sampai penutup dijelaskan dengan begitu detil. Artinya, orang yang mengajukan proposal itu tak main-main dengan penawarannya.
Wanita itu mendengus keras. "Aku tidak gila!"
"Hanya wanita gila yang selalu menolak proposal-proposal ini!" Aku gemas sekaligus sebal dengan sikapnya.
"Mereka berhak mengajukan, dan artinya aku juga berhak menolak. Apa bedanya?"
"Kau terlalu skeptis."
"Hahahahaha! Jangan sok tahu."
"Aku tidak sok tahu, tapi memang sudah tahu. Bertahun-tahun aku berkawan denganmu, jadi aku bisa merasakan apa yang kau rasakan."
"Memangnya apa yang kurasakan?"
"Apa lagi yang membuat wanita menolak semua laki-laki selain karena rasa benci yang sudah mendarah daging itu?"
Wanita itu menggerutu, lalu mengambil secangkir teh yang tersaji di meja ruang tamu. "Aku tidak membencinya."
"Lalu apa yang membuatmu begitu muak dengan makhluk bernama lelaki?"
"Kau lelaki. Dan aku tidak muak denganmu, kan?"
Aku menggeleng sekali lagi. Wanita ini suka sekali membolak-balikkan kata. Keras kepala. Aku menyorongkan sebuah proposal terbaik kepadanya, memaksanya untuk mempertimbangkannya.
"Bacalah dulu, mungkin kau akan berubah pikiran."
"Jangan memaksaku. Kau tahu aku paling malas berhubungan dengan hal-hal seperti ini."
Baiklah, aku menyerah. Kuletakkan kembali proposal itu di meja. Kasihan sekali penulis proposal itu. Ajakannya untuk membangun istana sama sekali tidak digubris oleh wanita berkepala batu ini.
"Lelaki macam apa sih yang kau inginkan? Sampai-sampai lelaki sebaik ini kau abaikan begitu saja. Seleramu yang terlalu tinggi atau memang aku yang salah menilai?"
"Lekaki baik kau bilang? Hahahaha. Kau tahu, lelaki yang teramat baik, ramah, dan perhatian justru lebih mengerikan dibanding lelaki brengsek. Terlalu mengerikan menurutku."
"Maksudmu? Aku tak paham."
"Mungkin para wanita akan tergila-gila dengan lelaki yang sangat baik bak malaikat yang turun dari surga, tapi tidak denganku. Lelaki macam itu sangat menakutkan." Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jadi ... kau menginginkan laki-laki yang brengsek untuk menjadi pendamping hidupmu?" Aku iseng menggodanya.
"Brengsek menurutmu, belum tentu brengsek menurutku."
"Astaga!" Aku sudah tak tahan untuk menanyakan sesuatu kepadanya. Aku tahu, dia seperti ini bukan tanpa sebab.
"Jujurlah kepadaku. Apakah ... kau masih belum bisa menghilangkan rasa sakitmu yang dulu itu?"
"Rasa sakit yang mana? Terlampau banyak rasa sakit yang kurasakan. Hahahaha!"
Aku menatapnya tajam. "Dia, manusia berhati malaikat yang menghuni hatimu selama bertahun-tahun, lalu menusukkan sebilah sembilu di dasar hatimu."
Wanita itu membuang muka. "Bukan berhati malaikat, tapi iblis!"
"Ya, iblis. Lalu dia, manusia pemilik senyum ramah pada semua orang, yang mampu membuatmu jatuh cinta lagi, yang selalu berbuat baik padamu, tapi pada akhirnya melemparmu ke dasar jurang."
"Hentikan!"
"Dan dia, sosok yang memperhatikanmu setiap waktu, yang begitu menyayangimu, yang sangat dekat denganmu, yang selalu membantu memecahkan permasalahan-permasalahanmu, namun pada akhirnya tidak mampu menyelami hatimu. Tidak sadar sama sekali."
Dan wanita itu pun tergugu. Air matanya meleleh perlahan. Kalau sudah begini, aku sama sekali tidak menemukan sosok galak dan garang pada dirinya. Sebaliknya, dia tampak begitu lemah. Seolah-olah sikapnya selama ini hanyalah topeng. Ya, topeng yang dia gunakan sebagai tameng untuk menghalangi lelaki mana pun yang ingin mendekatinya. Aku tahu, dia sudah lama menggembok hatinya, lantas menyimpan kunci gembok itu di tempat yang tak satu orang pun tahu, termasuk aku. Dia tidak peduli meski gerbang yang dikuncinya itu sudah berkarat.
"Kau tak bisa terus-terusan begini. Itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Cobalah untuk menendang jauh-jauh kebencianmu itu."
"Melupakan kejahatan dan menghilangkan kebencian itu tak semudah ucapanmu."
"Ya, aku tahu. Tapi, kalau kau tak mau berusaha, kau sendiri yang akan mati. Terpenjara oleh rasa benci."
Dia terdiam. Tak membantah kata-kataku sama sekali. Memang, cinta bisa membuat orang menjadi gila. Seperti dia, wanita malang yang tak pernah mau berdamai dengan perasaannya. Wanita yang sangat antipati terhadap kaum adam dan tak mau mempedulikannya sama sekali.
Kebencian. Betapa mengerikannya kata itu. Orang bisa berubah karenanya. Sepintar apapun seseorang, sekaya apapun, sehebat apapun, jika sudah terperangkap dalam kata itu, bisa berubah 180 derajat. Kebencian yang teramat sangat membuat logika tak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Benci. Benci. Benci. Ah!
"Terima kasih," ucapnya tiba-tiba.
Aku mendongakkan muka. "Untuk apa?"
"Untuk segalanya. Kau tahu? Ini sama sekali tidak mudah," Dia tersenyum pahit.
Aku ikut tersenyum. "Hari sudah gelap. Aku harus segera pulang."
Dia mengangguk, lalu mengantarku sampai di depan pintu.
"Hei," panggilku sebelum menyalakan mesin motor.
"Ya?"
"Jika suatu saat kau telah berhasil menyembuhkan lukamu, beritahu aku."
"Kau gila!" Aku menggeleng-geleng sambil memungut satu per satu proposal itu, lalu membacanya dengan saksama. Ada satu proposal yang sangat bagus menurutku. Mulai dari latar belakang, isi, sampai penutup dijelaskan dengan begitu detil. Artinya, orang yang mengajukan proposal itu tak main-main dengan penawarannya.
Wanita itu mendengus keras. "Aku tidak gila!"
"Hanya wanita gila yang selalu menolak proposal-proposal ini!" Aku gemas sekaligus sebal dengan sikapnya.
"Mereka berhak mengajukan, dan artinya aku juga berhak menolak. Apa bedanya?"
"Kau terlalu skeptis."
"Hahahahaha! Jangan sok tahu."
"Aku tidak sok tahu, tapi memang sudah tahu. Bertahun-tahun aku berkawan denganmu, jadi aku bisa merasakan apa yang kau rasakan."
"Memangnya apa yang kurasakan?"
"Apa lagi yang membuat wanita menolak semua laki-laki selain karena rasa benci yang sudah mendarah daging itu?"
Wanita itu menggerutu, lalu mengambil secangkir teh yang tersaji di meja ruang tamu. "Aku tidak membencinya."
"Lalu apa yang membuatmu begitu muak dengan makhluk bernama lelaki?"
"Kau lelaki. Dan aku tidak muak denganmu, kan?"
Aku menggeleng sekali lagi. Wanita ini suka sekali membolak-balikkan kata. Keras kepala. Aku menyorongkan sebuah proposal terbaik kepadanya, memaksanya untuk mempertimbangkannya.
"Bacalah dulu, mungkin kau akan berubah pikiran."
"Jangan memaksaku. Kau tahu aku paling malas berhubungan dengan hal-hal seperti ini."
Baiklah, aku menyerah. Kuletakkan kembali proposal itu di meja. Kasihan sekali penulis proposal itu. Ajakannya untuk membangun istana sama sekali tidak digubris oleh wanita berkepala batu ini.
"Lelaki macam apa sih yang kau inginkan? Sampai-sampai lelaki sebaik ini kau abaikan begitu saja. Seleramu yang terlalu tinggi atau memang aku yang salah menilai?"
"Lekaki baik kau bilang? Hahahaha. Kau tahu, lelaki yang teramat baik, ramah, dan perhatian justru lebih mengerikan dibanding lelaki brengsek. Terlalu mengerikan menurutku."
"Maksudmu? Aku tak paham."
"Mungkin para wanita akan tergila-gila dengan lelaki yang sangat baik bak malaikat yang turun dari surga, tapi tidak denganku. Lelaki macam itu sangat menakutkan." Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jadi ... kau menginginkan laki-laki yang brengsek untuk menjadi pendamping hidupmu?" Aku iseng menggodanya.
"Brengsek menurutmu, belum tentu brengsek menurutku."
"Astaga!" Aku sudah tak tahan untuk menanyakan sesuatu kepadanya. Aku tahu, dia seperti ini bukan tanpa sebab.
"Jujurlah kepadaku. Apakah ... kau masih belum bisa menghilangkan rasa sakitmu yang dulu itu?"
"Rasa sakit yang mana? Terlampau banyak rasa sakit yang kurasakan. Hahahaha!"
Aku menatapnya tajam. "Dia, manusia berhati malaikat yang menghuni hatimu selama bertahun-tahun, lalu menusukkan sebilah sembilu di dasar hatimu."
Wanita itu membuang muka. "Bukan berhati malaikat, tapi iblis!"
"Ya, iblis. Lalu dia, manusia pemilik senyum ramah pada semua orang, yang mampu membuatmu jatuh cinta lagi, yang selalu berbuat baik padamu, tapi pada akhirnya melemparmu ke dasar jurang."
"Hentikan!"
"Dan dia, sosok yang memperhatikanmu setiap waktu, yang begitu menyayangimu, yang sangat dekat denganmu, yang selalu membantu memecahkan permasalahan-permasalahanmu, namun pada akhirnya tidak mampu menyelami hatimu. Tidak sadar sama sekali."
Dan wanita itu pun tergugu. Air matanya meleleh perlahan. Kalau sudah begini, aku sama sekali tidak menemukan sosok galak dan garang pada dirinya. Sebaliknya, dia tampak begitu lemah. Seolah-olah sikapnya selama ini hanyalah topeng. Ya, topeng yang dia gunakan sebagai tameng untuk menghalangi lelaki mana pun yang ingin mendekatinya. Aku tahu, dia sudah lama menggembok hatinya, lantas menyimpan kunci gembok itu di tempat yang tak satu orang pun tahu, termasuk aku. Dia tidak peduli meski gerbang yang dikuncinya itu sudah berkarat.
"Kau tak bisa terus-terusan begini. Itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Cobalah untuk menendang jauh-jauh kebencianmu itu."
"Melupakan kejahatan dan menghilangkan kebencian itu tak semudah ucapanmu."
"Ya, aku tahu. Tapi, kalau kau tak mau berusaha, kau sendiri yang akan mati. Terpenjara oleh rasa benci."
Dia terdiam. Tak membantah kata-kataku sama sekali. Memang, cinta bisa membuat orang menjadi gila. Seperti dia, wanita malang yang tak pernah mau berdamai dengan perasaannya. Wanita yang sangat antipati terhadap kaum adam dan tak mau mempedulikannya sama sekali.
Kebencian. Betapa mengerikannya kata itu. Orang bisa berubah karenanya. Sepintar apapun seseorang, sekaya apapun, sehebat apapun, jika sudah terperangkap dalam kata itu, bisa berubah 180 derajat. Kebencian yang teramat sangat membuat logika tak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Benci. Benci. Benci. Ah!
"Terima kasih," ucapnya tiba-tiba.
Aku mendongakkan muka. "Untuk apa?"
"Untuk segalanya. Kau tahu? Ini sama sekali tidak mudah," Dia tersenyum pahit.
Aku ikut tersenyum. "Hari sudah gelap. Aku harus segera pulang."
Dia mengangguk, lalu mengantarku sampai di depan pintu.
"Hei," panggilku sebelum menyalakan mesin motor.
"Ya?"
"Jika suatu saat kau telah berhasil menyembuhkan lukamu, beritahu aku."