Archive for Maret 2014

Janji

No Comments »

Ketika Maret telah berakhir dan janjimu padaku tak jua kau penuhi. Maka, mari lupakan saja. Anggap semuanya tak pernah ada.


Jadi, jangan lagi kau ucapkan maaf. A cattle of fish, right? :)
Percuma. 

Ketika Semangatmu Melemah

2 Comments »

Dan ketika semangat itu melemah, sebuah undangan elektronik nongol di inbox Facebook-ku. Di sana tertulis: Grasindo Goes to Jogja. Aku langsung melompat-lompat di depan laptop. Benar-benar nggak nyangka bakalan dapat undangan eksklusif itu. Acara itu bertempat di Semesta Coffee, sebuah kafe yang terletak di Jl. Abu Bakar Ali. 
Pukul setengah dua belas siang, aku bersiap ke sana. Tidak ada orang yang kukenal selain Mbak Ari, dan aku enjoy saja. Aku termasuk orang yang gampang beradaptasi dengan lingkungan baru, nggak takut sendirian, malah senang karena pasti dapat teman baru :D
Karena motorku rusak dan aku lagi nggak ada duit buat bawa ke Bengkel, aku menyewa seorang tukang ojek yang baik hati. Namanya Pak Minto. Ketika aku sedang jalan kaki menuju jalan besar buat cari taksi atau ojek, beliau memanggilku dari depan rumahnya.
"Ngojek, Mbak?" tanyanya. Aku langsung mengangguk dengan wajah sumringah. Jadi enggak perlu capek-capek nunggu ojek, kan?
Pak Minto ini ramaaah sekali. Beliau sama sekali tidak mengeluh meskipun aku sudah mengomel panjang lebar gegara aksi pawai partai PDI yang heeellll banget! Dan sumpah demi apa pun aku enggak bakal nyoblos itu partai. Kebut-kebutan di jalan, nerabas lampu merah, maki-maki orang seenak jidat, bikin polusi suara, hiiiih! Lu kate itu keren? Kagak!
Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh selama 10 menit jadi molor sejam. Kurang ajaaaar, aku telat! Pak Minto terpaksa mutar arah karena jalanan macet. Gara-gara PDI kampret itu!
Sesampainya di Semesta Coffee, aku berpesan kepada Pak Minto untuk menjemputku pukul 4 sore. Beliau mengangguk sambil tersenyum ramah. Dan aku cukup terkejut karena tarif ojeknya yang terhitung murah. Benar-benar tukang ojek yang tahu kantong mahasiswa! :D

Di acara #GrasindoGoesToJogja itu, aku bertemu dengan banyak penulis yang memiliki semangat "raaawwwrrr" banget. Masing-masing menceritakan pengalamannya masing-masing. Ada yang baru dimuat cerpennya setelah mengalami 120 kali penolakan, ada yang naskahnya baru diterbitkan setelah 2 tahun menunggu keputusan redaksi, ada yang disuruh ngerevisi naskah sampe lima kali, ada yang pernah patah hati banget dan menjadikannya sebuah novel kece, ah pokoknya amazing banget. Bahkan, teman baru yang duduk di sampingku adalah seorang penulis yang baru saja memenangkan lomba novel bergengsi. Namanya Mbak Vita, mahasiswa S2 UIN. Anaknya ramah dan asyik diajak ngobrol sepanjang acara. Setelah acara selesai, kami pun saling bertukar nomor hape. 
"Pokoknya kalau novelnya udah terbit, kasih tahu aku, ya, Mbak. Nanti aku bakal beli!" kataku.
"Ahahaha. Masih lama kok ..." jawabnya sambil tersenyum.
Yeah, salah satu cara untuk mendukung seorang penulis untuk terus berkarya adalah membeli karyanya, bukan memintanya. Karena aku tahu, betapa menulis itu membutuhkan banyak energi dan mental baja. Bikin otak babak belur. Dan aku jelas enggak akan tega minta gratisan setelah melihat perjuangannya. Membeli karya penulis itu bentuk penghargaan, kan? :)

Hampir semua penulis yang menjadi pembicara di acara itu adalah penulis baru. Aku enggak hapal semua namanya sih, maklum aku paling sulit nginget nama orang, hahaha. Penulis yang bikin atiku meleleh adalah Mas Tafrid Huda, penulis novel Dear Gita. Novel itu sesungguhnya adalah kisah cintanya yang menguras hati *eaaa. Ia bilang, "Ini adalah kegalauan yang bermartabat, hahaha. Ketika aku menulis, semua beban menghilang. Dan ketika novel ini diterbitkan, aku udah enggak peduli apakah dia baca novelku atau tidak."
Meeeeen, seketika aku teringat kisahku sendiri yang menggelikan di masa muda, hahahaha. *ngakak, nggak tahan!* 

Selain Mas Tafrid, ada lagi yang menginspirasiku. Aku lupa namanya, yang jelas dia ini anak kedokteran UGM semester 4. Dia pernah dimaki-maki oleh penerbit tertentu gara-gara naskahnya yang dianggap enggak mutu. Ada juga mas-mas ganteng item manis yang aku juga lupa namanya, dia menulis novel yang menurutku amazing. Tadi sempet nyari di toko buku Togamas, dan sialnya udah abis stoknya -____-"

Acara tadi amaaat menyenangkan. Di acara itu, semua undangan yang jumlahnya 50-an itu dapat goodie bag berisi dua buah novel, lima voucher buat beli buku, kaset VCD kepenulisan, dan entah apa lagi. Untuk ukuran mahasiswa kismin macam saya, tentu saja itu bagaikan nemu harta karun, hahahaha. Aku dapat novelnya Mas Tafrid Huda yang judulnya Dear Gita dan novelnya Yudhi Herwibowo yang judulnya Enigma. Aku mendapat banyak pencerahan di acara itu, termasuk mendapat jawaban atas kegalauan seorang penulis untuk menentukan genre tulisan: serius atau populer?

Selesai acara, aku langsung cus ke toko buku Togamas dengan Pak Minto. Dan lagi-lagi telat gegara kampanye PDI, hash. Tapi syukurlah, pas aku nyampe sana acaranya baru dimulai. Ada bedah buku Maya bersama Ayu Utami. Finally, aku melihat Mbak Ayu secara langsung. Cantik. Dia cantik banget. Mungkin kalo aku cowo, aku langsung jatuh cinta sama dia. Hahahaha. Oya, di sana aku juga bertemu dengan beberapa anak sasindo. Ada Muchtar, Galih, Nining, Yosa, sama dua anak 2013 yang lagi-lagi aku lupa namanya. Kami duduk berjajar menghadap Mbak Ayu. Aku merekam acara bedah buku itu di hape bututku. Kapan-kapan kuaplot di soundcloud ah, biar enggak ilang. Selesai acara, aku langsung nyamperin Mbak Ayu dan minta tanda tangan. Siapa tahu kepintarannya nular :3

Oya, acara bedah buku itu di Djendelo Cafe yang letaknya di atas tobuk Togamas. Aku tahu tempat itu tapi baru tadi menginjakkan kaki di sana, hahaha. Aku lebih seneng berlama-lama di toko bukunya sih. Setelah Mbak Ayu cabut, aku lanjutin ngopi di Djendelo sambil ngobrolin hal-hal nggak penting bareng Rengga, teman SMA-ku. Bocah itu terus mencerocos sementara mataku fokus ke lantai bawah. Surga buku. Tahu kalau aku lagi mupeng sama buku, dia pun menyuruhku turun.

"Wes, koni muduno timbang ngiler!"

Hahaha. Niatnya lihat-lihat doang sih, tapi seperti biasa, ujung-ujungnya aku bawa buku ke kasir. Sureprise banget bisa nemuin novel yang udah lama kucari di segala penjuru toko buku. Novel remaja yang isinya tentang peristiwa 65. Yak, Blues Merbabu dan 65 karya Gitanyali. Aku juga nemu novel karya Haruki Murakami yang sekian lama bikin aku penasaran. Maunya aku juga beli novel Maya. Tapi berhubung aku lagi kere berat, aku harus cukup berpuas diri dengan membeli dua novel Gitanyali.


Senang. Senang. Senang.
Hari ini begitu menyenangkan.


Terima kasih, untuk kalian yang mengembalikan semangat menulisku hari ini. Hari ini aku yang menjadi pembaca karya-karya kalian, tapi besok, kalian yang akan menjadi pembaca karyaku. :D



suasana meet and greet 

with Tafrid Huda

with Yudhi Herwibowo

harta karun dari Grasindo :D

<3

Surat Cinta

No Comments »

Sore tadi, aku menerima dua buah surat cinta dari Pak Pos. Ketika menerimanya, ada beragam rasa yang membuncah di dada. Haru, bahagia, sedih bercampur jadi satu. Melihat dua pucuk surat cinta ini membuatku ingin menangis. Hiks! Seketika itu pula aku teringat perjuangan selama satu bulan kemarin. Di sebuah kampung yang membuatku jatuh cinta sejak menginjakkan kaki di sana, aku melakukan penebusan dosa. Mengapa? Karena pada semester kemarin aku melakukan kesalahan besar: salah jurusan. Ibaratnya, aku ingin pergi ke Surabaya tapi aku malah membeli tiket jurusan Jakarta. Jadi, pada semester ini, aku mengambil jurusan yang sesuai dengan kapasitas otakku. Ah, ya, ini kedua kalinya aku mengunjungi kampung itu. Dan aku sangat berharap bisa kembali ke sana, entah kapan.
Satu bulan telah berlalu. Ah, betapa cepatnya waktu berjalan. Masih tersimpan jelas dalam otakku, tentang segala hal yang kulalui di sana. Perjalanan panjang Jember-Kediri yang disambut dengan meletusnya Gunung Kelud. Aku baru tiga hari di kampung itu, dan bencana terjadi begitu saja. Hingga kini pun bayangan mengerikan itu belum menghilang dari alam pikiran. Hujan batu. Hujan abu. Dentuman dahsyat yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Apa yang kulakukan saat itu? Tetap bertahan. Karena jika aku pulang, aku kalah. Aku tetap bertahan dan berusaha mengabaikan nada khawatir dari orang-orang. 
"Pulang ke Jogja! Sekarang!"
"Segitu cintanya kamu sama Pare. Mo nyari apa di sana? Pulang, Ndi! Pulang!"
"Daripada ngungsi enggak jelas, mending kamu balik!"
"Gimana nanti kalau ada letusan yang lebih dahsyat? Pulang saja!"
Dan seterusnya. Aku membalas ucapan mereka dengan berkata "Jangan khawatir. Aku baik-baik saja di sini" meskipun sejujurnya aku amat ketakutan waktu itu, hahahaha. Di kepalaku saat itu hanya terbayang wajah Bapak dan Ibu. Orang tua yang selalu mendukungku dalam segala hal itu telah mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Kalau aku pulang, itu sama saja membuang uang mereka. Meski aku tahu mereka lebih mementingkan keselamatanku daripada uang itu. Dan aku tentu saja tidak ingin menyia-nyiakan semuanya. Aku tahu diri.
Waktu pun berjalan. Gunung Kelud berangsur-angsur membaik. Justru keadaan ku lah yang kurang baik, puncaknya pada minggu kedua. Aku masih ingat benar, hari di mana aku ingin sekali memaki-maki salah satu teacher dan mengatakan "You are not only chicken, but also not professional!" sambil mencakar-cakar mukanya. Ya, aku tidak akan pernah melupakan kejadian menyebalkan itu selama-lamanya. Pada akhirnya, segala macam makian itu tertelan di mulut setelah beberapa teman berusaha keras meredam emosiku. Meski begitu, aku tetap dengan sengaja memasang muka sengak setiap kali berpapasan dengannya, hahaha. Tahu sendiri lah, wajahku sangat ekspresif dan sama sekali tidak pintar menyembunyikan kekesalan pada orang. Cerita lengkap soal insiden menyedihkan itu akan kuposting kapan-kapan. Intinya sad ending lah. Semua itu terobati di minggu ketiga. Aku bertemu teman-teman dan teacher yang menyenangkan. Satu-satunya hal yang membuatku sedih adalah ketika ujian akhir. Aku benar-benar blank ketika dapat giliran stand up depan kelas. Nggak maksimal. Pengen ujian ulang tapi enggak dibolehin sama Ms Pipi -____-"
Selama dua menit yang menegangkan itu, aku lebih sering mengucapkan "Ngg ...", "I want to ...", dan "Then". Heeeelll banget, seharusnya aku enggak nervous -_-
Dan aku semakin nervous ketika berhadapan langsung dengan Mr. Lex Ross McGuire alias Mr. Alex! Bule Amerika itu sukses bikin aku panas dingin ketika ujian Pronunciation stage II. Yah, begitulah. Ujian akhirnya adalah presentasi sama si Alex, bukan sama Mr. Miftah yang notabene ngajar Pronunciation stage II. Kalau sesama orang Indo kan pasti bisa  mudeng lah ya kalau ngomong, tapi kalau sama native speaker? Hahahaha, berasa denger orang kumur-kumur. Tapi alhamdulillah di menit kedua aku agak rileks karena si Alex ternyata humoris juga. Dan di akhir ujian, si Alex ngasih petuah atas presentasiku. Intinya, "Kembangkan terus potensimu. Saya yakin kamu bisa menjadi penulis besar. Jadi, jangan menyerah!". Selebihnya, aku enggak ngerti dia ngomong apaan karena aku keganjel kosakata yang masih minim. Heuheuheu.


Dan, taraaaa!
Inilah dua surat cinta itu. Surat cinta yang membuatku kembali bersemangat untuk terus belajar agar tidak menjadi bayang-bayang Bapak lagi. Bapak yang jago bahasa Inggris dan anaknya yang alergi bahasa Inggris. Selama 21 tahun aku sering mendengar orang-orang berkata "Bapakmu lho pinter bahasa Inggris. Dicintai murid-muridnya. Tapi kok anaknya malah enggak bisa sama sekali? Kowe dudu anak'e po? Hahaha!". Meskipun aku selalu menanggapinya dengan senyum masa bodoh, tapi sesungguhnya kata-kata itu menusuk banget. Dan diam-diam aku iri campur menyesal. Iri melihat si Bapak yang jago bahasa Inggris dan menyesal karena di masa muda aku selalu kabur setiap kali mau diajarin -____-"


Dua surat cinta ini, aku persembahkan khusus untuk Bapak. 


 





Sejam sebelum final exam bareng Mr. Alex, Bapak mengirimkan sms yang tidak akan kuhapus sampai hapeku rusak.

"Good luck my daughter, as a parents we'll be proud with your spirit. Go on your trying to be best graduation!"


Bulan depan, aku akan membawa surat cinta ini untuknya. :))

Ah, ya, aku pernah menulis resolusi di buku diary milik temanku. Salah satunya adalah "Kembali ke Elfast untuk penebusan dosa. Dan, aku harus lulus apa pun yang terjadi!"

Finally, i made it! :D :D :D


Kemampuan speaking-ku memang belum benar-benar bagus. Sekarang aku masih berada di level bawah. Tapi, suatu saat, aku akan kembali ke Elfast untuk menaklukkan kelas Dynamic Speaking yang berada di level teratas. Kelas itu diampu oleh Ms Tika, seorang teacher yang ingiiiin sekali aku menebus dosa masa lalu padanya. Sebelum pulang, aku berkata padanya, "Miss, suatu saat saya pasti menjadi muridmu lagi. Bukan di kelas Efast One yang pernah mendurhakaimu dulu, tapi di kelas Dynamic. Ya, saya akan kembali ketika sudah bisa memenuhi persyaratan untuk masuk di kelas level teratas. Tunggu saya!"


Mungkin kau mengataiku gila dan terlalu muluk-muluk. Hahaha, tidak apa. Terkadang, kegilaan itu diperlukan untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan. :P

Dongeng

No Comments »

Hei. Long time no see! *ngomong sama tembok*


Singkat cerita, udah dua hari ini aku dibikin mumet ama yang namanya dongeng. Iya, itu semacem tugas buat makul Penulisan Karya Sastra. Beda tipis lah ama makul Penulisan Kreatif. Daaan, tugas minggu adalah bikin dongeng buat anak-anak!

Meeeeeen, sumpah ini tugas bikin aku engga mood ngapa-ngapain. Stuck. Serius demi apapun, bikin dongeng itu seratus kali lebih susah dibanding bikin cerpen ato pun novel. Tahu kenapa? Soalnya ini cerita buat dikonsumsi anak-anak, dan bikin tulisan dengan bahasa yang sesuai dengan dunia anak-anak itu kagak semudah bikin mie instan. Berkali-kali aku cuman nulis "Pada suatu hari" tanpa perkembangan apa pun. Kenapa susah banget siiiih??

Beda lah ya kalo nulis cerpen buat remaja atau novel romance, hahahaha. Itu sih dunia yang deket ama aku, jadinya lebih gampang bikinnya. Terbiasa nulis cerita dewasa bikin aku stuck pas disodorin tugas ginian.

Padahal ...


PADAHAL DULU AKU DOYAN BIKIN DONGENG!! *tereak pake toa masjid*


FYI, aku udah demen bikin dongeng atau cerita anak sejak kelas 3 SD. Hampir semua buku pelajaranku berisi coretan dongeng yang ceritanya bener-bener enggak jelas, hahahaha. Dulu aku paling suka bikin cerita dengan latar istana, kepengaruh tontonan  di TV sih. Selain itu, dulu si Bapak amat sangat jago mendongeng. Beliau tidak pernah absen mendongengiku sebelum tidur, so sweet banget kan? :)
Karena itu lah, aku jadi suka bikin dongeng. Setiap hari rutin nulis satu dongeng yang panjangnya sekitar 2-3 paragraf. Maklum, masih kelas tiga SD ._.


Tapi sekarang, kenapa aku enggak bisa bikin? T.T


Tugas ini harus dikumpulkan besok pagi. Ah. Mboh. Aku mumet!