Archive for Mei 2015

Antara SEA-GATE dan Jalan-Jalan

No Comments »

Sore itu kami keliling perpustakaan FISIPOL sampe bego. Tulisannya sih kedisplay, tapi pas dicari kagak ada. Mana petugasnya jutek banget minta dilempar sendal. Nining yang membantuku nyari buku incaran nggak bisa ngelakuin apa pun selain "Sabar, ya". Kami lantas keluar perpustakaan dengan tampang bete. Aku bingung campur panik. Aku butuh buku itu untuk menguatkan teori dalam skripsiku. Hah, semoga ada keajaiban. Dengan langkah gontai, kami duduk di bangku bundar.
"Mak, kita loloooos!" Nining heboh.
"Apaan dah?"
"Buka grup WA!"
"Nggak ada paketan. Lagi miskin gue."
Dia kemudian menyerahkan ponselnya. Sontak mataku melotot saking kagetnya. Kyaaa! Tanpa sadar kami berpelukan dan teriak-teriak nggak jelas. Hahaha. 
"Kita lolos, Maaaak!"
"Iyaaaa!"
"Lombok depan mataaa!"
"Iyaaaa!"
Kami terus berjalan ke fakultas dan sejenak lupa dengan petugas menyebalkan di perpus FISIPOL sembari berkicau tentang program SEA-GATE. Jadi, minggu lalu kami dan beberapa teman sasindo ngelamar kerja di Pusat Studi Asia Tenggara. Mereka lagi buka lowongan buat jadi pengajar bahasa Indonesia buat mahasiswa Thai. Iseng nggak ada kerjaan, aku ikutan ngelamar. Bodo amat IPK jelek gegara nilai C bertebaran a.k.a males ngulang, namanya aja trial and error. Pas wawancara, temen-temen pada belajar tentang seluk-beluk Asia Tenggara. Aku? Panik. Hahaha. Nggak ada persiapan blas. Akhirnya aku tetringan pake hape Nanda dan ikutan googling tentang apa pun yang berhubungan dengan Asia Tenggara. Ketololan kedua adalah, aku datang cuma make kaos oblong dan sepasang sendal. Nggak kepikiran buat berpakaian rapi. Abis kuliah aku langsung dateng ke TKP tanpa babibu. Bego emang, tapi sabodo amat. Males pula balik kosan.
"Siapa dulu nih yang masuk?" 
"Indi!"
"Gembel, belum siap!"
"Nih presensinya elo duluan coooy!"
Tahu-tahu pintu kebuka dan keluarlah seorang pelamar. Anak-anak memandang ke arahku dengan tampang menyebalkan. Sambil mengumpat, aku masuk ke ruangan. Bisa dibilang, ini adalah interview pertamaku. Keseringan kerja freelance, pas disodorin yang resmi gini jadi deg-degan hahahaha. Pas wawancara, ternyata nggak resmi-resmi amat. Kami ngobrol-ngobrol ringan. Sesekali mereka ngeliat CV-ku. Entah gimana ceritanya, kami larut dalam obrolan seputar jalan-jalan dan budaya Indonesia-Thai. Untungnya aku sempat ikut makul Bahasa Thai, jadi pas dites ngomong Bahasa Thai bisa lah dikit-dikit. Rupanya mereka juga tertarik dengan kebiasaanku berpindah-pindah tempat alias dolan, yah walaupun nggak jauh-jauh amat. Hahahaha. Siapa sangka kalau ternyata hobi itu justru yang menjadi nilai plus? Alhamdulillah!

Lalu, apa hubungannya program SEA-GATE dengan jalan-jalan? Jadi, begini sodara-sodara. Sebagai mahasiswa kere tapi selalu ingin ke mana-mana, aku selalu melakukan apa pun untuk ngumpulin duit, salah satunya dengan jadi freelancer. Entah itu dengan cara ngedit naskah, nulis, ngelesin, apa pun lah. Dari penghasilan yang nggak seberapa itu, duitnya kutabung. Sebagian buat dolan, sebagian buat makan. FYI, sebenernya kadang suka sebel juga ketika ada orang yang nyeletuk "Jalan-jalan mulu deh, lu! Kebanyakan duit!". Padahal, ya, padahal, aku juga sama aja kayak kalian. Sama-sama sering bokek, sama-sama sering bingung mo makan tapi nggak ada duit. Lalu, kenapa bisa jalan ke mana-mana? Ya, itu tadi. Nabung dan komitmen nggak ngapa-ngapain duit itu. Susah emang, tapi kalau nggak dipaksa ya nggak bakalan bisa ke mana-mana. Mati aja lah ngedekem di kosan.

Oke, back to topic. Jadi, sudah sejak lama aku ingin menginjakkan kaki di Lombok dan Tana Toraja. Nah, si Nining ini kebetulan orang Lombok, jadi kan sayang banget kalau nggak dimanfaatin. Daripada nyari penginapan di sana, bukankah lebih baik bertamu di rumahnya? Bisa makan dan tidur gratis, HAHAHAH! Pun dengan Toraja. Aku punya dua sahabat baik di sana. Ihzan dan Panji. Duo Makassar yang kutemukan di Pare 2 tahun lalu. Mereka janji bakalan nemenin aku ke Toraja atau ke mana pun aku mau. Mereka udah pernah nyambangin aku ke Jogja, saatnya gantian. :3

Nah, rencananya aku mau ke Lombok dulu, baru ke Makassar kalau duit masih ada, hahaha. Kenapa Lombok dulu? Karena kemungkinan yang paling realistis ya di sana. Lebih murah coy. Tinggal naik kereta nyampe Banyuwangi, nyebrang Bali, lanjut Lombok. Ada sih tiket promo ke Makassar, duitnya yang belon ada, hahaha. Jadi, wahai Ihzan dan Panji, sabar dulu ya nak. Emak mau banting tulang dulu sebelum mengunjungi kalian. 
Dan, setiap kali menginginkan sesuatu, bukankah kita juga harus merelakan sesuatu yang lain? *akuomongopo*. Ya, demi keinginan jalan-jalan itu, aku harus menahan diri untuk nggak pulang ke rumah. Menghabiskan bulan ramadhan di Jogja buat ngajar mahasiswa Thai. Gajinya ditabung buat ke Lombok. Maka, untuk melancarkan program jalan-jalan itu, aku dan Nining sepakat untuk lulus di bulan Juni. Kami mati-matian garap skripsi kayak orang gila. Revisi sampe mabok, stres, tapi tetep dijalani. 

Aku pun harus sekuat tenaga menolak semua ajakan jalan-jalan dari temen-temen. Pekan lalu si Mamat ngajak ke Sindoro, tapi apa daya skripsi belum kelar. Nggak. Aku nggak mau ke mana-mana dulu sebelum tanggung jawab ini selesai. Mboh piye carane, pokoknya kudu komitmen. Semangat!!

Selain demi jalan-jalan, sebenarnya aku juga ada tujuan lain dalam program SEA-GATE itu. Kedengarannya agak konyol, tapi emang gitu kenyataannya (?). Sebagai mahasiswa Sastra Indonesia yang hampir lulus, kadang suka ngerasa bego kalau berhadapan dengan Bahasa Indonesia. Asli lah benci banget sama hal-hal berbau lingistik. Tapi rasa-rasanya aku mau nggak mau harus bertanggung jawab terhadap gelar yang kusandang nanti *alah. Jadi, yah, anggap saja kegiatan ngajar ini sebagai bentuk latihan mengasah kepekaan terhadap bahasa. 

Rencananya, program SEA-GATE ini mau kumasukkan dalam cerita perjalanan. Kok bisa? Ya, bisa. Muridku nanti semoga cowok dan ganteng ya Allah  bakal kuajak jalan, entah cuma nongkrong sambil belajar atau pergi ke mana lah. Eh tapi kata si Budi muridnya bakal ganti-ganti tiap minggu, jadi ya entah rencana yang ini bakal jalan atau enggak. Yang jelas, aku mau menulis pengalaman ngajar di program SEA-GATE ini. Siapa tahu bisa dikembangin jadi novel macem Cinta Periode di Kampung Inggris, hahaha!


Apa pun itu, hal yang paling penting saat ini adalah: CEPATLAH LULUS! BIAR LEKAS JALAN-JALAN LAGI!

Ealah, Mblo!

No Comments »

Seharian ini kuhabiskan waktuku untuk bermalas-malasan di kasur. Beberapa hari terakhir hidupku nyaris seperti zombie. Tiap malam berdarah-darah di depan laptop dengan buku-buku berserakan di kasur dan di lantai. Tidak ada hal lain yang kulakukan selain membaca buku teori dan menulis. Kedengarannya amat heroik, ya, tapi sesungguhnya aku malah kayak orang edan. Penampilan jadi awut-awutan (emang sejak kapan aku rapi? hahaha!) dan satu per satu jerawat mulai muncul akibat keseringan begadang ditambah makan pedas disertai gorengan  tiap hari. Demi apa? Ya, demi skripsi. Demi mengejar seminar bulan ini. Demi mengejar pendadaran bulan depan.
Pagi ini, aku baru bisa menutup mata pada pukul setengah 7 dan terbangun pukul 11 siang. Maunya langsung balik ke laptop, tapi entah kenapa kasurnya menggoda sekali untuk ditidurin. Sambil meluk guling, aku membaca buku yang baru kubeli semalam di pameran buku Jogja. Isinya tentang kisah perjalanan para traveler yang dengan singkat membuat kakiku pengen jalan-jalan lagi. Ah, tapi sayangnya aku belum bisa ke mana-mana. Tengah hari, aku mulai merasa lapar, tapi tubuhku masih belum mau beranjak. Aku baru bangun ketika mendengar adzan duhur. Beranjak ke pancuran, wudhu, sholat, lalu bengong. Aku memutuskan untuk menghabiskan buku yang kubaca, kemudian ketiduran sampai pukul 3. Sumpah, uripku nggak mbois blas. Selepas shalat ashar, aku menyambar jaket dan kerudung, lantas beranjak menuju warung "Mak'e" yang terketak di samping kosan. Sudah sebulan ini aku malas memasak dan membiarkan perutku diisi makanan-makanan warung. Aku menyendokkan nasi, sayur, dan lauk ke piring, kemudian masuk ke warung dan mataku seketika menangkap dua sosok cowok sedang makan sambil ngobrol. Dengan muka tak peduli, aku mengambil tempat duduk dan mulai menghabiskan makananku.
"Serius lu pengen putus?" sebuah suara memasuki gendang telingaku. Suara salah satu dari cowok itu. Bodo amat. Aku melanjutkan aktivitas mengunyah.
"Iya! Abisnya gue nggak tahan lihat dia sama temen-temen cowoknya!" sahut cowok satunya.
"Lah, bukannya lu dari dulu udah tahu kalau temen cowoknya emang banyak?"
"Iya, sih, tapi tetep aja gue nggak suka. Cemburu gue. Makan ati mulu,"
"Kan dia nggak ada perasaan juga ama temen-temennya itu. Lagian, lu kayak nggak tahu dia aja. Dia kan emang cewek rasa cowok, hahahaha!"
Seketika aku menghentikan makanku dan menoleh sekilas ke arah dua cowok tadi. Entah kenapa, kok rasa-rasanya aku seperti terpanggil ketika kalimat cewek rasa cowok masuk ke gendang telingaku. Sebenarnya aku nggak mau nguping. Tapi, ya, gimana, di tempat itu cuma ada kami bertiga. Hahaha!
"Gue nggak suka aja punya pacar yang temen cowoknya banyak. Was-was mulu bawaannya," si cowok satu menyahut lagi.
Kalo nggak suka ya kenapa juga lu pacarin. Bego. Aku membatin.
"Tapi kok lu mau temenan sama si Mita? Dia, kan, temen cowoknya banyak juga kayak cewek lu," tanya cowok dua.
"Kalo temenan doang, sih, nggak masalah. Gue suka sih kalo berteman sama cewek kayak Mita, tapi kalo untuk pacaran, kayaknya enggak lagi deh."
Aku tanpa sadar meremas-remas sedotan gegara sebal. Mereka nggak tahu kalau cewek yang duduk nggak jauh dari mereka ini punya temen cowok seabrek. Oh, jadi begini isi otak cowok. Jadi gemes pengen ngelempar sendal.
"Hahaha! Ya udah, sih, diomongin dulu aja sana sama cewek lu. Ntar nyesel tahu rasa lu," saran cowok dua.
Iya. Elunya aja noh yang terlalu cemburuan. Dih. Aku sewot sendiri. 
Beberapa saat kemudian, mereka berdua pergi setelah menghabiskan makanan. Aku? Masih mengaduk-aduk makanan gegara kepikiran omongan mereka. Hahaha!
Apa yang salah dengan punya banyak teman cowok? Aku berpikir keras, tapi nggak nemu jawaban. Sejauh ini, teman bergaulku emang kebanyakan cowok, sih. Entah karena pengaruh didikan masa kecil atau lingkungan rumah yang mayoritas juga cowok, aku nggak tahu. Yang jelas, sejak kecil aku memang lebih nyaman berteman dengan makhluk berlainan jenis. Dulu, aku lebih suka diajakin nyolong jagung di sawah sama temen-temen cowok daripada main rumah-rumahan sama temen-temen cewek yang tampaknya males berteman denganku gegara aku dipandang galak. Aku juga lebih suka diajakin mancing sama bapak, mainan layangan di sawah, daripada belajar merajut sama ibu. Kebiasaan itu terbawa sampai aku gede. Aku mulai punya temen cewek agak banyak, ya, pas SMA. Dan perlahan-lahan aku mulai mempelajari kodratku sebagai cewek pas masuk kuliah. Mulai membiasakan diri pake rok meski awalnya canggung dan ngerasa aneh banget. Menurutku itu sudah kemajuan, walaupun perilakuku kadang masih suka slengek'an. -_-
Oh, ya, balik ke masalah awal. Kenapa cowok nggak suka kalo pacarnya punya banyak temen cowok, sementara dia sendiri suka berteman dengan cewek seperti itu? Tiba-tiba aja aku keinget omongannya si Danar waktu kami lagi makan es krim di Zara-Zara beberapa waktu lalu. 
"Mungkin si cowok cemburu, Ndi. Makanya dia nggak suka kalau lihat ceweknya deket sama banyak cowok. Takut bakalan nyantol di salah satunya kali."
"Iya gitu? Aku pernah sih hampir dilabrak pacar temenku gegara tahu kalau temenku lagi nganterin aku nyari hape. Kan lebay parah!"
"Cewek emang lebay."
"Hahaha, asem! Padahal temenku itu udah nganggep aku kayak cowok. Dia bahkan bilang, demi apa pacarku cemburu sama kamu, Ndi. Lu cewek aja bukan."
"Huahahaha! Pantes jomblo mulu!"
Aku memanyunkan bibir. Memang, sih, di zaman sekarang tampaknya nggak normal banget ada orang yang nggak pernah pacaran sama sekali. Kayak aku gini, jomblo sejak orok. Bhahaha. Bukannya apa-apa, sih, tapi terkadang ada sesuatu yang perlu dipikir beribu kali sebelum memutuskan menjalin hubungan dengan orang. 
"Aku masih normal kali, Nar. Masih doyan cowok."
"Cowoknya yang nggak doyan sama kamu."
"Sampah dah!"
"Hahahahaha!"
Pernah suatu kali, temen cowokku mengatakan sesuatu yang membuatku agak mikir.
"Lu terlalu mandiri, kali. Makanya cowok jadi segan buat deket. Atau, barangkali jadi ngerasa nggak dibutuhin."
"He?"
"Iya. Lu kan apa-apa bisa ngelakuin sendiri. Belanja, sendirian. Ngebengkel, sendirian. Benerin lampu, sendirian. Benerin motor, sendirian. Pendek kata, lu kayak nggak butuh orang lain."
"Masa iya? Gue kemaren pas naik gunung nyaris pingsan, trus gue ditolongin sama temen. Itu kan berarti gue butuh bantuan."
"Ya nggak dalam konteks itu, dodol!"
Aku ngakak.
"Menurutmu, penampilan itu penting nggak? Gue suka ngerasa heran sama temen-temen cewek gue. Tiap jalan suka banget bilang 'Ndi, gue sama cewek itu gendutan mana?'. Baju udah berkarung-karung, masih aja ngerasa kurang. Jadi bingung sendiri gue."
"Mmm, penting nggak penting, sih, kalo kata gue. Lu sekali-kali belajar dandan kek, biar tahu rasanya jadi wanita sesungguhnya."
"Oh, men, gue sekarang udah belajar pake bedak kali. Apa perlu gue bikin alis model jembatan gantung atau lipstik semerah darah?"
"Hahaha, ya nggak gitu juga!"
Aku jadi keinget kejadian konyol di Mirota Kampus beberapa bulan lalu. Sore hari sehabis jogging di GSP, aku nganterin temen ke Mirota buat belanja kebutuhan sehari-hari. Aku yang saat itu masih pake kaos dan sepatu olahraga sukses dilihatin orang-orang. Bodo amat. Pas lagi mantengin deretan sabun cair, tahu-tahu aku didatengin mbak-mbak SPG. Dia dengan penuh semangat nawarin kosmetik di tangannya. Aku nggak minat beli, tapi demi menghargai dia, aku berbasa-basi sebelum melakukan penolakan.
"Wah, lipstiknya bagus!"
Sontak wajah si mbak-mbak SPG berubah seperti melihat alien dari planet Mars. "Maaf, Mbak. Ini namanya maskara, bukan lipstik."
Saat itu juga aku meminta pada Tuhan untuk membuatku amnesia! Begoooo, nggak lagi-lagi deh belagak sok tau! Pasca kejadian itu aku jadi agak trauma dengan mbak-mbak SPG kosmetik.
"Cewek tuh ya biasanya nyalon, jalan ke mall, atau ngapain gitu. Lah elu? Klayapan di gunung, masuk hutan, baju juga itu-itu mulu. Pantes nggak punya pacar!" komentar salah satu teman.
"Apa hubungannya sama kejombloan gue? Ngasal lu, ah," aku nggak terima. Pasalnya, aku memang nggak betahan kalau diajak pergi ke tempat yang aku sendiri bakal bingung mau ngapain di sana. Mati gaya. 
"Nih, Ndi! Baca!" dia menunjukkan sebuah meme dari IG Dagelan. Di sana tergambar cewek berpenampilan macho dan sebuah tulisan: Cewek yang punya banyak temen cowok biasanya jomblo. Biasanya...





Sebentar....





Sebenarnya aku ini lagi nulis apa?





Bukankah sore ini aku berjanji untuk memulai bab 3 skripsi? Kenapa malah membacot hal-hal ra cetho seperti ini?



Embuh. Mungkin aku lelah. Mungkin aku ingin wisuda ...