Judul Buku :
Sayap Jibril
Penulis :
Habiburrachman, dkk
Penerbit :
FAM Publishing
Tahun Terbit :
2013
ISBN :
978-602-17404-2-2
Tebal :
199 halaman
Harga : Rp. 41.000
Harga : Rp. 41.000
Sayap Jibril merupakan antologi cerpen
pemenang lomba Apresiasi Sastra yang diadakan oleh Keluarga Mahasiswa Sastra
Indonesia (KMSI) Fakultas Ilmu Budaya UGM. Antologi yang memuat 10 cerpen kategori
mahasiswa dan 10 cerpen kategori pelajar tersebut mengangkat beragam tema.
Cerpen Si Meti Jadi Tahi karya Habsari merupakan salah satu contoh cerpen kategori
mahasiswa yang bertema sosial. Cerpen tersebut mengisahkan tentang seorang Ibu
yang memberi makan Meti, anaknya, dengan tahi. Keterbatasan ekonomi memaksanya
untuk melakukan hal demikian. Anehnya, Meti justru senang memakan tahi yang
disuapi oleh ibunya. Ketika sang ibu telah kehabisan persediaan tahi, dia
mencoba untuk meminta tahi kepada orang-orang yang sedang membuang kotorannya
di sungai dekat rumah. Akan tetapi, mereka malah berlari pulang dan enggan
memberikan tahinya kepada ibu Meti. Hal tersebut secara tidak langsung
menggambarkan kondisi sosial masyarakat yang cenderung bersikap antipati
terhadap permasalahan orang lain. Mereka lebih suka jika barang tidak berguna
milik mereka terbuang sia-sia daripada diberikan kepada orang yang membutuhkan.
Dalam cerpen Perempuan yang Merajut Harapan, Sulfiza
Ariska merajut kisah mengenai penindasan kaum perempuan dalam masyarakat Tana
Toraja. Rante, seorang bangsawan dari trah Sanggala –bangsawan murni Tana
Toraja, menikah dengan Toding, pemuda kaya raya yang menanam benih di rahimnya.
Kisah cinta yang awalnya penuh dengan keindahan itu berubah menjadi
penderitaan, karena Rante diperlakukan tak ubahnya seperti ‘babi’ yang setiap
malam ditunggangi lalu dibuang sesuka hati. Keinginan Rante untuk bercerai juga
tak dapat terwujud karena posisinya sebagai bangsawan dari trah Sanggala akan
menjadi aib keluarga jika memutuskan untuk bercerai. Tak hanya itu, Rante juga
harus menerima hukuman mati karena dianggap telah melanggar Aluk (aturan) di
Tana Toraja, yakni tidak melayani Toding sebagaimana seharusnya, padahal Toding
sudah mati. Posisi Rante seolah menjadi kambing hitam yang dipersalahkan atas
segala keadaan. Cerpen ini menggambarkan budaya patriarki yang masih kental di
tanah Tana Toraja, di mana perempuan masih terkungkung dalam wilayah domestik
dan tidak dapat memperjuangkan ‘kemerdekaannya’. Sangat menarik dan membuka
cakrawala berpikir kita, bahwa perempuan hendaknya memilih laki-laki bukan dari
segi kekayaan dan kegagahan belaka, akan tetapi dari segi ketulusan.
Lain hal-nya dengan cerpen Surat karya Hanif Junaedi yang
mengangkat tema percintaan yang tragis. Gayatri hampir setiap hari menerima
surat cinta dari pengagum rahasianya. Penulis memaparkan perasaan sang pengagum
rahasia melalui surat-surat yang ditulis dengan gaya bahasa puitis nan romantis.
Alur yang ditulis dalam cerpen tersebut sangat mengalir dan membuat pembaca
penasaran. Di akhir cerita, penulis kembali memberikan kejutan untuk pembaca,
yakni sebuah fakta bahwa pengagum rahasia yang tertera dalam surat tersebut tak
lain adalah saudara kandungnya sendiri.
Dalam cerpen kategori
pelajar, terdapat cerpen Rp.20.000
karya Nina Nabilah yang cukup mengiris hati pembaca. Cerpen tersebut
menceritakan tentang pengorbanan seorang Ayah kepada anaknya. Bonang sangat
menginginkan sebuah buku yang harganya Rp.35.000. Untuk ukuran anak tak mampu seperti
dirinya, harga tersebut sangatlah mahal. Maka merengek-rengek lah Bonang kepada
Bapak yang hanya bekerja sebagai tukang becak itu. Hampir setiap hari Bonang
menagih janji kepada Bapak, hingga Bapak yang berwatak keras itu kerap memarahinya.
Hati Bonang melunak manakala mendapati kondisi Bapak yang kian hari kian
sakit-sakitan. Di akhir cerita, Bonang mendapati sebuah kenyataan yang
memilukan setelah Bapak menghembuskan nafas untuk selamanya. Bonang baru
menyadari bahwa ternyata selama ini Bapak bekerja keras untuknya. Bapak
mendapatkan uang Rp.20.000 dari hasil jerih payahnya yang kelak akan digunakan
untuk membeli buku impian Bonang.
Dalam cerpen Sayap Jibril karya Habiburrachman,
penulis menggiring pembaca melalui fakta sosial yang kerap terjadi di
masyarakat luas, yakni mengeramatkan benda yang dianggap memiliki kekuatan
ghaib. Padahal sesungguhnya perbuatan demikian tidak mendatangkan manfaat
apapun.
Jika dilihat dari segi
penulisan, tampaknya editor harus lebih teliti lagi dalam mengedit naskah Sayap Jibril. Hal ini dikarenakan
terdapat beberapa kesalahan ejaan yang cukup mengganggu. Akan tetapi, hal itu
dapat tertutupi dengan isi cerita yang menarik. Secara keseluruhan, cerpen yang
terkumpul dalam antologi Sayap Jibril
tersebut sarat akan makna dan kritik sosial yang tajam. Pembaca diajak untuk
menelusuri realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, buku
tersebut diharapkan dapat membangkitkan daya kritis pembaca melalui
cerpen-cerpen yang tersaji.
Peresensi: Indiana Malia
Blog : http://zakia-salsabila.blogspot.com/
*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba penulisan resensi yang diadakan oleh penerbit FAM Indonesia*