Archive for November 2013

Sedih

6 Comments »

Air mataku merebak. Tak tertahankan. Dadaku naik turun, menahan sesak.
"Ini sangat menyakitkan..."
Kau lantas memelukku. Membiarkan dadamu banjir air mata. "Menangislah, sayang. Menangislah jika itu bisa membuat hatimu lega ..."
Tangisku semakin kencang. Tiga puluh menit berlalu dalam diam. Biarlah, aku ingin tenggelam dalam kesedihan. Malam ini saja.

 

Jane Lek Kowe Serius, Kowe Iso!

No Comments »

Aku menatap dua angka yang tercetak manis di sampul proposal seminar sastraku. Senang bercampur sedih. Senang karena aku mendapatkan nilai yang cukup memuaskan, sedih karena aku tidak berusaha dengan maksimal.
"Gila kamu, Ndi. Anak-anak yang ngerjain jauh-jauh hari saja banyak yang dapat tiga, empat, lima, dan coretannya Bu Tuti dengan Pak Rudi edan tenan. Lha kamu, baru ngerjain 3 jam sebelum deadline, tapi dapat nilai bagus begitu." komentar Ronal, ketua angkatanku, sembari menyerahkan proposal seminar sastra ke tanganku.
Aku hanya nyengir. "Aku kemarin emang kayak orang nggak niat, Nal. Nggak mood ditambah kesel gara-gara nggak nemu referensi yang kuinginkan."
Selesai berkata begitu, aku lantas memerhatikan dengan cermat di mana letak kesalahan pada proposalku. Dan, ini yang paling membuatku menyesal sedalam-dalamnya. Bu Tuti hanya mencoret-coret bagian tertentu yang menurutku remeh tapi luput dari perhatianku. Daftar pustaka yang berantakan alias lupa tidak dibenahi tata letaknya, lupa memberi sumber kutipan sehingga dianggap plagiasi, tidak mengecek ulang tata bahasa yang sesuai dengan teknik penulisan ilmiah, dan hal-hal sepele lainnya. Alhasil, aku hanya memperoleh nilai 75 saja. Nilai yang bagi teman-teman bagus, tapi sangat menyesakkan buatku.
Ini bukan masalah nilai, dear. Aku menyesali sikapku kemarin yang setengah hati, padahal sejujurnya aku bisa mengerjakan dengan maksimal. Apa susahnya sih mencari referensi di perpustakaan barang sehari dua hari? Saking santainya, aku baru mengerjakan semua itu tiga jam sebelum batas pengumpulan tugas UTS. Yeah, teman-teman selalu menyebutku Miss Deadliner. Tukang kebut semalam.
Coba aku mengerjakannya jauh-jauh hari, melakukan riset mendalam, mencermati tata bahasa sampai Bu Tuti tidak bisa menemukan kesalahan dalam proposalku, dan menghadirkan teori yang tidak asal tempel. Aku benar-benar berminat dengan novel Semusim, dan Semusim Lagi. Akhir-akhir ini aku tertarik dengan psikologi sastra. Dan novel itu bisa kuteliti dengan pendekatan teori tersebut. Ditambah lagi, kajian psikologi sastra sangat minim (untuk bilang tidak ada) di jurusanku. Dari sekian banyak skripsi, aku hanya menemukan tiga skripsi yang menggunakan teori psikologi sastra.
Dan semuanya semakin terasa menyesakkan ketika Andina Dwifatma, penulis novel Semusim, dan Semusim Lagi, dengan santainya meminta tulisan itu.
"Aku mau baca dong!"
Mati lah. Mana mungkin aku memberikan tulisan acakadul itu kepada penulis yang novelnya tengah kuteliti? T.T
Malu. Malu. Malu. Apalagi aku anak sastra Indonesia. Masa iya tulisannya acak-acakan nggak jelas begitu? Pokoknya, sebelum tulisan itu sampai di tangan Andina, aku harus memperbaikinya habis-habisan. Harus maksimal. Peduli setan jadwal presentasiku masih lama, yang penting aku harus merevisi proposal ini secepatnya, lantas menyerahkannya pada Bu Tuti. Aku selalu cocok berkonsultasi masalah akademik dengan beliau. Meskipun kritikan beliau sepedas maicih level 10, tapi semua itu sangat berguna untuk perkembangan tulisanku.
Duh, rasanya masih nyesek melihat proposal tadi. Hah, yo wis lah. Mau gimana lagi?

Menyingkir

5 Comments »

"Aku harus pergi," kataku.
"Kenapa? Ada yang salah denganku?" tanyamu dengan penuh selidik.
"Kau menakutkan." Aku menunduk.
"Menakutkan bagaimana?"
"Pokoknya kau menakutkan!" kataku sembari beranjak dari hadapanmu. Tapi tanganmu mencengkeram tanganku erat. Tidak terima kutinggalkan begitu saja.
"Aku salah apa?" kau setengah membentak setengah bingung setengah merasa bersalah dengan nada suaramu.
"Ini mulai tidak benar. Semuanya tak lagi sama. Aku merasa ... ada yang berbeda. Aku harus sesegera mungkin mengenyahkan hal yang terasa ganjil ini."
Kau menatapku sambil memicingkan mata. "Apanya yang ganjil?"
Aku menghela napas berat, lalu jari telunjukku menunjuk dada. "Ini. Ada yang ganjil di sini."
"Kau sakit?" wajahmu mendadak khawatir.
Aku menggeleng, mengangguk, kemudian menggeleng. "Mungkin saja aku sakit. Sakit jiwa tepatnya."
Kau terdiam. Lebih tepatnya, kau tampak bingung dan kesulitan mencerna kata-kataku.
"Sudahlah. Sebelum keganjilan itu semakin bertambah dan berubah menjadi sesuatu seperti yang sudah-sudah, lebih baik aku pergi. Menyingkir sejenak dari hidupmu."
"Sampai kapan?" tanyamu kelu, penuh rasa ingin tahu.
"Sampai semuanya kembali normal. Dan tidak ada keganjilan-keganjilan lagi di sini," telunjukku kembali menunjuk dada.
Detik berikutnya, aku melangkah pergi. Membiarkanmu berdiri mematung. Biar. Biar sudah. Aku akan pergi. Menghilang. Entah sampai kapan.


Jogja, Rabu 27 November 2013.
Pukul 01.10 WIB
-Ketika keganjilan-keganjilan itu terasa semakin nyata-

Rambu Solo

No Comments »

Seharian ini aku mager di kosan. Hidupku hanya berkisar antara nyuci baju seabrek-abrek, memasak, membersihkan kamar yang penuh dengan buku berserakan di lantai, gulung-gulung di kasur akibat nyeri PMS (sumpah, menderitaaa!), dan tentu saja online. Hahaha. Dan di siang bolong, selepas mencuci baju, aku online di facebook sambil nge-youtube. Sebuah pesan masuk ke inbox, yang intinya begini, "Emangnya Indiana udah baca?". Aku menepuk jidat. Hampir lupa, novelnya Kak Fiza! Yep, ceritanya dia baru saja bikin novel dan seminggu yang lalu ngirim soft file novel ke inbox FB buat kubaca. Judulnya Rambu Solo. Men, dia nulis novel itu dalam 7 hari! 101 halaman satu spasi, itu gila! Kalau aku jadi dia, mungkin aku udah kayak zombie, hahaha. Novel itu dia tulis buat diikutin lomba nulis nusantara. Dan baru hari ini aku sempet baca, setelah beberapa kali dia nanya, "Udah kelar dibaca?". Hahaha, gomen. Seminggu kemarin lagi rempong nyiapin ujian bahasa Jepang dan kena remidi.
Seharian ini aku mantengin Rambu Solo, di sela-sela kegiatan lain. Dan yeah, novel itu baru saja kuselesaikan beberapa menit yang lalu. Entah apa yang harus kukatakan. Yang jelas, novel ini benar-benar keren. Dan tentu saja, membuatku semakin kaya akan pengetahuan tentang budaya Indonesia.

Apa sih Rambu Solo itu?
Rambu Solo adalah upacara adat Tana Toraja untuk pemakaman jenazah. Ada beberapa persyaratan sebelum melakukan Rambu Solo, salah satunya adalah memberikan persembahan berupa kerbau dan babi. Jumlah hewan disesuaikan dengan kasta. Jika keluarga yang ditinggalkan berasal dari golongan bangsawan, hewan yang dikurbankan harus lebih banyak dan tentu saja meriah.
Membaca novel ini membuatku seakan-akan berpindah tempat dari kamar kost ke Tana Toraja. Aku bisa 'melihat' bagaimana upacara adat tersebut dilaksanakan, kerajinan tangan Tana Toraja yang begitu memukau, tari-tarian, yah ... semua suasana dalam novel itu. Aku seolah dibawa ke lorong waktu.
Ada tiga hal yang membuatku terpukau dengan novel ini. Pertama, bagian pembuka novel yang menyajikan Q.S Al-Maidah: 32.



Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.


Ayat tersebut lah yang menjadi jawaban ketika To Minaa (pendeta Aluk) bertanya kepada Chen, seorang muslim yang menyukai dunia pengobatan herbal, "Mengapa So' Chen bisa memberi pertolongan tanpa imbalan? Sudah langka sekali zaman sekarang. Di mana-mana pengobatan selalu minta bayaran."
“Itu yang diajakan agama saya, Pak!” jawab Chen tegas dan lembut.
“Bukankah kita berbeda agama?” tanya To Minaa kembali di hadapan keluarga warga yang mengalami patah tulang tersebut. “Dan, saya dengar, orang-orang yang tidak beragama Islam disebut kafir dan halal untuk dibunuh.”
Chen lantas membacakan ayat tersebut. “Maksud sederhananya,” jelas Chen, “Bila kita membantu atau berbuat baik pada seseorang, kita berarti membantu atau berbuat kebaikan pada semesta alam. Dan bila sebaliknya dan tanpa alasan yang adil, kita berarti merusak semesta alam. Saya sendiri ingin mencari nafkah sebagai pedagang, bukan sebagai tabib. Mengobati bagi saya hanya untuk amal semata. Dan, alhamdulillah, di Makale saya sudah punya perusahaan sendiri—meski baru kecil-kecilan. Usaha kedua paman saya pun lancar, berkembang pesat, dan penuh berkat. Tahun depan kedua paman saya akan naik haji bersama keluarga mereka. Kita lihat pula di tondok ini. Oh, tampaknya saya tidak perlu menjelaskan lebih banyak. Dalam dua tahun, banyak berkat yang kita nikmati bersama. Inilah anugerah Tuhan yang saya yakini—Tuhan Semesta Alam.”

Ya, betapa agama bukanlah alasan untuk tidak menolong orang lain yang memiliki keyakinan berbeda dengan kita. Agamamu, ya, agamamu. Agamaku, ya, agamaku. Mari berbuat kebaikan. Sesederhana itu :)))


Kedua, aku suka dengan pemikiran tokoh Chen, Bua', Duma', dan Rante mengenai pendidikan. Mereka mendirikan Sekolah Rakyat dan mengajari penduduk tondok(kampung) mengenai banyak hal. Duma' menjadi guru tari. Chen mengajar tentang pengobatan herbal. Rante mengajar matematika. Dan Bua' mengajar tenun. Ya, ilmu memang bisa didapatkan di mana saja. Tak harus di sekolah formal yang kebanyakan menjadikan siswanya sebagai robot. Siswa hanya dijejali beragam mata pelajaran sama rata, tanpa melihat bakat atau kemampuan khusus yang ada pada diri siswa. 

Ketiga, aku menyukai kalimat Mahatma Ghandi yang diselipkan di novel ini: hanya orang kuat yang mampu memaafkan. God, menangislah aku membaca ini. Fix, endingnya sukses bikin aku mewek. Walaupun ritme ending dalam novel ini terlalu cepat menurutku, tapi aku tetap saja terkejut ketika mengetahui siapa Rante sebenarnya. 


Sumpah, sampai sekarang aku heran. Itu Kak Sulfiza bikin novel sekeren ini, dalam waktu seminggu, gimana caranyaaaa? Novelnya dalam, karakternya kuat, penjelasan setting-nya pun bagus. Heran. Untuk ukuran novel serius, ini amazing! Aku yakin, novel ini bakal tambah keren kalau dia sunting lagi. Karena aku beberapa kali nemu tanda baca salah dan nama tokoh yang ketuker-tuker, hehehe. Maklum sih, dikejar deadline -____-''

Duh, sebenernya pengen ngasih bocoran tentang isi novel ini. Tapi, enggak dulu, deh. Ini kan lagi diikutin lomba, takut ntar dia kena diskualifikasi gegara aku, hahahaha. Bagi kamu yang penasaran, cabal ea. :P

Oke, Kak Fiza. Kutunggu karyamu terbit (dan ini memang layak terbit)!

Terpesona

2 Comments »

Oh dear, tampaknya aku jatuh cinta dengan tulisan-tulisanmu. Selalu berhasil membuatku tersentuh, hingga hatiku gaduh. Haaaa kowe tak rabi ae piye! #PLAK :P