Archive for Oktober 2012

Pergilah ...!

No Comments »


Dan ketika aku merasa bahwa semua ini akan berujung sia-sia, aku membiarkan sakuraku tumbuh begitu saja. Otakku sepenuhnya sadar bahwa sakura itu tak akan pernah bisa kusentuh dengan cara apapun meski bunga itu terus saja bermekaran. Ketika semuanya telah mencapai puncak dari segalanya, sakura itu luruh satu per satu. Kemudian layu, mengering, lalu berserakan tanpa guna. Dan seketika itu pula aku sadar, bahwa dunia kita sangat berbeda. Di matamu, selamanya aku hanyalah anak-anak, tak lebih. Jadi, sebelum lubang di hati itu melebar karena kau gerogoti setiap saat, maka pergilah!
Ya, pergilah sampai aku benar-benar tak bisa melihatmu sesuka hati.
Pergilah sampai aku tak mengingat dirimu lagi.
Pergilah sampai aku bisa melupakanmu.
Pergilah sampai aku bisa melupakan sakura yang pernah kutanam dengan sepenuh hati ...

Aku tahu, cepat atau lambat kau tak lagi ada di sini. Aku tahu, cepat atau lambat kau akan menyingkir perlahan-lahan dari hidupku. Aku tahu, sakura itu tidak akan pernah tumbuh di hatimu, sekuat apa pun aku mencoba menanamkannya. Aku tahu, lambat laun kuncup-kuncup yang telah mekar di jiwaku ini akan semakin layu karena tak kau sirami. Dan aku pun tahu, semua ini akan berakhir sia-sia …

Jadi, bisakah kau pergi?
Benar. Aku ingin kau pergi jauh-jauh dariku, meski aku tak tahu apa yang akan terjadi pada diriku selanjutnya. Iya, aku merasakan ada yang patah di sini ketika menyadari sebuah kenyataan yang sama. Kenyataan seperti yang telah kuhadapi di hari-hari yang telah lalu. Hatiku, Kazu. Hatiku patah dan mungkin akan semakin berserakan jika kau masih tetap hinggap di kepalaku.

                                                                                                         ****

"Kau serius?" Raisa menatap mataku lekat-lekat.
AKu mengangguk pasti. "Untuk apa aku berbohong padamu?"
"Ya, Tuhan! Jangan bilang dia tidak menyadarinya sampai saat ini!"
"Menyadari apa?"
"Jangan pura-pura bodoh, Alia. Aku tahu kau diam-diam telah menyirami bunga sakura itu setiap hari. Dan apa kabarnya sekarang?"
"Bunga itu telah layu. Aku tak akan pernah menyiraminya lagi."
"Alia! Jangan bertindak bodoh!"
"Ku rasa, ini adalah hal paling benar yang harus kulakukan kalau tak ingin remuk redam."
Raisa terdiam.
"Sudahlah, Raisa. Duniaku dan dunianya begitu berbeda. Dia adalah langit biru, sedangkan aku hanyalah debu yang beterbangan."
"Astaga! Kau terlalu merendah!"
Aku menggeleng cepat. "Tidak, Raisa. Itu memang benar. Memangnya apa yang bisa dia lihat dariku? Sampai kapan pun, aku hanya akan terlihat sebagai anak kecil di matanya, tak lebih."
"Kau tidak percaya diri hanya karena dia 'terlalu dewasa' di matamu?" Raisa tampak gemas.
Aku menunduk.
"Alia, apakah kau akan menyerah begitu saja?"
aku mengangguk. "Mau tak mau, ini harus kuakhiri. Aku tahu, ini adalah hal yang sia-sia."
"Mengapa?"
"Karena dia akan pergi, dan memang lebih baik kalau dia pergi. Dengan begitu, aku bisa cepat melupakannya."
"Bukankah impianmu nyaris sama dengan dirinya?"
"Apa?"
"Negeri Sakura."
Aku terdiam. Ya, Raisa benar ...
"Sudahlah, Raisa ... jangan ingatkan hal itu kepadaku."
"Kau tak ingin dia tahu?" tanya Raisa dengan wajah serius.
"Tahu apa?"
"Ya ... tahu bahwa kau telah menyirami sakura itu setiap hari."
Aku menggeleng. "Tidak. Aku tak ingin mengulangi kebodohan itu untuk yang kesekian kalinya. Apa gunanya kalau dia tahu? Mungkin itu akan melegakanku, tapi sama sekali tidak bisa mengubah kenyataan."
"Alia ..."
"Aku akan melepasnya, Raisa. Mulai detik ini, aku akan menghapus namanya dari otakku!"


                                                                                              ****

Kazu ... apakah kau tahu apa arti keikhlasan?
Yah, mungkin seperti yang aku rasakan saat ini. Aku akan meng-install kembali otakku agar semuanya kembali normal. Agar aku tak ingat bahwa aku pernah menanam sakura di dalam hatiku.
Ikhlas. Satu kata yang akan menguatkanku selama beberapa waktu ke depan. Pergilah, Kazu! Aku tak akan memberatkan langkahmu dengan tindakan bodoh yang pernah kulakukan di masa lalu. Tidak, kurasa ini cukup. Dan setelah kau pergi, kuharap sakura itu bisa ikut menghilang dalam sekejap mata ...

                                                                                                       ****

"Dia sudah pergi," kataku sembari memeluk Raisa. Beberapa detik yang lalu, pesawat itu terbang jauh ... jauh ke negeri Sakura.
"Bukankah kau sudah tahu arti sebuah keikhlasan?"
AKu mengangguk.
"Biarkan dia pergi. Lepas sejauh mungkin. Kita tak pernah tahu bagaimana rencana Tuhan terhadap manusia. Bisa jadi dia kembali dan memang ditakdirkan untukmu. Tapi kalau pun tidak, aku yakin kau akan bertemu dengan Kazuto yang lain." Raisa berusaha menghibur.
"Kazuto yang lain?"
"Iya, kau akan menemukan bunga sakura yang jauh lebih indah ..."
Aku mengangguk kecil. "Semoga saja."




Jogja, Selasa 30 Oktober 2012
Dalam heningnya pagi
Pukul 02.23 WIB

Email kaget :D

No Comments »

Gue masih sibuk ngitung duit yang berceceran di lantai kamar ketika laptop gue tiba-tiba bunyi 'cling ... cling!' tanda ada email masuk. Awalnya gue cuekin soalnya gue lagi pusing setengah mampus ngitungin duit. Iya, gue jadi bendahara Studi Karya dan sekarang lagi ribet-ribetnya bikin LPJ -______________-"
'cling ... cling ...!'
Yaelah, ini siapa sih yang gangguin gue? Dengan gondok gue lalu ngelirik FB. Temen gue bawel nanyain ini-itu. Setelah gue jawab seperlunya, mata gue gak sengaja nangkep email. Gue lalu ngebuka perlahan-lahan. Gue langsung nangis pas baca isinya.


Salam,

Saudari Indiana yang baik.

Kami telah menerima naskah dari Anda dan kami nilai layak diterbitkan. Namun perlu kami jelaskan bahwa FAM Publishing adalah penerbit Self Publishing, artinya biaya penerbitan ditanggung sepenuhnya oleh penulis. Silakan pelajari paket penerbitan kami (terlampir), bila cocok jangan sungkan menghubungi kami.

Salam,
FAM Publishing


Woaaaaaaaaah, naskah pemenang AS diterimaaaaaaaaaaaaa! *sujud syukur*
Alhamdulillah ... alhamdulillah ...
Semoga segera diterbitkan. Paling enggak, beban gue berkurang satu. Tinggal nyiapin LPJ Studi Karya doank. Yeaay ...!




Jangan Percaya

1 Comment »

Manusia itu menulis untuk dirinya sendiri


Jangan percaya pada media
Jangan percaya pada sejarah
Jangan percaya pada ustadz yang mengatasnamakan agama
Jangan percaya ...
Jangan percaya ...


Kata-kata yang saya dapatkan saat seminar kemarin. Dosen saya 'membantai' salah satu peserta seminar yang bersikeras mengatakan ," Saya tidak setuju kalau orang menulis untuk dirinya sendiri! Bla bla bla bleh!"
Lalu, beliau pun menjawabnya dengan panjang lebar (saya malas mempostingnya di sini), dan diakhiri dengan kata-kata di atas.

Jangan percaya!


Kata-katanya yang filosofis membuat puluhan jidat berkerut, termasuk saya. Untunglah, kakak tingkat yang duduk di sebelahku berkenan menjelaskan tanpa kuminta.
Ah, benar. Pahami dulu maksud kalimat itu, baru protes. Jangan biarkan budaya instan menggerogoti otakmu.

Aku pun mengangguk-angguk mengerti.

Yah ..
Jangan percaya!!!

Siapa Zakia Salsabila?

No Comments »

"Siapa sih Zakia Salsabila?"

Satu pertanyaan yang kerap dilontarkan teman-temanku. Baiklah, akan kujelaskan :)


____Dua tahun yang lalu_____

"Zakia Salsabila. Bagaimana?" tanya dia setelah sekian lama kami terdiam dalam pikiran masing-masing.
"Hm?" keningku berkerut.
"Zakia Salsabila. Nama yang cantik, bukan?"
"Memang apa artinya?"
"Perempuan cerdas seindah dan seanggun telaga Salsabila." jawab dia mantap.
Aku tersenyum cerah. "Nama yang indah."
"Ya, dan aku harap kau bisa seperti nama itu."
"Semoga saja. Ah, aku suka nama itu. Nama yang indah ..." aku berdecak kagum.
Dia hanya tersenyum.
"Terima kasih, ya. Kalau kau ingin memakai nama apa?" aku balik bertanya.
"Rahasia," jawabnya.
Aku melengos. Sebal.
"Nanti akan kubawakan majalahnya. Bukalah rubrik cerpen, maka kau akan menemukan namaku di sana."
"Benarkah?" mataku membulat besar.
Dia mengangguk mantap.

Dan sejak saat itu lah, aku selalu memakai nama itu sebagai nama penaku di setiap tulisan yang kubuat. Aku senang memakainya. Kedengarannya sangat indah. Ya, aku sangat menyukai nama itu.
Aku bertekad untuk menggunakannya sebagai nama pena jika suatu saat nanti karyaku telah terbit.


Namun, semua itu tak bertahan lama.
Aku menanggalkan nama itu begitu saja. Aku memutuskan untuk menggunakan nama "Indiana" dalam tulisanku. Cukup Indiana saja, tak perlu kupanjangkan menjadi Indiana Malia.

"Kau tidak suka menggunakan nama Zakia Salsabila?" seorang teman bertanya.
Aku menggeleng. Aku masih sangat menyukainya. Nama itu masih indah seperti dulu.
"Lalu mengapa kau tidak menggunakannya lagi?"
Ah, siapa bilang? Aku masih menggunakannya kok. Nama itu telah kuabadikan di dalam blogku. Ya, sebagai nama blog. Mungkin aku tak akan mengubahnya. Yah, ku rasa nama itu sudah menjadi sebuah kenangan yang paling indah ...


Sekarang, kau sudah paham kan? Jadi, jangan tanyakan perihal nama itu lagi padaku.

Sengatan Listrik

No Comments »



            “Setidaknya, hari ini senyumku bisa terbit … ,”
            “Apa kau bilang?”
            “Dia mengembalikan senyumku.”
            “Kkk … kau … kau melihatnya?”
            Aku tak lagi menjawab. Tapi senyumku masih terus mengembang. Rere hanya memandangku dengan penuh keheranan sekaligus penasaran.

***
            Mataku sudah mencapai 5 watt. Entah sudah berapa kali aku menguap siang ini. Setiap lima menit sekali aku selalu melirik jam dinding yang terpajang di depan kelas. Pukul 14.00 WIB. Sial, kuliah baru akan berakhir dua jam lagi. Aku tak tahan lagi.
            Di depan kelas, Bu Nora tengah asyik menjelaskan materi Novel Pop. Aku memandangnya dengan mata setengah tertutup. Kepalaku juga mengangguk-angguk beberapa kali. Bukan karena paham, tapi karena mengantuk.
            “Heh, bangun! Kalo ketahuan tidur ntar digaplok kamu!” Vita yang duduk tepat di sampingku buru-buru mencubit lenganku, menyuruhku bangun.
            “Hmm …,” aku hanya menggumam pelan. Angin semilir yang perlahan masuk melalui jendela semakin membuatku terlena. Siang ini aku memang duduk di barisan paling pinggir, tepat di samping jendela.
            “Yaelah nih bocah!” Vita geleng-geleng.
            Aku tidak menggubrisnya sama sekali. Aku benar-benar lelah. Dua minggu terakhir tenagaku diforsir. Aku hanya tidur dua jam sehari. Semester ini sepertinya aku pantas mendapatkan gelar sebagai manusia kura-kura alias kuliah-rapat kuliah-rapat. Tiada hari tanpa rapat. Beginilah akibatnya kalau aku terlalu kemrungsung mengikuti berbagai organisasi. Capek. Rapat yang bikin repot. Tapi biar bagaimana pun harus tetap kujalani. Sudah menjadi tanggung jawabku.
            Aku juga terbiasa disebut sebagai wanita malam. Eits, jangan berpikiran negatif dulu. Wanita malam yang ku maksud adalah wanita yang selalu terjaga di malam hari. Jika pagi sampai sore hidupku kuhabiskan di kampus, maka pada malam harinya akan kuhabiskan di depan laptop. Mengerjakan tugas kampus kalau lagi rajin, tapi seringnya sih mainan FB, hahaha. Aku bisa tahan melek sampai pukul 4 pagi. Setelah itu, aku baru bisa menutup mataku rapat-rapat. Dan seperti biasa, aku akan terlambat masuk kelas jika ada kuliah pagi. Itulah sebabnya kenapa aku selalu bersorak ketika ada jadwal kelas siang.
            “Yak, Tara, bisa bantu Ibu menjelaskan tentang perbedaan sastra serius dan sastra populer?” suara Bu Nora bagaikan guntur di siang bolong. Membuatku kaget setengah pingsan.
            “Nggg … ,” aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
            “Pssst!” Vita menyorongkan catatan kecil di tanganku. Aha! Ini pasti catatannya. Aku bernapas lega.
            “Cerita dalam sastra populer cenderung stereotipe, bisa langsung dipahami hanya dengan sekali baca. Hal ini berbeda dengan sastra serius yang harus dibaca berulang kali agar bisa memahaminya.” Aku menjawabnya dengan lancar. Lagakku macam orang pintar saja.
            “Bagus! Jadi teman-teman, sastra itu …,” Bu Nora kembali menjelaskan materi.
            Dan aku kembali mengantuk. Vita yang sudah lelah mencubit lenganku hanya geleng-geleng kepala. Aku lalu melemparkan pandangan ke luar jendela, menikmati angin semilir yang lewat di depan mukaku. Kuamati orang-orang yang berkumpul di bawah pepohonan rindang, juga orang-orang yang hilir mudik. Di Panggung Terbuka, tampak puluhan anak yang tengah duduk melingkar. Kalau dilihat dari wajahnya sih, sepertinya mereka anak-anak Antropologi. Entah apa yang mereka lakukan di sana. Aku lalu mengalihkan pandanganku ke depan arah lain, dan dalam hitungan detik mataku langsung terbuka lebar-lebar. Hampir copot rasanya!
            Aku mengelus dadaku yang mendadak berdetak tak beraturan. Seperti ada aliran listrik yang menjalari tubuhku. Terlampau bahagia. Ya Tuhan, benarkah itu dia? Aku mengucek mataku beberapa kali.
            Kudekatkan wajahku ke kaca jendela, meyakinkan diri. Siapa tahu ternyata aku hanya bermimpi. Tapi … tidak, aku sama sekali tidak bermimpi! Aku benar-benar melihatnya. Sosok berbaju putih yang tengah duduk di bawah pohon sembari menenteng sebuah samurai. Juga tas ransel hitam yang terpasang di punggungnya. Aku melihatnya tertawa lepas bersama teman-temannya. Duhai, tawa Sakura itu …
            Aku sudah tidak mendengar suara Bu Nora lagi. Yang ada dalam pikiranku sekarang adalah dia. Hanya dia. Aku terus mengamatinya tanpa mempedulikan sekitarku. Kenapa dia bisa ada di sini? Batinku bertanya tak karuan.
            Berapa lama aku tak melihatnya? Ah, ku rasa hampir tiga bulan. Dan sekarang, dia ada di sini!
            “Tara, kamu dipanggil tuh!” Vita menyikut lenganku.
            “Ha?”
            “Kamu dipanggil Bu Nora! Beliau sedang mengecek presensi kelas,” jelas Vita.
            “Tara Afidha?” Bu Nora tampak tak sabar.
            “Hadir, Bu!” aku buru-buru mengacungkan tangan.
            Bu Nora menatapku dengan sebal, lalu kembali menatap presensi yang dipegangnya. Aku lalu melemparkan pandanganku ke luar jendela lagi. Tapi … dia tak ada! Ke mana dia? Kuedarkan pandanganku ke segala arah, tapi sosoknya tak juga muncul. Aku menelan ludah. Kecewa.
***
            “Ooo … jadi itu yang membuatmu bahagia hari ini?” Rere tersenyum.
            Aku mengangguk. “Benar-benar tidak ku sangka.”
            “Lalu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” tanya Rere.
            “Maksudmu?”
            “Hhh … maksudmu, sampai kapan kau akan terus begini?”
            “Entahlah.” Aku menggeleng.
            “Aku tahu bagaimana perasaanmu. Pasti kau bingung sekali. Memangnya kau tidak ingin dia tahu?”
            Lagi-lagi aku menggeleng. “Tidak. Lagi pula, untuk apa?”
            “Lah, siapa tahu gayung itu bersambut.”
            “Hahaha, kau ini ada-ada saja. Sudahlah, biarkan aku aku sendiri yang merasakannya. Kau tahu? Cinta sejati adalah melepaskan. Ya, melepaskan sejauh mungkin, bukan memborgolnya dengan perasaan yang kita miliki. Lepaskanlah … sejauh-jauhnya … karena Tuhan pasti telah merancang semua alur itu. Biarkan saja dia pergi. Jika Tuhan memang berkehendak sesuai dengan apa yang kita inginkan, maka dia akan kembali dengan sendirinya …”
            “Halah, kau sok puitis!”
            Aku hanya tertawa.

*bersambung dulu deh*

Jogja, Rabu 26 September 2012.
Pukul 20.18 WIB

.

No Comments »



Tuhan, aku lelah.
Aku ingin sendiri, kali ini saja.
Berdiam diri di dalam kamar, menikmati sepi ini seorang diri.
Tuhan, aku tidak mau ke mana-mana.
Tidak ke kampus atau ke mana pun.
Hanya ingin menghilang sejenak.
Boleh, kan?

Antara Kugy dan Aku (?)

No Comments »


Beberapa detik yang lalu, aku baru saja kelar membaca novel Perahu Kertas karya Dee. Jujur, ini adalah karya Dee yang pertama kali aku baca, hehehe. Ketika pertama kali membuka halaman awal, perasaanku biasa aja, bahkan nyaris bosan dengan cerita yang rada bertele-tele. Tapi begitu mencapai 1/4 buku, aku gak bisa berhenti baca. Bagai orang kesetanan, seharian ini aku nyempet-nyempetin waktu buat baca. Bahkan pas matkul kritik sastra tadi, aku malah ayik baca sambil sesekali merhatiin anak-anak yang lagi presentasi, hehe. Tapi untunglah otakku masih bisa mencerna dengan baik penjelasan Pak Rudi ketika memaparkan pendapat bla bla bla ...
Perahu Kertas. Sebuah novel yang lagi booming dan bikin aku penasaran akhir-akhir ini. Untunglah, si Budi beli tuh novel, jadi aku bisa minjem, hahaha. 
Pas baca tuh novel, gak tahu kenapa aku ngerasa kalo Kugy itu 'gue banget!'. Hahaha, bukan sok nyamain ato gimana, tapi yah ... begitulah adanya. Dan perasaan itu lah yang bikin aku bertahan berjam-jam ngejogrok di kamar buat baca novel. Membaca kisah Kugy kok rasa-rasanya kayak ngaca pada diri sendiri.
Kugy yang doyan makan apa aja, itu gue banget. Sama seperti Kugy, aku bisa menghabiskan beberapa porsi makanan sekaligus kalo lagi kalap. Paling demen kalo ditraktir temen pas dompet kosong, hahaha. Juga selalu cuek bebek kalo ada yang komentar ,"Lo makan apa kesurupan?". Ya, itulah saya.
Kugy yang cuek dan rada gila, juga sama sepertiku. Penampilan kugy yang nyaris kayak gembel juga gak jauh beda (dulu). Sekarang, errr ... agak mendingan lah ya. :D
Kugy yang demen berkhayal. Bedanya, dia seneng nulis dongeng, sedangkan aku seneng nulis 'dongeng' kehidupanku sendiri, yang sampe sekarang tersimpan rapi di dokumen laptop, jadi koleksi pribadi.
Kugy yang memendam perasaannya selama tiga tahun pada Keenan, sahabatnya. Eh, ini sama gak ya? Hahahaha, abaikan saja lah, ga penting bagian ini -_-
Kugy yang perang dingin dengan Noni, sahabatnya sejak kecil. Tidak tanggung-tanggung, peperangan itu berlangsung selama 3 tahun. Berawal dari Kugy yang selalu menghindar dari Noni, Keenan, dan Eko karena dia gak sanggup melihat Keenan dicomblangin sama Wanda. Puncaknya, Kugy memilih tidak datang ke pesta ulang tahun Noni karena gak mau ketemu Keenan dan Wanda.
Pada bagian inilah, mulutku rasanya tercekat. Bukan ... kisah cinta mereka sama sekali gak mirip denganku, tapi pertengkaran Kugy dan Noni yang bikin aku terdiam lama. Lama ... sekali. Ada segumpal awan hitam yang mendadak mampir di mataku.
Persahabatan dua anak manusia yang sangat indah, namun harus berantakan karena sesuatu yang ... ah, aku gak bisa berkata-kata. Rasanya ... melihat perang Noni dan Kugy seakan membawaku pada serpihan masa lalu. Ya, persahabatan yang pecah gara-gara keegoisan masing-masing.
Berapa lamakah hal itu berlangsung? 4 tahun? 5 tahun? Entahlah. Yang ku ingat, aku tak pernah lagi melihatnya sejak 'peristiwa' itu.
Di mana dia sekarang?
Aku tak tahu.
Sehatkah dia?
Aku tak tahu.
Semakin cantik kah dia?
Aku tak tahu.
Apakah dia masih seceria dulu?
Aku tak tahu.
Masihkah dia membenciku?
Aku tak tahu.

"Aku rindu," hatiku berbisik pilu.

Rasanya, aku ingin semua ini berakhir seperti Kugy dan Noni yang dipertemukan dengan cara yang tak disangka-sangka, saling berpelukan, saling memaafkan ...
Yah, mungkin aku memang perlu menghanyutkan perahu kertas ke laut seperti Kugy, siapa tahu Neptunus berbaik hati melayarkan perahu itu ke hadapan dia. Dia, sahabatku ....


*tak sanggup menulis lagi*




Jogja, 19 Oktober 2012
Pukul 03.03 WIB



:P

No Comments »

Keluarga bahagia :D

Posted by Picasa

:)

No Comments »

Kau tahu siapa mereka?
Ya, mereka adalah kakakku. Foto ini diambil ketika mereka baru saja melangsungkan akad pernikahan lho ... :D
Yang pake kerudung merah marun itu namanya Mbak Merry, kalo yg pake kaca mata itu namanya Rokhim.
Ewww ... kapan2 akan kutuliskan kisah kami yang sangat ajaib!

Posted by Picasa