Archive for 2015

Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #5

Baca selengkapnya » | No Comments »

Satu-satunya hal yang ada dalam pikiranku ketika Mas Pencit menghilang adalah ucapan mas-mas gondrong pas ngasih petuah. Biasanya para pendaki suka lupa diri kalau turun dari puncak. Saking senengnya main perosotan sampai ga fokus sama medan, tahu-tahu udah nyasar aja. Dulu pernah ada yang nyasar, pas ngelewatin area Blank 75 dia nggak fokus, dikiranya jalan lurus padahal ngarah ke kanan. Sampai akhirnya dia jatoh di jurang sebelah kanan itu. Dua hari dia bertahan tanpa bekal apa pun. Dan anehnya, pas tim SAR nyari ke sana, dia nggak ada. Kalian tahu dia ke mana? Dia tiba-tiba aja pindah ke sekitaran jurang sebelah kiri. Percaya nggak percaya, ada yang mbopong dia ke sana.
Dan sekarang, aku sedang turun, sendirian! Aku bergidik sendiri. Baru kali ini aku berada di gunung sendirian, tanpa melihat manusia satu ekor pun. Rasanya … hmm, jangan kautanyakan. Pada sebuah turunan, kuhentikan langkahku. Perutku bergolak kian beringas. Kebelet pipis, sudah tak tahan lagi! Duh, pipis, nggak, ya? Mana nggak bawa tisu basah lagi! Bingung melanda seketika. Kutengok ke belakang, jelas nggak ada orang. Kanan-kiriku pun kosong melompong. Tempat ini terlalu terbuka. Gimana kalau ada penunggunya? Gimana kalau penunggunya nggak suka sama aku?
Alamaaaaak! Tapi aku sudah tak tahan lagi. Kalau aku tetap maksain turun dengan beban yang sudah di ‘ujung’, bisa-bisa aku ngompol. Oh, tidak. Baiklah. Aku lantas turun beberapa langkah, mendekati sebuah batu seukuran lemari empat pintu. Sambil komat-kamit “Maaf, ya … aku sudah nggak tahan. Tolong jangan ganggu, aku nggak aneh-aneh kok!”, kuselesaikan ritual mendebarkan tersebut. Setelahnya, aku kembali tolah-toleh. Sedetik kemudian, lariiiii! Ya, aku turun sambil berlari gegara bergidik.

Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #4

Baca selengkapnya » | No Comments »


"Ada macaaaan!"
“Macaaan!”
“Macaaan!”
Kalimati yang semula tenang dan damai mendadak ramai. Di luar tenda, orang-orang berteriak ketakutan. Sontak aku terjaga dan merasakan tubuhku merinding luar biasa. Aku tidak berani keluar tenda meskipun orang-orang menyuruh mengosongkan tenda. Badanku kian panas dingin setelah menyadari bahwa Mas Pencit dan Mas Pleir tidak ada di tempat. Semakin lama, auman macan terdengar semakin nyaring. Kata mas-mas gondrong ketika memberikan briefing, di Kalimati memang ada macan yang suka keliaran, tapi di Sumber Mani, bukan di tempat ini. Aku kian ketakutan. Angin berembus kencang. Seorang kakek tua berbaju serba putih tiba-tiba masuk ke dalam tenda. Matanya tajam menatapku.
“Kamu lolos!”
“Ap… apa?”
“Kamu dapat melanjutkan perjalanan sampai akhir.”
Kemudian ia menghilang. Jantungku berdegup kencang. Apa yang barusan kulihat? Aku mengucek mata berkali-kali. Auman macan itu kini tak terdengar lagi, berganti suara berisik orang-orang.
“Iku arek-arek Jember gak digugahi ta? Tendane sepi banget!”
“Oiiii, Mbak Jember! Mas Jember!”
“Wis-wis, jarne. Mungkin mereka summit-nya masih nanti.”
“Oke, kita berangkat!”
“Semangat! Kalau ada yang capek, ngomong. Ingat, tujuan utama kita bukanlah puncak, tapi pulang dengan selamat!”
“Ya! Semangat!!”
Kemudian teriakan-teriakan itu menghilang bersamaan dengan langkah kaki mereka. Aku mengerutkan kening. Kenapa suasananya jadi beda begini? Aku mengucek mataku sekali lagi. Dan alangkah terkejutnya aku ketika mendapati Mas Pencit dan Mas Pleir tengah molor dengan santainya. What the hell, ternyata suara macan dan kakek tua tadi tadi beneran ada. Beneran ada dalam mimpi, maksudnya.
“Mas! Mas!”
“Hm?”
“Pukul berapa sekarang?”
Mas Pencit bangun dari tidur, menyalakan senter, lantas melihat jam tangannya. “Pukul 22.45 WIB. Ya ampun, ternyata tadi kita nggak pasang alarm.”
“Tadi mas-mas tenda sebelah pada tereak kenceng banget, makanya aku bangun. Untung ada mereka,” ujarku, lantas melanjutkan dalam hati, untung ada suara macan dan kakek tua juga.

Mas Pleir kemudian bangun. Sambil mengucek mata, ia mengambil nesting berisi nasi dan sarden di pojokan tenda. Mas Pencit langsung bikin minuman hangat. Sambil makan, kami mengobrol. Sebenarnya aku sangat malas makan, tapi tetap kupaksakan karena tubuhku butuh energi yang cukup untuk menempuh perjalanan selanjutnya. Apalagi seharian tadi aku hanya mengunyah beberapa butir kentang dan apel. Aku tidak mau pingsan di tengah jalan gegara kurang makan.
“Berangkat pukul berapa kita?” tanyaku lagi.
“Pukul 12, ya. Santai, masih lama.”
Setelah makan, kami memeriksa kembali perlengkapan summit. Headlamp, jaket, air, dan cemilan. Meskipun Mas Pencit sudah membawa air yang lebih dari cukup, tapi aku tetap jaga-jaga dengan membawa sebotol kecil air. Tak lupa pula mengantongi dua batang cokelat silverquuen. Setengah jam kemudian, kami pun keluar tenda.

Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #3

Baca selengkapnya » | No Comments »

Minggu, 18 Oktober 2015

“Ngapain kamu di sini?” aku terkaget-kaget melihat sosok itu tiba-tiba masuk ke tenda.
“Aku nggak mungkin biarin kamu sendirian lah,” jawabnya dengan cuek, tapi berhasil membuat pipiku memanas.
“Gimana bisa kamu ada di sini? Kok kamu bisa tahu kalau aku di Semeru?”
“Rahasia,” lagi-lagi ia menjawab dengan gaya menyebalkan.
Aku memanyunkan bibir. Dongkol sekaligus penasaran, bagaimana mungkin bocah nyentrik itu tahu-tahu ada di sini. Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, ia keluar tenda. Aku buru-buru menyusulnya, tapi …
“Adaaaw!” aku merutuk. Ujung jilbabku tersangkut resleting tas!
“Kenapa, Mbak?”
“Ha?”
“Ada apa, Mbak?”
“Ha?” aku bingung. Semakin bingung setelah mendapati diriku terbungkus sleeping bag dengan posisi ndusel-ndusel Mbak Fai dan Mbak Nisa. Ke mana bocah nyentrik tadi? Aku buru-buru bangun. Di luar sana terdengar suara orang-orang yang meributkan sunrise. Barulah aku sadar apa yang sebenarnya terjadi. Ngebo selama 9 jam ternyata menghasilkan mimpi yang ra cetho tapi membuatku senyum-senyum sendiri. Aku lantas mengusap wajah berkali-kali. What the hell, ada apa denganku. Sebelum pikiranku makin nggak waras, aku lalu menunaikan sholat Subuh. Usai sholat, aku merasakan ada yang mendesak-desak di dalam tubuh. Kebelet pipis.

Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #2

Baca selengkapnya » | No Comments »

Sabtu, 17 Oktober 2015

Udara dingin basecamp Ranupani membangunkan tidur kami pagi itu. Sambil menahan dingin campur kantuk campur lelah perjalanan, kami keluar tenda dengan bermalas-malasan. Satu per satu pendaki yang semalam gluntungan di lantai pun mulai bangun. Tenda-tenda yang berjajar di sebelah kami juga telah menampakkan aktivitasnya. Setelah sholat Subuh, kami segera menyiapkan sarapan. Loket baru akan dibuka pukul 8 nanti. Rencananya kami akan mulai mendaki pukul 9-an biar abis Duhur udah bisa ongkang-ongkang kaki di Ranukumbolo, istirahat sejam dua jam, lalu lanjut jalan ke Kalimati tapi kok kayaknya nggak mungkin.
"Mau bikin apaan?"
"Kopi."
"Energen"
"Nggak usah bikin nasi, ya? Di Ranukumbolo aja bikinnya."
"Iya. Makan mie aja lah."
"Sakarep wes. Aku nggak biasa sarapan juga."
Kami ribut bongkar-bongkar perbekalan. Akhirnya, kami pun bikin mie instan sebagai pengganjal perut pagi itu, ditemani kopi dan energen. Sebenarnya mie instan sangat nggak disarankan buat nggunung, tapi mau gimana lagi, kami terlalu mager buat masak yang agak ribet. Hahaha. Selesai makan, kami segera bongkar tenda dan menata ulang barang-barang yang berserakan di lantai. Dari tempat kami berdiri, tampak bukit-bukit indah berjajar di kejauhan sana. Aku berdecak kagum, setengah tidak percaya bahwa pagi ini berada di sebuah tempat yang kuimpikan sejak dulu: Mahameru. 
"Dari mana, Mbak?" seorang mas-mas bercarrier hitam menyapaku yang tengah bengong menatap kejauhan.
"Eh? Dari sini aja, Mas. Hehe," aku meringis.
"Di sini itu di mana?"
"Jember, Mas. Samean soko ngendi?"
"Ooo... Jember, tho. Saya dari Wonosobo. Sering ndaki, Mbak? Anak Mapala?"
"Hahaha, bukan, Mas, cuma suka jalan-jalan aja."
"O, kirain. Ngomong-ngomong, ndaki pake rok emang nggak ribet?" Mas-mas itu menatap sekilas rok cokelat yang kupakai.
"Enggak, kok, Mas," jawabku sambil meneruskan dalam hati, nggak tahu ribet apa kagak, orang baru pertama kali juga.
"Yowis, ati-ati, Mbak. Aku duluan, ya. Rombonganku udah mau jalan, nih. Sampai ketemu di sana!" Mas-mas itu melambaikan tangan sambil berlalu dari hadapanku.
"Oke, Mas!" aku balas melambaikan tangan. 

Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #1

Baca selengkapnya » | 2 Comments »

Kamis, 15 Oktober 2015


"Nduk, kamu bawa power bank nggak pas di gunung nanti?" Bapak tiba-tiba nongol di ambang pintu kamar.
Aku yang saat itu sedang berkemas-kemas sontak mendongak sembari menaikkan alis. Heran campur geli. "Bawa. Kenapa?"
"Ya buat nge-charge hape. Di sana beneran nggak ada sinyal, ya?" tanyanya lagi.
Aku semakin ingin ngakak. "Palingan di basecamp doang, Pak."
"Nanti kalau sudah mau naik kabarin, ya."
"Hmmm..."
Bapak kemudian berlalu dari hadapanku. Aku tercenung sesaat. Pertanyaan Bapak barusan benar-benar membuatku geli. Bagaimana tidak? Doi udah sering merambah alam liar, bro! Tidak terhitung berapa kali doi *pssst, aku menyebutnya "doi" karena Bapakku gaul sekali* pergi ke alam liar berhari-hari tanpa sinyal. Sebagai seorang pembina ekskul Pecinta Alam yang sering nemenin murid-muridnya ekspedisi ke mana-mana, doi pasti tahu kalau di pedalaman sana nggak ada tower. Hahaha. Yeah, kukira ini adalah bentuk kekhawatiran seorang Bapak kepada anak. Padahal, ini bukan sekali dua kali aku berpamitan untuk naik gunung. Mungkin karena kali ini aku pamitannya di rumah, jadi lebih kerasa gitu (?). Yeah, FYI aku baru dua hari pulkam dan besoknya langsung pamit ke gunung. 
"Nduk, segini cukup, nggak?" Ibu masuk ke kamar sembari membawa dua kresek beras, sekresek apel, sekresek jajanan, dan sekresek kentang. 
Aku melongo. "Maaaaak! Ini kebanyakan!"
Hahaha. Duh, Gusti. Begini, ya, rasanya kalau mau mbolang dari rumah. Nggak usah khawatir logistik karena ibuku sudah pasti akan menjejali carrier-ku dengan beraneka ragam makanan. Beda banget kalau lagi di Jogja, mau beli ini-itu musti dipikir mateng-mateng.
"Lha kalau nanti kamu kelaparan gimana?"
"Haha, ora...ora! Temenku, kan, banyak..." aku lagi-lagi terkikik geli. Setelah ibuku pergi, aku menata ulang barang-barang yang akan kubawa mendaki. Barang yang sekiranya nggak penting buru-buru kusingkirkan. SB, baju ganti, kaos kaki, masker, headlamp, senter, kacamata item, dan logistik kumasukkan satu per satu ke dalam carrier berkapasitas 45L. Fiuh, selesai juga.

WIS-UDAH!

No Comments »


Long time ago….

“Nanti wisudaan bareng, yuk!”
“Gimana caranya? Kamu di Jogja, aku di S***. Wisuda di Klaten gitu? Haha!”
“Ya enggak lah. Terlalu mainstream kalau wisudaan di kampus. Kita wisudaan di gunung aja gimana? Nanti kita bawa toga masing-masing abis wisuda resmi di kampus, terus mendaki bareng!”
“Haha! Ya, ya, ya. Kelarin dulu lah skripsinya!”
“Iya, yuk semangat ngelarin skripsi!”

Dan semua pun berjalan tidak sesuai rencana. Tidak ada saling bertukar kabar perihal pendadaran alias sidang skripsi. Tidak ada wisuda bareng di puncak gunung atau semacamnya. Tegur sapa pun lenyap termakan waktu. Ya, waktu yang membekukan kami. Hingga saat ini…

Lantas, bagaimana dengan persiapan wisuda? Yah, nyaris hancur. Kapan-kapan lah jika ada waktu akan kuceritakan tentang malapetaka yang menimpaku di hari wisuda. Singkat cerita, setelah dinyatakan lulus dengan nilai maksimal, aku segera mengontak temen-temen cowok untuk menemaniku mendaki. Kenapa cowok? Ya, karena aku nggak punya temen cewek yang bisa diajak naik gunung, hahaha! Seminggu sebelum wisuda, tahu-tahu para lelaki itu mundur teratur dengan alasan A sampai Z. Aaaaaargh! Aku hampir menyerah. Mamat yang biasanya selalu nyanggupin lagi KKN, Mas Riyan pun udah gantung carrier alias nggak mendaki lagi. Di tengah kebingungan itu, aku scroll IG dan tetiba nemu postingannya si Mukmin. Makhluk ini! Ya ampun, aku baru ingat makhluk ini doyan naik gunung! Bagaikan nemu air di padang pasir, aku segera mengontaknya.  FYI, aku sudah lamaaaa banget nggak ketemu dia. Ada kali 2 tahunan, hahaha! Dulu kami kenal di acara IMM dan kebetulan kami jadi panitianya gitu. Nggak tahu diri banget dah, sekalinya ngontak langsung ngajak main :v. Untungnya doi mau. Sumpah, you’re my guardian angel, Min! Hoahahaha! XD
Menjelang hari H, temen SMA-ku si Hirma tahu-tahu ngabarin kalau dia bakal ke Jogja bareng si Binawan a.k.a Jemban. Oiiii, akhirnya dia luluh juga dengan rayuanku! Seneng banget bisa mendaki bareng. Malam hari setelah wisuda yang ampun-capek-banget-sumpah, aku menerima kabar duka: Merbabu kebakaran. Innalillahi. Setelah mengontak Mukmin, kami pun sepakat untuk pindah lokasi ke Gunung Merapi. Sejujurnya kondisiku saat itu agak-agak kurang fit. Ada sesuatu mengganjal di tubuhku yang nggak bisa kuceritakan di sini. Tapi melihat Hirma dan Jemban yang udah semangat angkat carrier sampai Jogja, aku pun memotivasi diriku sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.
Sabtu 22 Agustus 2015, aku, Hirma, Yepi, Jemban, dan Ipo meluncur ke UMY buat jemput si Mukmin. Kenapa tiba-tiba ada tokoh tambahan Yepi dan Ipo? Yeah, Ipo lagi pengen motret Merapi dari dekat gitu katanya, trus ditemenin Yepi. Nyampe UMY kira-kira jam 3 sore setelah diselipi nyasar dan ketiduran di lampu merah. Sumpah nggak enak banget sama si Mukmin telatnya bisa selama itu. Ya gimana, ada hal-hal di luar dugaan terjadi begitu saja. Setengah 4 sore, kami pun meluncur. 3 jam kemudian, sampailah kami di basecamp Merapi. Dinginnya malam menusuk kulit. Setelah melaksanakan kewajiban sholat, kami pun menuju basecamp untuk mendaftar. Hal yang nggak terduga selanjutnya terjadi: Ipo pengen ikut mendaki! Oiiii, sejujurnya aku panik dan membayangkan hal yang tidak-tidak. Anak ini tidak ada persiapan apa pun, fisik maupun mental. Kalau si Yepi mah bodo amat, dia udah biasa nanjak. Tapi entah karena dorongan apa, dia nekat ikut.
“Min, gimana nih? Tenda kan cuma isi 4 orang?” aku melirik Mukmin.
“Rapopo. Ajak wae.”
Baiklah, nambah personil 2. Ipo dan Yepi. Pukul 8 malam, kami memulai pendakian setelah berdoa bersama. Untuk menuju Plang Merapi, kami melewati jalanan beraspal dan jalan setapak yang cukup menanjak. Seperti biasa, aku ngos-ngosan di awal dan berhenti beberapa detik untuk mengatur napas. Ipo berkali-kali minta berhenti, haha! Diam-diam aku bersyukur dia ikut. Lumayan, ada yang dibully sepanjang jalan. :P
Perjalanan dari Plang Merapi menuju Pos 1 memakan waktu yang cukup lama. Kalau dari hitungannya si Mukmin kira-kira 1-2 jam, tapi rupa-rupanya nambah sejam, hehe. Di Pos 1, waktu menunjukkan pukul 11 malam dan kami pun memutuskan untuk berhenti sejenak. Gile, dingin banget. Aku berkali-kali menggosokkan telapak tangan, lalu menempelkannya ke muka. Nggak ngaruh, tetep aja dingin. Akhirnya kami pun kembali mendaki. Trek di Merapi didominasi oleh bebatuan terjal dan tanah yang super licin. Jangan mengharapkan bonus di tempat ini. Di tengah perjalanan, aku tiba-tiba teringat ucapannya si Mamat. Dia bilang, “Pokok’e, Mbak, nek samean wes tekan Merapi bakalan ringan neng gunung liyane. Dalane marai ampun-ampunan! Hahaha!”. Yeah, aku sudah membuktikannya. Trek menuju Merapi bisa dibilang trek paling sulit yang pernah kulewati. Jika di Merbabu aku bisa bersantai gegara banyak jalan datar, tidak di gunung ini. Nanjak terus sampek mblenger, hahaha! Aku baru ngeh ketika Mukmin nyuruh aku beli kacamata item dan bodohnya aku malah beli kacamata pantai. Yep, banyak debu beterbangan yang enggak sengaja kumakan akibat treknya yang horror itu. Apalagi aku pake running shoes. Bego sih, tapi gimana lagi, adanya itu. Mau beli sepatu gunung tapi belum ada rezeki, heuheuheu. Nanti lah kalau sudah keluar dari zona pengangguran ini, aku bakal nyicil sembari nunggu pangeran berkuda putih ngasih mahar seperangkat peralatan gunung dan novel Pramoedya Ananta Toer dibayar tunai!
“Mbak, capek! Aku sudah nggak kuat lagi!” Ipo tampak ngos-ngosan.
“Oke, break dulu,” kataku.
Aku lantas mencari tempat untuk menyandarkan punggung. Sementara itu, Hirma dan Yepi melanjutkan perjalanan. Tepatnya nyariin si Jemban sih. Dia ilang entah ke mana. Hirma yang paling khawatir. Meski dia cerewetnya naudzubillah, dia tetep aja panik kalau ada apa-apa dengan partner rusuh bernama Jemban. Aku curiga, jangan-jangan mereka berjodoh di masa depan. HAHAHAHA!
Sembari menyandarkan punggung, aku menatap Gunung Merbabu yang tampak samar-samar di depan sana. Diam-diam aku tersenyum pahit. Teringat sebuah kebodohan yang pernah kulakukan di puncak gunung itu.
“Ayo, lanjut! Kalau diem lama-lama nanti hiphotermia loh!” Mukmin mengingatkan.
Aku menatap Merbabu sekali lagi, lantas kembali mendaki. Entah pergi ke mana rasa lelah itu. Tiba-tiba kaki terasa ringan. Padahal sebelum menuju Pos 1 perutku sempat kumat. Ipo malah sebaliknya. Dia tampak sangat lelah, mukanya pucat pasi. Rencananya kami akan nge-camp di Pasar Bubrah, tapi melihat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, kami pun mendirikan tenda. Saat itu pukul setengah 2 pagi. Total perjalanan 2 Pos sekitar 6 jam. Buset, lama juga ternyata. Untunglah, tendanya Mukmin bisa muat 6 orang. Sedari awal sebenarnya aku sudah ketar-ketir. Fiuh.
Dini hari itu, aku benar-benar tidak bisa tidur. Aku merasa dinginnya Merapi 10x lipat dari dinginnya Merbabu. Meski SB sudah kurekatkan, tapi tetap saja aku menggigil. Gigiku bergemeletuk. Antara sadar dan tidak, aku mengigau. Entah teman-teman mendengarnya atau tidak. Aku hanya merasa dingin luar biasa. Jantungku berdegup sangat cepat. Tidurku sama sekali tidak nyenyak. Setelah sholat subuh, aku baru sadar kalau bajuku basah. Satu kata: bodoh. Pantas saja dinginnya luar biasa. Untung aku nggak mati. Begitu keluar dari tenda, aku melihat pemandangan yang luar biasa indah. Golden sunrise! Di depan tenda, tampak lautan awan dan matahari yang menyembul pelan-pelan. Sementara itu, di belakang tenda, tampak lautan awan dan puncak gunung kembar. Setelah mengambil camdig dan toga, aku pun mencari spot terbaik untuk foto, hahaha! Sabodo amat dengan orang-orang yang ngeliatin, pokoknya aku kudu wisuda di gunung! Ini adalah impian sejak lama, sampai-sampai aku nggak tertarik untuk foto gaya lain. Fokusku cuma wisudaan di sini, haha!
Setelah puas menikmati pagi, kami lanjut menuju Pasar Bubrah. Ipo nggak ikut. Terkapar di tenda. Perjalanan dari Pos 2 ke Pasar Bubrah nggak terlalu jauh. Kalau jalan cepet macem Mukmin mungkin setengah jam udah nyampe kali ya. Aku jalan paling belakang. Sengaja. Aku jalan pelan banget. Berkali-kali aku menoleh ke belakang, memandangi Gunung Merbabu yang Masya Allah indah sekali. Rasanya aku ingin sekali duduk lama di bebatuan, lalu menatap keindahan alam sepuasku. Saat itu aku benar-benar nggak peduli dengan puncak yang telah menewaskan Eri Yunanto. Aku hanya ingin duduk dan diam. Tapi melihat teman-teman yang sudah menunggu di atas, aku pun melanjutkan perjalanan.
“Mau naik nggak?” Mukmin menunjuk puncak Merapi.
“Berapa lama?”
“Sejaman. Tapi nek koe paling sejam setengah.”
“Aku takut nggak bisa balik e.”
“Weeee, ya aja ngomong ngunu!”
“Nggak, bukannya gitu. Fisikku lagi nggak baik, takut pas baliknya malah ngerepotin kalian. Apalagi Yepi, aku males diomelin.”
“Hahaha, ya udah deh.”
Setelah foto bareng anak-anak, aku kembali menengok puncak Merapi. Ingatanku lantas menuju percakapan beberapa bulan silam. Seharusnya, sekarang kamu ada di sini. Menemani perjalananku. Kupejamkan mataku rapat-rapat sembari merapalkan sebuah kalimat. Forgive and forget, just for Allah. Aku terdiam. Lama sekali. Aku benar-benar ingin ‘menyelesaikannya’ di sini. Setelah itu, barulah aku turun mengikuti anak-anak. Entahlah, saat itu aku sama sekali tidak berminat untuk mengambil foto seperti biasanya. Camdig-ku kutaruh saku. Aku berjalan pelan sembari menikmati pemandangan. Terkadang aku merasa, nikmatnya perjalanan terasa kurang jika terlalu banyak foto-foto. Entah mereka merasakannya atau tidak. Saat itu, sungguh aku ingin sekali mencari tempat sepi lantas duduk diam menikmati terpaan angin.
Sesampainya di camp, kami istirahat sebentar. Keadaan Ipo sudah membaik dan dia kelaparan. FYI, pas kami tinggal, dia nangis. Pas kutanya kenapa, katanya dia kangen kasur. Huahahaha! Kami lalu memasak di tempat yang cukup teduh. Dengan menu mie goreng campur mie kuah yang rasanya amazing plus sayur sop plus sosis, kami menikmati makan siang. Pukul setengah satu, kami berkemas-kemas dan pulang.
Perjalanan pulangnya amazing sekali, saudara-saudara. Pas turun, jempol kaki rasanya kek mo patah buat nahan diri biar nggak jatoh. Yepi, Hirma, dan Jemban udah duluan. Aku dan Mukmin di belakang nemenin si Ipo yang ngeluh muluk. Antara kasihan campur lucu melihat tampangnya yang tersiksa banget.
“Mbak, masih lama ya? Capek…”
“Mbak, aku udah nggak kuat!”
“Mbak, mana Pos 1? Belum kelihatan!”
Gitu aja terus sampai dia capek ngomong. Di perjalanan menuju basecamp, aku dan Ipo jalan paling belakang. Beberapa kali kami ngglundung dan ngesot-ngesot gegara nggak bisa nahan keseimbangan. Entah di turunan yang mana, kakiku terantuk batu besar dan aku pun jatuh. Ngglundung mengenai mas-mas pendaki yang mau naik.
“Eh, nggak papa, Mbak?”
“Nggak papa, Mas. Hehe hehe.”
Padahal muka udah nyusruk kena tanah. Berasa pake masker! Aku dan Ipo lantas istirahat sebentar.
“Aku kapok naik gunung!”
“Hahahaha! Ojok ngono talah!” aku ngakak. Setelah sholat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Untunglah, jalanan sudah tidak sehoror tadi, walau kami harus tetap hati-hati. Ketika melihat pendaki lain lari-lari melewati kami dengan santainya, rasa-rasanya pengen banget ikutan lari. Tapi embuh lah, ujung-ujungnya kepleset juga. Haha.
Sesampainya di Plang Merapi, kami istirahat sebentar, lalu melanjutkan perjalanan. Saat itu sudah pukul 5 sore. Lebih lama dari perkiraan, haha. Dengan sisa-sisa tenaga, aku berjalan pelan-pelan sampai bertemu jalan setapak. Lega campur seneng rasanya. Oooooh, aku rindu jalanan mendataaaar! Walaupun jalanannya nggak datar-datar amat, paling nggak aku udah nggak  ketemu pasir yang bikin batuk sepanjang jalan. Pas nyampe basecamp, rasanya lega luar biasa. Sekitar pukul setengah tujuh, kami pun pulang dan nyasar, hahaha. Tapi tidak apa-apa. Perjalanan kali ini sungguh menyenangkan. Nggak nyangka bisa beneran nyampe Merapi setelah hampir menyerah gegara banyak yang ngebatalin. Walaupun setelah dari Merapi aku langsung drop (gegara penyakit X yang kurasain sebelum mendaki) dan lari ke IGD, aku nggak kapok kok, hahaha. Janji deh, habis ini jaga kesehatan biar nggak kumat-kumatan lagi. :v
Untuk itulah, beribu terima kasih kuucapkan untuk Mukmin yang mau-maunya kutodong ke Merapi setelah 2 tahunan nggak ketemu. Terima kasih banyaaaakkk sudah sudi direpotin bocah-bocah Jember cuwawak’an macem aku, Hirma, Yepi, Ipo, dan Jemban. Juga buat Hirma dan Jemban yang ngeluangin waktu buat menemani perjalanan indah ini *tsah. Buat Yepi dan Ipo? Ah, rausah. Hahahaha.
Pokoknya, kalian luar biasa. Sampai jumpa di perjalanan selanjutnya! :D :D :D


Yogyakarta, 29 Agustus 2015

Pukul 00.41 WIB


Hore-hore!
Selamat pagi, Merapi! :)
Tenda kami! :D
                                                                         
Wisudaaaa!




SEA GATE #1

No Comments »

Oiii oiii oiii!
Sawad dee Khaaa!
Kun sabai dee mai kha? :D *nggak tau ini nulisnya bener apa kagak, hahaha!

Duh, lama nggak nulis jadi kagok begini -___-
Oke, anggap saja ini adalah penebusan dosa gegara absen nulis entah sejak zaman kapan. Hahaha. Di beberapa postingan sebelumnya, aku berencana bikin tulisan perjalanan selama nutorin anak-anak Thailand. Di sana aku menulis kalau aku bakalan sering ngajak murid-murid Thailand apalagi yang ganteng  hahaha buat jalan-jalan. Niatnya sih nulisnya per minggu gitu, tapi apa daya, aku terperangkap dalam skripsi dan sidang dan pendadaran dan yudisium dan seterusnya, jadinya enggak sempet ngeblog. Hiks. Hiks.
Selama 2 bulan menjadi tutor teman-teman Thailand, sungguh ada banyaaaakkk sekali cerita seru! Aku mendapatkan teman-teman baru, pengalaman baru, dan tentu saja pemasukan baru, hahaha! :P
Terima kasih PSSAT sudah menerima saya menjadi bagian dari tutor periode ini. Sungguh saya merasa senang sekali. Jika nanti ada program lagi dan butuh tutor dan saya masih menganggur, bolehlah saya dipanggil kembali, heuheuheu. :v
Jadi, bagaimana rasanya menjadi tutor teman-teman Thailand? Oiii, nano-nao! Aku merasa sangat enjoy. Tiap hari dapat hiburan dari mereka. Entahlah, adaaaa aja kelakuan mereka yang bikin aku ngakak. Nanti akan kuceritakan lebih lanjut. Sekarang, emm, sebagai permulaan, aku akan memperkenalkan nama-nama tutor dan mahasiswa Thailand. FYI, mereka berasal dari Thammasat University. *lupa mau nulis di awal, mo ngedit keburu males* Oke, dimulai dari tutor! 

1. Mbak Nur
Sebenarnya doi nggak masuk jajaran tutor sih, tapi pengajar yang selevel di atas kami, hehe. Awal kenal Mbak Nur itu pas interview. Masih inget banget pertanyaan Mbak Nur dulu, "Kalau kamu punya waktu luang, kamu pengen ngajak anak-anak Thailand ke mana?" dan dengan santainya kujawab, "Ke mana pun motorku melaju, Mbak. Mungkin jam segini kubawa ke A, lalu ke B, lalu ke C, dll." Dan yeah, janjiku terpenuhi. Ada dua anak Thai yang akrab sekali denganku, kemudian kubawa ke mana-mana. Lainnya lebih suka ngemall sih, mo ngajak main panas-panasan jadi nggak enak -___-. Oiiii, ini kenapa malah ngomongin yang lain? Hahahah maap, Mbak Nur. Jadi, intinya Mbak Nur adalah pintu utama (?) yang mempertemukanku dengan teman-teman tutor dan teman-teman Thai. Mbak Nur asik, murah senyum, ceria, tapi entah kenapa ada beberapa anak Thai yang bilang kalau doi jahat menakutkan, hahahahaha!

2. Aditya Indra Nugraha (Adit), Antropologi.
Adit ini semacam sesepuh tutor yang jam terbangnya tinggi. Dialah pusat segala informasi dan keluhan selama proses ngajar. Ibaratnya, dia kek ketua kelas gitu lah. Kerjaannya ya ngoprak-ngoprak tutor, ngasih info, dan nyodorin presensi tiap abis nutor. Kalau ada apa-apa dengan mahasiswa Thai, dia ini yang cepat tanggap. Bravo, Dit! *uopoh* Oi oi, pertama kali berteman dengan dia di FB, hal pertama yang ingin kulakukan adalah unfriend dia gegara dia nongol di beranda dengan apdetan banyaaaakkk sekali foto jalan-jalan sementara saat itu aku lagi muntah gegara skripsi -______-

3. Herlina Endah Atmaja (Mbak Endah), Sastra Inggris.
Beberapa kali ketemu Mbak Endah di PSSAT, saling sapa, senyum, ngobrol, tapi baru ngeh kalau dia tutor setelah sebulan berjalan. Pekok emang, hahaha! Awalnya kukira dia ini pegawai PSSAT, habisnya ga pernah lihat dia ngajar tapi selalu papasan di lingkungan PSSAT. Oh, ya, kalau nggak salah Mbak Endah ini juga jadi pengajar di tempat lain, entah apa namanya aku lupa. heuheuheu, piss, Mbak!

4. Rachmat Aditya Hutama (Adit), Sastra Korea.
Ini Adit versi dua. Berbeda dengan Adit pertama yang selalu 'say hi' dan unjuk gigi di mana-mana, Adit yang ini bisa dibilang cowok kulkas yang selalu jadi perbincangan dua cewek Thai yang konon memperebutkannya, hahaha. Meskipun jarang ngobrol sama dia, tapi aku punya kenangan terindah bersamanya. Pada siang hari yang cerah, dari arah potokopian kampus, aku melihat Adit tengah berjalan bersama dua orang temannya. Kemudian kusapa, "Hei, Dit!" dan dia pun melenggang begitu saja. Entah suaraku yang kurang kenceng atau dia yang terlalu fokus sama jalanan, aku diabaikan dan diketawain temenku yang bilang "Elu sok kenal!"  -____-

5. Wahyudi Bagus Utomo (Yudi), Pariwisata.
Hal yang paling aku tahu dari dia adalah: dia sahabatnya Odeng, temen sejurusanku. Yudi ini anaknya gimana, ya? Jarang ngobrol, sih, tapi tampaknya dia amat dekat dengan Nook and the gang. Dia nutor cuma sebulan doang btw, jadinya belum terlalu tahu hehehe.

6. Budi Wahyono (Budi), Sastra Indonesia.
Skip ajalah. Sudah muak mendeskripsikan seonggok manusia yang sudah kukenal 4 tahun lamanya. :v

7. Ilfat Isro'i Nirwani (Nining), Sastra Indonesia.
Bye, Ning! Anda saya skip!

8. Ronal Sadam (Ronal), Sastra Indonesia.
Skip! Skip! Skip!

9. Herlinda Yuniasti (Linda), Sastra Korea.
Mbak-mbak asal Tubab ini cucok banget. Kalau mau belajar bahasa Korea, bergurulah padanya karena dia sudah pernah menginjak negeri Ginseng. Pertama kali kenal Linda pas jaman jadi panitia PPSMB, hehehe. Sama kek Yudi, dia nutor cuma sebulan karena kudu KKN. Oke, semangat KKN, Lin! Lekaslah cinlok dengan sesama anak-anak KKN atau pemuda desa. Hahaha!

10. Nur Alim (Alim), Antropologi.
Awal kenal Alim pas jalan-jalan di Prambanan. Aku baru nyadar kalau dia tutor pas mo pulang. Awalnya kukira dia anak SMA yang lagi jalan di Prambanan, eh ternyata dia masuk rombongan, hahahaha. Sori, Lim. Daya ingatanku memang rada-rada XD

11. Anis Yulia Kusumawati (Anis), Antropologi.
Pertama kenal si Anis pas lagi ngegosipin si Ronal bareng si Dian. Hahaha. Waktu itu kami lagi makan di restoran entah apa namanya, semeja, kemudian kami mendengar Ronal berkicau tiada henti dan kami pun merasa lelah~

12. Dian Nurlaili (Dian), Hubungan Internasional.
Sama seperti si Anis, awal kenal Dian pas makan semeja dan menggosipkan kelakukan Ronal, hahahaha~

13. Hidayat Samsul Hudaya (Hidayat), Ilmu Hukum.
Lupa-lupa ingat. Kayaknya dia berkacamata. Jarang nongol di PSSAT sih (atau akunya yang kurang berkeliaran? hahaha). 

14. Aldina Yebelanny (Dina), Pariwisata.
Tutor termuda. Selalu jadi korban bully temen-temen kalau lagi ngumpul atau kalau lagi chit-chat di grup. Suka mbribik cowok-cowok Thai, hahahaha. Piye, Din? Sudah ada yang jadi? XD

15. Maria Eva (Maria), Sastra Korea.
Pendiam. Kalem. Ramah. Murah senyum. Di antara semua tutor, tampaknya dia yang paling nggak banyak tingkah. 

16. Luthfi Fadhila (Luthfi), Ilmu Hukum.
Ketika melihat kelakukan Luthfi, entah kenapa aku seperti melihat Rengga (temen SMA) lagi reinkarnasi jadi sosok Luthfi. Hahaha. Anaknya rame, suka ngomong, suka ngontel ke mana-mana, dan konon mengagumi Seena (cowok Thailand) diam-diam. Huahaha, enggak ... enggak ... bercanda! XD



Yep, itulah nama-nama tutor SEA-GATE periode ini! :D
Lanjut besok lagi lah nulisnya. Saya lelah, sodara-sodara. Bye~


Dear, Skripsi. #2

2 Comments »

Seharusnya sore ini aku nggarap revisi, tapi entah kenapa tangan ini lebih tertarik ngeblog, haha. Sudahlah, semua akan menyelesaikan revisi pada waktunya. Saat ini aku hanya ingin menuliskan serentetan kisah *alah* perjalanan selama bergulat dengan skripsi. Jujur saja aku agak bingung harus mulai dari mana, karena yang kutulis ini bisa dibilang rekam jejak sebelum aku dinyatakan lulus dari kampus tercinta *tsah*. 
Jumat kemarin, 10 Juli 2015 pukul 12.00 WIB, merupakan hari yang paling mendebarkan sepanjang kuliah. Nggak bisa tidur, deg-degan, cemas, takut, parno, segala macam perasaan campur-aduk nggak karu-karuan. Hal yang paling kunantikan telah tiba: pendadaran alias sidang skripsi. Jadi begini, ya, rasanya. Tangan panas-dingin, gugup, macam orang jatuh cinta saja, haha. Kata teman-teman yang udah pada pendadaran sih santai saja, nggak bakal diapa-apain, dll. Tapi tetap saja aku panik dan was-was. Malam sebelum pendadaran, aku membaca skripsiku sekali lagi, memeriksa PPT buat presentasi, dan sesekali chattingan dengan teman-teman untuk menghilangkan kecemasan. Paginya, aku bangun dengan perasaan yang lebih ringan dari hari kemarin. Alhamdulillah.
Ternyata, pendadaran memang nggak seseram yang kubayangkan. Suasananya sangat santai, jadi aku tidak tegang sama sekali. Aku bisa presentasi dengan baik, menjawab semua pertanyaan penguji, dan mencatat semua saran dari mereka. Pendadaran hanya berlangsung satu jam. Voila! Berkah ramadan, berkah hari Jumat, berkah doa orang-orang, hehehe. Hari itu, Bu Novi sebagai Ketua Penguji, Bu Ningrum sebagai Penguji Utama, dan Bu Tuti sebagai pembimbing tumben-tumbenan enggak bertengkar. Menurut pengakuan teman-teman, mereka sering jadi macan ketika menguji mahasiswa. Hahaha. Alhamdulillah, aku bisa keluar ruangan dengan nilai maksimal, hal yang sama sekali nggak kuduga karena 3 bab terakhir kukerjakan dengan ugal-ugalan. Di blangko bimbingan aku memang menulis kalau proses pengerjaan skripsiku memakan waktu 5 bulan, padahal kenyataannya tidak demikian. Tidak selancar itu. Sungguh, godaan nggarap skripsi itu sangat banyak, mulai dari godaan ngetrip sampai godaan perasaan *tsah*. Maka dari itu, mungkin sore ini aku semacam bikin pengakuan dosa gegara banyak yang mikir kalau aku nulis skripsinya lancar kayak jalan tol. No, itu pembohongan publik. Aku yakin, setiap orang pasti punya suka-duka sendiri dalam menuntaskan peperangan dengan skripsi.  Baiklah, semua ini akan kumulai dari yang pahit-pahit dulu, karena apapun yang hanya manis di awal sangat menyesakkan hati, betul?


Desember-Januari-Februari (Bulan Nggembel Ugal-Ugalan!)

Seperti yang kubilang tadi, godaan terberat ketika nggarap skripsi adalah ngetrip. Aku adalah orang yang mudah bosan berlama-lama di suatu tempat. Aku bisa mati stres kalau menghabiskan waktuku hanya mendekam di kamar atau bolak-balik di tempat yang sama. Maka untuk mengatasi semua itu aku nggembel ke mana-mana. Kalau duit lagi banyak, ya, main ke tempat jauh. Kalau lagi cekak, ya, main ke tempat deket-deket aja, yang penting nggak di kosan mulu lah. Bulan Desember-Januari-Februari bisa dibilang sebagai bulan paling ugal-ugalan dalam agenda dolan. Dalam sebulan aku bisa naik kereta 2x, haha. Pada bulan Desember aku menghabiskan waktuku untuk menikmati indahnya Blue Fire di Kawah Ijen, menikmati padang savana di Taman Nasional Alas Purwo, dan hora-hore di Taman Nasional Baluran. Balik ke Jogja sebentar untuk ujian, kemudian nggembel lagi ke Banten dan Jakarta selama setengah bulan. Ketika teman-teman lain pusing dengan skripsinya, aku malah mblasak-mblasak di pedalaman Suku Baduy dan merasakan macetnya Jakarta yang bikin emosi sepanjang hari. Ketika kembali ke Jogja, aku mendapat panggilan dari ketua jurusan terkait proposal skripsi yang kuajukan sehari sebelum nggembel ke Banten. Saat itu, sebenarnya aku sudah ingin tobat dan fokus skripsi. Aku sengaja memilih dosen pembimbing yang konon galak dan disiplin tingkat dewa: Ibu Sugihastuti. Untunglah, beliau berkenan membimbingku. Aku pun mulai belajar fokus nggarap skripsi. 

Maret (Bulan Kembang-Kembang)

Emang nggak tahu diri, sudah untung dapat pembimbing yang telaten dan disiplin, aku malah nggleyor dan kabur-kaburan. Ada yang pernah dengar ungkapan "Ketika kamu jatuh cinta, kamu akan kehilangan kewarasanmu"?. Nah, barangkali itu yang aku rasakan saat itu. Seperti manusia normal lainnya, aku mengalami fase kasmaran macam ABG. Bisa dibilang, bulan itu adalah fase puncak *alah-alaaaah!* masa-masa yang kelihatannya membahagiakan. Senyum-senyum sendiri macam orang gila menjelang tidur, melakukan hal-hal konyol yang nggak aku banget, pokoknya nggak waras lah. Alhasil, nggarap skripsi nggak maksimal gegara otak dipenuhi hal-hal yang merah muda *aku kok kudu muntah pas nulis iki*. Ya, bulan itu aku mabuk berat lantaran ada seonggok manusia yang mengungkapkan hal absurd kepadaku. Sayangnya, saat itu otakku lagi nggak beres sehingga ucapan bernada khawatir dari teman-teman terdekat kuabaikan begitu saja.
"Kamu bukan jemuran lho, Ndi. Nek ora pasti mending guak wae!" kata Anggun dengan nada blangsak seperti biasanya.
"Lah? Lu udah deket dari zaman purba dan perkembangannya gini-gini aja? Pikirin lagi deh," kata Pitri yang udah pakar dalam urusan merah muda.
"Kalo nggak ada komitmen jelas, mending jangan diterusin deh!" kata Nining yang udah gedek banget.
Dan apa yang kulakukan? Menenggelamkan diri dalam ketidakjelasan. Konon orang yang lagi kasmaran nggak bisa mikir pake otak, mainnya perasaan mulu. Hell yeah, betapa bodohnya aku saat itu. Fix sepanjang Maret aku nggak ngadep Bu Tuti sama sekali. Ngilang. 

April (Tergoda Nggembel Lagi!)

Pada bulan itu, entah ada berapa banyak ajakan dolan dari orang-orang. Aku pun mulai mengiyakan ajakan mereka, padahal skripsi baru Bab 1 dan itu pun ada banyaaaak sekali revisi. Sesekali aku nggarap skripsi, tapi lebih banyak main di luar. Naik gunung lah, mantai lah, ke mana lah, jarang ndekem lama-lama di kosan pokoknya. Khilaf. Dolan terus. 

Mei (Mulai Tobat)

"Kapan lulus?", "Kapan wisuda?", "Skripsimu sampe mana?" adalah pertanyaan yang sering keluar seiring dengan menipisnya batas waktu menjadi mahasiswa. Jengah dengan pertanyaan-pertanyaan itu, aku pun mulai menyentuh skripsiku. Bab 2 kuselesaikan dalam waktu sebulan. Memang sangat lama, karena sejujurnya saat itu aku belum paham-paham amat dengan teori yang kuambil. Aku pun menghabiskan waktuku dengan membaca buku-buku teori yang tebelnya kayak bantal, kemudian melakukan tahap analisis. Akhir bulan, aku dan teman-teman sebimbingan melakukan seminar. One step closer, alhamdulillah!

Juni (Puncak Kegalauan)

Pada bulan ini, rasa-rasanya aku seperti bercermin pada teori-teori gangguan jiwa yang kupelajari. Sadar tidak sadar, aku tengah mengalami sebagian yang tertulis dalam teori itu. Hati remuk-redam. Retak berserakan. Baper. Alhasil, setelah seminar aku tak melakukan apa-apa. Ada sebuah peristiwa yang membuatku... ah, embuhlah. Berdiam diri di dalam kamar sembari memeluk boneka panda. Sungguh kelakuan yang nggilani tur ra mbois blas. Njelehi. Hih. 


Yah, kira-kira begitulah perjalanan dalam nggarap skripsi. Godaan dolan dan godaan perasaan adalah dua hal yang paling mendominasi. Sekarang, mari beralih ke hal-hal yang manis. Setelah peristiwa retaknya hati bersama kenangan yang tercecer di mana-mana, aku pun melakukan metode pertahanan ego ala Sigmund Freud berupa introyeksi. Sudahi dulu lah cengeng-cengengannya, toh urip ra mung ngurusi masalah perasaan yang what the hell banget. Setelah puas menghabiskan berliter-liter air mata, aku kembali menghadap skripsi. Konon, di balik kesibukan ada hal yang ingin dilupakan. Barangkali itu benar. Sembari berusaha amnesia dari peristiwa menyebalkan itu, aku mencari banyak kesibukan. Pertama, daftar jadi tutor mahasiswa-mahasiswa Thammasat Thailand. Voila, diterima! Sungguh, ini adalah kenikmatan tiada tara. Nutorin anak-anak Thailand selalu bikin aku ketawa setiap hari. Mereka sangat lucu. Kami berusaha saling memahami di tengah keterbatasan bahasa. Yeah, kemampuan bahasa inggrisku nggak bagus-bagus amat. Aku sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan mereka. Ini adalah pengalaman yang luar biasa. Kapan-kapan kutulis deh cerita selama nutorin mereka. 
Kedua, gabung sama Teater Es Campur. Lama nggak teateran bikin kangen juga ternyata. Insya Allah kami akan mentas di Taman Budaya Yogyakarta akhir September nanti. Ketiga, ikut Kampus Fiksi #12. Hal yang membahagiakan ketika ikut acara ini adalah ketemu penulis kece macem Agus Noer, ketemu penulis kocak macam Mbak Mini GK, ketemu Pak Rektor Kampus Fiksi a.k.a Pak Edi, ketemu mbak-mbak editor, dan teman-teman angkatan 12 yang kece abis. Banyak yang bilang kalau saat itu aku amat pendiam, kalem, dan kurang membaur. Maafkan aku, ya, gaes. Suasana hati memang lagi nggak baik saat itu, hahaha. 
Ketiga, bikin agenda ngetrip. Ya Tuhan, sungguh aku sudah sangat rindu angkat ransel! Rencananya, bulan Oktober nanti aku akan meninggalkan Jogja dan mulai mengembara. 
Keempat, nggarap skripsi. Hahahaha, ya ampun, kok seolah-olah skripsi jadi pelarian gini. Percaya nggak percaya, aku nggarap 3 bab dalam waktu 2 hari. Tanpa tidur. Begitu bab kesimpulan selesai kutulis, aku langsung pergi ke potokopian deket kosan. Tanpa sempat mandi, aku menemui Bu Tuti dan menyerahkan skripsi final. Seminggu kemudian, aku nekat mengajukan sidang. Dan begitulah akhirnya, aku menjalani pendadaran Jumat kemarin. Adalah hal yang sangat wajar ketika Bu Novi mengatakan bahwa analisisku kurang detail, lha wong aku garapnya cuman 2 hari! Hahaha! *semoga pengakuan ini nggak bikin nilaiku turun, pfffft*


Akhir kata, beginilah cerita perjalanan skripsiku. Pahit dan manis, ya, dijalani saja...lalalala....


bersama Ibu Tuti dan teman-teman seperjuangan {}



Sudah lulus. Sudah siap jalan-jalan lagi!




Tentang Sepotong Hati dan Surat-Surat yang Tak Mungkin Kembali

No Comments »

Seharian itu, ia menghambur-hamburkan waktunya hanya untuk meringkuk sembari memeluk erat-erat boneka panda yang baru tiga hari menghuni kamarnya. Boneka itu basah. Ada butir-butir kristal bening yang tidak bisa berhenti mengalir. Juga rasa sesak yang tertahan. Ia bahkan tak bisa mengatur napasnya dengan benar. Rasa-rasanya ia ingin berteriak sekeras mungkin, tetapi ruangan sebesar 3x4 itu tampaknya tak cukup kuat untuk menampung gelombang suaranya. Maka yang ia lakukan adalah membenamkan muka pada boneka panda, lantas membiarkan matanya memproduksi berliter-liter air.


Bukankah sejak dulu alarm itu sudah memperingatkanmu? Mengapa kau abaikan?


Ia menutup telinga. Berusaha keras untuk tidak mendengarkan suara hatinya yang memaki-maki akibat kecerobohannya sendiri.


Berapa kali kau bilang lelah dan ingin menyerah, tapi bersamaan dengan itu kau juga membiarkan hatimu semakin jatuh?


Lagi-lagi ia menggeleng. Air matanya semakin tumpah. Bangsat, ia benci menjadi lemah seperti ini. Ia ingin menghentikan aliran air itu, tetapi apa daya, bahkan untuk mengusapnya dengan kedua tangan pun ia tak sanggup. Brengsek. Ia benci menjadi cengeng.

"Al! Kau kenapa?" Intan, karibnya, muncul di ambang pintu dengan raut muka bingung.
Alia mengangkat wajahnya beberapa detik, lantas kembali menunduk. Ia ingin sekali berbicara, tetapi mulutnya terus saja mengatup. Tanpa mengatakan apa pun, ia menunjukkan sesuatu melalui ponselnya.
Intan melotot, seolah tak percaya dengan penglihatannya. "Brengsek!"
Alia tersenyum masam. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Kau masih ingat kata-kataku dulu, kan? Jangan pertahankan! Jangan pertahankan! Jangan pertahankan!" ucap Intan berapi-api.
Alia tak menanggapi.
"Sudahlah, Al. Ini yang terakhir, Setelah ini, jangan lagi. Tinggalkan! Buang! Sudah cukup kau terjebak dalam absurditas yang makin nggak jelas gini. Sekarang kau lihat sendiri, kan? Apa yang kuucapkan dulu terbukti, kan?"
Alia mengangguk pelan. "Ya. Aku memang bodoh."
Intan menatapku. "Coba kau berkaca. Mukamu pucat begitu macam orang mau mati saja. Mau sampai kapan kau begini?"
Alia tidak menjawab. Tangannya meraih sebuah kotak, lantas mengambil tumpukan kertas di dalamnya.
"Apa itu?"
"Surat."
"Hm?"
"Ya. Surat yang kutulis untuknya sejak dulu. Kurasa aku harus membakarnya saat ini juga," ucap Alia sembari menyalakan korek api di luar kamar. Matanya tampak bengkak oleh air mata. Bersamaan dengan api yang melalap kertas-kertas itu, ia melihat bayangan-bayangan itu berkelebatan di kepalanya. Betapa yang ia inginkan saat ini adalah menjadi orang amnesia. Ia ingin lupa bahwa ia pernah mengenal makhluk itu. Ia ingin lupa bahwa mereka pernah saling mengucap kata. Ia ingin lupa bahwa semua yang ia rasakan dijadikan permainan belaka. Ia ingin melupakan semuanya. Sejak detik ini.


Dan air mata itu kembali jatuh....

Antara SEA-GATE dan Jalan-Jalan

No Comments »

Sore itu kami keliling perpustakaan FISIPOL sampe bego. Tulisannya sih kedisplay, tapi pas dicari kagak ada. Mana petugasnya jutek banget minta dilempar sendal. Nining yang membantuku nyari buku incaran nggak bisa ngelakuin apa pun selain "Sabar, ya". Kami lantas keluar perpustakaan dengan tampang bete. Aku bingung campur panik. Aku butuh buku itu untuk menguatkan teori dalam skripsiku. Hah, semoga ada keajaiban. Dengan langkah gontai, kami duduk di bangku bundar.
"Mak, kita loloooos!" Nining heboh.
"Apaan dah?"
"Buka grup WA!"
"Nggak ada paketan. Lagi miskin gue."
Dia kemudian menyerahkan ponselnya. Sontak mataku melotot saking kagetnya. Kyaaa! Tanpa sadar kami berpelukan dan teriak-teriak nggak jelas. Hahaha. 
"Kita lolos, Maaaak!"
"Iyaaaa!"
"Lombok depan mataaa!"
"Iyaaaa!"
Kami terus berjalan ke fakultas dan sejenak lupa dengan petugas menyebalkan di perpus FISIPOL sembari berkicau tentang program SEA-GATE. Jadi, minggu lalu kami dan beberapa teman sasindo ngelamar kerja di Pusat Studi Asia Tenggara. Mereka lagi buka lowongan buat jadi pengajar bahasa Indonesia buat mahasiswa Thai. Iseng nggak ada kerjaan, aku ikutan ngelamar. Bodo amat IPK jelek gegara nilai C bertebaran a.k.a males ngulang, namanya aja trial and error. Pas wawancara, temen-temen pada belajar tentang seluk-beluk Asia Tenggara. Aku? Panik. Hahaha. Nggak ada persiapan blas. Akhirnya aku tetringan pake hape Nanda dan ikutan googling tentang apa pun yang berhubungan dengan Asia Tenggara. Ketololan kedua adalah, aku datang cuma make kaos oblong dan sepasang sendal. Nggak kepikiran buat berpakaian rapi. Abis kuliah aku langsung dateng ke TKP tanpa babibu. Bego emang, tapi sabodo amat. Males pula balik kosan.
"Siapa dulu nih yang masuk?" 
"Indi!"
"Gembel, belum siap!"
"Nih presensinya elo duluan coooy!"
Tahu-tahu pintu kebuka dan keluarlah seorang pelamar. Anak-anak memandang ke arahku dengan tampang menyebalkan. Sambil mengumpat, aku masuk ke ruangan. Bisa dibilang, ini adalah interview pertamaku. Keseringan kerja freelance, pas disodorin yang resmi gini jadi deg-degan hahahaha. Pas wawancara, ternyata nggak resmi-resmi amat. Kami ngobrol-ngobrol ringan. Sesekali mereka ngeliat CV-ku. Entah gimana ceritanya, kami larut dalam obrolan seputar jalan-jalan dan budaya Indonesia-Thai. Untungnya aku sempat ikut makul Bahasa Thai, jadi pas dites ngomong Bahasa Thai bisa lah dikit-dikit. Rupanya mereka juga tertarik dengan kebiasaanku berpindah-pindah tempat alias dolan, yah walaupun nggak jauh-jauh amat. Hahahaha. Siapa sangka kalau ternyata hobi itu justru yang menjadi nilai plus? Alhamdulillah!

Lalu, apa hubungannya program SEA-GATE dengan jalan-jalan? Jadi, begini sodara-sodara. Sebagai mahasiswa kere tapi selalu ingin ke mana-mana, aku selalu melakukan apa pun untuk ngumpulin duit, salah satunya dengan jadi freelancer. Entah itu dengan cara ngedit naskah, nulis, ngelesin, apa pun lah. Dari penghasilan yang nggak seberapa itu, duitnya kutabung. Sebagian buat dolan, sebagian buat makan. FYI, sebenernya kadang suka sebel juga ketika ada orang yang nyeletuk "Jalan-jalan mulu deh, lu! Kebanyakan duit!". Padahal, ya, padahal, aku juga sama aja kayak kalian. Sama-sama sering bokek, sama-sama sering bingung mo makan tapi nggak ada duit. Lalu, kenapa bisa jalan ke mana-mana? Ya, itu tadi. Nabung dan komitmen nggak ngapa-ngapain duit itu. Susah emang, tapi kalau nggak dipaksa ya nggak bakalan bisa ke mana-mana. Mati aja lah ngedekem di kosan.

Oke, back to topic. Jadi, sudah sejak lama aku ingin menginjakkan kaki di Lombok dan Tana Toraja. Nah, si Nining ini kebetulan orang Lombok, jadi kan sayang banget kalau nggak dimanfaatin. Daripada nyari penginapan di sana, bukankah lebih baik bertamu di rumahnya? Bisa makan dan tidur gratis, HAHAHAH! Pun dengan Toraja. Aku punya dua sahabat baik di sana. Ihzan dan Panji. Duo Makassar yang kutemukan di Pare 2 tahun lalu. Mereka janji bakalan nemenin aku ke Toraja atau ke mana pun aku mau. Mereka udah pernah nyambangin aku ke Jogja, saatnya gantian. :3

Nah, rencananya aku mau ke Lombok dulu, baru ke Makassar kalau duit masih ada, hahaha. Kenapa Lombok dulu? Karena kemungkinan yang paling realistis ya di sana. Lebih murah coy. Tinggal naik kereta nyampe Banyuwangi, nyebrang Bali, lanjut Lombok. Ada sih tiket promo ke Makassar, duitnya yang belon ada, hahaha. Jadi, wahai Ihzan dan Panji, sabar dulu ya nak. Emak mau banting tulang dulu sebelum mengunjungi kalian. 
Dan, setiap kali menginginkan sesuatu, bukankah kita juga harus merelakan sesuatu yang lain? *akuomongopo*. Ya, demi keinginan jalan-jalan itu, aku harus menahan diri untuk nggak pulang ke rumah. Menghabiskan bulan ramadhan di Jogja buat ngajar mahasiswa Thai. Gajinya ditabung buat ke Lombok. Maka, untuk melancarkan program jalan-jalan itu, aku dan Nining sepakat untuk lulus di bulan Juni. Kami mati-matian garap skripsi kayak orang gila. Revisi sampe mabok, stres, tapi tetep dijalani. 

Aku pun harus sekuat tenaga menolak semua ajakan jalan-jalan dari temen-temen. Pekan lalu si Mamat ngajak ke Sindoro, tapi apa daya skripsi belum kelar. Nggak. Aku nggak mau ke mana-mana dulu sebelum tanggung jawab ini selesai. Mboh piye carane, pokoknya kudu komitmen. Semangat!!

Selain demi jalan-jalan, sebenarnya aku juga ada tujuan lain dalam program SEA-GATE itu. Kedengarannya agak konyol, tapi emang gitu kenyataannya (?). Sebagai mahasiswa Sastra Indonesia yang hampir lulus, kadang suka ngerasa bego kalau berhadapan dengan Bahasa Indonesia. Asli lah benci banget sama hal-hal berbau lingistik. Tapi rasa-rasanya aku mau nggak mau harus bertanggung jawab terhadap gelar yang kusandang nanti *alah. Jadi, yah, anggap saja kegiatan ngajar ini sebagai bentuk latihan mengasah kepekaan terhadap bahasa. 

Rencananya, program SEA-GATE ini mau kumasukkan dalam cerita perjalanan. Kok bisa? Ya, bisa. Muridku nanti semoga cowok dan ganteng ya Allah  bakal kuajak jalan, entah cuma nongkrong sambil belajar atau pergi ke mana lah. Eh tapi kata si Budi muridnya bakal ganti-ganti tiap minggu, jadi ya entah rencana yang ini bakal jalan atau enggak. Yang jelas, aku mau menulis pengalaman ngajar di program SEA-GATE ini. Siapa tahu bisa dikembangin jadi novel macem Cinta Periode di Kampung Inggris, hahaha!


Apa pun itu, hal yang paling penting saat ini adalah: CEPATLAH LULUS! BIAR LEKAS JALAN-JALAN LAGI!

Ealah, Mblo!

No Comments »

Seharian ini kuhabiskan waktuku untuk bermalas-malasan di kasur. Beberapa hari terakhir hidupku nyaris seperti zombie. Tiap malam berdarah-darah di depan laptop dengan buku-buku berserakan di kasur dan di lantai. Tidak ada hal lain yang kulakukan selain membaca buku teori dan menulis. Kedengarannya amat heroik, ya, tapi sesungguhnya aku malah kayak orang edan. Penampilan jadi awut-awutan (emang sejak kapan aku rapi? hahaha!) dan satu per satu jerawat mulai muncul akibat keseringan begadang ditambah makan pedas disertai gorengan  tiap hari. Demi apa? Ya, demi skripsi. Demi mengejar seminar bulan ini. Demi mengejar pendadaran bulan depan.
Pagi ini, aku baru bisa menutup mata pada pukul setengah 7 dan terbangun pukul 11 siang. Maunya langsung balik ke laptop, tapi entah kenapa kasurnya menggoda sekali untuk ditidurin. Sambil meluk guling, aku membaca buku yang baru kubeli semalam di pameran buku Jogja. Isinya tentang kisah perjalanan para traveler yang dengan singkat membuat kakiku pengen jalan-jalan lagi. Ah, tapi sayangnya aku belum bisa ke mana-mana. Tengah hari, aku mulai merasa lapar, tapi tubuhku masih belum mau beranjak. Aku baru bangun ketika mendengar adzan duhur. Beranjak ke pancuran, wudhu, sholat, lalu bengong. Aku memutuskan untuk menghabiskan buku yang kubaca, kemudian ketiduran sampai pukul 3. Sumpah, uripku nggak mbois blas. Selepas shalat ashar, aku menyambar jaket dan kerudung, lantas beranjak menuju warung "Mak'e" yang terketak di samping kosan. Sudah sebulan ini aku malas memasak dan membiarkan perutku diisi makanan-makanan warung. Aku menyendokkan nasi, sayur, dan lauk ke piring, kemudian masuk ke warung dan mataku seketika menangkap dua sosok cowok sedang makan sambil ngobrol. Dengan muka tak peduli, aku mengambil tempat duduk dan mulai menghabiskan makananku.
"Serius lu pengen putus?" sebuah suara memasuki gendang telingaku. Suara salah satu dari cowok itu. Bodo amat. Aku melanjutkan aktivitas mengunyah.
"Iya! Abisnya gue nggak tahan lihat dia sama temen-temen cowoknya!" sahut cowok satunya.
"Lah, bukannya lu dari dulu udah tahu kalau temen cowoknya emang banyak?"
"Iya, sih, tapi tetep aja gue nggak suka. Cemburu gue. Makan ati mulu,"
"Kan dia nggak ada perasaan juga ama temen-temennya itu. Lagian, lu kayak nggak tahu dia aja. Dia kan emang cewek rasa cowok, hahahaha!"
Seketika aku menghentikan makanku dan menoleh sekilas ke arah dua cowok tadi. Entah kenapa, kok rasa-rasanya aku seperti terpanggil ketika kalimat cewek rasa cowok masuk ke gendang telingaku. Sebenarnya aku nggak mau nguping. Tapi, ya, gimana, di tempat itu cuma ada kami bertiga. Hahaha!
"Gue nggak suka aja punya pacar yang temen cowoknya banyak. Was-was mulu bawaannya," si cowok satu menyahut lagi.
Kalo nggak suka ya kenapa juga lu pacarin. Bego. Aku membatin.
"Tapi kok lu mau temenan sama si Mita? Dia, kan, temen cowoknya banyak juga kayak cewek lu," tanya cowok dua.
"Kalo temenan doang, sih, nggak masalah. Gue suka sih kalo berteman sama cewek kayak Mita, tapi kalo untuk pacaran, kayaknya enggak lagi deh."
Aku tanpa sadar meremas-remas sedotan gegara sebal. Mereka nggak tahu kalau cewek yang duduk nggak jauh dari mereka ini punya temen cowok seabrek. Oh, jadi begini isi otak cowok. Jadi gemes pengen ngelempar sendal.
"Hahaha! Ya udah, sih, diomongin dulu aja sana sama cewek lu. Ntar nyesel tahu rasa lu," saran cowok dua.
Iya. Elunya aja noh yang terlalu cemburuan. Dih. Aku sewot sendiri. 
Beberapa saat kemudian, mereka berdua pergi setelah menghabiskan makanan. Aku? Masih mengaduk-aduk makanan gegara kepikiran omongan mereka. Hahaha!
Apa yang salah dengan punya banyak teman cowok? Aku berpikir keras, tapi nggak nemu jawaban. Sejauh ini, teman bergaulku emang kebanyakan cowok, sih. Entah karena pengaruh didikan masa kecil atau lingkungan rumah yang mayoritas juga cowok, aku nggak tahu. Yang jelas, sejak kecil aku memang lebih nyaman berteman dengan makhluk berlainan jenis. Dulu, aku lebih suka diajakin nyolong jagung di sawah sama temen-temen cowok daripada main rumah-rumahan sama temen-temen cewek yang tampaknya males berteman denganku gegara aku dipandang galak. Aku juga lebih suka diajakin mancing sama bapak, mainan layangan di sawah, daripada belajar merajut sama ibu. Kebiasaan itu terbawa sampai aku gede. Aku mulai punya temen cewek agak banyak, ya, pas SMA. Dan perlahan-lahan aku mulai mempelajari kodratku sebagai cewek pas masuk kuliah. Mulai membiasakan diri pake rok meski awalnya canggung dan ngerasa aneh banget. Menurutku itu sudah kemajuan, walaupun perilakuku kadang masih suka slengek'an. -_-
Oh, ya, balik ke masalah awal. Kenapa cowok nggak suka kalo pacarnya punya banyak temen cowok, sementara dia sendiri suka berteman dengan cewek seperti itu? Tiba-tiba aja aku keinget omongannya si Danar waktu kami lagi makan es krim di Zara-Zara beberapa waktu lalu. 
"Mungkin si cowok cemburu, Ndi. Makanya dia nggak suka kalau lihat ceweknya deket sama banyak cowok. Takut bakalan nyantol di salah satunya kali."
"Iya gitu? Aku pernah sih hampir dilabrak pacar temenku gegara tahu kalau temenku lagi nganterin aku nyari hape. Kan lebay parah!"
"Cewek emang lebay."
"Hahaha, asem! Padahal temenku itu udah nganggep aku kayak cowok. Dia bahkan bilang, demi apa pacarku cemburu sama kamu, Ndi. Lu cewek aja bukan."
"Huahahaha! Pantes jomblo mulu!"
Aku memanyunkan bibir. Memang, sih, di zaman sekarang tampaknya nggak normal banget ada orang yang nggak pernah pacaran sama sekali. Kayak aku gini, jomblo sejak orok. Bhahaha. Bukannya apa-apa, sih, tapi terkadang ada sesuatu yang perlu dipikir beribu kali sebelum memutuskan menjalin hubungan dengan orang. 
"Aku masih normal kali, Nar. Masih doyan cowok."
"Cowoknya yang nggak doyan sama kamu."
"Sampah dah!"
"Hahahahaha!"
Pernah suatu kali, temen cowokku mengatakan sesuatu yang membuatku agak mikir.
"Lu terlalu mandiri, kali. Makanya cowok jadi segan buat deket. Atau, barangkali jadi ngerasa nggak dibutuhin."
"He?"
"Iya. Lu kan apa-apa bisa ngelakuin sendiri. Belanja, sendirian. Ngebengkel, sendirian. Benerin lampu, sendirian. Benerin motor, sendirian. Pendek kata, lu kayak nggak butuh orang lain."
"Masa iya? Gue kemaren pas naik gunung nyaris pingsan, trus gue ditolongin sama temen. Itu kan berarti gue butuh bantuan."
"Ya nggak dalam konteks itu, dodol!"
Aku ngakak.
"Menurutmu, penampilan itu penting nggak? Gue suka ngerasa heran sama temen-temen cewek gue. Tiap jalan suka banget bilang 'Ndi, gue sama cewek itu gendutan mana?'. Baju udah berkarung-karung, masih aja ngerasa kurang. Jadi bingung sendiri gue."
"Mmm, penting nggak penting, sih, kalo kata gue. Lu sekali-kali belajar dandan kek, biar tahu rasanya jadi wanita sesungguhnya."
"Oh, men, gue sekarang udah belajar pake bedak kali. Apa perlu gue bikin alis model jembatan gantung atau lipstik semerah darah?"
"Hahaha, ya nggak gitu juga!"
Aku jadi keinget kejadian konyol di Mirota Kampus beberapa bulan lalu. Sore hari sehabis jogging di GSP, aku nganterin temen ke Mirota buat belanja kebutuhan sehari-hari. Aku yang saat itu masih pake kaos dan sepatu olahraga sukses dilihatin orang-orang. Bodo amat. Pas lagi mantengin deretan sabun cair, tahu-tahu aku didatengin mbak-mbak SPG. Dia dengan penuh semangat nawarin kosmetik di tangannya. Aku nggak minat beli, tapi demi menghargai dia, aku berbasa-basi sebelum melakukan penolakan.
"Wah, lipstiknya bagus!"
Sontak wajah si mbak-mbak SPG berubah seperti melihat alien dari planet Mars. "Maaf, Mbak. Ini namanya maskara, bukan lipstik."
Saat itu juga aku meminta pada Tuhan untuk membuatku amnesia! Begoooo, nggak lagi-lagi deh belagak sok tau! Pasca kejadian itu aku jadi agak trauma dengan mbak-mbak SPG kosmetik.
"Cewek tuh ya biasanya nyalon, jalan ke mall, atau ngapain gitu. Lah elu? Klayapan di gunung, masuk hutan, baju juga itu-itu mulu. Pantes nggak punya pacar!" komentar salah satu teman.
"Apa hubungannya sama kejombloan gue? Ngasal lu, ah," aku nggak terima. Pasalnya, aku memang nggak betahan kalau diajak pergi ke tempat yang aku sendiri bakal bingung mau ngapain di sana. Mati gaya. 
"Nih, Ndi! Baca!" dia menunjukkan sebuah meme dari IG Dagelan. Di sana tergambar cewek berpenampilan macho dan sebuah tulisan: Cewek yang punya banyak temen cowok biasanya jomblo. Biasanya...





Sebentar....





Sebenarnya aku ini lagi nulis apa?





Bukankah sore ini aku berjanji untuk memulai bab 3 skripsi? Kenapa malah membacot hal-hal ra cetho seperti ini?



Embuh. Mungkin aku lelah. Mungkin aku ingin wisuda ...



Dear, Skripsi.

4 Comments »

Tiga tahun silam, aku nggak sengaja beli novel Skripshit-nya Alit Susanto buat teman perjalanan. Seperti judulnya, novel itu nyeritain tentang perjuangan si Alit ketika menghadapi skripsi. Pendek kata, skripsi yang sudah ditulis mati-matian ilang gegara komputernya njeblug. Jadilah ia terperangkap dalam lingkaran setan. Kerja mati-matian buat bayar kuliah, sementara skripsinya tak juga kelar gegara sibuk kerja. Aku membatin, apa iya nulis skripsi sesulit itu? Apalagi aku juga sering melihat kakak-kakak tingkat yang keluar-masuk perpus dengan muka stress. Alah, palingan nulis skripsi kek nulis makalah UAS. Sebulan kelar lah, ya. Anggep aja nulis novel. Dan ternyata, oh, ternyata ... nggak segampang itu, sodara-sodara.

Perubahan itu mulai kurasakan ketika menginjak semester 7. Pasca KKN, aku jadi jarang melihat teman-teman seangkatan. Sebagian besar sudah menuntaskan tanggungan SKS dan tinggal skripsian, sementara aku masih aja  ngulang kuliah bareng adek-adek dan sialnya nilaiku nggak berubah. Ketika teman-teman lain sudah mulai mengajukan proposal skripsi, aku masih aja bersantai ria sambil ngelarin revisian novel yang ujung-ujungnya disuruh revisi lagi. Nyesel? Kayaknya, sih, gitu. Semester 7 udah ngambil skripsi tapi baru ngajuin proposal pas semester 8. Sebenernya proposal itu sudah kugarap dari semester 5 dan tinggal diajuin aja pasca KKN, tapi gegara kebanyakan mikir malah ditunda-tunda mulu. Geblek emang.

Memasuki semester 8, teman-temanku grudukan seminar dan pendadaran. Tiap minggu adaaa saja yang lulus. Sejauh ini yang kulakukan adalah nungguin mereka di depan pintu ruang sidang sambil bawa bunga, memberi semangat agar pendadarannya lancar sembari masang muka pengen. Aku kapan didadar?Aku kan juga pengen lulus...

Minggu lalu, selepas bimbingan skripsi, aku bertemu teman-teman di bangtem samping jurusan. Merasa senasib dan seperjuangan, masing-masing berebutan mengeluhkan kendala nyekripsi.
"Bisa bayangin nggak, aku udah mo bab 3 trus tau-tau disuruh ngulang dari awal?"
"Aku juga. Udah capek-capek nyari data ke sana ke mari, udah mau bab 2, tahu-tahu disuruh ganti judul!"
"Lha aku, udah masuk analisis data, taunya objek kajianku sama kayak punya kakak tingkat! Aku stress berat, gagal seminar, kudu ngulang semuanta dari awal."
"Aku tho, kemarin udah mau ngumpulin revisi, eh disuruh ganti objek..Lalalaaaaaa..."
Dan seterusnya. Dan seterusnya. Dan seterusnya sampe emboh. Kami pun saling menyemangati. Percayalah, semua akan lulus pada waktunya, hahaha.
Sesampainya di kost, aku membuka folder skripsi dan mulai tercenung seorang diri. Mendengar curhatan teman-teman tadi membuatku rada keder juga. Gimana kalau nanti aku juga disuruh rombak abis-abisan? Apalagi topik skripsiku dulu nyaris ditolak gegara aku mengambil teori psikologi sastra, sebuah teori yang hingga kini masih dijadikan pertentangan di dunia sastra. Selama kuliah pun aku nggak pernah diajarin teori itu. Jadi sejauh ini, aku mati-matian belajar sendiri tentang psikologi sastra. Susah emang, belajar dari nol. Tapi, ya, gimana lagi, semua teori sastra yang pernah diajarkan di bangku kuliah nggak ada yang sreg di hati, dan nggak tahu kenapa psikologi tampak begitu menarik. 

Ketika ketua jurusan menyodorkan tiga nama dosen untuk dijadikan DPS, aku malah memilih dosen perempuan yang terkenal killer dan menyeramkan ketimbang dua dosen lain yang selaaaw sekali. Entahlah. Saat itu aku hanya berpikir skripsiku akan bernasib baik jika dibimbing olehnya. Jika teman-teman lain ngeluh gegara DPS-nya kayak hantu yang ilang-ilangan, DPS-ku justru sebaliknya. Beliau bisa ditemui setiap hari dan bakal ngomel abis-abisan kalau anak bimbingannya menghilang. Dua minggu lalu beliau mengomeliku gegara aku kabur sepanjang bulan Maret, dan sengaja nggak masuk kuliahnya beliau karena takut ditanyain perkembangan bab 2 ku yang masih tertulis dalam angan-angan. Hahaha. Aku masih bersikukuh nggak mau ngumpulin bab 2 kalau tulisanku belum layak baca. Karena, oh, karena, beliau itu amat sangat teliti. Salah penulisan titik koma saja bisa-bisa aku diuni-uni sampai kuping panas.

Dalam proses menulis skripsi, ada banyaaak sekali godaan yang mampir. Godaan ngetrip yang bikin ngiler setengah mati, godaan baca novel ketimbang baca buku teori, godaan buat males-malesan, godaan buat kabur bimbingan, godaan socmed, sampai godaan perasaan. Dan kalau mentok, biasanya skripsi itu akan kutinggalkan begitu saja. Tak tinggal dolan entah ke mana, dan akan kusentuh kalau mood-ku udah balik lagi. Biasanya sih lama baliknya, hahaha. 

Beberapa pekan lalu, kelakuanku seperti orang gila. Duduk diam di depan laptop tapi nggak nulis apa-apa. Terkadang menertawakan hal-hal yang sama sekali nggak lucu. Omongannya mulai nggak nyambung, dan jadi sangat sulit berkonsentrasi. Rambut pun mendadak rontok banyaaaak sekali. Sesekali aku juga berteriak-teriak di depan laptop, dan kalau nggak tahan biasanya suka nangis. Alam bawah sadarku bahkan pernah dengan kurang ajarnya menghadirkan setting GSP dan menunjukkan diriku yang memakai toga. Brengsky bet. Kemudian aku nggak sengaja membuka buku psikologiku entah di halaman berapa. Aku membaca ciri-ciri orang stress yang sama persis dengan kondisiku saat itu. Oh, ternyata aku sedang stress. 
"Please, Ndi. Kamu boleh nganalisis tokohmu yang sakit jiwa, tapi koe ojo melu-melu edan tala!" komentar Anggun yang nggak tega melihat kondisiku. Eh, pas aku sudah mendingan, beberapa hari kemudian aku malah melihatnya menari-nari nggak jelas di depan pintu kamarku. Alah, sama aja!

Di suatu sore yang mendung, datanglah sebuah pesan whatsapp dari orang tua asuhku.
Assalamualaikum, Indi. Bagaimana kabarnya? Kapan wisuda?
Aku sontak terbangun dari tidur ayamku. Mataku ketap-ketip membacanya. Belum hilang keterkejutanku, ponselku berbunyi lagi. Bapak menelepon dan menanyakan hal yang sama. Saat itu rasanya aku cuma pengen menenggelamkan diri di laut. Ada segumpal rasa bersalah yang terbersit di dada.

Dasar nggak tahu diri! Kuliahmu itu dibiayai negara dan orang tua asuhmu, ojo sante-sante koe!

Batinku menjerit. Merasa tidak bertanggung jawab karena banyak membuang-buang waktu untuk hal yang tak perlu. Belum lagi setelah membaca tulisan Pak Edi yang menohok sekali, jadi semakin merasa berdosa. Apa yang kulakukan sementara orang tua di rumah bekerja keras untukku? Apa yang kulakukan sementara di luar sana banyak orang yang tak bisa mengenyam pendidikan sepertiku? Apa yang kulakukan sementara waktu terus berjalan dan tak akan bisa terulang lagi? Kurang baik apa DPS-ku yang selalu menyemangatiku, menasehatiku jika aku ngilang tanpa kabar, sementara banyak teman yang mengeluh karena diabaikan DPS-nya? Memikirkan semua itu membuatku ingin memaki-maki diri sendiri. 

Siang tadi, aku iseng membuka kalender dan terkejut ketika melihat deretan tanggal merah. Baru ingat kalau pertengahan Juni nanti sudah memasuki bulan ramadhan. Artinya, tak lama kemudian kegiatan akademik akan diliburkan. Batas yudisium pas lebaran, nggak yakin kampus mau buka. Aku pun kalang kabut. 
"Gimana dong, Mbaaaak!" aku menjerit-jerit di kamar. 
Mbak Sabila yang saat itu sedang main di kosku cuma tertawa. "Hahaha! Semangat, Ndi. Pasti selesai kok. Aku dulu garap skripsi cuma 2 minggu, sehari tiga kali bimbingan."
"Kok bisa? Itu otak apa dewa? Orang gila!"
"Hahaha. Pacarku ngasih pancingan berupa tiket jalan-jalan, mana orang tuaku juga udah beli tiket buat wisudaanku, jadi mau nggak mau aku kudu ngerjain. Kalau enggak, tiketku hangus dan gagal jalan-jalan!"
"Ih, aku juga mau kali dapat tiket jalan-jalan. Tapi siapa juga yang mau ngasih..."
"Hahahaha!"
Aku manyun. Setelah Mbak Sabila pergi, aku merenung sendirian di kamar. Tetiba keinget cerita si Ihzan yang skripsinya sudah kelar, tinggal nunggu sidang. Bocah Makassar itu garap skripsi kek orang gila, 2 bab dikerjain semalaman. Besoknya ngadep dosen, dicoret-coret, kemudian langsung direvisi hari itu juga. Ngadep dosen lagi, dicoret-coret lagi, direvisi lagi, gituuuuu terus sampai skripsinya kelar. Nggak nyangka, begundal macam dia bisa segila itu garapnya.

"Waktuku tinggal dua bulan, atau tidak sama sekali," bisikku sambil membuka buku Kesehatan  Mental yang tebelnya kayak bantal. Aku pun mulai membaca sembari mendengarkan musik. Tetiba mataku menangkap timeline skripsian yang tertempel di tembok. Harusnya bulan ini bab 3 ku kelar semua. Harusnya sih. Tapi, ah sudahlah ... 

Aku menatap kalender bulan April yang hampir habis. Kemudian teringat percakapan di suatu pagi bersama seonggok manusia yang entah sekarang ada di belahan dunia mana.
"Aku pengen naik gunung lagi e."
"Yuk kutemani!"
"Ah, koe mesti omdo."
"April, deh, April. Gimana?"
"Awas koe nek ngapusi!"

Dia tak tahu kalau ini adalah pendakian terakhirku. Ya, pendakian terakhir sebelum aku berkejaran dengan batas yudisium. :')
Dengan atau tanpanya, aku akan tetap pergi. Berpamitan pada indahnya matahari terbit, lautan awan, dan taburan bintang. Persetan dengan janji yang tak tertepati. :') ah koe iki ngopoooo e malah bahas kenek'an. Jiambret tenan!


Ya sudah. Lekas selesaikan skripsimu. Tahan dulu rindumu pada rumah. Jangan pulang sebelum pendadaran. Waktumu tak banyak. Ada Bali yang menunggu untuk dikunjungi, ada Lombok yang menunggu untuk diseberangi, atau mungkin Toraja yang sedari dulu ingin kau datangi. 


Dan yang paling penting, ada orang tua kandung dan orang tua asuh yang tak sabar ingin melihatmu lulus, memakai toga, dan melihatmu mengarungi luasnya dunia...




Jogja, 27 April 2015
Pukul 01.16 WIB


_Indiana Malia_