5 Langkah Mudah Tetap Cuan di Tengah Pandemik, Dijamin Laku Keras!

No Comments »

Sudah satu tahun Indonesia menghadapi gempuran wabah COVID-19. Berbagai sektor terdampak, mulai kesehatan, pendidikan, hingga ekonomi dan bisnis. Imbasnya, banyak pelaku usaha bangkrut dan merumahkan karyawan. Ya, badai PHK ada di mana-mana. Belum lagi, pemerintah menerapkan pembatasan sosial untuk menekan laju penularan COVID-19.

Tetapi, hidup harus terus berjalan, kan? Di era digital seperti sekarang ini, ada banyak sekali potensi yang bisa kita manfaatkan untuk menambah penghasilan. Berbekal kuota internet, kamu bisa mencoba berbagai peluang bisnis dari rumah. Apa saja itu? Simak, ya!

1. Gali potensi diri yuk!

Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah menggali potensi diri. Coba renungkan, apa hal yang paling kamu sukai dan berpeluang dijadikan lahan bisnis? Misalnya, kamu punya hobi merajut. Nah, daripada karyamu hanya jadi pajangan di rumah, kamu bisa mencoba mengemasnya dengan lebih menarik sebelum dilempar ke pasar.

Contoh lain, kamu suka mengajar. Dengan bekal ilmu yang kamu punya, kamu bisa coba membuka kelas kursus secara online bergaransi. Misalnya, kamu menawarkan materi awal secara gratis di platform YouTube. Apabila ada yang tertarik materi selanjutnya bisa mendaftar sebagai peserta premium.

2. Tangkap peluang pasar

Masih bingung juga? Coba amati sekitar, adakah hal yang lagi ngehype saat ini? Saat pandemik COVID-19 tahun lalu, ada fenomena baru di dunia fashion anak muda, yaitu berburu pakaian bekas bermerek. Ini menjadi solusi yang cukup baik bagi orang-orang yang berkantong cekak. 

Meskipun banyak yang menghabiskan waktu di rumah, tak sedikit pula yang ingin tetap gaya. Nah, kamu bisa tuh melakukan thrifting lalu menjual kembali baju bekas tersebut. Tetapi, gak semua baju bekas berharga murah, ya. Kamu harus melakukan riset terlebih dahulu. 

Selain baju bekas, baju tidur juga sangat laris saat pandemik. Sebab, banyak orang yang bekerja dari rumah tetapi ingin berpakaian santai. Kalau kamu tak punya cukup modal, kamu bisa menjadi reseller terlebih dahulu. Setelah uang terkumpul, kamu bisa mulai memasok barang langsung dari distributor.

3. Manfaatkan platform online 

Sadar gak sih kalau kemajuan teknologi sangat membantu kita dalam segala hal? Tidak terkecuali saat kita mau memulai bisnis. Sekarang ini banyak banget loh e-commerce yang bisa membantumu berjualan. Sebut saja Shopee, Tokopedia, Bukalapak, sampai Caroussel. Kamu bisa menggunakan semua platform itu untuk berjualan. Selain itu, kamu juga bisa menggunakan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp. 

Namun, pastikan dulu ya barang apa yang ingin kamu jual. Jangan lupa, cantumkan email atau kontak customer service untuk menangani berbagai keluhan pelanggan.

4.  Berikan iming-iming diskon bersyarat

Yup, diskon adalah salah satu cara untuk menggaet minat pasar. Di awal membuka usaha, kamu bisa mencoba taktik ini. Tentukan besaran diskon yang ingin kamu berikan beserta jangka waktu promosinya. 

Agar produkmu lebih dikenal pasar, kamu bisa memberlakukan diskon bersyarat. Misalnya, diskon 20 persen untuk produk A dengan syarat merepost produkmu di Instagram atau media sosial lainnya. Ini secara tidak langsung kamu mendapatkan promisi gratis dari konsumen. Asyik, kan?

5. Jangan berhenti promosi

Promosi adalah hal yang wajib kamu lakukan saat berjualan online. Coba bayangkan toko online yang kamu punya itu adalah sebuah warung. Kalau warung itu tutup terus, siapa yang mau beli coba? Sama halnya dengan toko online, kamu harus gencar promosi agar orang sadar kalau kamu lagi jualan. 

Adakah cara promisi secara halus biar gak terkesan nyampah? Ada, dong. Misalnya, jual produkmu dengan cara story telling. Mula-mula, ceritakan sesuatu yang pada akhirnya mengarah ke produkmu. Sehingga, audiens media sosialmu tidak merasa sedang disamperin pedagang, melainkan sedang didongengin. Yuk, mulai belajar ilmu copywriting!

Jangan Anggap Remeh, Ini Fakta-fakta Anemia yang Perlu Kamu Tahu

1 Comment »

Tahun lalu, saya hampir jatuh pingsan saat usia kandungan menginjak trimester kedua. Setelah periksa ke dokter, saya divonis anemia cukup berat sehingga harus mengonsumsi beberapa tablet obat. Setelah melahirkan pun, saya tetap mengonsumsi obat tersebut. Namun, tahukah kamu bagaimana respons orang-orang di sekitar saya?

"Ah, kalau hamil memang biasanya anemia."
"Biasa itu mah, jangan terlalu dipikirin."
"Nanti lama-lama juga sembuh."

Saking seringnya ibu hamil terkena anemia, lama-lama hal itu dianggap lumrah. Dalam hati saya bertanya-tanya, "Bener gak sih anemia hal yang wajar dan tidak perlu dikhawatirkan?". Pertanyaan itu pun terjawab saat saya menyimak webinar "Peran Nutrisi dalam Tantangan Kesehatan Lintas Generasi" di akun YouTube Nutrisi Bangsa. Ternyata, anemia itu bisa jadi lingkaran setan. Tidak hanya berdampak buruk bagi ibu hamil, melainkan juga pada balita hingga remaja.

Status gizi yang kurang baik akan berisiko stunting

Menurut dr Spesialis Gizi Klinik Diana Sunardi, anemia adalah suatu kondisi rendahnya kadar Hb dibandingkan dengan kadar normal yang menunjukkan kurangnya jumlah sel darah merah yang bersirkulasi. Berdasarkan data Riskesdas 2013, angka anemia di Indonesia pada balita laki-laki sebanyak 29,7%, balita perempuan 26,5%, anak laki-laki usia 6-12 tahun 28%, anak perempuan usia 6-12 tahun 27,4%, perempuan usia 15 tahun (tidak hamil) 22,7%, laki-laki usia 15 tahun 16,6%, ibu hamil 37,1%, laki-laki 18,4%, dan perempuan 23,9%. 

Proporsi anemia pada ibu hamil juga menunjukkan peningkatan. Berdasarkan Riskesdas 2013 sebanyak 37,1%, lalu pada 2018 meningkat menjadi 48,9%. 

"Ini harus jadi perhatian oleh pemerintah kita karena anemia merupakan tantangan lintas generasi, masa remaja hingga anak. Masalah gizi di Indonesia ini memang mulai dari ibu menyusui, balita, remaja, hingga ibu hamil. Angka anemia juga memenuhi angka malnutrisi di Indonesia, yaitu stunting," ungkap dr Diana dalam webinar tersebut.

Angka stunting di Indonesia berkisar 37,2%. Menurut dr Diana, siklus stunting memang berawal dari status gizi yang kurang baik pada remaja putri. Ketika suatu saat dia hamil, dia akan mengalami anemia defisiensi zat besi. Akibatnya,  lahirlah bayi-bayi yang kurang nutrisi dan berisiko stunting. 

"Pertumbuhan seorang anak dipengaruhi oleh banyak hal. Mulai dari protein, vitamin, karbohidrat, mineral, kalsium, dan faktor terpenting adalah zat besi. Zat besi tidak hanya untuk sel darah merah atau haemoglobin atau anemia pada balita, tapi juga untuk pertumbuhannya," jelas dr Diana.

Pahami gejala anemia

Ada beberapa gejala anemia yang perlu dipahami.Gejala umum berupa kelopak mata pucat dan kulit pucat. Apabila anemia berat, penderita mengalami napas cepat atau sesak napas, kelemahan otot, dan tekanan darah rendah. Sementara, anemia kronis ditandai dengan pembesaran limpa, nadi cepat, dan sakit kepala. Pada ibu hamil, gejala anemia ditandai mulai dari wajah dan kelopak mata yang pucat, kurang napsu makan, lesu dan lemah, cepat lelah, sering pusing dan mata berkunang-kunang. 

"Dampak anemia pada kehamilan ini cukup serius dan harus dapat perhatian. Anemia dapat meningkatkan infeksi, premature, preeklamsia, gangguan pertumbuhan janjin, gangguan fungsi jantung, hingga perdarahan pascamelahirkan," kata dr Diana.

Sementara, gejala anemia pada anak-anak adalah rewel, lemas, pusing, tidak napsu makan, gangguan konsentrasi, gangguan pertumbuhan, cenderung mengantuk dan tidak aktif bergerak. Menurut dr Diana, dampak jangka panjang anemia baik pada orang dewasa maupun anak-anak adalah menurunkan daya tahan tubuh. 

"Infeksi akan meningkat serta kurang bugar. Konsentrasi yang kurang ini akan menurunkan prestasi dan kinerja," ungkapnya.

Hingga kini, pemerintah telah mencanangkan pendekatan masalah kesehatan berkelanjutan untuk lintas usia agar mata rantai masalah nutrisi dapat terselesaikan. Cara dan upaya pencegahan terjadinya anemia pada remaja, ibu hamil, ibu menyusui dan balita melalui konsumsi gizi seimbang dan lengkap, berupa makanan kaya akan zat besi dan pengoptimalan penyerapan zat.

Penyebab anemia dan cara penanganannya

dr Diana menjelaskan, penyebab anemia kurang zat besi yang utama adalah asupan makanan, kemudian baru diikuti penyakit atau penyebab lain. Berdasarkan Riskesdas, konsumsi pangan di Indonesia masih didominasi oleh nabati, asupan energi dan protein masih rendah, sehingga terjadi defisit energi, protein dan micronutrient. Anemia kurang zat besi disebabkan faktor asupan, yaitu rendahnya asupan zat besi, terutama besi heme. Kemudian, rendahnya asupan vitamin C, konsumsi sumber fitat yang berlebihan, konsumsi sumber tannin (kopi, teh) berlebihan, dan menjalankan diet tidak seimbang. 

Pada anak-anak, anemia kurang zat besi dapat terjadi apabila tergolong pemilih makanan atau picky eater. Anemia juga dapat terjadi akibat asupan makanan yang tidak bervariasi, kondisi tertentu yang menyebabkan gangguan penyerapan, dan asupan besi rendah (alergi bahan makanan sumber besi heme). 

"Zat besi heme tergantung pada sumber protein hewani, untuk penyerapannya mudah, jadi akan langsung diserap oleh tubbuh. Sementara, zat besi non heme harus melalui proses agar dapat diserap dengan baik oleh tubuh. Untuk zat besi non heme ada di bahan makanan nabati, itu asupannya ditingkatkan dengan vitamin C. Tetapi, besi non heme ini dari bahan makanan nabati itu akan dihambat oleh serat," kata dr Diana.

Penyerapan besi non heme berupa asam askorbat, vitamin C, asam sitrat, komponen-komponen makanan lain. Sementara, zat-zat yang dapat menghambat penyerapan di antaranya fitat, tannin, polifenol, kalsium, dan seng (zinc). 

Bahan makanan sumber zat besi hewani bisa didapatkan melalui daging sapi, domba, ayam, hati ayam, hati sapi, hati domba, dan ikan salmon. Kemudian, zat besi nabati bisa didapatkan melalui daun hijau. Untuk mengoptimalkannya harus dikonsumsi bersama makanan yang dapat meningkatkan peynyerapan, yaitu vitamin C. Bahan makanan yang mengandung vitamin C di antaranya paprika merah, brokoli, jambu biji, kiwi, cabai, kelengkeng, stroberi, blewah, mangga, tomat, dan jeruk.

"Oleh sebab itu, penanganan masalah anemia dan gizi lainnya di Indonesia dikonservasikan berkelanjutan terus-menerus. Mulai dari remaja putri, anak usia sekolah dapar makanan tambahan, balita, ibu hamil, hingga lansia," jelas dr Diana.

Upaya penanganan anemia pada remaja putri dilakukan melalui kombinasi kerja sama antara dinas kesehatan, dinas pendidikan, persatuan orangtua murid, sekolah, dan organisasi lain yang bergerak di bidang kesehatan. Kemudian, penanganan anemia pada ibu hamil dilakukan melalui kerja sama puskesmas, keluarga, masyarakat, posyandu, antenatal care, serta penyediaan fortifikasi makanan untuk ibu hamil. 

"Pastikan asupan bergizi seimbang. Bila asupan didominasi sumber besi non heme, pastikan dikonsumsi bersama dengan unsur yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Fortifikasi makanan ini di antaranya tepung terigu atau tepung beras, biskuit, dan susu. Terakhir, patuh mengonsumsi tablet tambah darah," kata dr Diana.


Masalah gizi umumnya terjadi karena kurangnya pengetahuan

Corporate Communication Director Danone Indonesia Arif Mujahidin mengatakan, masalah gizi di Indonesia tidak melulu karena tidak punya uang, melainkan kurangnya pengetahuan. Menurut Arif, Danone Indonesia sangat ingin mengedukasi melalui kerja sama mitra. Ini akan memengaruhi habit pola makan dan minum dan meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia. 

"Salah satu programnya adalah isi piringku yang ingin mempromosikan gizi seimbang untuk anak usia 4-6 tahun melalui guru dan orang tua. Program ini sudah melibatkan 4000 guru dan 40.000 siswa paud, dan 44 ribu ibu-ibu," jelas Arif.

Selain itu, Danone Indonesia juga menginisiasi gerakan Ayo Minum Air (Amir). Ini didorong fakta dari survei yang dilakukan Danone Indonesia, sebanyak 4 dari 5 anak Indonesia kurang minum. Padahal, kekurangan hidrasi 2 persen saja bisa memengaruhi konsentrasi. Menurut Arif, program Amir bertujuan meningkatkan kebiasaan minum 7-8 gelas per hari. Program ini diikuti lebih dari 700 ribu siswa SD serta 1,2 juta siswa Paud di 5 Provinsi dan melibatkan 1,2 juta lebih kader PKK. 

Program lainnya adalah warung anak sehat. Program ini bertujuan mengedukasi ibu-ibu pengelola kantin di sekolah. Hingga kini tercatat 234 agen warung yang aktif, lebih dari 300 guru terlatih, dan 6000 ibu yang terlibat.

Danone Indonesia juga melakukan edukasi masyarakat tentang gizi dan kesehatan. Berikut tiga program andalannya.

1. Gesid (Generasi Sehat Indonesia)

Program ini bertujuan membangun pemahaman dan kesadaran remaja tentang kesehatan dan gizi remaja, pentingnya 1000 hari pertama kehidupan dan pembentukan karakter. Program ini telah menjangkau 2000 siswa di 5 SMP dan 5 SMA.

2. Taman Pintar

Danone Indonesia mendukung 4 fasilitas pendidikan yang fokus pada kesehatan dan gizi di Taman Pintar, Yogyakarta untuk 1 juta pengunjung per tahun (sebelum pandemik).

3. Duta 1000 pelangi

Danone Indonesia memberikan bantuan kepada karyawan dan masyarakat sekitar tentang masalah gizi dan kesehatan dalam 1000 hari pertama kehidupan dengan menjadikan karyawan sebagai duta. Karyawan dilatih dan dibekali pengetahuan tentang gizi seimbang.


#10DaysKFPart1 Dia yang Membuatku Jatuh Cinta

No Comments »

Ketika ditanya soal tipe kekasih dambaan, pikiran saya langsung tertuju pada perpustakaan kecil saya di rumah. Segala jenis buku ada di sana. Ya, saya suka membaca apa saja. Dan secara otomatis, saya pun mendambakan kekasih yang gila buku. Dengannya, saya tak akan merasa kehabisan topik pembicaraan.
Dan cinta itu datang begitu cepat. Kelas satu SMP, saya sudah menggilai seorang kakak kelas jenius. Hobinya menghabiskan buku-buku di perpustakaan, ikut olympiade di mana-mana, aktif organisasi, saleh pula. Saya menamakannya cinta dalam diam #alah. Lima tahun saya menyimpan namanya dan enggan menerima cinta siapa pun. Hingga pada akhirnya saya harus membuang perasaan itu jauh-jauh karena memilikinya adalah sebuah kemustahilan. Otaknya terlalu jenius, saya mah apa, cuma butiran marimas.


Selain membaca, saya juga suka kluyuran. Naik gunung, keluar-masuk hutan. kemping, apa pun yang berbau alam. Tentu saja, saya pun menginginkan kekasih yang bisa diajak berkelana, mengenal beragam manusia di luaran sana. Saya bahkan berangan-angan bakal dilamar dengan seperangkat alat mendaki dan kelak berbulan madu di Gunung Rinjani. Menjelang akhir masa kuliah, saya kembali jatuh cinta. Kami dipertemukan di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Karena memiliki hobi yang sama, kami langsung nyambung, bahkan melakukan perjalanan bersama. Kami mendaki Gunung Ijen, mengejar blue fire di sana. Saya belum bisa lupa bagaimana ekspresi kami ketika berhasil mendekati blue fire. Kami menyaksikan api biru raksasa menari-nari. Indah sekali. Apalagi saat itu langit bertabur jutaan bintang. Pasca perjalanan itu, kisah kami mendadak kandas. Dia menghilang secara tiba-tiba, dan saya pun disibukkan skripsi kemudian lupa dengan sendirinya.


Lepas dari status mahasiswa, saya menjelajah pedalaman Papua Barat bersama kaum militer dalam rangka Ekspedisi NKRI. Itulah kali pertama saya mengenal dunia mereka. Sebelum berangkat pelatihan sebulan di Pusdikpassus Batujajar, senior saya yang pernah mengikuti Ekspedisi NKRI mewanti-wanti untuk tidak jatuh cinta pada militer, entah itu TNI maupun Polri. Saya pun menegaskan, tujuan saya untuk pengabdian, bukan cinta-cintaan. Tetapi kau bisa bayangkan, kan, seperti apa rasanya bertemu mereka sejak pagi sampai pagi? Toh hati saya jatuh juga. Pada dia, seorang militer yang sangat unik dan tidak neko-neko. Saya secara otomatis meleleh ketika mendengarnya mengaji. Ya, tentu saja saya menginginkan seorang laki-laki yang taat pada-Nya agar kelak bisa membimbing saya dalam berumah tangga. Tetapi, lagi-lagi kisah itu harus kandas karena alasan yang mau tak mau bikin saya mundur perlahan.


Lalu skenario pun berubah. Seseorang datang menawarkan hatinya kepadaku. Sebelumnya, kami sudah dekat. Sangat dekat malah. Saya merasa nyaman berbagi cerita dengannya, apa pun itu. Oh, ya, dia adalah seorang fotografer. Kau tahu, saya suka dengan laki-laki yang berkutat dengan kamera, meskipun saya nggak paham-paham amat dengan foto. Dia juga suka membaca. Saya masih ingat betapa modusnya dia ketika meminjam Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer pada saya. Hahaha. Dan, yah, dia pun menjadi kekasih saya. Kekasih pertama saya, tepatnya, karena yang sebelum-sebelumnya sekadar dekat kemudian menguap begitu saja. Kepadanya, saya pernah menaruh harapan bahwa hubungan ini bisa dibawa ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi harapan itu pun harus dimusnahkan seiring dengan jarak yang terbentang di antara kami. Kami terpisah pulau dan tak tahu kapan bisa bertemu kembali. Dia pun mengakui, perasaannya kian hari kian luntur dan bikin hati saya hancur. Untuk kesekian kalinya, kisah itu berakhir.


Kini saya sendiri. Tidak sedang dekat dengan siapa pun, dan enggan menjalin hubungan lagi. Di usia saya yang menjelang 24 tahun, sudah bukan saatnya lagi untuk main-main dengan perasaan. Konon, kata orang, jodoh kita biasanya tak jauh-jauh dari lingkungan pekerjaan. Bapak saya guru, ndilalah dapat muridnya sendiri. Kawan saya pendaki, jodohnya pendaki juga. Ada pula kawan perwira TNI yang mendapatkan kowad.


Dan saya adalah seorang wartawan. Mungkinkah kelak entah kapan saya terlibat cinta lokasi dengan rekan seprofesi di tempat liputan? Sungguh saya tak bisa membayangkan. Jika dua wartawan menikah, kelak rumahnya akan suwung karena sering ditinggal liputan. Hahahaha.


Apa pun itu, saya yakin, jodoh tak akan pernah tertukar.
Secinta apa pun kau dengan seseorang, kalau garis jodohmu bukan dengannya, sampai kapan pun tak akan bisa bersama. Begitu pula sebaliknya.
Mungkin terdengar klise, tapi setelah melewati perenungan mendalam #halah, saya mempercayai hal itu.



Jalani saja. Jalani saja. Jalani saja.


Hingga waktu yang indah itu tiba.





Jakarta, Rabu, 18 Januari 2017.



Indiana Malia




Tulisan ini diikutsertakan dalam #WritingChallenge #10DaysKampusFiksi. Mau baca tulisan lainnya? Follow Twitter @KampusFiksi, yak!



KEPUTUSAN BESAR

No Comments »


Pagi itu, 4 November 2015, kereta Sri Tanjung membawaku menuju kampung halaman: Jember, Jawa Timur. Sepanjang perjalanan melintasi kota demi kota, hatiku berkecamuk tak keruan. Kepulanganku kali ini bukan saja dalam rangka melepas rindu pada keluarga, tapi juga menyampaikan dua kabar penting. Pertama, aku telah mendapatkan pekerjaan (dan ingin melepaskannya). Kedua, aku memohon izin untuk mengikuti seleksi Ekspedisi NKRI 2016 koridor Papua Barat. Sungguh, menyampaikan dua kabar itu bukanlah hal yang mudah. Sebagai seorang sarjana merangkap pengangguran intelektual, bukankah hal yang lazim dilakukan adalah mencari pekerjaan agar dapat hidup dengan layak? Tapi yang kulakukan malah sebaliknya. Selepas wisuda, satu per satu temanku meninggalkan Jogja dan menjadi manusia yang bekerja. Surat lamaran demi surat lamaran dilayangkan ke segala instansi. Acara career day pun tak luput dari agenda, tapi entah kenapa tak sekali pun aku berminat ke sana. Semua berlomba-lomba mencari pekerjaan yang layak, sementara aku masih luntang-lantung ra cetho di tanah rantau.

Sejak dulu, ada hal yang sangat mengusik pikiranku. Ini mengenai pertanggung jawabanku sebagai mantan mahasiswa penerima beasiswa yang sumbernya dari rakyat. Sungguh, berkesempatan mengenyam bangku kuliah adalah berkah yang tak ternilai harganya. Bayangkan, jika tak ada beasiswa itu, mungkin aku masih keleleran tak jelas. Dan aku makin terusik ketika bertemu dengan orang tua asuhku setahun lalu. Ya, selain menerima beasiswa dari pemerintah, aku juga menerima bantuan dari seorang dermawan. Semua itu tak lepas dari kobaran semangat yang ditularkan Mas Imam Santoso—seorang kakak kelas yang begitu semangat memotivasi adik-adik kelasnya untuk kuliah—dan kedua orang tuaku.

Masih kusimpan baik-baik memori itu. Empat tahun lalu, aku berusaha keras meyakinkan kedua orang tuaku bahwa aku ingin melanjutkan sekolah. Tentu saja hal utama yang menjadi beban pikiran mereka adalah biaya. Bapak adalah seorang guru swasta yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengajar, sementara ibu adalah seseorang yang menghabiskan seluruh waktunya di rumah. Melihat kenyataan itu, persidangan keluarga besar pun tak terelakkan. Intinya, aku adalah seorang perempuan dan tidak perlu kuliah jauh-jauh. Tentu saja aku tak bisa menerima alasan itu. Apa yang salah dengan jenis kelamin perempuan? Maka dengan segala cara, aku kembali meyakinkan mereka. Setelah lulus SMA, tak ada hal lain yang kulakukan selain belajar untuk persiapan SNMPTN. Melihatku belajar seperti orang kesetanan, pada akhirnya orang tuaku mengirimku ke kota untuk belajar di bimbel Technos. Sebulan kemudian, aku mengikuti SNMPTN. Menunggu pengumuman SNMPTN selalu membuat jantungku berdebar-debar. Ketika hari H, Bapak mengantarku ke warnet kecamatan dan ikutan berdebar menanti hasil. Sesampainya di rumah, aku segera memeluk ibu. Ya, aku diterima sebagai mahasiswa Sastra Indonesia UGM. Restu keluarga besar telah kudapatkan. Aku pun meninggalkan kota kecilku menuju Yogyakarta, kota yang membuatku jatuh cinta sejak menjejakkan kaki di sana.

Hidup di kota besar membuatku harus sering memutar otak demi bertahan hidup. Sembari menanti beasiswa yang turun 6 bulan sekali itu, aku melakoni pekerjaan paruh waktu sebagai guru privat. Tahun 2014, aku berkesempatan berkunjung ke Jakarta, menemui orang tua asuhku. Di sana, kami membincang banyak hal. Aku benar-benar tak dapat berkata-kata ketika beliau menceritakan pengalaman hidupnya sembari menitikkan air mata. Masa kecilnya penuh dengan kesusahan. Beliau harus menempuh sekolah berkilo-kilo dengan berjalan kaki. Singkat cerita, beliau berjanji pada dirinya sendiri untuk membantu siapa pun dalam bidang pendidikan, salah satunya adalah dengan menjadi orang tua asuhku. Apalah artinya hidup jika tak bermanfaat untuk orang lain, begitu katanya.

Tahun 2015, aku mengikuti acara Kampus Fiksi yang diselenggarakan oleh penerbit Diva Press. Menghabiskan waktu dua hari tiga malam di sana, tak terhitung berapa banyak ilmu yang kudapatkan. Ketika penutupan acara Kampus Fiksi, aku tercenung mendengar penuturan Pak Edi—CEO Diva Press sekaligus Rektor Kampus Fiksi—mengenai pengalaman hidupnya sebelum dan sesudah mendirikan penerbit Diva Press. Apa yang beliau katakan sama persis dengan orang tua asuhku, “Jadilah pribadi yang bermanfaat untuk orang lain”. Aku bahkan merekam kata-katanya dalam kameraku.


Sungguh, mereka berdua sukses membuatku galau. Dan kegalauan itu makin menjadi-jadi ketika aku resmi menyandang gelar Sarjana. Ketika semua temanku berlomba-lomba mencari pekerjaan di instansi bonafit, aku masih saja bertengkar dengan hatiku. Dan itu membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak.

Wahai penerima beasiswa yang berasal dari uang rakyat, apa yang sudah kauberikan untuk negeri ini? Sudahkah kau menebarkan manfaat untuk orang lain?

Gila. Pikiran-pikiran itu kian menghantuiku. Aku pernah dua kali mengirimkan aplikasi lamaran pekerjaan, tetapi sesungguhnya hal itu kulakukan dengan setengah hati. Bagiku, bekerja adalah perihal memenuhi kebutuhan pribadi, dan aku belum ingin terjebak di dalamnya. Aku ingin melakukan sesuatu dengan sukarela tanpa embel-embel gaji di akhir. Dan hatiku pun jatuh pada Ekspedisi NKRI. Sudah sejak lama aku mendengar program itu, tapi aku tak bisa mendaftar karena statusku adalah penerima beasiswa yang tak boleh cuti. Tahun 2016, Ekspedisi NKRI akan dilaksanakan di Papua Barat. Bayangan mengabdi di luar pulau langsung terlintas di kepalaku. Apalagi setelah aku membaca pengalaman seorang senior di sebuah blog, keinginanku semakin memuncak. Aku ingin mengikuti jejak orang tua asuhku dan Pak Edi: menebarkan manfaat untuk sesama, sekecil apa pun itu. Setidaknya, sebelum aku benar-benar bekerja, aku ingin melakukan sesuatu sebagai bentuk pertanggung jawabanku.

Dan semua itu kuawali dari sini. Di sebuah ruang keluarga, berhadapan dengan Bapak dan Ibu yang terbelalak mendengar penuturanku. Bagaimana tidak? Anaknya baru saja mendapat pekerjaan, tapi akan dilepaskan begitu saja demi Ekspedisi NKRI. Ibu berkali-kali menanyakan keseriusanku. Bukankah bekerja sama halnya dengan mengabdi? Begitu tanya beliau. Ya, memang. Semua pekerjaan bisa saja disebut sebagai pengabdian. Namun, aku ingin mendapatkan hal yang belum tentu orang lain mendapatkannya: pengalaman mengabdi di tempat yang jauh dan bersinggungan dengan masyarakat yang budayanya amat berbeda denganku. Aku terlahir sebagai orang Jawa, namun belum pernah sekali pun keluar pulau dalam jangka waktu lama. Aku menginginkan pengalaman-pengalaman itu, harta yang tak akan pernah bisa dibeli dengan apa pun. Apa salahnya memanfaatkan masa muda selagi fisikku masih kuat? Jika tua nanti, belum tentu aku mampu mendaki gunung seperti saat ini, atau jalan kaki di pedalaman berhari-hari.

Setelah melewati tiga hari yang mendebarkan, aku pun mendapat restu dari mereka. Tak hanya restu, mereka mendukungku sepenuh hati setelah aku menceritakan seluk-beluk Ekspedisi NKRI. Keesokan harinya, Bapak mengantarku ke kota untuk membuat surat keterangan sehat dan surat keterangan bebas narkoba. Setelah semua urusan di kampung halaman selesai, aku pun kembali ke Jogja dan mengirimkan persyaratan ekspedisi via email.

Sembari menunggu pengumuman, aku menghabiskan waktu sebulan di Hartono Mall sebagai penjaga pameran mebel. Bekerja tanpa libur sama sekali, mulai pukul 9 pagi hingga pukul 10 malam. Seorang teman pernah bertanya padaku, masa iya seorang sarjana kerja di mall jaga pameran? Hahaha, aku tertawa mendengarnya. Kukatakan padanya, tak masalah, toh apa yang kulakukan tidak merugikan orang lain. Aku tidak mencuri, jadi mengapa harus malu? Anggap saja ini sebagai pengalaman. Kelak, ketika aku mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih layak, aku bisa sering-sering bersyukur ketimbang mengeluh. Ah, ya, pemilik usaha mebel ini baik sekali. Kami sering bertukar cerita saat stand pameran tak terlalu ramai. Aku masih ingat benar wejangan Pak Lukman ketika mendengar rencanaku untuk ikut seleksi Ekspedisi NKRI. Beliau berkata, “Tidak banyak orang yang berani melepaskan pekerjaan demi jadi relawan, lalu pulang dengan status pengangguran. Kamu masih muda dan enerjik, manfaatkan saja buat cari pengalaman hidup. Percaya sama saya, kelak kalau kamu sudah berada di lingkungan kerja, pengalaman-pengalamanmu itulah yang akan mendewasakanmu.”

Tepat sebulan bekerja di Hartono Mall, pengumuman itu datang. Kubuka website Ekspedisi NKRI dengan hati berdebar. Semalaman aku tak bisa tidur. Ku-scroll layar ponselku dengan hati-hati, dan terpampanglah namaku di sana. Jangan tanya betapa bahagianya aku saat itu. Bayangan Papua Barat sudah melambai-lambai di depan mata. Segera kutelepon orang tuaku untuk mengabarkan pengumuman ini, juga kepada Pak Lukman yang memberiku wejangan dua minggu lalu. Mereka mengucapkan selamat dan berpesan agar diriku selalu menjaga kesehatan.
Berbekal gaji jaga pameran selama sebulan, aku bergegas membeli beberapa perlengkapan ekspedisi yang belum kumiliki. Saat itu malam tahun baru. Aku dan teman baruku sesama peserta ekspedisi, Widya, keleleran seharian mencari perlengkapan ekspedisi. Tak akan kulupakan hari itu, hari di mana aku dan Widya cekakakan di sepanjang Jalan Kaliurang dengan barang bawaan segambreng. Kami ngakak macam dua orang yang sudah kenal bertahun-tahun, padahal baru dua hari kenal. Hahaha.



Dan perjalanan panjang itu pun dimulai…

Tentang Pilihan-Pilihan

No Comments »

Stasiun Jember tampak lengang. Kuseret langkahku setengah meragu ke bagian cetak tiket. Di belakangku, tampak bapak tengah menungguku masuk ke peron. Tadi aku sudah berpamitan. Ia baru bisa tenang kalau kereta yang kutumpangi sudah melaju.
Kuangsurkan selembar tiket dan KTP kepada petugas. Setelah diperiksa, ia mempersilakanku masuk. Aku membalikkan badan. Bapak melambaikan tangan, tampak cahaya harapan terpancar di kedua bola matanya. Harapan yang membuat pundakku terasa semakin berat saja. Diam-diam aku merasa takut. Takut mengecewakan, tepatnya. Ayolah, sulung! Kau tak selemah itu! Aku berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk dari kepalaku. 
Pukul 05.00 WIB. Kereta Sritanjung melaju pelan menembus kabut pagi. AC kereta membuat pagiku kian dingin. Kurapatkan jaketku dengan sedikit menggigil. Perlahan-lahan, mataku terkatup rapat, ditemani soundtrack drama Descendants of the Sun yang mendayu-dayu penuh rindu. Pikiranku masih saja berlompatan ke sana ke mari. Sungguh, saat itu tubuhku terasa amat remuk. Sebulan ini aku menghabiskan hidupku di jalanan, berpindah-pindah dari stasiun satu ke stasiun lain. Bahkan aku mulai mengakrabi ibukota dengan segala kemacetannya. Bekasi, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta. Keempat kota itu menjadi tempatku bertarung melawan kejamnya dunia kerja. Setelah mendedikasikan diri sebagai relawan di Papua Barat selama 4 bulan, praktis aku kembali ke kampung halaman dengan status pengangguran. Ini adalah risiko yang mau tak mau harus kutelan setelah menampik sebuah pekerjaan lumayan menjanjikan setengah tahun lalu, demi menuntaskan panggilan hati di Ekspedisi NKRI. Panggilan hati yang bagi sebagian orang terdengar begitu muluk, tapi tak kusesali sama sekali. 
Pukul 12 siang, aku tergelagap bangun. Harusnya aku tak boleh tidur. Harusnya aku belajar sungguh-sungguh. Kuambil buku psikotes yang baru kubeli seminggu lalu, kemudian aku larut dalam barisan angka. Aku berusaha mengakrabkan diri dengan Pauli, Kraepelin, Aljabar, Geometri, dan kawan-kawannya. Otakku memang agak susah mencerna angka, kecuali angka uang.
Kegagalan-kegagalan kemarin sungguh menohok hati. Kenyataan bahwa aku sudah menyandang gelar sarjana sejak setahun lalu diam-diam menjadi beban tersendiri buatku. Lebih tepatnya, aku jengah mendengar omongan orang-orang di kampungku. Kekepoannya amat menjengkelkan. Sebulan, dua bulan, tiga bulan berlalu dengan segala usaha kerasku 'menjual diri' ke mana-mana. Ada kalanya semangat itu turun dan biasanya aku akan menggalau ke beberapa kawan. Dan aku selalu bersyukur dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mendukungku. 
Pukul 4 sore, Nanda menjemputku di Stasiun Lempuyangan. Suasana Yogyakarta selalu membuatku menostalgiakan segalanya. Tiap sudutnya menyimpan kepingan-kepingan kenangan. Angkringan, musisi jalanan, Taman Budaya Yogyakarta, Togamas, Gramedia, Perpustakaan Kota, Jalan Kaliurang, kampus, dan segala hal yang kuakrabi hampir 5 tahun ini. 
Sesampainya di kos Nanda malam harinya (sebelumnya kami kumpul-kumpul dulu sama beberapa kawan), aku langsung tepar sampai pagi. Benar-benar lelah. Pagi harinya, sekitar pukul setengah 9, Nanda mengantarku ke Stasiun Lempuyangan. 
"Semangat, ya!" ujar Nanda sembari menerima helm dariku.
Aku mengangguk, lantas berlari-lari kecil menuju pintu masuk. Kereta Bogowonto siap mengantarku ke Jakarta (lagi). Percayalah, duduk berjam-jam dengan kondisi tegak akan membuat punggungmu keras seperti papan. Dan aku melakukannya hampir tiap minggu. 
Sembari mendengar lagu, tanganku kembali mengotak-atik buku psikotes. Tapi kali ini konsentrasiku buyar.  Beberapa waktu lalu aku juga melakukan perjalanan ke Jakarta, tetapi dengan suasana yang berbeda. Saat itu kau menemaniku melewati perjalanan-perjalananku, dan sekarang aku berjalan sendirian. Ah, betapa kenangan terkadang suka mengganggu pikiran! Kututup bukuku karena tak bisa berpikir jernih. Aku memilih tidur untuk beberapa jam ke depan.
Sesampainya di Stasiun Jatinegara, aku turun dan melanjutkan perjalananku dengan KRL. Sore itu, hujan turun deras sekali. Di pintu keluar, seorang bocah kecil menawarkan ojek payung kepadaku. Aku tersenyum sambil mengangguk. 
"Ke loket sana, ya, Dik!"
Tanah becek menyambut langkah kakiku. Sepatu dan kaus kaki basah seketika. Setelah membeli tiket jurusan Palmerah, aku duduk di kursi panjang, menikmati hujan sembari menunggu kereta datang. Setengah jam kemudian, KRL yang kunanti pun tiba. Aku amat bersyukur karena banyak kursi kosong. Turun di Stasiun Tanah Abang, aku kembali naik KRL yang berakhir di Palmerah. Kali ini aku harus berdiri berdesak-desakan. Tenang saja, aku sudah mulai terbiasa menghadapi luapan manusia seperti ini. Sejujurnya, tak sekalipun aku bermimpi akan mencari hidup di kota ini. Macet, banjir, polusi, adalah hal-hal menjengkelkan yang tak ingin kutemui. Tapi takdir kembali membawaku ke sini. Kota yang dulu amat kubenci dan sering kusumpahi, dan sekarang harus mulai kucintai.
Kira-kira pukul 8 malam, aku tiba di Stasiun Palmerah dan disambut oleh Ucil, kawan sejurusan merangkap kawan menggalau perkara gawean. Malam itu ia mengajariku naik angkot. Biar nggak tuman pakai ojek, katanya. Sekalian pengiritan. Angkot nomor 09 membawa kami ke daerah Kebayoran Lama. Kami turun di depan kantor Jawa Pos untuk menjemput Vika, tapi ternyata pekerjaannya belum kelar. Kami lantas menunggunya di warung tak jauh dari situ. Aku tak bisa menahan laparku lebih lama lagi. Aku takut meninggal kalau harus menunggu Vika dulu. 
"Sudah siap untuk tes besok?" tanya Ucil.
"Siap nggak siap, Cil. Baru 4 hari lalu aku di Surabaya, dan sekarang aku sudah di sini lagi. Capek, tapi aku kudu setrong! Hahaha!" jawabku.
"Yo, kowe kudu semangat. Pekerjaanmu ini berat, tapi cocok untuk orang yang baru saja kandas sepertimu. Kamu jadi nggak punya waktu buat mikirin hal-hal yang nggak penting, hahaha!"
"Sialan. Tapi benar juga."
Kami ngakak bareng. Sungguh indah menertawakan kesedihan masing-masing. Selesai makan, kami berjalan kaki menuju kos Vika. Vika tampak amat lelah. Kantung matanya kian menggantung saja. Ia menemani kami hanya sejam, lalu kembali ke kantor untuk rapat sampai jam satu dini hari. 
"Jadi wartawan itu capek, Ndi. Penuh tekanan. Serius!" kata Vika.
"Aku harus capek, Vik. Serius!"
"Ya, itu pilihanmu sih. Semoga tes besok lancar, ya!"
"Aamiin."
Setelah Vika pergi, aku membuka-buka koran yang dibawa Ucil. Ucil sendiri sudah bobok manis setengah jam lalu. Benar, ini adalah pilihanku. Jika aku sudah menentukan pilihan, maka yang selanjutnya kulakukan adalah memperjuangkan pilihan itu, bagaimana pun caranya. Tepat pukul 12 malam, aku menyusul Ucil tidur. 
Pagi harinya, aku bersiap-siap. Vika masih goler-goler di kasur ketika aku berpamitan kepadanya. Ia menyemangatiku dengan mata setengah tertutup. Kususuri gang kecil dengan hati campur aduk, lalu berbelok ke arah gedung Jawa Pos. Di sana, aku berdiri menunggu kedatangan ojek online yang kupesan beberapa menit lalu. Kuperhatikan lalu lalang kendaraan di depanku. Macet. Ruwet. Jakarta, oh, Jakarta.
"Mbak Indiana, ya?" sapa seorang mas-mas berjaket hijau khas ojek online.
Aku mengangguk. Ojek pesananku sudah sampai. "Ke Jalan Teuku Cik Di Tiro, ya, Mas?"
"Siap, Neng!"
Sesuai dugaan, pagi itu kami disambut macet di sana-sini. Itulah mengapa aku berangkat 1,5 jam sebelumnya. Biar nggak telat. Setelah diiringi drama kesasar, tibalah kami di daerah Menteng. Aku segera masuk ke gedung tempatku tes bersama seorang seniorku di kampus. Mbak Habsari namanya. Satu per satu peserta datang dan kami saling berkenalan. Nyaliku agak menciut ketika melihat beberapa dari mereka adalah jebolan TV ternama, atau lulusan jurusan Jurnalistik. Tapi, ya sudahlah, lihat saja nanti.
Pukul 11 siang, kami digiring ke sebuah ruangan untuk menjalani tes tulis. Meskipun suasananya amat santai, tetap saja aku gugup. Kujawab soal-soal seputaran dunia jurnalistik semampu yang kubisa. Ada dua soal yang bikin aku kelimpungan, yaitu soal menerjemahkan berita bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Saat itulah aku mengutuk diriku sendiri yang kurang bersungguh-sungguh belajar bahasa Inggris. Dulu sempet jago pas ikut les di Pare, sekarang balik bego lagi karena jarang diasah -_-
Selesai tes, aku dan Mbak Habsari kabur ke warung depan kantor sambil ngroweng perkara soal-soal tes yang di luar prediksi kami. Ya, anggap saja kami sedang dilatih. Kalau sudah resmi bekerja nanti, akan lebih banyak lagi hal-hal tidak terduga yang kami temui.
Pukul setengah 2 siang, sesi interview dimulai setelah sebelumnya ada presentasi mengenai profil perusahaan. Interview dibagi menjadi beberapa kloter. Aku kebagian kloter kedua bersama dua orang temanku, Mery dan Adit. Kami diwawancara oleh 3 orang redaktur yang ketiga-tiganya kocak. Suasana amat santai, dan aku langsung jatuh cinta pada media ini. Kupikir akan sangat menyenangkan bekerja dengan orang-orang segila mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tentu saja berkaitan dengan CV yang kami tulis. Adit menceritakan pengalaman kerjanya sebagai fotografer, profesi yang menurun dari ayahnya. Mery menceritakan pengalaman magang di sebuah stasiun TV ternama. Aku?
"Setelah lulus, saya lebih banyak keluyurannya sih, Pak. Terakhir saya ngebolang di Papua Barat selama 4 bulan. Juni kemarin baliknya," ujarku.
"Ngapain tuh di Papua? Lihat orang pakai koteka?"
Semua tertawa.
"Hehe, jadi relawan, Pak. Asisten Peneliti bidang Sosial dan Budaya gitu lah. Kerjaannya main ke distrik-distrik terpencil buat cari data bla... bla..."
Ya, hanya Ekspedisi NKRI lah senjataku saat itu, sebuah pengalaman yang agak nyambung dikit lah sama bidang pekerjaan yang kulamar. Setelah tanya-tanya tentang pengalaman, kami lebih banyak ngobrol ngalor-ngidul.
"Dit, kamu punya pacar?" tanya Cak Sol bercanda setengah serius.
Adit si fotografer menggeleng. "Baru aja putus, Pak."
Semua tertawa. Aku hanya tersenyum kecut. Sabar, yah, Dit. Jodoh mah nggak ke mana, tapi kalo lu nggak ke mana-mana ya nggak ketemu juga.
"Kenapa putus?"
"Ya gitu deh, Pak, dia bla ... bla... bla ..." si Adit curcol. Buset.
"Kalau Indi, punya pacar nggak?"
Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Putus juga kau?"
Aku pura-pura budek.
"Kalau Mery?"
"Nggak punya, Pak."
"Waaaah, jomblo semua berarti ini, ya! Nggak papa, nanti kalian cari sesama wartawan saja, kan asyik. Di sini banyak tuh yang cinta lokasi. Tapi kalau sampai menikah ya risikonya harus keluar salah satu," ujar mas-mas gendut yang aku lupa siapa namanya.
Kami tertawa mendengarnya. Setelah haha-hihi beberapa menit, kami dipersilakan keluar. Aku merebahkan diriku di mushola sembari nunggu Mbak Habsari kelar wawancara. Pikiranku kembali melayang. Menjadi seorang wartawan adalah impianku semasa sekolah. Dulu aku begitu aktif di ekskul Jurnalistik sampai-sampai ingin kuliah di jurusan serupa. Begitu diterima sebagai mahasiswa Sastra Indonesia UGM, impian itu lambat laun pudar seiring dengan banyaknya pilihan. Sempat tergabung dalam pers mahasiswa tingkat fakultas, tapi tak bertahan lama. Aku larut dalam aktivitas menulis fiksi , organisasi jurusan, dan selebihnya nggembel ke sana kemari. Menginjak tahun akhir kuliah, kerjaanku dolan melulu. Begitu lulus dan wisuda, aku mencelat ke Papua Barat.  Ya, begitulah pilihan hidupku saat itu.
Dan kini, aku diajak reunian dengan impian di masa lalu. Menjadi seorang wartawan yang hidupnya keleleran di jalanan. Seru-seru mengasyikkan. Penuh tantangan dan perjuangan, macam orang pedekatean.
Setelah menjalani tes dan interview di hari itu, aku kembali ke Yogyakarta untuk menunggu pengumuman. Aku sudah berjanji tidak akan pulang ke rumah  andaikata aku tidak lolos. Malu sudah mengecewakan orang tua dan menghabiskan banyak harta. Lebih baik aku serabutan dulu di sini sampai menemukan pekerjaan yang layak. H+1 Idul Adha, pengumuman itu datang dan aku tidak lolos. Saat itu aku langsung down. Oh, Tuhan, kuatkan aku. Dengan hati tak keruan aku mengirimkan sebuah sms ke nomor bapak.


Bapak, aku nggak lolos. Maaf sudah mengecewakan dan menghabiskan banyak uang.


Kemudian aku menangis di pojok kamar kos sampai tertidur. Begitu bangun, kudapati mataku bengkak tapi perasaanku sudah agak lebih baik. Karena tak ingin edan sendirian, aku menyambangi kos Mbak Habsari buat sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Oya, dia lolos. Keesokan harinya, ia terbang ke Jakarta untuk teken kontrak, sementara aku sibuk apply lamaran lagi. Kemudian kabar itu datang di siang bolong. 


Ndi, kamu lolos tahu! Emang kamu nggak dapat sms?


Kubaca pesan Line dari Mery setengah tidak percaya. Kucek kembali ponselku yang rada soak ini. Tidak ada sms masuk. Aku lantas menelepon ke kantor untuk memastikan. Oh, ternyata ada trouble. Entah gimana ceritanya sms dari kantor tidak masuk ke ponselku. Alhamdulillah, mereka mau maklum sehingga aku tidak perlu nyap-nyapan ke Jakarta saat itu juga. Setelah mendapat kepastian, aku lantas menelepon bapak dan menyampaikan kabar itu. Akhir bulan ini aku harus kembali ke Jakarta dan mengikuti pelatihan sebelum siap tempur. Rasanya ngeri-ngeri sedap.


Pada akhirnya, inilah pilihan yang harus kujalani. Seperti halnya memilih pasangan, aku harus bertanggung jawab dan memperjuangkan pilihanku apa pun yang terjadi. Diam-diam aku harus berterima kasih pada Ekspedisi NKRI, senjata ampuhku dalam interview kemarin. Ah, bukankah setiap pilihan akan melahirkan segala kemungkinan? Mungkin jika dulu aku lebih memilih pekerjaan ketimbang jadi relawan ekspedisi, aku tidak akan bertemu orang-orang hebat dan pengalaman hidup yang tak bisa dibeli dengan apa pun. Dan tentu saja, aku tak akan jadi wartawan, impian masa sekolah yang sebentar lagi akan terealisasi.



Yogyakarta, 17 September 2016.

Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #5

Baca selengkapnya » | No Comments »

Satu-satunya hal yang ada dalam pikiranku ketika Mas Pencit menghilang adalah ucapan mas-mas gondrong pas ngasih petuah. Biasanya para pendaki suka lupa diri kalau turun dari puncak. Saking senengnya main perosotan sampai ga fokus sama medan, tahu-tahu udah nyasar aja. Dulu pernah ada yang nyasar, pas ngelewatin area Blank 75 dia nggak fokus, dikiranya jalan lurus padahal ngarah ke kanan. Sampai akhirnya dia jatoh di jurang sebelah kanan itu. Dua hari dia bertahan tanpa bekal apa pun. Dan anehnya, pas tim SAR nyari ke sana, dia nggak ada. Kalian tahu dia ke mana? Dia tiba-tiba aja pindah ke sekitaran jurang sebelah kiri. Percaya nggak percaya, ada yang mbopong dia ke sana.
Dan sekarang, aku sedang turun, sendirian! Aku bergidik sendiri. Baru kali ini aku berada di gunung sendirian, tanpa melihat manusia satu ekor pun. Rasanya … hmm, jangan kautanyakan. Pada sebuah turunan, kuhentikan langkahku. Perutku bergolak kian beringas. Kebelet pipis, sudah tak tahan lagi! Duh, pipis, nggak, ya? Mana nggak bawa tisu basah lagi! Bingung melanda seketika. Kutengok ke belakang, jelas nggak ada orang. Kanan-kiriku pun kosong melompong. Tempat ini terlalu terbuka. Gimana kalau ada penunggunya? Gimana kalau penunggunya nggak suka sama aku?
Alamaaaaak! Tapi aku sudah tak tahan lagi. Kalau aku tetap maksain turun dengan beban yang sudah di ‘ujung’, bisa-bisa aku ngompol. Oh, tidak. Baiklah. Aku lantas turun beberapa langkah, mendekati sebuah batu seukuran lemari empat pintu. Sambil komat-kamit “Maaf, ya … aku sudah nggak tahan. Tolong jangan ganggu, aku nggak aneh-aneh kok!”, kuselesaikan ritual mendebarkan tersebut. Setelahnya, aku kembali tolah-toleh. Sedetik kemudian, lariiiii! Ya, aku turun sambil berlari gegara bergidik.

Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #4

Baca selengkapnya » | No Comments »


"Ada macaaaan!"
“Macaaan!”
“Macaaan!”
Kalimati yang semula tenang dan damai mendadak ramai. Di luar tenda, orang-orang berteriak ketakutan. Sontak aku terjaga dan merasakan tubuhku merinding luar biasa. Aku tidak berani keluar tenda meskipun orang-orang menyuruh mengosongkan tenda. Badanku kian panas dingin setelah menyadari bahwa Mas Pencit dan Mas Pleir tidak ada di tempat. Semakin lama, auman macan terdengar semakin nyaring. Kata mas-mas gondrong ketika memberikan briefing, di Kalimati memang ada macan yang suka keliaran, tapi di Sumber Mani, bukan di tempat ini. Aku kian ketakutan. Angin berembus kencang. Seorang kakek tua berbaju serba putih tiba-tiba masuk ke dalam tenda. Matanya tajam menatapku.
“Kamu lolos!”
“Ap… apa?”
“Kamu dapat melanjutkan perjalanan sampai akhir.”
Kemudian ia menghilang. Jantungku berdegup kencang. Apa yang barusan kulihat? Aku mengucek mata berkali-kali. Auman macan itu kini tak terdengar lagi, berganti suara berisik orang-orang.
“Iku arek-arek Jember gak digugahi ta? Tendane sepi banget!”
“Oiiii, Mbak Jember! Mas Jember!”
“Wis-wis, jarne. Mungkin mereka summit-nya masih nanti.”
“Oke, kita berangkat!”
“Semangat! Kalau ada yang capek, ngomong. Ingat, tujuan utama kita bukanlah puncak, tapi pulang dengan selamat!”
“Ya! Semangat!!”
Kemudian teriakan-teriakan itu menghilang bersamaan dengan langkah kaki mereka. Aku mengerutkan kening. Kenapa suasananya jadi beda begini? Aku mengucek mataku sekali lagi. Dan alangkah terkejutnya aku ketika mendapati Mas Pencit dan Mas Pleir tengah molor dengan santainya. What the hell, ternyata suara macan dan kakek tua tadi tadi beneran ada. Beneran ada dalam mimpi, maksudnya.
“Mas! Mas!”
“Hm?”
“Pukul berapa sekarang?”
Mas Pencit bangun dari tidur, menyalakan senter, lantas melihat jam tangannya. “Pukul 22.45 WIB. Ya ampun, ternyata tadi kita nggak pasang alarm.”
“Tadi mas-mas tenda sebelah pada tereak kenceng banget, makanya aku bangun. Untung ada mereka,” ujarku, lantas melanjutkan dalam hati, untung ada suara macan dan kakek tua juga.

Mas Pleir kemudian bangun. Sambil mengucek mata, ia mengambil nesting berisi nasi dan sarden di pojokan tenda. Mas Pencit langsung bikin minuman hangat. Sambil makan, kami mengobrol. Sebenarnya aku sangat malas makan, tapi tetap kupaksakan karena tubuhku butuh energi yang cukup untuk menempuh perjalanan selanjutnya. Apalagi seharian tadi aku hanya mengunyah beberapa butir kentang dan apel. Aku tidak mau pingsan di tengah jalan gegara kurang makan.
“Berangkat pukul berapa kita?” tanyaku lagi.
“Pukul 12, ya. Santai, masih lama.”
Setelah makan, kami memeriksa kembali perlengkapan summit. Headlamp, jaket, air, dan cemilan. Meskipun Mas Pencit sudah membawa air yang lebih dari cukup, tapi aku tetap jaga-jaga dengan membawa sebotol kecil air. Tak lupa pula mengantongi dua batang cokelat silverquuen. Setengah jam kemudian, kami pun keluar tenda.

Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #3

Baca selengkapnya » | No Comments »

Minggu, 18 Oktober 2015

“Ngapain kamu di sini?” aku terkaget-kaget melihat sosok itu tiba-tiba masuk ke tenda.
“Aku nggak mungkin biarin kamu sendirian lah,” jawabnya dengan cuek, tapi berhasil membuat pipiku memanas.
“Gimana bisa kamu ada di sini? Kok kamu bisa tahu kalau aku di Semeru?”
“Rahasia,” lagi-lagi ia menjawab dengan gaya menyebalkan.
Aku memanyunkan bibir. Dongkol sekaligus penasaran, bagaimana mungkin bocah nyentrik itu tahu-tahu ada di sini. Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, ia keluar tenda. Aku buru-buru menyusulnya, tapi …
“Adaaaw!” aku merutuk. Ujung jilbabku tersangkut resleting tas!
“Kenapa, Mbak?”
“Ha?”
“Ada apa, Mbak?”
“Ha?” aku bingung. Semakin bingung setelah mendapati diriku terbungkus sleeping bag dengan posisi ndusel-ndusel Mbak Fai dan Mbak Nisa. Ke mana bocah nyentrik tadi? Aku buru-buru bangun. Di luar sana terdengar suara orang-orang yang meributkan sunrise. Barulah aku sadar apa yang sebenarnya terjadi. Ngebo selama 9 jam ternyata menghasilkan mimpi yang ra cetho tapi membuatku senyum-senyum sendiri. Aku lantas mengusap wajah berkali-kali. What the hell, ada apa denganku. Sebelum pikiranku makin nggak waras, aku lalu menunaikan sholat Subuh. Usai sholat, aku merasakan ada yang mendesak-desak di dalam tubuh. Kebelet pipis.

Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #2

Baca selengkapnya » | No Comments »

Sabtu, 17 Oktober 2015

Udara dingin basecamp Ranupani membangunkan tidur kami pagi itu. Sambil menahan dingin campur kantuk campur lelah perjalanan, kami keluar tenda dengan bermalas-malasan. Satu per satu pendaki yang semalam gluntungan di lantai pun mulai bangun. Tenda-tenda yang berjajar di sebelah kami juga telah menampakkan aktivitasnya. Setelah sholat Subuh, kami segera menyiapkan sarapan. Loket baru akan dibuka pukul 8 nanti. Rencananya kami akan mulai mendaki pukul 9-an biar abis Duhur udah bisa ongkang-ongkang kaki di Ranukumbolo, istirahat sejam dua jam, lalu lanjut jalan ke Kalimati tapi kok kayaknya nggak mungkin.
"Mau bikin apaan?"
"Kopi."
"Energen"
"Nggak usah bikin nasi, ya? Di Ranukumbolo aja bikinnya."
"Iya. Makan mie aja lah."
"Sakarep wes. Aku nggak biasa sarapan juga."
Kami ribut bongkar-bongkar perbekalan. Akhirnya, kami pun bikin mie instan sebagai pengganjal perut pagi itu, ditemani kopi dan energen. Sebenarnya mie instan sangat nggak disarankan buat nggunung, tapi mau gimana lagi, kami terlalu mager buat masak yang agak ribet. Hahaha. Selesai makan, kami segera bongkar tenda dan menata ulang barang-barang yang berserakan di lantai. Dari tempat kami berdiri, tampak bukit-bukit indah berjajar di kejauhan sana. Aku berdecak kagum, setengah tidak percaya bahwa pagi ini berada di sebuah tempat yang kuimpikan sejak dulu: Mahameru. 
"Dari mana, Mbak?" seorang mas-mas bercarrier hitam menyapaku yang tengah bengong menatap kejauhan.
"Eh? Dari sini aja, Mas. Hehe," aku meringis.
"Di sini itu di mana?"
"Jember, Mas. Samean soko ngendi?"
"Ooo... Jember, tho. Saya dari Wonosobo. Sering ndaki, Mbak? Anak Mapala?"
"Hahaha, bukan, Mas, cuma suka jalan-jalan aja."
"O, kirain. Ngomong-ngomong, ndaki pake rok emang nggak ribet?" Mas-mas itu menatap sekilas rok cokelat yang kupakai.
"Enggak, kok, Mas," jawabku sambil meneruskan dalam hati, nggak tahu ribet apa kagak, orang baru pertama kali juga.
"Yowis, ati-ati, Mbak. Aku duluan, ya. Rombonganku udah mau jalan, nih. Sampai ketemu di sana!" Mas-mas itu melambaikan tangan sambil berlalu dari hadapanku.
"Oke, Mas!" aku balas melambaikan tangan. 

Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #1

Baca selengkapnya » | 2 Comments »

Kamis, 15 Oktober 2015


"Nduk, kamu bawa power bank nggak pas di gunung nanti?" Bapak tiba-tiba nongol di ambang pintu kamar.
Aku yang saat itu sedang berkemas-kemas sontak mendongak sembari menaikkan alis. Heran campur geli. "Bawa. Kenapa?"
"Ya buat nge-charge hape. Di sana beneran nggak ada sinyal, ya?" tanyanya lagi.
Aku semakin ingin ngakak. "Palingan di basecamp doang, Pak."
"Nanti kalau sudah mau naik kabarin, ya."
"Hmmm..."
Bapak kemudian berlalu dari hadapanku. Aku tercenung sesaat. Pertanyaan Bapak barusan benar-benar membuatku geli. Bagaimana tidak? Doi udah sering merambah alam liar, bro! Tidak terhitung berapa kali doi *pssst, aku menyebutnya "doi" karena Bapakku gaul sekali* pergi ke alam liar berhari-hari tanpa sinyal. Sebagai seorang pembina ekskul Pecinta Alam yang sering nemenin murid-muridnya ekspedisi ke mana-mana, doi pasti tahu kalau di pedalaman sana nggak ada tower. Hahaha. Yeah, kukira ini adalah bentuk kekhawatiran seorang Bapak kepada anak. Padahal, ini bukan sekali dua kali aku berpamitan untuk naik gunung. Mungkin karena kali ini aku pamitannya di rumah, jadi lebih kerasa gitu (?). Yeah, FYI aku baru dua hari pulkam dan besoknya langsung pamit ke gunung. 
"Nduk, segini cukup, nggak?" Ibu masuk ke kamar sembari membawa dua kresek beras, sekresek apel, sekresek jajanan, dan sekresek kentang. 
Aku melongo. "Maaaaak! Ini kebanyakan!"
Hahaha. Duh, Gusti. Begini, ya, rasanya kalau mau mbolang dari rumah. Nggak usah khawatir logistik karena ibuku sudah pasti akan menjejali carrier-ku dengan beraneka ragam makanan. Beda banget kalau lagi di Jogja, mau beli ini-itu musti dipikir mateng-mateng.
"Lha kalau nanti kamu kelaparan gimana?"
"Haha, ora...ora! Temenku, kan, banyak..." aku lagi-lagi terkikik geli. Setelah ibuku pergi, aku menata ulang barang-barang yang akan kubawa mendaki. Barang yang sekiranya nggak penting buru-buru kusingkirkan. SB, baju ganti, kaos kaki, masker, headlamp, senter, kacamata item, dan logistik kumasukkan satu per satu ke dalam carrier berkapasitas 45L. Fiuh, selesai juga.