Archive for September 2014

Menjadi Wanita

1 Comment »

Seharian kemarin, emosiku berubah-ubah. Pagi hari bahagiaaaa sekali. Dan anehnya, bahagia itu tanpa sebab. Macam orang kasmaran, aku senyum-senyum sendiri. Padahal enggak lagi jatuh cinta. Enggak lagi kenapa-napa. Seneng tanpa tahu apa penyebabnya. Beberapa jam kemudian, mendadak nggak mood. Badan rasanya lemas dan capek, padahal nggak ngapa-ngapain. Selesai makan siang dengan Vika, aku langsung pulang. Pengennya maraaaah terus. Mendadak jadi makhluk sensitif sekali. Gara-gara sms-ku dicuekin sama Budi, langsung bete. Padahal biasanya enggak gitu. Lihat kamar berantakan, pengen marah. Bahkan kucing tak bersalah yang lewat depan kamar pun jadi sasaran. Aku kenapa? Enggak tahu. Ingat kalau ada tugas sosiologi sastra, aku langsung baca buku Prof. Faruk. Baru baca dua paragraf, tiba-tiba keringat dingin bercucuran. Badan semakin lemas. Sempoyongan buka pintu, tahu-tahu ambruk. Untung kepalaku jatoh ke kasur, bukan ke lantai. Perut melilit. Sakit. Lihat jam udah pukul tiga sore. Nggak sanggup jalan. Ujung-ujungnya bolos kuliah. Ben.
Dua jam gelimpungan di kasur sembari menahan perih di perut. Nyeri. Sakit. Rasanya seperti ditusuk jarum pentul. Pukul lima sore, kondisi lumayan membaik. Aku berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi. Dan .... voila! I get periode!
Oh, wanita. Sebegini menderitanya ketika tamu bulanan datang. Tamu yang selalu bikin aku cemas. Kalau nggak datang ditunggu-tunggu, kalau datang dicaci-maki. Ah, namanya juga siklus. Aku pernah membaca artikel di internet, tamu bulanan memang mempengaruhi emosi seseorang. Umumnya wanita akan terlihat letih di hari-hari pertama, kemudian jadi sensi abis. Cara mencegah agar orang lain nggak jadi sasaran adalah istirahat. Tidur.
"Baru PMS aja udah ngeluh. Sakitnya tuh nggak ada apa-apanya sama ngelahirin!" kata Ibu pas kutelepon kemarin.
Iya, ya. Benar juga. Ah, menjadi wanita itu memang tak mudah.




Iki aku nulis opo? Mbuh. Luweh.

Pilihan

No Comments »

Menjadi mahasiswa tingkat akhir memang cenderung santai kelihatannya. Kuliah udah jarang, praktis selo banget. Masing-masing orang pun berusaha menyembunyikan kegelisahan mengenai tugas akhir a.k.a skripsi. Ya, termasuk aku. Pasca KKN, aku belum satu kali pun menyentuh novel yang kelak akan kujadikan objek kajian skripsi. Rencananya aku akan memakai novel Kak Erni Aladjai sebagai objek. Tapi kenyataannya, sampai saat ini aku belum melakukan apa pun.
Berbeda dengan teman-teman lain yang tinggal skripsi atau mengambil satu-dua mata kuliah, semester ini aku masih mengambil banyak SKS. Aku mengambil tiga mata kuliah lintas jurusan sekaligus. Bahasa Jepang, Bahasa Korea, dan Bahasa Thailand. Tiga mata kuliah itu yang benar-benar kutekuni dibanding mata kuliah lain. Tahu kenapa?
Impian. Ya, aku memiliki impian yang diragukan banyak orang. Impian yang kedengarannya absurd alias nggak jelas. Tapi aku benar-benar berusaha keras untuk itu.
Kegiatan yang rutin kulakukan saat ini adalah berlatih menulis, menghafal kosakata, membaca komik, mengajar, dan menggarap proposal novel. Kemarin pagi, tahu-tahu aku mendapat sebuah pemberitahuan seperti ini.

Novel debut yang kutulis dengan berdarah-darah pada akhirnya harus direvisi lagi. Nggak papa. Kali ini aku nggak ngeluh-ngeluh lagi. Aku terima saja apa yang ada. Ini adalah proses. Proses yang sangat panjang dan kelak akan berbuah manis. Semoga.
Kemudian aku disadarkan oleh sesuatu. S-K-R-I-P-S-I.
Padahal, sepanjang bulan Oktober sudah kujadwalkan untuk melakukan riset dan menggarap draft novel kupresentasikan di Bentang. November baru lah menggarap skripsi.
Tapi tampaknya sekarang aku benar-benar harus memilih. Aku tidak mungkin menunda revisi novel karena tinggal selangkah lagi akan edar. Aku juga tidak mungkin menunda penggarapan draft novel. Jika aku menundanya, draft itu akan membangkai seperti draft-draft terdahulu.



Lalu ....





Tiba-tiba saja nuraniku berteriak-teriak.


Apa sebenarnya yang kau inginkan?
Apa yang kau butuhkan?
Mana yang kau prioritaskan?
Kau menggarap skripsi karena niatanmu sendiri atau karena panik melihat teman-temanmu?




Dan pada akhirnya aku memang harus memilih. Aku tak bisa melakukannya dalam waktu bersamaan. Maka, kuputuskan untuk meninggalkan skripsi tuk sementara. Biarkan aku menggapai apa yang benar-benar kuinginkan saat ini....

Sabda

No Comments »

"Tunggulah hingga ia datang, kemudian cobalah untuk menyelaminya sedalam lautan. Agar kau tak lagi merasakan sakit berkepanjangan. Karena jika kau yang mendatangi, kau akan kembali jatuh entah untuk yang ke berapa kali." -Ibu-

Janji

No Comments »

"Aku sudah kenyang makan janji lelaki dengan segala ke-prek-annya. Aku nggak akan percaya selama kau belum membuktikannya. Jadi, jangan coba-coba mengikatku dengan janji yang kaubilang serius itu. Sebelum kau melaksanakan apa yang kau ucapkan, tidak ada apa-apa di antara kita."

                                                                            *******



"Aku tidak menyangka kalau rasanya bakal sesakit ini," katanya sembari menatap senja dari Candi terbesar di Prambanan.
"Tapi itu bisa dijadikan pembelajaran untuk dirimu sendiri, bahwa kau tidak boleh mudah percaya dengan janji lelaki mana pun. Seserius apa pun janjinya, kalau nggak dilaksanain ya sama aja omong kosong," timpalku. "Siapa yang bisa menjamin kalau dia bakal tetap mencintaimu?"
"Kok kamu gitu sih?"
"Yah, bukankah hati manusia gampang terbolak-balik? Temanku yang tujuh tahun pacaran, tahu-tahu putus gegara diselingkuhin. Bisa kau bayangkan sakitnya kayak apa?"
"....."
"Berapa banyak waktu yang terbuang? Hm? Dari pengalaman hidupnya itu, aku belajar banyak. Salah satunya, ya, itu. Jangan mudah percaya dengan janji. Walaupun janji yang diucapkan orang yang kau cintai itu kedengarannya serius, tapi kau juga musti hati-hati. Perasaan yang berkembang tanpa ada kejelasan itu bisa kadaluarsa kapan pun."
"Kesimpulannya, aku harus meminta kejelasan?"
"Ya.Yang pacaran bertahun-tahun aja bisa kandas, apalagi kalian yang nggak jelas arah tujuannya. Ibuku selalu bilang, cintailah lelaki dengan sewajarnya. Jangan berlebihan. Nanti kalau jatuh, sakitnya nggak ketulungan."
"Mmm ..."
"Sejak 'kejadian' itu menimpaku, aku nggak lagi-lagi deh main perasaan secara berlebihan. Suka, ya, suka aja. Seperlunya. Kalau toh orang yang aku sukai ternyata memiliki perasaan yang sama, tetap saja aku nggak mau percaya gitu aja dengan janji yang dia bikin. Sebelum dia membuktikan perkataannya, jangan harap bisa mengikatku."
"Pembuktian? Contohnya?"
"Menikahiku."



Prambanan, 8 September 2014.