Archive for November 2014

Jika

2 Comments »



Jika perjalanan adalah cara terbaik untuk mengenal seseorang lebih dalam, maukah kau melakukan perjalanan bersamaku?

Cerita Perjalanan Part 2 #Jakarta

No Comments »

Selesai berpetualang di Bandung, kami melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Kereta yang kami tumpangi berangkat pukul 13.30 WIB dan tiba di Stasiun Pasar Senen pukul 17.30 WIB. FYI, sebelum berangkat, seorang teman mewanti-wanti kami agar memasang tampang sangar bin songong. Bukannya apa-apa, sih, Jakarta gitu loh. Siap-siap aja dikadalin orang kalau masang tampang tolol. Sesampainya di Senen, belum apa-apa kami udah disuguhi kosakata macem "anjing tai babi" yang dilontarkan oleh seorang pemuda kepada petugas loket. Di Jogja sering juga sih denger beginian, tapi ... ya ... nggak separah itu juga.
Abis beli tiket komuter, kami masuk lagi ke stasiun. Dan drama pun dimulai! Dasar emang baru pertama kali naik komuter, pas di tempat pengecekan tiketnya kutinggal gitu aja. Bodohnya, si petugas cuek aja ngebiarin. Pas udah nyampe Stasiun UI, sebelum keluar, si petugas minta tiket tadi.
"Lah? Emang dibawa? Kirain ditaroh di stasiun tadi!"
"Kagak, Ndi. Ya ampun, maaf aku lupa ngasih tau. Udah, sih, Pak, izinkan kami keluar aja napa?" mohon Anggun ke petugas.
"Wah, ya, nggak bisa, Neng."
"Dendanya berapa deh, Pak?"
"50 ribu, Neng."
Anjir! Aku udah mau tewas di tempat. Tolong, ya, kemarin aku udah kena tilang 50 ribu!
"Nggak bisa kurang apa? Kami masih baru naik komuter nih, nggak begitu tahu peraturannya."
"Wah, saya hanya menjalankan tugas, Neng."
Aku nyaris putus asa. Ditambah kondisi tubuh yang amat capek, aku nyaris menyerahkan duit 50 ribu. Tapi dicegah oleh Anggun. Dengan segala cara, akhirnya kami menadapatkan solusi. Petugas nyuruh kami keluar, kemudian beli tiket komuter dengan tujuan yang paliiiing jauh. Abis itu kartunya dikasiin ke petugas tadi, semacem ganti kartu yang ketinggalan tadi. Nah, pas mo beli tiket itu, sebenernya aku sempet kepikiran buat kabur aja, toh petugasnya nggak tau, hahaha. Tapi enggak jadi, nggak enak.
Setelah urusan tiket kelar, kami dijemput oleh Rina, kawan SMA kami. Rencananya kami bakal nginep di kos dia dan Keceng a.k.a Habibah selama di sana.
"Ah, kalian ditipu. Sebenernya kalian nggak perlu beli tiket, sih, hahaha!" Rina ngakak. What the -_-
Pas nyampe kosan, kami langsung gegoleran. Keceng belum dateng, doi lagi nemenin Ifo nyari objek foto di HI. Ah, ya, Ifo ini adik kelas kami pas SMA, tapi udah kayak temen juga sih. Dia juga bakal nginep di kos ini. So, bisa dibayangin ketika lima cewek ngumpul jadi satu. Hahaha!
Rasanya berasa reunian. Kangen aja gitu kalau mengingat kegeblekan masa SMA. Entah karena efek hujan atau emang suasana hati lagi nggak jelas, Rina berulang kali bikin kami tertawa gegara omongannya soal status kami yang masih santai ngejomblo.
"Mblo, ini malem minggu ...!"
"Hahaha, jomblo karataaaaan. Jomblo sejak lahir, hahaha!"
"Aku nggak jomblo, ya. Aku LDR-an."
"Oya? Sama siapa?"
"Sama jodoh di masa depan."
"Kampret!"
"Hahahaha!"
Geblek banget lah orang-orang ini. Berkumpul dengan mereka selalu bikin aku sakit perut parah, hahaha.
Oya, jadi maksud dan tujuan aku dan Anggun ke Jakarta adalah menemui orang tua asuh yang membiayai kuliah kami hingga saat ini. Namanya Mas Aulia. Selama ini, kami belum pernah ketemu beliau. Begitu ada waktu luang, kami langsung berangkat. Bukannya apa-apa, sih, kami kan mau lulus, masa iya belum pernah ketemu sama sekali.
Pagi harinya, di saat kami sedang asyik tidur-tiduran, tahu-tahu Mas Aul menelepon dan minta ketemuan setengah jam lagi! Oh, men, padahal awalnya mo ketemu abis duhur.
"Ndi, buruan mandiiii!"
"Ayo, cepet! Cepet!"
Kami jadi panik sendiri. Berhubung kami enggak paham jalan, Keceng nganterin kami sampe jembatan. Kami ketemu Mas Aul di sana.
"Mau sarapan di mana?" tanya Mas Aul setelah bersalaman.
"Di mana aja deh, Mas. Kami nggak tahu daerah sini," kataku.
Mas Aul mengangguk. Mobil pun melaju. Di dalem, si Keceng nyikut tanganku mulu. Hahaha, sesungguhnya dia nggak niat ikutan. Udah gitu dia masih kayak gembel, belum mandi pula!
Nggak sampai lima menit, mobil berhenti di depan sebuah rumah makan entah apa namanya, aku lupa. Di sana ada sebuah tulisan "Dilarang membawa hewan piaraan di sini!" dan seketika itu pula Keceng narik-narik tanganku.
"Tuh, kan, nggak boleh bawa hewan piaraan ke sini!"
Bahahahahak, aku langsung ngakak. Segitu ngerasa gembelnya dia.
Di dalam, kami memesan beberapa makanan dan minuman. Ummm, pertemuan pagi itu bisa dibilang agak awkward.  Pasalnya, Mas Aul ini ternyata pendiam pake banget nget nget. Beliau ramah dan baik, tapi ya itu tadi, diam nan kalem. Aku yang dasarnya cuwawak'an alias seneng ngomong pun sampai bingung mo ngomong apa lagi. Kami saling bertukar kabar, tentang kuliah, pekerjaan, dan rencana ke depan mo kek mana. Selebihnya, hening -____-
"Ayah Indi usianya berapa?" tanya Mas Aul tiba-tiba.
"Mmm ..." aku berusaha mengingat-ingat, abisnya di keluargaku nggak ada tradisi ulang tahunan. "Sekitar 49 tahun, Mas."
"Kalau Anggun?"
"45."
"Kalau Habibah?"
*entah Keceng jawab apa, aku lupa jadi skip aja, hahaha*
"Wah, orang tua kalian masih muda ternyata," Mas Aul tersenyum, kemudian melanjutkan. "Kalian nggak ada rencana kerja di Jakarta?"
Serempak kami menggeleng. Hahaha. Melihat kemacetannya saja bikin kami malas.
"Mas Aul dulu kuliah di UI jurusan apa?" tanyaku di tengah keheningan.
"Ekonomi. S2 ambil Bisnis di Inggris."
"Mmm ... sekarang kerja di mana, Mas?"
"Kerja di perusahaan ortu."
Seketika itu pula aku langsung membatin, "Woa, pasti dia dari keluarga konglomerat!". Tapi pikiran itu tak bertahan lama. Tahu-tahu Mas Aul bercerita.
"Dulu, orang tua saya tinggal di Magelang ..."
"Wah? Dekat dengan Jogja, dong, Mas?" aku langsung antusias.
Tapi Mas Aul tidak menanggapi. Pandangannya menerawang jauh. Aku langsung salah tingkah. Duh, salah ngomong ya?
"Dulu, bapak saya kalau ke sekolah jalan kaki. Berangkat habis sholat subuh ..."
Hening.
"Dulu, kami sekeluarga tak punya TV. Lantai rumah kami terbuat dari tanah. Sehari-hari kami memakai sandal bakiak..."
Hening.
"Kalian tahu? Kami baru punya MCK sendiri ketika usia perkawinan ayah dan ibu saya menginjak angka 30. Bapak selalu mengajarkan ... bla ... bla ..."
Hening. Tampak mata Mas Aul berkaca-kaca. Aku tak sanggup lagi menghabiskan pizza yang tersangkut di mulut. Kelu. Kualihkan pandanganku ke arah lain agar mataku tak ikut-ikutan berair. Dada ini rasanya sesak.
"Kalian jangan pantang menyerah, ya. Terus berusaha ... bla ... bla ....jadilah orang yang bijaksana, rendah hati ... bla... bla ...."
Aku tidak terlalu mendengar perkataannya, tapi bisa menangkap maksudnya. Suara Mas Aul terlalu pelan dan aku nggak enak untuk menegur. Belum lagi beliau berkali-kali mengusap air mata. Ah, pagi itu sungguh syahdu. Kami mendapatkan banyaaakkk sekali pelajaran dari pertemuan singkat itu. Sangkaanku mengenai kehidupan Mas Aul yang kaya raya sejak lahir seketika musnah. Ternyata beliau terlebih dahulu jatuh dan bangun. Jatuh bangun melanjutkan sekolah, jatuh bangun membangun perusahaan, jatuh bangun memperjuangkan hidup.
"Kelak, aku akan mengikuti jejakmu, Mas. Apa yang kau berikan kepadaku sekarang akan kukembalikan kepada mereka, anak-anak yang penuh semangat dalam meraih mimpi. Sekarang Mas Aul menjadi orang tua asuh kami, di masa depan aku lah yang akan menjadi orang tua asuh mereka. Bismillah ...," janjiku dalam hati.
Terima kasih, ya Allah, telah mempertemukan kami dengan beliau.... :')

Selesai makan pagi, Mas Aul mengantar kami pulang.
"Semoga kita dipertemukan lagi, ya! Terima kasih sudah ke sini. Nanti kalau ke sini lagi, jangan lupa kabar-kabar," ujarnya.
Kami mengangguk sambil tersenyum. Ah, betapa pertemuan pagi itu sangat ... sangat ... sangat tidak mudah diungkapkan dengan kata-kata apapun.
Setelah agenda pertemuan dengan Mas Aul selesai, kami langsung tepar di kosan sampai sore. Iya, kami ngebo! Di luar hujan dan kami malas ke mana-mana. Toh badan juga masih cape, hoahm. Malamnya, aku dan Keceng mampir sebentar ke Margo sambil mencari sesuatu. Abis itu balik dan begadang, ngomongin hal-hal nggak penting, hahaha.
Keesokan harinya, barulah kami bergairah jalan-jalan.
"Ayoooo, kita cari mas-mas UI!" kelakarku.
"Hahahah! Ajak ke Teksas, beh! Biar dia cuci mata!" kata Rina.
"Teksas apaan?" aku penasaran.
"Itu, jembatan Teknik-Sastra. Anak teknik cakep-cakep hlo! Bajunya klimis, nggak kek FIB, hahaha!"
"Iya, kemarin dong aku papasan sama gerombolan anak kedokteran yang abis praktik entah apa, cakep-cakep!"
"Hoahahahaha!"
Kami ngakak lagi. Pukul setengah 10, kami berangkat ke UI naik bikun. Aaaaak, bis kuning! Coba, deh, ya, di UGM ada beginian. :3
Masuk FIB, kami langsung menuju kantin daaaaan langkahku berhenti mendadak. Ada sesosok mantan yang berjalan dari kejauhan. Kuperhatikan lamat-lamat, ternyata memang benar dia! Aku jadi heboh sendiri. Hahaha, tenang, ini bukan mantanku, tapi mantan temenku. Anaknya ternyata beneran cantik. Aih. *semoga temenku kagak baca ini, hahahaha!*
Berhubung Keceng ada kuliah, aku, Anggun, dan Ifo nungguin di danau UI. Aaaah, keren lah tempat itu. Cocok banget buat tiduran. Apalagi perpus pusat UI. Subhanallah, kalau aku kuliah di UI yakin deh bakal sering nongkrong di sana. Tempatnya nyaman banget. Sudah luas, koleksinya banyak, dan di dalemnya ada starbucks dan toko buku coba! T.T aku nyaris tergoda buat beli buku, tapi kutahan sekuat mungkin.
Di danau UI, kami bertiga tidak melakukan apa-apa. Hanya memandangi danau dan sesekali ngobrolin hal-hal nggak jelas. Anggun malah tidur. -_-
FYI, ditempelin Ifo dua hari bikin bahasaku balik kasar lagi, hahaha. Sebagai orang Jawa Timur yang punya budaya blak-blakan dan cangkeman, aku sering dianggap kasar oleh temen-temenku. Bahasa yang menurutku biasa saja dipandang kasar oleh mereka, semisal "cangkemmu!" atau "ndasmu, rek!". Sering juga aku disangkain lagi marah, padahal akunya nggak kenapa-napa. Karena faktor bahasa itu lah, selama di Jogja aku berusaha 'ngaluske' cara ngomongku. Aku jadi jarang mengungkapkan kosakata yang dipandang saru di sini. Tapi oh tapi, setelah ketemu Ifo jadi balik lagi laaaah, hahaha. Fix, aku kudu membiasakan diri lagi buat berlemah-lembut :P
Oke, lanjut. Setelah keliling perpus UI, kami balik lagi ke FIB buat makan. Di sana kami bertemu Rosyid, teman sekelas waktu SMA. Yeay, reunian!
Sore itu mendung. Beberapa agenda dibatalkan dan kami memutuskan untuk leyeh-leyeh di jembatan Teksas sembari cuci mata. Lagi-lagi aku dibikin iri sama UI. Asli lah, tempat itu keren. Jembatan Teksas adalah penghubung Fakultas Teknik dan FIB, makanya dinamain Teksas (Teknik-Sastra). Jembatan itu punya lambang cewek dan cowok. Cewek di bagian Sastra, cowok di bagian Teknik. Entah apa maksudnya, mungkin semacam cinta lokasi antarfakultas (?). Nah, di bawah jembatan itu ada danau yang terbentang luas. Kata Keceng, danau itu dijadiin lokasi syuting video musik Cakra Kan. Wooow...
Setelah puas foto-foto, kami pun ngelewatin Teksas. Dasar emang udah sore, di Fakultas Teknik cukup sepi, sehingga kami tidak begitu melihat penampakan anak-anak teknik. Hahahaha. Tapi memang beneran beda, sih. Di FIB, rerata penampilannya sama kek FIB UGM. Ada mas-mas gondrong, ada yang kucel nggak keurus, ada yang pake tas seniman (aku gatau namanya apaan, pokoknya tas tipis kumel itu loh), dll. Di teknik, ya gitu deh. Tampak lebih rapi, heuheuheu.
Kami kemudian pulang naik bikun. Sesampainya di jembatan arah kosan, aku dan Keceng nggak langsung pulang. Mumpung di UI, aku pingin foto di depan tulisan "Universitas Indonesia". Yah, sebagai kenang-kenangan aja. FYI, dulu aku terobsesi banget buat kuliah di UI jurusan Ilmu Komunikasi. Tapi takdir berkata lain. Aku kadung jatuh hati sama Jogja. Ah, namanya juga jodoh. Kali jodohku berasal dari Jogja ... *hahaha opo e, Ndi!
Setelah foto-foto, kami balik ke kos jalan kaki. Di kos, orang-orang udah pada tepar. Ah, nggak kerasa malam harinya kami harus udah balik Joja. Pukul 8 malam, aku, Ifo, dan Anggun naik taksi menuju Stasiun Senen. Lagi-lagi drama terjadi!
Jalanan macet. Kami baru nyampe stasiun pukul 21.50 sementara keretanya si Ifo berangkat pukul 22.00 daaan kami belum cetak tiket! Turun dari taksi, kami langsung lari-larian ke tempat cetak tiket. Rasanya udah kayak Cinta yang ngejar Rangga di bandara, hahaha. Bedanya, ini nggak ada yang dikejar. *eh
Syukurlah Ifo nggak ketinggalan kereta. Masuk peron, aku dan Anggun duduk lesehan sambil ngatur napas. Kereta kami berangkat pukul 23.00. Benar-benar melelahkan. Begitu kereta tiba, kami langsung tewas sepanjang perjalanan Jakarta-Jogja. Capeeeeeek gila! Tapi, perjalanan impulsif ini begitu menyenangkan. Sampai jumpa di perjalanan selanjutnya! :D

mantan calon universitasku :')


Jembatan Teksas a.k.a Teknik-Sastra


Pertemuan dengan Mas Aulia :')









Bis Kuning UI!
Commuter Line!




Jogja, 18 November 2014
Pukul 00.53 WIB

Tentang Lelaki yang Kucintai Sepenuh Langit dan Bumi

1 Comment »

Jika kamu bertanya siapakah orang yang mencintai dan kucintai dengan tulus, ialah dia.
Jika kamu bertanya siapakah orang yang selalu menguatkanku dalam situasi dan kondisi apapun, ialah dia.
Jika kamu bertanya siapakah orang yang selalu berada di garda terdepan untuk mendukung impianku, ialah dia.
Jika kamu bertanya siapakah orang yang mendekatkanku pada buku, ialah dia.
Jika kamu bertanya siapakah orang yang mengajarkanku untuk hidup sederhana dan selalu mengutamakan srawung di mana pun kakiku berpijak, ialah dia.
Jika kamu bertanya siapakah orang yang membentukku menjadi sosok yang kuat dan mandiri, ialah dia.
Jika kamu bertanya siapakah orang yang membebaskanku melihat dunia lebih luas, ialah dia.
Ya, dia. Sesosok lelaki hebat yang aku tak pernah bisa membalas apa pun yang dia berikan padaku. Dan malam ini, tetiba saja rindu itu menderaku. Jadi, izinkan aku berkisah tentangnya. Tentang lelaki yang kucintai sepenuh langit dan bumi...

Orang-orang bilang, kami bagaikan pinang dibelah dua. Hampir semua sifat yang dia miliki menurun padaku. Bahkan fisik kami sekali pun. Garis-garis wajahnya, bentuk bibirnya, matanya, semuanya. Bedanya, aku perempuan, dia laki-laki. Konon, dia sangat menginginkan anak laki-laki. Tetapi takdir memberikannya tiga puteri. Walau begitu, dia tak pernah sekali pun mencela. Dia menyayangi ketiga puterinya sepenuh hati. Kepada puteri pertamanya, dia dan ayahnya memberi nama "Indiana Malia" yang memiliki arti "Harta itu milik saya". Baginya, aku adalah harta yang tak bisa ditukar dengan apapun :')


Tahukah kamu? Terkadang kita ingin kembali ke lorong waktu ketika merindukan momen-momen tertentu. Seperti malam ini. Tetiba saja kerinduan itu menyeruak. Membikin sesak. Tanpa sadar, kami terbentang jarak yang begitu jauh. Semakin ke sini, waktuku bersamanya berkurang sedikit demi sedikit. Puteri pertamanya ini telah mendewasa rupanya. Jauh dari rumah, tempat terbaik untuk berpulang. 
Bertahun-tahun lalu, aku begitu dekat dengannya. Sangaaaat dekat. Sebelum dia berangkat mengajar, aku selalu minta jatah jalan-jalan. Pagi-pagi benar dia akan menggendongku, menaruhku di jok depan vespa kesayangannya (yang masih dipakai hingga sekarang),kemudian mengajakku berkeliling kompleks selama lima menit. Selanjutnya, kami dadah-dadahan. Menjelang tengah hari, aku akan menantinya di depan rumah. Menolak makan siang sebelum bertemu dengannya. Ketika deru vespa terdengar dari jauh, cepat-cepat aku menyambutnya. Ah, lebih tepatnya menyambut isi tasnya, hahaha. Pasti adaaa saja yang kutemukan. Entah itu makanan kecil atau buku. Ya, dia mendorongku untuk suka membaca sejak kecil. Mulanya dia memberiku komik yang berisi kisah-kisah nabi. Kemudian, dia mulai mengenalkanku dengan karya Buya Hamka. Sejak saat itu, aku menjadi penggila buku cerita. Aku bahkan pernah mencuri novel Oliver Twist di SD gegara nggak dikasih pinjaman. Hahahaha. 


Aku tak pernah bisa tidur tanpa pelukannya. Aku selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi. Di luar sana, dia dikenal sebagai sosok yang menyeramkan. Keras, galak, tegas, disiplin, tapi humoris sekaligus. Cara mengajarnya yang unik selalu membuat murid-muridnya jatuh hati. Di rumah, sosok galak-nya akan luntur dengan sendirinya. Dia akan menjadi sosok yang penyayang. Menjelang tidur, dia akan mendekapku sembari mendongengkan beragam kisah. Dongeng yang paling kusukai adalah Timun Emas dan si Kancil. Aku paling suka bagian ketika Ibu Timun Emas membuka pintu. Dia selalu menampakkan mimik yang membuatku tertawa-tawa.
Tiap akhir pekan, dia akan mengajakku jalan-jalan. Tepatnya, sih, memancing ikan. Kadang di kali, kadang di laut. Kalau tidak, kami akan menjelajahi hutan. Berkawan dengan alam. Waktu kelas 3 SD, setelah menjelajahi hutan, sampai rumah aku langsung sakit. Badan panas. Demam tinggi. Mungkin aku kelelahan karena menempuh jarak yang cukup jauh. Ibu langsung marah-marah.
"Jangan bawa Lia pergi jauh, lagi!"
Kemudian aku menangis diam-diam....


Tapi dia tetap mengajakku pergi. Katanya, aku harus melihat dunia lebih luas. Mengenal banyak orang di luar sana. Berbeda dengan ibu yang selalu mengkhawatirkanku, dia justru sebaliknya. Dia mengajariku menjadi orang yang berani dan mandiri. Aku mulai kehilangan momen-momen kebersamaan ketika menginjak SMP. Aku mulai tinggal jauh dari rumah. Belajar mandiri, katanya. 
Di masa SMP itu lah, kami mulai membentang jarak. Tak ada lagi pelukan, yang ada hanyalah cium tangan. Tak ada lagi dongeng-dongen menjelang tidur. Tak ada lagi kegiatan memancing bersama atau menjelajah hutan. Tak ada lagi momen menunggunya di depan rumah sembari mengobrak-abrik isi tasnya. Tiba-tiba semuanya menghilang. Terlebih sejak aku mulai mengenal perasaan aneh. Ada kupu-kupu yang bermain di dalam perutku. Aku mulai suka menulis di buku diary. Entah berapa banyak puisi yang berhamburan di sana. Hingga suatu hari, dia menemukan buku itu dan membacanya. Sejak saat itu lah dia tahu bahwa gadis kecilnya sedang terserang virus merah muda. Hahaha...


Dan jarak itu kian menjauh seiring bertambahnya usiaku. Teman-temanku makin banyak, dan aku lebih suka menghabiskan waktuku bersama mereka ketimbang berdiam diri di rumah. Ikut ekskul ini-itu, kegiatan ini-itu. Bahkan tak jarang aku menghilang dari rumah karena disibukkan kegiatan ekskul. Tapi dia tak pernah marah. Paling banter, dia akan menasihatiku dan mengingatkan jangan lupa makan dan sholat. Ah...


Tahukah kamu? Dia adalah satu-satunya orang yang mendukungku ketika hampir semua orang meragukan keputusanku untuk meninggalkan Ilmu Komunikasi dan mulai menyelami dunia sastra. Ketika sifat khawatir ibu muncul, dia lah yang meredamnya. Katanya, "Lia tahu apa yang terbaik buatnya. Sejatinya kuliah adalah untuk mereguk ilmu, bukan semata-mata mencari pekerjaan. Biarkan saja dia tumbuh dan berkembang dengan apa yang diyakininya." 


Tiga tahun lalu, ketika kondisi perekonomian keluarga sedang merosot tajam, aku dinyatakan lolos SNMPTN Tulis. Jangan tanya berapa banyak biaya yang harus kami keluarkan. Saat itu, rasa-rasanya kuliah hanya sekadar mimpi. Bermacam komentar dan nasihat bermunculan. Intinya, sih, "Nggak usah kuliah jauh-jauh. Lia kan anak perempuan, toh nanti yang nyari kerja juga suaminya. Nggak usah ngoyo". Hingga terjadilah 'sidang' keluarga besar. Ketika yang lain meragukanku, dia dengan lantang mendukungku untuk keluar dari rumah. Merantau ke tempat yang jauh. Bagaimana soal biaya? Katanya, "Rezeki sudah ada yang atur toh?". Kemudian, berangkatlah kami menuju Kota Gudeg. Bersama kakak kelas yang baik hati, aku bolak-balik ke Rektorat untuk menangguhkan biaya dan mencari beasiswa. Beberapa bulan kemudian, kabar baik itu pun datang. Aku mendapatkan dua beasiswa sekaligus. Satu dari pemerintah, satu dari orang tua asuh. Maka, nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?


Di Jogja ini lah aku memulai kehidupanku yang baru. Jauh dari rumah. Membentang jarak. Berbekal 'pelajaran' darinya, aku pun belajar mandiri. Mengatur keuangan sedemikian rupa, bekerja sampingan, dan menabung sedikit demi sedikit. Dua tahun kemudian, aku berhasil membeli kendaraan dengan hasil keringatku sendiri. Aku yakin, tanpanya, aku bukanlah apa-apa...
Dia yang selalu mendorongku untuk keluar dari zona nyaman. Dia yang selalu menyemangatiku ketika aku berada dalam titik terendah. Dia yang selalu membebaskanku untuk memilih jalan mana yang harus kutempuh. Dia tak pernah menuntut hal-hal yang tak sesuai dengan kemampuanku.


Dan kini, laki-laki itu tampak menua. Rambutnya yang hitam perlahan-lahan memutih. Di wajahnya mulai tampak guratan-guratan usia. Seketika itu pula, aku ingin memasuki lorong waktu. Kembali ke masa lalu. Ternyata, kami terlalu lama membentang jarak. Hingga aku tak sadar bahwa lelakiku telah banyak berubah. Ke mana saja aku?


Di sini, aku menanam rindu. Untuknya. Untuk lelaki yang biasa kupanggil "Bapak". Untuk lelaki yang berjanji kelak akan menikahkanku tanpa bantuan penghulu, karena dia ingin 'mengikat' pendamping hidupku dengan tangannya sendiri. Untuk lelaki yang tak pernah berkata "aku mencintaimu" tapi aku tahu cintanya padaku tak pernah surut. Untuk lelaki yang entah kapan terakhir kali memelukku karena gadis kecilnya telah dewasa. Untuk lelaki yang entah kapan terakhir kali mendongengiku ....




Dia. Lelaki yang kucintai sepenuh langit dan bumi....


Dalam Kamar,
Kamis, 13 November 2014.
Pukul 02.20 WIB

Cerita Perjalanan Part 1 #Bandung

No Comments »

Terkadang, hal-hal yang tidak direncanakan dengan matang justru gampang terlaksana. Seperti siang itu, aku dan Anggun sedang asyik makan siang dan tahu-tahu muncul ide gila.
"Pengen pulang nih, tapi Nanda enggak bisa kalo tanggal 5 besok. Padahal aku udah bilang ke ortu kalo mo bawa temen," ujarku di sela-sela ngunyah. Ceritanya lagi galau mo pulang atau kagak.
"Oalah, akhir bulan aja po? Btw, Jogja panas. Kayaknya asyik kalau ngadem di Bandung," sahut Anggun.
 "Ke Bandung, yuk, besok! Mumpung kita masih ada duit. Abis itu bablas ke Jakarta buat ketemu Mas Aul, kayaknya seru!"
"Yuk! Yuk!"
Dan wuuuusss, kami pun meluncur ke Indomaret buat beli tiket. Dasar emang kami impulsif banget, begitu tiket ada di tangan kami langsung menghubungi Mbak Rara. Tentu saja dia kaget, soalnya waktu kemarin ditawarin ke sana kami selalu nggak bisa. FYI, kami enggak ada rencana apapun di Bandung. Dengan kondisi dompet yang agak sekarat, kami nekat melakukan perjalanan ini. Dan bukan kami namanya kalau enggak grusa-grusu dan heboh. Sudah tahu mo pergi jauh, nyiapinnya malah dua jam sebelum berangkat. Motoran ke stasiun pake ngebut, selip sana selip sini, ngos-ngosan hahaha. Begitu sudah duduk manis di dalam kereta, aku baru ingat kalau melupakan sesuatu. Yak, buku kumpulan cerpenku! Aaakkk, bete. Padahal udah niat banget mo ngasih itu buat Mbak Rara dan Mas Aul. FYI, Mas Aul itu orang tua asuh kami. Cerita tentang beliau nanti saja di Part 2.

Pukul 2 siang, kereta Pasundan meluncur menuju Bandung. Sumpah, perjalanan ini benar-benar tolol abis! Udah tahu kalo nyampenya pukul 11 malem, bisa-bisanya kami yang doyan makan lupa bawa makanaaaaan! Mau beli makan di kereta juga malas. Selain mahal, rasanya juga nggak begitu enak. Blah. Tapi ujung-ujungnya kami mesen Pop Mie daaaan sayah keracunan MSG sodara-sodara! Iya, bodoh emang. Gegara malas masak ditambah mager, selama tiga hari aku setidaknya makan mie dua kali sehari. Puncaknya pas di kereta itu. Tetiba kepala pusing. Perut sakit, kedinginan,  ditambah aroma tidak menyenangkan dari kamar mandi. Jadilah aku merengek-rengek ke Anggun sepanjang jalan. Nggak elit banget, sakit di kereta -____-
Pukul 11.30 WIB, tibalah kami di Stasiun Kiaracondong. Kami dijemput oleh kawan SMA, Yitno dan Mas Faqih. Hal pertama yang kami cari adalah makanaaaan! Meski pada akhirnya aku enggak sanggup ngabisin nasi (yeah, asam lambungku belum sembuh benar), setidaknya ini perut terisi lah. Rencananya kami mo nginep di kost Desi, tapi oh tapi, doi ketiduran sehingga dengan sangat terpaksa kami merepotkan Yitno dan Mas Faqih buat nyari tempat tinggal sementara. Kami lantas diungsikan di kost Atika, adik kelas kami pas SMA.
Pagi harinya, kami naik angkot ke ITB. Woa, entah kenapa rasanya kok seneng banget naik angkot, hahaha. Maklum, di Jogja kagak ada angkot. Berhubung Atika ada kuliah pagi itu, aku dan Anggun ngegembel sambil nunggu Desi kelar kuliah. Kami mampir di salah satu warung pinggir jalan buat ngisi perut. Dan, oh meeeeen, harganya jomplang banget kalo dibandingin ama harga Jogja! #iyalahbego.
Selesai makan, kami jalan kaki ke Masjid Salman ITB bermodal tanya sana-sini. Jujur, suasana ITB sungguh adem dan nyaman sekali. Sukaaa banget lihat pohon tumbuh di sana-sini. Sudah begitu bangunannya juga tertata rapi. Hari pertama langsung kerasan. Aku mau deh berlama-lama di ITB. Sejuknya nggak ketulungaaaaan! Apalagi ditambah lihat segerombol mahasiswa tsakep lewat, jadi tambah sejuk. *Opo e, Ndi*
Masjid Salman asyik. Di sana ada minuman gratis macem air putih dan teh hangat. Ketika adzan duhur berkumandang, sontak ada teteh-teteh yang 'ngusir' anak-anak buat mengosongkan teras masjid. Yang enggak sholat bisa ngungsi sebentar di bawah. Makin terkagum-kagum ketika teteh-teteh itu siaga di dalem masjid buat merapikan shaf. Aaaaakkk, kok so sweet begini! :')
Selesai sholat, aku ketemuan sama mas sepupu (atau ponakan, ya? lupa hahaha) yang kuliah di ITB. Anggun nungguin Desi. Rencananya sih masku mo ngajak jalan ke Tangkuban Parahu, keliling kota, atau ke mana lah sampai sore.Tapi tapi tapi....hujaaaaan deres banget! T.T
Agenda sore itu pun gagal total. Sepanjang sore kami berteduh depan warung sambil ngobrol ke sana ke mari. FYI, Mas Uki ini jadi mahasiswa termuda di jurusannya. Iyalah, doi masih 17 tahun. 
"Temen-temenku udah tua e."
"Bukan mereka yang tua, tapi kamu yang terlalu muda."
"Hahahah!"
Obrolan berlanjut mengenai kabar keluarga besar kami. Mulai dari Mas Yus dan Mas Iwan yang akan menikah dalam waktu dekat sampai keinginan Mas Uki buat nikah muda, hahaha.
"Aku pengen nikah umur 21!"
"Ebuset, itu umurku sekarang tau. Nggak nyantai amat jadi orang."
"Aku pengen punya istri dokter, Nduk. Doain ya!"
-______- yaampun, bocah 17 tahun ini sungguh luar biasa, ya.
Setelah hujan reda, kami kembali ke Masjid Salman buat ketemu Anggun dan Desi. Agenda selanjutnya adalah ... ketemu Mbak Rara! Udah kangen banget lah aku sama anaknya yang lucuuuuu banget, namanya Fatih. Gendut banget, tinggal diglundungin aja. Matanya itu loooh, lebar kayak neker. Hahaha. Sesampainya di rumah Mbak Rara, kami langsung bersih diri dan main-main sama Fatih sampe puas. Serius, Fatih nggemesin banget. Enggak ada bosan-bosannya mah kalau main sama dia. *alah, dasar kamunya aja yang suka anak kecil, Ndi!*
"Jadi, kalian rencananya mau ke mana, nih?" tanya Mbak Rara keesokan harinya.
"Nggak ada rencana apa-apa, Mbak. Mau main sama Fatih ajaaaaa!"
"Hyaaa, main-mainnya sambil jalan, dong. Mau ke taman nggak? Naik Banser? Bla bla bla..."
"Terserah deh, Mbak. Kami tak punya tujuan hidup, hahaha!"
Mbak Rara pun geleng-geleng. Habisnya kami kayak orang yang nggak niat jalan-jalan. Glundang-glundung di rumah, kejar-kejaran sama Fatih. Hahaha. Kan sudah kubilang, Mbak, maksud dan tujuan saya ke Bandung adalah main sama Fatih :3
Di sela-sela itu, tetiba si Yitno sms, ngajakin ke Tangkuban Parahu. Tentu saja ajakan itu tidak kami tolak. Tapi karena kami mbuleeeet terus, ujung-ujungnya baru nyampe ITB pukul setengah 12 daaaan hujan deres! Nananana...
"Kemungkinan Tangkuban ditutup pukul 2 kalau cuaca begini. Jadi, kita mo ke mana nih?"
"Lembang aja, yuk!"
"Oke lah, aku tak ambil motor dulu."
Kami bertiga cus ke Lembang sekitar pukul setengah 2. Anggun sama Yitno, aku sendirian. Ogah banget boncengin si Anggun pake matic, takut njomplang HAHAHAHA. Perjalanan menuju Lembang sungguh aduhai. Berasa ada di Gumitir. Jalanannya berkelok-kelok. Seram. Begitu nyampe atas, tahu-tahu ada banyak polisi. Yitno lewat dengan mulus, giliran aku ...
"Stop, Teh! Stop!"
Kenapa, ya? Perasaan aku nggak salah apa-apa. Dengan santainya aku nunjukin SIM dan STNK. Tapi oh tapi...
"Teteh kena tilang, ya. Lampu motornya enggak dinyalain soalnya," ujar si bapak sambil nyodorin surat yang tanpa kubaca pun udah tau isinya apaan.
"Saya teh lupa atuh, Pak. Nggak ada jalan lain selain sidang gitu? Saya teh bukan orang sini," aku ngeles.
"Bayar denda 100 ribu, Teh."
HAAAAH? Wanjiiiiiirrr, ini polisi minta ditelen idup-idup kali. Aku langsung masang muka sok melas.
"Nggak ada duit segitu, Pak..."
"Ya sudah, Teh, 50 ribu..."
Njir lah. Niat malak banget nih orang. Jalan satu-satunya adalah manggil si Yitno. Kali dia bisa ngerayu gitu. Tapi berhubung udah makin sore dan si bapaknya malesin banget, aku pun merelakan duit 50 ribu dibawa doi. Bye byeeee, duit makankuuuu!
Perjalanan pun dilanjutkan. Surepriseeee, Yitno membawa kami ke Tangkuban Parahu! Yeay, ternyata enggak ditutup. Cuaca sore itu mendung. Baru aja kami ngebatin "kayaknya bakal ujan lagi", tau-tau ujan beneraaaan! T.T 
Kami berteduh di depan ruang jaga sembari nyurcol ke sana ke mari. Mulai dari kabar kuliah, skripsi, cerita jaman SMA, sampai asmara. Hahaha. Aku masih inget banget pertanyaan Yitno yang diulang dalam berbagai versi.
"Itu yang semalam pacarmu yang mana sih, Ndi?" tanya Yitno.
Jadi, turun dari kereta itu aku ketemu bentar sama temen jaman SMP dan satu lagi temen yang kenal di Pare (bareng dua temennya).
"Empat-empatnya, Yit. Jadi enak kalau bosen tinggal ganti yang lain, hahaha!"
"Wahahaha!"
Begitu juga pas di depan tulisan Tangkuban Parahu.
"Nggun, foto aku di sini! Ceritanya napak tilas gitu!"
"Napak tilas? Emang kamu pernah ke sini?" Yitno lagi-lagi penasaran.
"Bukan aku, sih, tapi calon. Calon mantan pacar, hahahaha!"
"Hahahahaha! Kok kamu meninggalkan jejak di mana-mana e, Ndi. Eh, kamu dekat sama Mas Andi nggak sih?"
"Apa? Mo ngegosipin aku sama dia juga?"
"Ah, kalo soal Indi dan Mas Andi mah udah banyak yang gosipin. Orang-orang ngiranya mereka pacaran, padahal yo ora," Anggun geleng-geleng.
"Hahaha!" aku cuma ngakak. Yah, gimana, yaaaaa. Pada dasarnya teman laki-lakiku banyak e, jadi wajar aja kalau tiap main ke mana lah pasti adaaaa aja yang ditemuin. Dan pasti adaaaa aja yang gosipin. Padahal oh padahal, di mata mereka saya adalah laki-laki yang terperangkap dalam tubuh wanita. -____-
Lanjut. Nah, setelah hujan reda, kami pun pulang gegara sudah di-toa-in sama petugas. 15 menit lagi bakalan ditutup! Yah, nggak papa lah meski cuman bentar. Di jalan, lagi-lagi kami kehujanan. Dereesss banget. Rencananya aku dan Anggun mo nginep di kost Desi sekalian pamitan sama Mbak Rara, jadi kami nekat menerabas hujan di tengah kota yang macetnya aduhaaaaai. Gegara Persib nih -_-
Udah tahu jalanan macet, si Anggun pake acara nyasar lagi. Belum 5 menit dia ganti bawa motor udah main ilang-ilangan aja. Aku dan Yitno muter-muter nyariin dia -____-
Sesampainya di rumah Mbak Rara, kami langsung beberes. Sejujurnya aku agak sedih malam itu. Tiba-tiba udah mau pisah sama si bulet Fatih aja. Padahal belum puaaaaas main-mainnya! T.T
Pukul 10 malam kami mau pamitan, tapi dicegah sama Mbak Rara. Disuruh nginep semalam lagi, soalnya udah malam. Lagi pula, malam itu Desi juga lagi ada acara. Akhirnya, Yitno pun pulang sendiri. Dia meninggalkan satu motor buat kami bawa besok. Duh, maafkeun kami, nak. Tapi aku seneng, sih, bisa main-main sama Fatih lagiiii. Hahahaha.
Paginya, kami bersiap-siap pulang. Kami mo sarapan bareng di kantin Salman sebelum berpisah. Hiks...hiks...
Jadilah hari itu aku agak melankolis. Maunya deket Fatiiiih terus. Tak cium-cium, gendong, dibawa ke sana ke mari. Huaaaaa... *kangen Fatih, gilak!
Habis makan, kami pun berpisah. Sedih. Tapi mau bagaimana lagi. Kami harus melanjutkan perjalanan ke Jakarta siang harinya. Yitno ngajakin ke pasar entah apa namanya sebelum ke Stasiun, tapi kami rada ogah-ogahan. Aku enggak terlalu suka belanja soalnya. Sambil nunggu Yitno kelar acara, aku, Anggun, dan Mas Andi duduk-duduk di Lapangan Cinta (namanya unyu banget, ya!) dan ngebrel ke sana ke mari. Habis itu kami sholat, dan berpisaaaah.
Aku ke stasiun bareng Mas Uki, Anggun sama Yitno. U know what, dia ngasih aku uang jajan dong buat bertahan hidup di Jakarta. Hahaha harusnya aku kan ya, kan yang lebih tua gitu -__- ah sudahlah terima saja mah kalo duit, hahaha.

Bye ... bye ... Bandung!
Someday, aku akan ke sana lagi!


Jogja, Rabu 12 November 2014.
Pukul 01.08 WIB.


Fatih :3

















                                                                                                                                       



sebelum kehujanan!

Lapangan Cinta ITB

Main-main sama si bulet Fatih <3