Archive for Januari 2014

Balada Revisi

5 Comments »

Kira-kira tiga jam yang lalu--ketika aku sedang sibuk rapat di sekre--penerbit menghubungiku dan mengatakan sesuatu yang cukup membuatku down. Intinya, novelku belum maksimal dan harus direvisi (lagi). Ketika membacanya, aku menghela napas berat. Aku tak lagi konsentrasi dengan rapat sore tadi. Berkali-kali temanku menanyakan sesuatu dan hanya kujawab "Hah?". Aku hilang arah. *alaaah


Aku bingung. Harus kuapakan lagi novel itu. Aku sudah merombaknya, dari 194 halaman menjadi 242 halaman. Kuruncingkan lagi konflik-konfliknya. Di tambah ini-itu, dikurangi beberapa. Prolognya pun kuganti. Novel itu selesai kurevisi pada tanggal 12 Januari 2014, pukul 21.20 WIB. Dan begitu kukirim lagi, jawabannya adalah: novelnya masih sama seperti kemarin. Belum ada nilai plusnya.


Selepas rapat, aku mampir ke lapak Mbak Aul dan sedikit curhat tentang naskahku ini. Katanya, "Halah, wong masih revisi empat kali, belum seratus kali!". Hahaha asem tenan. Aku tertawa-tawa, tapi juga rada ngenes di dalem.
Ah, novelku tersayang. Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu cantik?


Aku bingung, Tuhan ....


Ini sudah revisi keempat kalinya.


Ya, keempat kalinya!



Malam ini aku mengeluh. Biar saja. Aku hanya sedang lelah dan butuh suntikan semangat.

Tahu Batas Lah!

No Comments »

Semakin seseorang (merasa) dekat denganmu, semakin kurang ajar lah dia. Semisal, meminjam barang-barangmu tanpa izin, membajak FB-mu seenaknya, mengepo inbox FB atau ponselmu tanpa merasa bersalah sama sekali, meminjam buku dan tidak mengembalikannya, dan hal-hal lain yang dianggap sepele. Hanya karena (merasa) dekat, lantas sakarepe dewe. Menurutku, orang seperti itu tidak dapat diamanahi apa pun. Sedekat apa pun hubungan pertemanan, tetap ada batas-batasnya lah. Terserah!

Mbolang!

No Comments »

Kira-kira pukul 6 pagi, aku menutup laptop dan beranjak tidur. Semalaman aku berusaha menyelesaikan revisi novel yang sampai sekarang belum selesai. Nggak ada semenit, aku langsung jatuh tertidur. Tewas di saat semua orang baru membuka mata. Dua jam kemudian--seingatku aku masih ngimpi lagi ngerjain tugas UAS--hapeku berdering nyaring. Dengan mata setengah tertutup, aku menjawab telepon itu.
"Aku di Jogja sekarang!" suara di seberang sana.
Aku melihat layar hape untuk memastikan siapa yang menelepon. Oh, Mas Yus.
"Hm?" Aku menjawab ogah-ogahan. Anak itu selalu melakukan kunjungan tanpa memberitahu terlebih dahulu!
"Kamu di mana? Aku mau ke Gunung Kidul nih, sama temen-temen."
Mataku langsung membelalak. "Ikut!"
"Tapi temenku cowok semua. Kamu ajak temenmu siapa gih,"
"Okesip!"
Dengan badan terhuyung-huyung, aku langsung cus ke kamar mandi. Nyanyi-nyanyi seneng. Jalan-jalan, meeen! Beberapa hari ini aku suntuk banget ama revisi novel yang entah kenapa selalu aja terasa kurang memuaskan.
Pokoknya, hari ini menyenangkan sekali! Sayang si Anggun nggak bisa ikut gegara ada rapat yang pada akhirnya dibatalkan dan dia menyesal setengah mati. Pukul 10 pagi Mas Yus dan kawan-kawan datang menjemput. Di dalam mobil, aku satu-satunya cewek dan aku nggak peduli. Hahaha, bodo amat, toh aku juga nggak terlalu dianggep cewek -_-
Sepanjang perjalanan, aku menghabiskan waktuku untuk tidur di jok belakang. Masih ngantuk. Hahaha.
Hari ini kami mengunjungi menjelajah pantai. Pantai Baron, Pantai Kukup, Pantai Drini, dan Pantai Parangtritis. Dari Baron, kami berjalan kaki menuju Kukup yang sumpaaah perjalanannya menyenangkan sekaligus melelahkan. Kami naik turun gunung, melewati bebatuan terjal yang mengakibatkan kakiku berdarah, dan ... nyaris pingsan. Ini memalukan memang. Beberapa kali mataku sempet burem mendadak, perut melilit, dan pengin muntah. Yeah, ini gegara aku belum makan sejak kemarin. Tapi syukurlah, aku bisa melewati semua itu :D
Sesampainya di Kukup, aku, Mas Yus, dan Mas Hari menikmati es degan, lotis, dan mie. Mas Ali dan Mas Keceng balik ke Baron karena mo ngambil mobil. Lumayan lah, badanku rada bertenaga setelah diganjel mie. Tak lama kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke Drini. Oh, meeeeen! Ini pantai keren banget! Sore-sore, duduk di pinggir pantai sembari makan ikan ... ikan apa, ya? Nggak tahu deh, lupa. Yang jelas aku nggak ikut makan gegara alergi, dan ujung-ujungnya cuma makan nasi ama kacang sukro -_-
Duh, sebenarnya ada banyaaak banget yang pengen kuceritain di sini. Tapi ini sudah malam dan aku ngantuk. Hahaha. Pokoknya aku seneng sekali, sodara-sodara! Tampaknya aku perlu bersyukur karena masku ngejomblo tahun ini. Tahun lalu, dia ke Jogja modusnya ketemu cewenya. Dan sekarang kami jalan-jalan, hahaha!

Duh, makin nggak jelas.

Ngantuk.

Upload foto pemandangan alamnya nyusul deh! Bye!

Kangen

5 Comments »

Seharusnya sore ini saya melanjutkan revisi novel sebelum nonton teater nanti malam. Ya, seharusnya. Tapi yang ada pikiran saya malah melayang ke GSP. Tiba-tiba saya kangen dengan mereka. Sesorean tadi saya muterin GPS, nganter si Odeng ke UPT. Tiga kali melewati GSP, tiga kali pula saya menatap tangga GSP yang lengang. Sore tadi anginnya menyejukkan sekali. Bikin saya teringat keseloan dulu. Duduk di tangga, bercanda, menertawakan anjing lucu, mengganjal lapar di mbak-mbak penjual roti keliling, cerita ke sana ke mari. Tertawa lepas.
Terakhir kali ke sana adalah ketika Budi ulang tahun. Saya dan Oji sembunyi-sembunyi ke Mirota Kampus buat beli kue tart. Niatnya ngasih kejutan, tapi entah kenapa malah nggak ada kejutan sama sekali -_-" semua rahasia terbongkar sebelum waktunya. Ya sudah, kami berempat lalu tertawa-tawa dan saling ngebegoin.
Dan sungguh tidak terasa, sekarang kami sudah menginjak tahun ketiga. Sudah separuh jalan. Semester depan adalah semester terakhir kuliah teori plus KKN, dan dilanjutkan dengan tugas akhir bernama skripsi. Cepat sekali, ya?
Semakin ke sini, saya merasa semakin jarang berkumpul bersama mereka. Karena itu lah, kemarin saya dan Fithri sempat membuat rencana gila. Bisa dibilang ini adalah sebuah pemaksaan. Setiap kali kami merencanakan main ke mana lah, pasti adaaa saja salah satu di antara kami yang tidak bisa. Budi sibuk ini, Oji sibuk itu, atau saya yang mendadak ada urusan penting. Yah, memang merencanakan sesuatu lebih mudah dibanding melaksanakan.
Mungkin ada baiknya jika semua itu tak usah direncanakan. Nanti malah nggak jadi terus, begitu kata Fithri. Finally, kami bersekongkol untuk menyatroni si Oji tanpa bilang apa pun. Dadakan. Juga si Budi.
Selepas maghrib, saya menjemput si Fithri di gelanggang mahasiswa. Lantas meluncur ke tempat Oji. Sementara dia menumpang shalat, saya mencari makanan karena seharian itu belum menelan apa pun. Tapi di sela-sela mengantri, bocah itu sms.

Mak, cepat ke sini. Mukanya Budi udah nggak enak banget!


Selesai membayar ke kasir, saya langsung menemui mereka. Dan, yah, tampaknya Budi memang agak uring-uringan hari itu. Tugas UAS seminar linguistiknya belum rampung. Dia sudah berjanji akan menyelesaikannya malam itu--walaupun sejujurnya saya yakin 100% tugas itu nggak bakal rampung karena disambi twitteran. Tapi dia tetap kukuh nggak ikut main ke Sekaten. Hanya Rozi yang bisa. Oke lah, tak apa.

Antara ngerasa bersalah dan sebal sih sama si Budi. Tapi ya sudahlah. Bertiga kami meluncur ke Sekaten. Rozi yang awalnya mood banget mendadak diam. Nggak tahu kenapa. Aku dan Fithri naik Kora-kora, dia ngeliatin dari bawah. Diajak naik apa pun nggak mau. Akhirnya kami gelesotan sambil makan kacang rebus. Ngobrol sekenanya. Lalu pulang. Sudah.

Yah, mungkin memang waktunya yang nggak tepat. Dan entah kapan waktu yang tepat itu datang. Yang saya tahu, saya merindukan mereka. Sesederhana itu.


everybodys changing and i don't feel the same...

Kabar Dari Negeri Seberang

2 Comments »

Tengah malam, satu menit sebelum mataku benar-benar tertutup, tiba-tiba ada yang menyentak di hati. Perasaan tidak enak. Ada bayangan ibu di pelupuk mata. Kenapa? Tanpa sadar aku mengetik sms di ponsel. Telepon aku besok pagi, Pak. 
Walaupun pada akhirnya telepon bapak tidak kuangkat--seperti biasa aku masih tidur di pagi hari, bapak kembali menelepon siang ini. Kami lalu saling bertukar kabar. Kukatakan bahwa kabarku baik-baik saja, sedang menjalani UAS dan mempersiapkan kegiatan di organisasi.
"Uang kosan sudah dibayarkan?"
"Belum. Nanti baru mau ke ATM."
"Sudah daftar ke Elfast?"
"Sudah. Kemarin baru saja transfer biaya camp dan program. Tinggal berangkat 10 Februari nanti."
Sepuluh menit kami berbincang, tapi tetap saja perasaanku tak enak. Sudah lama aku tak mendengar suara ibu. Hampir 1,5 bulan. Waktunya selalu saja tidak tepat. Terkadang aku menelepon ketika bapak sedang di sekolah, atau ketika ibu sudah tidur. Kalau tidak, pasti aku yang ribet sendiri. Sibuk dengan urusan kampus dan mengabaikan ponsel.
"Sudah tha? Bapak mau keluar ini."
"Ibu mana?"
"Lagi masak. Mau ngomong?"
"Iya ..."
Tak lama kemudian aku sudah mendengar suara ibu. Kami membincang banyak hal. Tentang kamarku yang akan direnovasi sesuai keinginanku, tentang adikku yang sebentar lagi masuk SMA, tentang adik terkecilku yang makin nakal tapi pintar, tentang segalanya. Tapi aku tahu, dari suaranya ibu tidak sedang baik-baik saja.


Ibu sedang sakit.


Sudah beberapa bulan ini ibu sulit tidur. Insomnia akutnya kambuh setelah bertahun-tahun penyakit itu menyingkir. Seperti diriku. Iya, sebenarnya penyakit insomniaku tidak berbeda jauh dengan ibu. Apa itu bisa dikategorikan sebagai penyakit turunan?
Ibu tak bisa tidur. Mau memejamkan mata sulitnya minta ampun. Segala cara sudah dilakukan. Minum susu, membaca buku, berkencan berdua saja dengan bapak, mengunjungi sanak saudara, tapi tetap saja penyakit itu enggan pergi.


"Ibu bingung. Padahal ibu enggak mikirin apa-apa, enggak stress, wong semuanya baik-baik saja. Aneh. Kadang kalau siang suka pusing, tubuh nggak fit. Kemarin ibu naik motor ke rumah nenek, di jalan sudah was-was, takut kenapa-napa. Tapi ajaib, ibu nggak pusing. Padahal rumah nenekmu jauh, kan?"

Ya, ibu. Aku tahu. Penyakitmu itu tidak berbeda jauh denganku. Sulit tidur. Segala cara sudah dilakukan. Sembuh sebulan, kambuh enam bulan. Minum susu sampai muntah. Baca buku sampai halamannya habis. Main-main ke mana saja dengan teman-teman. Tetap saja masih sulit untuk tidur. Padahal aku juga tidak sedang stress memikirkan apa pun. Apanya yang mau dibikin stress? Kuliahku baik-baik saja. Aku tak kekurangan uang, bahkan menghasilkan uang. Aku juga tidak bermasalah dengan teman-temanku. Aneh sekali, bukan?
Tapi sekarang sudah agak mendingan lah. Aku sudah bisa mengatupkan mata pukul 12 malam. Kemajuan pesat. Biasanya aku baru bisa tidur pukul tiga pagi, yang mengakibatkan jadwal harianku hancur. Nggak masuk kuliah, dan ujung-ujungnya mengulang tahun depan.


Dulu, ibu pernah bercerita. Setelah melahirkan aku, perempuan setengah baya itu seperti zombie. Tubuh kurus kering, tidak bisa bangun dari tempat tidur, sampai-sampai ibu bilang, "Jaga baik-baik anak pertama kita". Ibu menderita penyakit yang sama. Kesulitan tidur. Tapi saat itu memang parah. Setelah tiga bulan, barulah ibu dinyatakan sembuh. Dan sekarang? Penyakit itu datang lagi.



Ibu, tunggu kepulanganku. Segera.
 

Menjadi Ibu

5 Comments »

Pagi ini saya tiba-tiba geram ketika membaca tautan yang diposting Mbak Yuar di FB. Tentang perilaku bocah 10 tahun yang membully saudara kandungnya sendiri. Lengkapnya baca sendiri. Kalau sudah begini, saya selalu ingat teman saya yang tertawa-tawa saat mengetahui cita-cita saya: menjadi ibu yang baik untuk anak-anak saya. Kalimat yang sederhana, tapi betapa tidak gampang untuk diwujudkan.
Apa salahnya menjadi seorang ibu? Apakah menjadi wanita karier itu segala-galanya? Hei, saya pun punya keinginan untuk berkarier, tapi tidak melebihi keinginan saya untuk menjadi seorang ibu yang baik. Kenapa? Karena dari seorang ibu lah sebuah peradaban dimulai. Tidak ada pendidikan yang lebih baik dibanding pendidikan orang tua untuk anak-anaknya. Karena, orang tua adalah awal mula pembentuk pribadi sang anak. Pikirkan ini baik-baik.
Kelak, saya akan mendidik anak-anak saya dengan tangan saya sendiri. Tanpa baby sitter. No, anak-anak adalah harta yang tak ternilai harganya. Pada mereka, sebuah masa depan digantungkan.

"Kasihan banget cita-citanya jadi ibu rumah tangga. Nanti kamu di-KDRT lho, hehehehe," kata seorang teman kemarin.


Tidak perlu mengasihani saya :)
Makanya, hei wanita! Kalau kau tidak mau di-KDRT atau semacamnya, kembangkanlah cakrawala berpikirmu. Agar kau kelak tidak ditindas, di-KDRT atau apalah namanya, tidak terlempar ke Sumur, Dapur, dan Kasur. Jadilah wanita yang cerdas.


Maka jangan heran kalau saya ingin meraih pendidikan setinggi-tingginya. Mempelajari banyak hal. Karena ibu yang cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas :)


Dan inilah bagian yang nancep banget di tautan itu:

Jika memang tidak siap dan tidak mengerti cara mendidik anak, jangan punya anak. Jangan hanya karena tekanan keluarga untuk berkeluarga, kita jadi salah kaprah — membesarkan anak tanpa tahu betul cara mendidik dan mendisplinkan mereka secara sehat. Ini hanya akan melahirkan generasi baru tanpa empati.



Jadi, siapa bilang cita-cita menjadi ibu yang baik itu rendah dan patut dikasihani? Oh, dear, betapa mendidik anak itu tidak gampang. Semoga kelak anak-anak saya tidak berperilaku seperti tautan itu. Stop bullying!

TV

No Comments »

"Pokoknya, kalau aku berkeluarga nanti, aku nggak mau masang TV di rumah. Tayangan sampah! Nggak sinetron, FTV, YKS atau apalah itu yang suka nayangin goyang nggilani, berita yang makin lama makin lebay, gosip, aaaah mbuh." Ujarku bersungut-sungut.
"Iya ... iya, nggak usah mencak-mencak gitu lah. Nanti kita nggak bakal masang TV di rumah kok, tapi ribuan buku yang akan dipajang di tiap sudut rumah."
Aku mengangguk, tapi sedetik kemudian melotot. "Apa katamu tadi? Kita?"
"Mengapa topik tayangan sampah itu tidak kau jadikan bahan untuk mengerjakan tugas UAS Sastra Sinema? Dosenmu pasti memberimu nilai A kalau membaca argumen-argumenmu," katanya santai, mengabaikan pertanyaanku.
Aku mendengus. Lalu kembali menatap laptop. "Percuma bertanya, kau tak akan menjawabnya."
"Karena memang tidak perlu dijawab. Tanpa kujelaskan pun, kau sudah pasti tahu."