Archive for Oktober 2014

........

No Comments »

"Tuhan, jatuhkan aku pada orang yang kelak akan menjadi sisianku. Jika saat itu memang belum tiba, biarkan diriku menempuh jalan sunyi," pinta seorang gadis yang selalu menolak jatuh cinta. Lama ia bersujud. Ia merasa pertahanannya kian melemah. Hatinya yang sengaja dibekukan tahu-tahu mencair sedikit demi sedikit. Dan ia merasa amat takut....

Kutukan

No Comments »

Mengerikan. Sepertinya saya terkena kutukan atas tulisan yang saya buat sendiri. Bagaimana mungkin?
Jika tulisan setebal 200 halaman itu hidup, pastilah dia menertawakan saya. Ketika menulisnya setahun lalu, saya begitu percaya diri. Saya bahkan seringkali menertawakan tingkah orang-orang yang terinfeksi mitos di daerah itu. Mitos yang begitu terkenal dan membuat saya tertarik untuk menelitinya. Memang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, tapi efek dari mitos itu dapat saya lihat dengan mata telanjang. Berapa banyak kasus yang terjadi di tempat itu? Nyaris setiap pergantian bulan pasti adaaa saja yang melapor bahwa dirinya terinfeksi mitos itu.
Saya merasa was-was. Pasalnya, saya merasa ada yang tidak beres dengan diri saya sendiri. Apa yang dulu selalu saya tertawakan mendadak berbalik 180 derajat menyerang saya. Tiba-tiba saja saya menderita insomnia yang aneh sekali. Di sela-sela jam tidur saya yang semrawut, alam bawah sadar saya dengan brengseknya menghadirkan sesosok manusia secara berulang-ulang.
Sosok itu ... saya mengenalnya sambil lalu. Sosok yang pernah membuat saya merasa terintimidasi. Tatapannya amat menjengkelkan hingga membuat saya enggan menaruhnya dalam memori otak. Beberapa kali sosok itu hadir, tapi saya abaikan.

Hingga ... hingga ... ah, entahlah.
Saya enggan mengatakannya. Tapi diam-diam hati saya berbisik: betapa rindu adalah sebuah siksaan.



Oh, Tuhan. Tolong jelaskan padaku. Kebrengsekan macam apa lagi ini?

The Blangsongers (Kumpulan Manusia Ajaib)

Baca selengkapnya » | No Comments »

Kalau bingung baca judulnya, biar kujelaskan sedikit. Jadi, The Blangsongers ini adalah semacam geng huru-hara yang terbentuk pas SMA. Masa-masa kejayaan. Kami memiliki banyak kesamaan dan ketololan yang bikin kami awet hingga saat ini. Sejujurnya, sih, sahabatku zaman SMA nggak mereka doang *biar kaga pada GR hahaha*, tapi bisa dibilang mereka ini lah yang paling dekat denganku. Kami sering menghabiskan waktu bersama dan melakukan hal-hal paling koplak yang nggak bisa dinalar oleh manusia, hahaha. Oh, ya, Blangsongers itu artinya 'kumpulan blangsong'. Tahu apa itu blangsong? Mmm, gimana ngejelasinnya, ya. Itu semacam makhluk yang doyan memakan segala macam makanan. Hahahaha.

Ah, Mbuh.

No Comments »

Pada akhirnya, saya berada pada titik terendah. Rapuh. Ibarat bangunan, tubuh saya hanya tinggal puing-puing. Hancur. Berantakan. Dan dalam kondisi seperti ini, saya hanya butuh sandaran. Rumah. Pelukan ibu.

Persisnya, sejak KKN usai, saya berubah drastis. Entah ke mana perginya semangat yang begitu menggebu. Skripsi kutinggalkan, tapi toh hingga detik ini proyek itu tak kunjung kukerjakan. Novel ngadat. Revisi entah sampai mana. Part time ngajar kulepas begitu saja. Praktis, saya menjadi manusia selo dan nggak guna.  

 Sejak tumbang di kamar kost bulan lalu, saya merasa ada yang salah dengan tubuh saya. Saya kira itu hanya efek PMS, tahunya berlanjut pada hari-hari selanjutnya. Nafsu makan menurun drastis. Pasca Idul Adha, saya bahkan nggak bisa menghabiskan seluruh makanan saya. Kalau dipaksa pastilah muntah. Sudah begitu, badan jadi mudah lelah. Nyeri di perut semakin menjadi. Pusing. Sore tadi saya memaksakan diri ke GMC. Dokter dengan entengnya bilang, "Stres, ya, Mbak? Mikirin apa toh?" -______-"
Belum sempat saya menjawab, beliau meneruskan, "Jangan makan pedas atau asam. Hindari kopi dan susu berlemak tinggi. Pola makan dan pola tidur diatur. Maag-mu kalau nggak segera diatasi bisa menjalar ke tifus atau usus buntu."
Mampus lah -____-

Di tengah keseloan itu, saya menghabiskan 6 buku dalam dua minggu saking selonya. Harusnya, sih, saya baca buku teori buat skripsi. Atau baca novel Kei yang kelak menjadi objek kajian skripsi saya. Tapi saya malah baca novel dan buku-buku traveler. Bisa dibilang, otak saya sedang tumpul untuk menulis hal-hal berbau ilmiah--bahkan novel sekalipun. Saya juga nggak tahu saya kenapa.

Dalam lingkup pertemanan pun, saya sering kali menjadi manusia bertopeng. Berpura-pura bahagia. Padahal sejatinya hati ini kering sekali. Saya merasa sangat jauh dengan apa pun yang ada di depan saya. Jauh dari orang-orang terdekat. Jauh dari Tuhan.


Tampaknya saya perlu menarik diri sejenak. Saya butuh kontemplasi. Enggak apa-apa, kan?






Keluh

No Comments »

Mengeluh hingga berpeluh. Membiarkan hati ini rusuh. Gaduh.
Hei, kamu yang sedang berada dalam titik terendah. Apakah kau sudah meredam kekisruhan yang berlangsung dalam kepalamu?

Lihatlah.
Mata-mata itu menerormu dari sudut mana pun!
Tawa melengking itu telah mengintimidasimu.
Kau dihadang dari depan, belakang, atas, bawah.
Kau tak bisa bergerak, bahkan hanya sekadar untuk bernapas.


Dan, mengapa pula kau terus menunduk?
Tak bisakah kau melawan?

CERITA PARE #PART 10

No Comments »



 
Selamat malam, Pare. Ini adalah malam terakhir aku berada di sini. Besok siang aku akan kembali ke Jogja setelah dua minggu dengan sengaja membolos. Rasanya? Sedih. Ini seperti mengulang waktu tahun lalu, ketika aku akan berpisah dengan teman-teman E-Fast One. Entah kapan aku bisa kembali ke  sini. Pare sudah memiliki tempat tersendiri di hatiku. Ya, tempat yang membuatku bersemangat belajar dan selalu ingin kembali. Tempat yang selalu memberikan kejutan dan bermacam cerita setiap harinya. Juga, tempat melarikan diri yang tepat. Di sini, aku bisa melupakan segala rutinitas membosankan yang kulalui setiap harinya.

Dua hari ini aku melewati hari yang begitu melelahkan, menegangkan, sekaligus menyenangkan. Kau tahu, kemarin adalah tanggal 7 Maret dan baru kali itulah aku tidak mempedulikan angka 7. Aku menyukai apa pun yang berhubungan dengan angka 7, entah kenapa. Dan seharusnya aku bersemangat menyambut angka itu di hari kelahiranku kemarin, Jumat 7 Maret 2014. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Aku menganggapnya biasa-biasa saja. Aku tidak harap-harap cemas menanti pukul 12 malam lebih satu detik seperti yang biasa dilakukan orang-orang. Membuat pengharapan, resolusi, atau apa lah itu. Halah, boro-boro.

Malam itu aku menghabiskan waktuku di Elfast hingga pukul setengah sembilan malam. Mr. Miftah mengadakan kelas tambahan untuk program Pronunciation II. Besoknya ada tiga final exam dan aku belum menyiapkan apa pun! Selesai program, aku langsung kembali ke camp dan terlelap hingga pukul lima pagi. Nggak sempat belajar. Bangun tidur langsung ngambil handuk dengan tergesa-gesa, mandi, lalu siap-siap ke PEACE. Ada kelas intensive class dari pukul tujuh sampai pukul setengah sembilan. Setelah itu, balik lagi ke Elfast untuk kelas pronunciation. Selesai program langsung menuju kelas lain untuk ujian program Talk More. Sejujurnya ini adalah ujian yang paling menyedihkan di antara semua ujian. Setiap murid diharuskan mengambil satu kertas berisi satu pertanyaan yang harus dijawab saat itu juga. Dua menit speak English tanpa henti. Dan aku … ah, bodoh. Saat itu aku hanya berdiri dan mengucapkan beberapa kalimat. Bingung dicampur tidak menguasai topik yang diajukan. Sedih. Nggak maksimal. Dan kerasa makin sedih ketika teman-teman lain mendapatkan topik yang justru sangat kuinginkan -_-
Selesai ujian, aku makan siang bersama Miss Ratna dan Fida. Dan aku baru sadar kalau siang itu adalah pertemuan terakhirku dengan Miss Ratna :( . Sebelum berpisah, dia mengucapkan beberapa hal membuatku agak bengong.

            Semoga kuliahnya lancar.

            Semoga segera didekatkan dengan jodohnya.

            Semoga mendapatkan jodoh yang sesuai dengan keinginanmu dan keinginan orang tua.

           Dan blablabla yang menyangkut jodoh, hahahaha. Oh my God, saya baru 21, Miss. Hahahahahahaha … setelah itu, kami berpelukan. Ah, sedih. Entah kapan bisa bertemu Miss Ratna lagi, the master of grammar in Elfast. Selesai makan, aku langsung menuju camp dan menyiapkan alat tempur: kertas, pulpen, kamus. Pukul 7 malam aku ada ujian pronunciation II dan ngerinya harus berhadapan dengan Mr. Alex, native speaker dari Amerika. Aku nggak tahu harus ngomong apaan dengan dia, karena ketika aku sudah speak English, aku otomatis mengabaikan grammar dan bagaimana mengucapkan kalimat dengan benar. Ditambah lagi kosakataku yang masih sangat minim. Speak English sama anak-anak aja masih sering gagap, apalagi sama native? Hzzzz. Dan bodohnya, setelah menyiapkan alat tempur, aku malah tertidur sampai setengah empat sore. Kertasku masih kosong tanpa coretan apa pun. Mengenaskan.
            Pukul empat aku sudah duduk manis di kelas. Ada ujian speaking dan ini cukup mengerikan karena kupingku agak soak buat dengerin conversation. Yah, belum terbiasa dengar percakapan orang asing. Hahahahaha. Tapi untunglah, aku bisa mengisi semua soal yang entah benar entah tidak. Selesai ujian, beberapa orang berombongan masuk kelas sembari membawa kue dengan satu lilin di atasnya. Teman-teman dari kelas Talk More yang sengaja benar datang telat.  Mereka beramai-ramai mengucapkan selamat bertambah tua.

            Ah, aku terharu …

            Bagaimanapun mereka telah menghilangkan keteganganku menghadapi ujian, huahahaha. Dan entah siapa yang mulai, bedak yang biasa dipake buat punishment mereka tumplekin di badanku. Ah, I love u all! 


Pssst... sebenernya aku mau cerita panjang lebar, tapi tiba-tiba cerita terhenti di sini. Mau ngelanjutin udah lupa ada kejadian apa aja hari itu, hahaha!

CERITA PARE #PART9

Baca selengkapnya » | No Comments »




            Tell all your friends.
The class is over.
And all of you don’t need to get examination!

Aku mencelos membacanya. Antara marah, jengkel, merasa bersalah, sedih, dan seolah merasakan de ja vu. De ja vu? Iya, benar. Aku pernah merasakan hal ini pada liburan semester lalu. Seorang teacher marah karena kami jarang masuk kelas speaking confidence. Saat itu kami mengambil paket grammar Efast One yang didalamnya ada satu kali pertemuan kelas speaking. Aku nggak akan cerita dg detail, semuanya ada di postingan tulisanku yang dulu, cari aja kalau mau tahu. Intinya, teacher itu marah dan meluapkan kekesalannya pada kami ketika pertemuan terakhir, setelah ujian kelar. Kami meminta maaf dan mulai menjelaskan mengapa kami jarang masuk, yah intinya kami nggak bisa mengikuti kelas level 4 itu. Otak kami masih level 1. Selanjutnya, dg suasana agak melankolis kami saling meminta maaf. Aku tahu sampai saat ini pun sakit hati itu masih membekas di hati Ms Tika, tapi paling tidak kami mengakhiri kelas tanpa ganjalan sama sekali. Semuanya terluapkan. Tapi, kelas yang kuikuti saat ini benar-benar berbeda. Dan aku kecewa karenanya.
Dua minggu ini aku mengambil kursus speaking di dua buah lembaga. Aku tak akan menyebut namanya karena ini urusan pribadi antara teacher dan student. Aku tak ingin ada semacam pencemaran nama baik. Aku hanya ingin meluapkan perasaanku, dan salah satunya adalah dengan cara menulis.
Minggu pertama di Pare kulalui dengan penuh cobaan. Mulai dari travel X yang mendadak nggak bisa jemput sampai peristiwa meletusnya Gunung Kelud. Ketika semua orang pulang ke kampung halaman, aku berusaha keras untuk bertahan. Aku tidak ingin hujan batu dan hujan abu menghalangi misiku yang akan kulaksanakan 2 tahun lagi. Bencana ada di mana-mana dan aku tetap kukuh untuk bertahan. Jogja hujan abu, ditambah gempa bumi dan hujan es. Gunung Kelud meletus. Kediri diberitakan dengan lebay di semua stasiun teve, membuat orang-orang khawatir dan menyuruhku pulang saja. Pulang ke mana? Semua jalanan ditutup saat itu. Setelah mengungsi di Jombang, aku kembali ke camp dan satu per satu kawanku pergi. Hingga tinggal aku seorang diri di camp. Bahkan pengasuh camp-ku juga pulang. Aku benar-benar seorang diri. Aku tetap bertahan, hingga beberapa hari kemudian Kediri kembali diberitakan sedang banjir lahar. Iya, memang benar. Banjir itu sudah mencapai kecamatan sebelah, dan aku tetap bertahan. Masa bodoh, selama banjir itu belum mencapai sini, aku tak akan pergi.

CERITA PARE #PART 8

No Comments »

 
Selamat malam, Kampung Inggris Pare.
Setelah memaksakan diri mengikuti program setengah hari kemarin, pada akhirnya aku tergeletak di kasur (lagi). Hah, sepertinya belum afdhol jadi pelajar Kampung Inggris kalo enggak ngerasain sakit. Seharian ini aku hanya glimpang-glimpung di kasur, menahan mual dan pusing. Pernah nggak sih ngerasa mo muntah tapi kagak muntah-muntah juga? Ya, seperti itulah diriku saat ini. Dan, bawaannya jadi sedih mulu. Badan juga rasanya pegel semua. Efek PMS dan kelayapan di Bromo kemarin. Ah, tapi di Bromo nggak capek-capek banget, orang aku naik kuda sampe bawah tangga -___-
Hal yang paling menyedihkan ketika sakit adalah kesendirian. Sejak pagi sampai sore teman-teman se-camp sibuk program di Elfast maupun lembaga lain. Aku kesepian. Meskipun mereka mensugesti diriku agar cepat sembuh, tetap saja aku glimpungan sendiri. Dan kata ‘sendiri’ benar-benar terasa ketika tidak ada seorang pun disampingmu, yah untuk sekadar menemanimu ngobrol atau memberikan perhatian kecil semacam, “Nih, obatnya diminum. Jangan telat makan, lalala ….”.
Alkisah, aku mempunyai teman seprogram dan kami sama-sama sakit. Dia sakit asam lambung, sedangkan aku terkena gangguan pencernaan campur nyeri PMS. Kami sama-sama tepar setelah kelas Talk More dan bolos study club sore harinya. Sampai camp, aku cepat-cepat masuk kamar dan tidur. Sedangkan temanku cepat-cepat dibawa ke rumah sakit with the man who close in on with her. U know what I mean, huh? #AkuRapopo -_-
Dan di saat sendiri seperti itu, tidak ada hal lain yang kupikirkan selain Ibu. Dalam hati aku tak ingin membiarkannya tahu kalau putrinya sedang sakit, tapi kepada siapa lagi aku dapat berbagi keluh kesah? Tidak ada yang bisa menggantikan dirinya. Sampai kapan pun.
Seperti biasa, di ujung sana Ibu mengomeliku karena sering telat makan dan sebagainya, menyuruhku meminum jamu pereda nyeri PMS, dan entah kenapa berakhir pada guyonan agak serius mengenai siapa yang kelak mendampingiku seumur hidup.
“Oalah, lagi sakit tho, Nduk. Mau tak cariin guling? Daripada sendirian aja.” Bude menyambar ponsel dari tangan Ibu dan mencerocos begitu saja.
“He?” aku nggak mudeng pada kalimat terakhirnya.
“Iya, guling. Guling yang bisa hidup noh …”

BUAHAHAHAHAHAHAHAAAAKKK!!!

Anjir. Aku ngakak sambil nahan perut sakit. Baru sadar apa yang dimaksud dengan guling hidup. Yeah, pendamping hidup maksudnya. Ada-ada saja -_-
Stop. Aku tak ingin membahasnya lebih lanjut karena omongan Budeku sudah ngaco ke mana-mana, hahaha.

Yeah, seharian ini aku berteman dengan Kamus Bahasa Inggris, Kamus Slang Amerika, dan buku Vocabulary. Ceritanya aku lagi sok-sokan bantuin Miss Ratna mentranslate penggalan novel berbahasa Inggris, daripada nggak ada kerjaan di kamar. Oh, meeeeeen, ternyata mentranslate itu tidak segampang yang kukira. Selain karena aku masih miskin vocab, di novel itu juga bertebaran idiom dan bahasa slang yang aku nggak ngerti apa maksudnya. Kalau diartiin kata per kata bakalan aneh. Tapi sumpah, pekerjaan ini sangat menarik sekaligus menjengkelkan. Menarik karena aku bisa menemukan kata-kata baru, merasa tertantang dan rasanya sangat puas ketika berhasil menerjemahkan kalimat yang penuh idiom bin slang. Dan terasa menjengkelkan pas udah capek-capek buka kamus tapi nggak nemu arti yang cocok dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku masih menerjemahkan satu halaman, dan itu capek sangat. Akan kulanjutkan lagi besok mengingat kinerja otakku yang nggak maksimal hari ini.
Hoah, besok mau nggak mau aku harus masuk. Aku sudah cukup sehat sekarang. Aku harus mengejar ketertinggalan. Dan aku mumet. Jumat ada ujian Talk More, malamnya ujian Pronunciation bareng Mr. Alex, native speaker dari Amerika daaaan aku belum nyiapin bahan apapun buat ngobrol ama dia! Ditambah lagi hari Sabtu ujian speaking intensive class yang amat berbeda ama Talk More. Why? Di kelas intensif, grammar sedikit banyak akan diperhatikan karena selama pertemuan Mr. Aan selalu menyajikan sarapan grammar for speaking.
Baiklah, segini dulu tulisannya. Aku harus hapalan vocab sekarang. Bye!

Pare, 5 Maret 2014.
Pukul 21.59 WIB

CERITA PARE #PART 7

Baca selengkapnya » | No Comments »


Haiii!
How’s life?
Udah tiga minggu lebih aku idup di Pare daaaan nggak nulis apa pun! T.T
So, malem ini aku akan memaksakan diri buat nulis hal-hal nggak penting yang kulalui di sini. Sebenernya sekarang aku harus apalan materi pronunciation buat maju besok, tapi sabodo amat dah. Kalo belajar mulu ntar malah kagak jadi nulis *eaaa.
Ada banyaaaaaak banget yang mo kutumplekin di tulisan, tapi karena aku cuman punya waktu dua jam buat nulis (besok masuk pukul tujuh, coy!), aku bakal nyeritain yang masih anget di otak, hahaha.

CERITA PARE # PART 6

No Comments »


Sejujurnya ketika menulis ini aku amat sangat lelaaaaah, tapi kupaksakan diriku untuk menulis. Dan entah kata apa yang pantas kuucapkan untuk mensyukuri semua ini *etsaaah*, yang jelas sampai saat ini aku berasa ngimpi bisa berada di tempat ini lagi: Kampung Inggris Pare, tempat sejuta kenangan. Sebenarnya sudah sejak kemarin aku pengen nulis, tapi yeah, program di Elfast sangat menguras energi dan bikin aku pengen langsung tewas pas nyampe camp.
Ah, ya, ini kedua kalinya aku ke Pare. Dulu aku mengambil program Grammar Effective Class alias E-Fast One yang bikin aku muntah darah setiap harinya *oke, ini lebay*. Mabuk grammar. Kalau mau tahu yang lebih jelas, cari aja tulisan-tulisanku sebelumnya yang tsurhat soal hari-hari di Pare semester lalu.
Ketika kembali ke Pare, kau tahu apa yang kurasakan? Ah, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku melihat begitu banyak kenangan di sini. Dan itu membuatku kangen dengan teman-teman seperjuangan E-Fast One. Melewati Jalan Brawijaya, aku seperti melihat teman-teman sedang ngontel sambil tertawa-tawa. Pareholic, Warung Ayam Tulang Lunak, Oxford English Course, Mahessa, Najwa House (mantan kosanku), Waroeng Batok, semuanya mengingatkanku pada mereka.
Kedatanganku ke Pare ini bisa dibilang nggak sengaja. Terjadi begitu saja. Iseng-iseng aku mengirim email ke Elfast, klak-klik program, iseng-iseng telepon Bapak dan secara mengejutkan beliau bilang, “Ya, besok uangnya kutransfer”. Bahkan ketika bukti transfer ada di tangan, aku masih belum percaya. Hei, beneran nih aku balik ke Pare? Ah, seperti mimpi. Tentu saja aku sangat senang :D
Aku mengambil program E-Fast 3 (Vocabulary, pronunciation stage I, speaking elementary) untuk dua minggu awal, program pronunciation stage II dan Talk More untuk dua minggu terakhir. Yap, aku hidup sebulan di sini. Kalau dulunya aku kost, sekarang aku milih camp di Griya Kemuning. Sudah tahu kan apa bedanya camp dan kost? Intinya, kalau kost lebih bebas, sedangkan camp wajib 24 jam pake bahasa inggris dan ikut program camp tiap habis subuh dan selepas maghrib. Tapi faktanya nggak gitu-gitu banget, hahaha. Camp-ku lebih bebas, dan programnya juga tiap abis maghrib doang. Otomatis aku nggak bisa ikut program gegara ada program di tempat kursus -_-
Sampai saat ini, banyak yang bertanya kenapa aku mengambil program speaking di Elfast, padahal kan ada lembaga speaking yang lebih bagus dari Elfast. Maklum, Elfast buka program speaking belum lama, paling dua tahunan. Selama ini, Elfast lebih terkenal dengan program Grammar. Yah, alasanku ngambil di sini sih sebenernya buat sekalian balikin feel buat ngerevisi novel. Tema novelku tentang Kampung Inggris, dan lembaganya adalah Elfast. So, aku ngambil di sini. Dan yaaah, Elfast memang penuh kenangan. Rasanya nyesek aja pas registrasi di Office, teringat teman-teman E-Fast One. Apa lagi pas lihat kelas-kelas yang kami tempati dulu. Errh …
Oke, cukup nostalgilanya. Sekarang aku akan menceritakan tentang hari-hariku di sini. Ini adalah hari kedua aku menjalani program dan aku benar-benar menikmatinya. Mungkin karena program yang kuambil ini sesuai dengan apa yang kuinginkan. Dulu bisa dibilang aku salah program. Pengen aktif ngomong malah ambil Grammar, yang paket ekpress lagi, dodol banget -___-
Meskipun sejujurnya ilmu grammar yang kudapatkan berasa menguap (sumpah, minggu terakhir udah nggak nyambung ama materi saking capek diforsir) setelah keluar dari Elfast, tapi aku nggak menyesal. Yah, yang jelas masih ada lah yang nyantol walopun dikit-dikit.



Betewe, aku udah ngantuk banget. Nggak kuat ngelanjutin cerita. Mo tidur dulu. Lanjut besok ya. See you!


Pare, 11 Februari 2014.

Bahagia!

1 Comment »

Sepanjang sore tadi, aku dan Mbak Mira menghabiskan waktu di TBY. Kami menonton Operet Anak 'Cindelarasa' dan 'Pinokio'. Masya Allah, bahagianyaaaaa! Mungkin ini bahagia yang paling membahagiakan dalam minggu ini. Melihat anak-anak kecil itu menari dan menyanyi bikin hatiku krenyes-krenyes. Wajah mereka sungguh bahagia. Apalagi mendengar suara penyanyi cilik tadi, dadaku meledak-ledak saking harunya. Sekuat tenaga aku menahan air mata pada beberapa adegan. Bukan karena ceritanya, tapi karena melihat kreativitas bocah-bocah lucu itu. Tawa mereka begitu lepas.


Sesungguhnya aku sedang sedih melihat anak-anak masa kini. Pendidikan di Indonesia yang makin carut-marut bikin mereka stress. Coba bayangkan, anak kelas 6 SD sudah dikasih tugas meresensi buku! Gila nggak tuh? Adikku yang masih menginjak kelas 3 SD sudah diajarin materi yang nggak seharusnya dia dapatkan di usia sedini itu. Anak usia 2 tahun sudah diajari calistung--dan ketika dewasa mereka akan menjadi pribadi yang apatis dan egois. Belum lagi kalau melihat tontonan TV. Tayangannya makin nggak mendidik dan aneh-aneh. Mulai dari Ganteng-Ganteng Serigala sampai Manusia Harimau. Ada juga sebuah sinetron--lupa judulnya--yang menyuguhkan kehidupan anak SD. Isinya? Ya rebutan pacar, geng-gengan, dan bullying. Belum lagi pakaian mereka yang sungguh menyedihkan sekali. Rok mini dengan dandanan menor. Tongkrongannya kafe. Ke mana-mana bermobil. Kerjaannya menindas orang lain.



Indonesia, boleh aku menangis?
Aku mencintaimu dan membencimu sekaligus.


Ketika menonton Operet tadi, entah kenapa otakku malah mengaitkannya dengan kondisi politik Indonesia yang menjijikkan. Aku teringat kelakukan orang-orang DPR yang rebutan kursi ketika melihat adegan pengusiran Ratu. Alkisah, selir Raja meracuni Ratu karena ingin meraih posisi Ratu. Ia ingin anaknya yang kelak menjadi Raja, bukan anak Ratu. Juga, ketika ada adegan pertarungan ayam kurus dan ayam gemuk, seketika aku teringat Jokowi yang kurus dan Prabowo yang tambun. Entah apa yang terjadi dengan otakku tadi sore.


Tapi ketika melihat anak-anak itu menari bersama, oh Tuhan ... jangan tanya bagaimana perasaanku. Bahagia.


Diam-diam aku membuat perjanjian dalam hati. Kelak, jika aku memiliki anak, tak akan kubiarkan mereka mengenal TV di usia balita. Tak akan kubiarkan mereka memegang gadget sesuka hati. Tak akan kubiarkan mereka tersiksa karena harus belajar calistung di saat mereka harus mengembangkan diri. Tak akan kubiarkan mereka menjalani sekolah formal yang menganut kurikulum 'edan'.


Karena ibu adalah pendidik utama anak-anaknya. Aku akan merawat mereka dengan tanganku sendiri, tanpa bantuan baby sitter. Akan kudidik mereka sebaik-baiknya. Ah, ya,tadi aku menemukan postingan menarik mengenai cara mendidik anak.


Diana Baumrind menjelaskan ada 3 macam gaya pengasuhan anak : (1) permissive, mengasuh anak dengan sangat longgar, miskin disiplin dan aturan, tidak ada tuntutan dari orang tua, orang tua cenderung mengabulkan segala permintaan anak(kemudian dijabarkan menjadi permissive indeferent dan indulgence) (2) Authoritarian atau enaknya disebut otoriter. Orang tua membuat batasan yg tegas, tanpa kompromi, anak dalam kontrol orang tua sepenuhnya dan (3) Autoritatif atau demokratis, orang tua selalu memberikan alasan logis tentang suatu aturan dan anak diberi kebebasan menentukan sendiri namun tetap dlm kontrol yg lebih fleksibel.
Semua ada baik buruknya bg anak. Tipe pertama anak akan punya self esteem tinggi, percaya diri, tdk takut dgn hal baru tp juga tak tau aturan, tdk bisa toleran, semaunya sendiri. Tipe kedua anak akan punya nilai juang, disiplin, tapi minderan, pendendam, gangguan emosi. Tipe ketiga banyak dirasa yg paling baik karena mengambil keuntungan dari kedua tipe sebelumnya dan mengurangi efek negatif dari keduanya. Namun gaya pengasuhan ini yg paling sulit diterapkan.
Jauuh sebelum Diana Baumrind merumuskan gaya pengasuhan anak, Ali bin Abu thalib telah memberi petuah yg hampir mirip dgn teori itu. Bedanya, orang tua tidak hanya menerepkan salah satu gaya pengasuhan, tapi ketiganya.
Pada usia 0-7 tahun, perlakukan anak seperti raja -mendekati permissive-. Pada usia 7-14 tahun (ada yg mengatakan 18 tahun) perlakukan anak seperti tawanan -mendekati otoriter- dan ketika anak diatas 14/18 tahun, perlakukan ia seperti sahabat, demokratis.
Begitulah, demokrasi membutuhkan kedewasaan, kematangan dan usaha yg keras.
Untuk menjadi dewasa juga tidak mudah, banyak hal-hal berat yg harus dilalui, keputusan-keputusan dilematis yg harus diambil.



Nah, bagaimana? Mendidik anak bukan pekerjaan yang remeh, kan?
Itulah mengapa aku bertekad mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Ya, anak yang cerdas terlahir dari ibu yang cerdas, kan? :)



Rabu, 8 Oktober 2014.
Pukul 00:43 WIB.