Archive for Maret 2015

FIRASAT

No Comments »

Tahu-tahu, aku berada di suatu ruangan bersama teman-teman #KampusFiksi12. Semuanya heboh dengan wisuda. Begitu pula denganku. Semuanya berjalan dengan cepat. Ibu dan Bapak datang ke Jogja untuk mendampingi wisudaku. Ibu bahkan menyiapkan sebuah dress cantik berwarna krem. Pagi-pagi sekali aku berdandan--hal yang jarang kulakukan. Toga dan jubah wisuda membalut tubuhku. Pagi itu, aku seperti tuan puteri. 
Keluar dari ruangan, aku melihat orang-orang berpakaian serupa. Banyak di antara mereka yang melakukan foto selfie. Aku cuek saja dan lanjut berjalan menuju gedung GSP. Bapak menggandeng tanganku erat-erat, tapi tak ada ibu di situ. 
"Ibu ke mana?"
Tak ada jawaban. 
"Pak, ibu ke mana?"
Tetap tak ada jawaban. Aku pun diam. Masih dalam keadaan bingung, seseorang tahu-tahu berdiri di sampingku. Tangan kananku digandeng Bapak, sementara tangan kiriku digandeng olehnya, laki-laki yang paling kuhindari selama ini. Kuperhatikan ia lamat-lamat. Ia memakai setelan jas hitam dan kemeja putih. Di lehernya tergantung sebuah kamera. Mulutku ingin sekali mengumpat, tetapi tanganku justru menggenggamnya erat-erat. Akhirnya, kami bertiga berjalan bersama menuju gedung GSP.
"Ibu ke mana?"
Pertanyaan sia-sia. Tahu-tahu, aku merasakan ada keringat dingin yang menetes di leher, membasahi dress cantik pemberian ibu. Ada perasaan sedih yang tidak terdeskripsikan. Aku ingin berteriak, tapi mulutku tercekat. 
ZLAP!! Setengah sadar, aku membuka mata dan menemukan diriku berada di dalam kamar. Suasana hatiku mendadak kacau. Di kepalaku ada banyak sekali pertanyaan. Ke mana ibu? Kenapa laki-laki itu muncul di alam bawah sadarku? 
"Ndi, ada telpon dari bapakmu. Hapemu di kamarku tuh!" Anggun tahu-tahu berdiri di ambang pintu.
Aku tergeragap. Panik. Setengah berlari aku menuju kamar Anggun yang berada tepat di sebelahku. Ada tiga panggilan tidak terjawab. Perasaanku mendadak tak enak. Pada panggilan keempat, aku mengangkatnya, kemudian menuju kamarku.
"Gimana skripsimu? Sudah sampai Bab berapa?" tanya Bapak di seberang sana.
"Lancar, Pak. Insya Allah minggu ini kelar Bab 2."
"Alhamdulillah. Rajin berdoa agar semua dilancarkan."
"Iya..."
Kemudian obrolan kami beralih ke hal lain. Dan mimpi tadi, ah ... aku tidak terlalu pandai menafsirkan mimpi. Yang kutahu, ada tanggung jawab besar yang harus segera kuselesaikan. 



Aku harus segera lulus. Harus bekerja sesegera mungkin.
Jangan berleha-leha.




Dan aku ingin pulang. Melihat rumah. Memeluk ibu...

Pelukan Perpisahan

3 Comments »

Senja turun perlahan-lahan, menyapa kami yang duduk diam menatap kejauhan. Lampu-lampu taman menyala satu per satu. Dan kami masih saja terdiam. Sibuk bertengkar dengan suara-suara dalam pikiran. 
"Lia ...," dia membuka suara.
Aku menoleh.  Menatap matanya yang masih saja seteduh dulu, kemudian tersenyum tipis. Lia? Hahahaha. Panggilan masa kecilku. Entah kapan terakhir kali dipanggil dengan nama itu.
"Kamu apa kabar?" tanyanya kemudian.
"Baik. Kamu?" aku balik bertanya.
"Sama. Aku juga baik. Kuliahmu bagaimana? Lancar?"
"Begitulah. Sedang menyusun Tugas Akhir."
"Semangat, ya. Kamu masih sendiri aja? Mmm, maksudku, masih memutuskan untuk sendiri?"
"Hahaha. Iya. Kenapa? Jangan bilang kamu mau mengejarku lagi!"
"Hahaha, sayangnya kamu tidak terkejar."
Aku terdiam. Dia pun terdiam.
"Kamu tahu mengapa aku ingin bertemu denganmu hari ini--setelah dua tahun lamanya kita nyaris lost contact?"
"Ya?"
"Aku ingin berterima kasih."
"Untuk?"
"Untuk semuanya. Untuk segala pelajaran yang bisa kupetik darimu. Untuk segala perasaan yang 9 tahun kuperjuangkan namun tetap tidak bisa meluluhkanmu."
"Re, jangan ..."
"Aku belum selesai bicara," potongnya. Diraihnya kedua tanganku, lalu ia kembali melanjutkan, "Kamu tahu? 9 tahun lebih aku mengenalmu. 9 tahun lebih aku berjuang mendapatkan hatimu. 9 tahun lebih aku berharap kau lah yang kelak akan mendampingiku. 9 tahun lebih aku berkeyakinan bahwa kau akan membalas perasaan ini. Tetapi pada akhirnya aku sadar, kau memang bukan untukku."
Aku membeku.
"Dan aku memang tidak akan bisa mengimbangi ritme hidupmu yang begitu bebas. Kita begitu berbeda, aku tahu itu. Aku memiliki cinta yang menggebu-gebu padamu, sementara bagimu cinta pada lawan jenis adalah hal terakhir yang ada di pikiranmu. Itulah mengapa kau masih saja bertahan dengan kesendirian."
"Re ..."
"Sedari dulu aku mendamba pernikahan, sementara bagimu pernikahan adalah hal kesekian yang kau pikirkan. Kucoba meyakinkan, tapi kau masih saja takut dengan apa yang disebut komitmen. Jiwa dan ragamu terlalu bebas, dan aku tak mampu meraihnya. Di kemudian hari aku sadar, dunia kita memang berbeda. Berdampingan denganku hanya akan membuat hidupmu tertekan, kan? Aku tahu, hatimu hanya bisa dimenangkan oleh orang yang bisa membawamu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, melihat luasnya dunia, bukan dengan orang sepertiku."
"Re, hentikan! Tolong!" air mataku mulai runtuh. 
Dihapusnya air mataku dengan sebelah tangannya. "Jangan menangis. Wanita tomboy macam kamu haram menangis, hahaha!"
"Aku ... aku ... aku sama sekali tidak bermaksud menyakitimu. Aku ..."
"Iya, aku tahu. Aku tahu kamu memang tidak akan bisa membuatku lebih dari sekadar teman. Maafkan aku yang selama ini selalu memaksamu untuk membuka hati untukku."
Air mataku kian menderas.
"Ini untukmu," ia mengangsurkan sepucuk amplop merah.
"Apa ini?" aku membuka amplop itu perlahan. Dan jantungku seakan berhenti berdetak. Di sana, tertulis sebuah nama yang bersanding dengan namanya.
"Kamu akan menikah?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Ya. Dalam waktu dekat."
"Selamat ...," aku tak mampu membendung rasa haru.
"Terima kasih," ia tersenyum kecil. "Itulah mengapa aku ingin bertemu denganmu saat ini, agar tuntas segala perasaanku. Terlalu banyak rasa terima kasih yang harus kuberikan padamu. Darimu, aku mengerti bagaimana rasanya mencintai dengan tulus. Darimu, aku mengerti bagaimana rasanya berjuang."
"Re ..."
"Ternyata beginilah takdir berbicara. Tuhan mempertemukanku dengan dia, wanita yang mencintaiku tanpa kuminta. Wanita yang bersedia mengarungi kehidupan bersamaku, dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Ternyata, dia lah yang Tuhan berikan padaku."
"Kamu bahagia?"
"Tentu saja," ia tersenyum lebar. Tampak sekali kalau ia tidak berbohong.
"Syukurlah, kau sudah menemukan pendamping hidupmu."
"Terima kasih, Li..."
"Sudahlah, jangan berterima kasih terus-menerus. Aku pun harus berterima kasih padamu."
"Untuk?"
"Untuk segalanya. Terima kasih pernah mencintaiku sedemikian rupa. Wanita yang akan mendampingimu itu pastilah beruntung bisa mendapatkanmu."
"Ya. Begitu pula denganmu. Beruntung sekali laki-laki yang bisa mendapatkan wanita keras kepala dan selalu menolak jatuh cinta sepertimu. Wanita yang pernah kukejar 9 tahun lamanya tapi memilih menyendiri."
"Hahaha, sial!" aku tertawa kecil.
"Benar, kan? Aku mengenalmu sejak kanak-kanak. Aku tahu benar, jika kau benar-benar menjatuhkan hati pada seseorang, hatimu tak bisa pindah ke mana-mana. Tentunya kau masih ingat dengan si X yang kau cintai diam-diam bertahun-tahun lamanya--dan selalu membuatku cemburu--tapi tak bisa membalas perasaanmu."
"Hei, jangan membahas si X lagi! Hahaha, sial, kau mengingatkanku pada laki-laki brengsek itu!" 
"Hahaha. Tak apa. Sesekali menengok masa lalu untuk ditertawakan."
Jam menunjukkan pukul 6 sore. Langit telah sepenuhnya gelap.
"Aku harus pulang," Re beranjak dari duduknya.
Aku pun berdiri.
"Terima kasih sudah bersedia menemuiku," ucapnya.
"Sama-sama."
Kami saling menatap dalam diam. 
"Aku pamit ... jaga dirimu baik-baik, ya," dia menyalamiku.
Aku mengangguk. Dia membalikkan badan, kemudian berjalan menjauh.
"Re, tunggu!" panggilku. Setengah berlari aku menghampirinya lagi.
"Ada apa?" tanyanya.
"Kemari sebentar," aku memeluknya. Dua puluh detik berlalu dalam diam. "Aku lah yang harus berterima kasih padamu, Re."
Dia mengacak-acak kepalaku pelan. Kami tahu, ini adalah pelukan perpisahan. 
"Maaf jika selama ini aku terlalu sering menyakiti hatimu."
"Sudah, jangan katakan itu," Dilepaskannya pelukan perpisahan itu. "Dengar, gadis kecil. Kamu sudah menempati bagian tersendiri di hatiku. Darimu, aku belajar menjadi kuat. Tanpa perjalanan sepanjang ini, aku tak mungkin bertemu dengan sosok yang kucintai sekarang, kan?"
Aku mengangguk pelan. Dia memelukku sekali lagi, lantas pergi tanpa menoleh sedikit pun....






Untukmu,
seseorang yang pernah mengisi masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasaku.
Selamat menempuh hidup baru. Berbahagialah selalu...



Jogja, 23 Maret 2015.
Pukul 01.27 WIB.

Mendaki Lawu: Sebuah Keajaiban

No Comments »



           “Dikado barang itu udah biasa e. Sekali-kali kek ada yang ngasih tiket nggembel ke mana gitu, atau mendaki ke gunung mana gitu,” ceplosku di suatu malam. Kebetulan waktu itu Mas Riyan dateng buat nganter dagangan. Ceritanya lusa aku bakal ulang tahun dan lagi ngode orang-orang buat diajak jalan, hahahaha!
            “Ke Merbabu gimana?” Mas Riyan menanggapi dengan serius.
            “Weee, sumpah? Budal aku!”
            “Iya. Nanti tak ajak anak-anak. Gimana?”
            “Seriusan ki? Weladalah, aku belum latihan fisik loh, kan ujan mulu, hahaha.”
            “Nggak papa. Kemarin habis nggembel jalan kaki juga toh?”
            “Ya, sih…”
          Setelah lobi sana-sini, ternyata anak-anak pada nggak bisa diajak mendaki. Wajar, sih, dadakan soalnya. Aku toh nggak ngarep banyak. Jadilah pas ulang tahun aku nyaris semedi di kamar doang gegara ujan deres sepanjang hari. Tapi beberapa hari kemudian, Mas Riyan datang membawa kabar gembira.
            “Kadonya diundur minggu depan mau? Ke Lawu. Gimana?”
            “Mau! Mau! Siapa aja yang ikut?”
            “Si A, B, C, kowe, aku. Cari temen cewek sana, biar ada temen.”
            “Oke!”
            Tiga hari kulalui dengan putus asa. Temen-temen cewek yang biasa mendaki nggak ada yang bisa diajakin. Rata-rata pada mo ke Merbabu. Mau ngajak cewek yang nggak pernah naik gunung tapi ragu, takut ntar kenapa-napa di sana.
       “Udah deh, aku cewe sendiri nggak papa. Dulu aku juga pernah mendaki ber-14 cewek sendirian.”
            “Oke, deh. Siap-siap, ya!”
          Aku pun dengan penuh semangat menyiapkan logistik dan semacamnya. Syukurlah ada si Bogel yang bisa dirampok peralatan gunungnya, hahaha. Dan beberapa jam sebelum keberangkatan…
            “Ndi, anak-anak nggak bisa ikut. Tahu-tahu ngebatalin.”
            “YANG BENER AJA?!”
            “Iya. Gimana? Aku sih manut koe.”
            “Alah, budali wae! Persetan cuman berdua, ntar di sana bisa kenalan sama pendaki lain,” aku jadi agak emosi. Bayangkan, semuanyaaaa udah kusiapin dan terancam gagal itu rasanya pengen garuk-garuk tanah!
            “Baiklah.”
            Jumat, 13 Maret 2015, kami berangkat menuju Karanganyar. Berdua saja? Iya, berdua saja, kayak anak ilang. Seumur-umur, aku belum pernah mendaki berdua doang, begitu pula dengan Mas Riyan. Kami nekat. Entah seperti apa nanti di sana, yang penting bismillah berangkat. Sebenarnya kami agak ketar-ketir. Beberapa hari ini Jogja dilanda hujan campur badai. Kami tahu, di bulan-bulan ini banyak gunung yang ditutup karena cuaca buruk. Intinya bukan waktu yang tepat buat mendaki lah. Tetapi entah kenapa, kami selalu percaya dengan kekuatan doa. Ketika niat sudah ada, dan semuanya sudah disiapkan dengan matang, kami tinggal menyerahkan semuanya pada-Nya. Bismillah, selama kami tidak punya niatan buruk, Insya Allah semesta akan mendukung.
          Siang itu, langit mendung. Membuat kami was-was sepanjang jalan. Sesampainya di Solo, kami beristirahat sebentar di Pom Bensin. Masih separuh perjalanan lagi. Kami masih khusyuk berharap agar hujan tidak menyapa kami. Satu setengah jam kemudian, kami melewati jalanan Karanganyar. Masya Allah, langit ceraaaah sekali! Jauh di sana, tampak Gunung Lawu berdiri kokoh diliputi awan.
            “Hei, lihat! Gunungnya sudah kelihatan. Ayo semangat! Kita pasti bisa melewati semuanya!” teriak Mas Riyan sambil menyetir motor.
            “Yok, tancaaaap!” sahutku dengan riang gembira.
          Sesampainya di jalur Cemoro Sewu, hatiku tiba-tiba bergetar. Pada satu suro kemarin, aku pernah ke tempat ini bersama teman-teman IMM. Bertujuh kami mendaki dan menemui beberapa kendala. Jangankan sampai puncak, sampai Pos 2 saja kami tak bisa. Entah kenapa saat itu aku berpikir, aku pasti akan kembali ke sini. Menyapa Lawu lagi. Dan begitu keinginan itu terwujud, rasa-rasanya masih setengah percaya. Kali ini, aku tidak menargetkan puncak seperti sebelumnya. Aku hanya ingin berjalan semampuku, sekuatku. Dan yang terpenting adalah pulang dengan selamat. Itu saja.
            Setelah mendaftarkan diri di pos, aku dan Mas Riyan beristirahat sejenak di salah satu warung. Saat itu, tampak segorombolan mas-mas dengan carrier di punggung. Kami pun berkenalan dan sepakat untuk mendaki bersama. Mereka adalah 11 anak-anak UNNES jurusan Olahraga.
            “Berdua doang, Mas?”
            “Iya, nih, sama adik.”
            “Adik ketemu gede? Hahaha!”
            “Hahaha, nggak, ya!”
           Aku hanya tersenyum kecut. Wajar saja kalau mereka menganggap kami sepasang kekasih, cewek dan cowok gitu loh. Setelah sholat Isya’, kami berkumpul untuk berdoa bersama. Semoga pendakian kali ini diberikan kelancaran dan keselamatan. Ketika melewati gerbang, dadaku rasanya bergemuruh. Lawu, I’m baaaaaack!
            Beberapa meter pertama, jalanan tidak begitu menanjak. Kami berjalan pelan melewati jalan setapak dengan senter masing-masing. Pas jalan udah nanjak, napasku mulai tidak beraturan. Emang selalu gitu sih di awal-awal. Dan benar saja, baru beberapa menit aku sudah ngos-ngosan.
            “Sini, Mbak, tasnya tak bawain!” tawar salah satu teman.
            “Eh, nggak usah …”
            “Nggak papa. Kami kan anak Olahraga, wes biasa bawa barang berat. Sini!”
            Aku cuma nyengir sambil mengangsurkan carrier ke salah satu anak. Hahaha, nggak papa lah.
            “Mau break dulu, Mbak?”
            “Apaan, nggak usah. Aku emang selalu gini di awal-awal. Yuk, lanjut!”
         Kami kembali berjalan. Suasana saat itu sunyi sekali. Berbeda dengan pas satu suro dulu, rameeee banget! Jadi enggak begitu takut karena ketemu banyak orang. Sekarang rasanya beda. Sepi. Aku jadi agak merinding. Makin lama jalanan makin nanjak. Aku sengaja jalan paling depan biar anak-anak nggak kecepetan jalannya, hahahaha. Begitu sampai Pos 1, aku melongo.
            “Serius ini Pos 1?”
            “Lha itu tulisannya begitu, Mbak.”
            “Cepat amaaat? Berapa menit kita jalan?”
            “40 menitan lah.”
           “Njir, cepat, ya! Dulu aku jalan ke sini rasanya kek berhari-hari. Suwe bianget,” aku geleng-geleng.
            “Mungkin sekarang rasanya beda.”
          Aku membenarkan. Entah kenapa, rasanya perjalanan kali ini begitu berbeda. Semangatku seakan bertambah berates kali lipat. Mungkin karena aku satu-satunya cewe juga di situ, sebisa mungkin jangan sampe lah nyusahin. Aku berjanji pada diriku sendiri, pokoknya enggak boleh ngeluh! Jangan sampai kehadiranku bikin mereka nggak nyaman. Tapi emang bener sih, saat itu aku terlampau bahagia dan semangat sehingga nggak ada rasa capek sama sekali. Hahaha.
            “Adikku ini jomblo, loh! Belum pernah pacaran. Barangkali ada yang berminat?” kata Mas Riyan di sela-sela perjalanan.
            Aku melotot. “Jangan jual aku di sini, Mas!”
            “Wahahahaaaa! Dijual katanya!” anak-anak pada ketawa.
            “Aku tidak menjual, hanya menawarkan,” sahutnya cuek.
            “Sampah,” gumamku sambil memonyongkan bibir. Dan u know lah apa yang terjadi, aku pun menjadi objek pem-bully-an dan dicing-cengin sepanjang jalan.
            “Adikku ini nggak pacar-pacaran. Dia maunya dilamar di puncak gunung loh, hahaha!”
            “Mas Riyaaaan! Westalaaah!”
            “Hahahaha! Tuh, lamar sana nanti di puncak gunung!”
            Mas Riyan masih saja mempromosikan diriku, udah kayak orang MLM aja dia. Nawarin ke sana-sini. Sialan. Tetapi justru karena itu, sih, kami jadi mudah akrab, hahaha. Perjalanan jadi enggak kerasa capek. Alhamdulillah banget bisa jalan bareng mereka. Aku nggak bisa bayangin kalau jalan berdua doang. Pasti garing.
            “Hei, Pos 2 udah kelihatan! Ayo ke sana!”
            Di Pos 2, aku lagi-lagi takjub. Dari 5 pos yang ada di Lawu, perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2 lah yang paling jauh. Sudah begitu treknya mayan nanjak. Tapi lagi-lagi, aku merasa perjalanan ke sana tidak sejauh yang ada di pikiran.
            “Mas, nyampe Pos 2! Huhu, dulu enggak sampek sini,” aku terharu.
            “Yo, Alhamdulillah. Kamu nggak capek po?”
            “Enggak.”
            Di Pos 2, kami bertemu dengan pendaki lain yang sedang beristirahat. Setelah basa-basi dan istirahat beberapa menit, kami kembali berjalan. Oh, ya, saat itu salah itu teman kami ada yang habis kecelakaan pas pagi sebelum ke Lawu. Lupa namanya siapa. Hahaha, maklum, aku memang rada susah nginget nama orang, apalagi ini ada 11 orang zzzz. Yang jelas, anak ini selalu dibully anak-anak lain. Hahaha.
            “Mbah, isih kuat mlaku?”
            “Kakimu nggak papa?”
            “Ayo semangat, jalan lagi!”
            Jalanan dari Pos 2 ke Pos 3 menanjak, bonusnya (jalanan datar) mulai jarang-jarang. Tetapi hal itu dibayar dengan pemandangan yang saaangat indah. Dari atas, kami melihat pemandangan layaknya Bukit Bintang! Aku menganga saking takjubnya melihat lukisan alam seindah itu. Sayangnya, camdig-ku enggak bisa menangkap keindahan itu (lebih tepatnya, aku masih belum bisa make kamera dengan baik dan benar alias gaptek, hahahaha!). Hal yang sangat kami syukuri saat itu adalah langit cerah! Tidak ada hujan sama sekali. Aku menyebutnya sebagai keajaiban. Ini sama persis seperti pas aku mendaki Ijen beberapa bulan lalu. Saat itu musim hujan, tetapi ajaibnya langit tiba-tiba cerah dan bertabur bintang. :’)
            Semakin ke atas, udara semakin dingin. Aku berkali-kali merapatkan jaket dan menggosok-gosokkan tangan saking dinginnya. Agak bodoh memang, aku cuma memakai baju dan jaket lapis 2 yang nggak terlalu tebal. Padahal dulu pas pertama kali ke sini aku make baju lapis 5 dan jaket lapis 3 -___-
            “Break!” teriak salah satu anak.
            Kami lantas berhenti dan duduk-duduk di bebatuan. Aku duduk paling atas bersama seorang mas-mas yang lagi-lagi aku lupa siapa namanya. Mukanya pun lupa. Habis gelap sih, hahaha. Sembari menghisap madu pemberian seorang teman, aku geletakan sambil menatap langit. Tak jauh dariku, barisan semak-semak tampak ribut diterpa angin. Telingaku tak sengaja mendengar sesuatu. Bulu kudukku langsung berdiri tegak. Aku refleks duduk dan mendekat ke mas-mas tadi.
            “Kenapa, Mbak?”
            “Kamu denger sesuatu nggak?”
            “Ha?”
            “Eh, enggak. Enggak papa kok. Jalan yuk, duduk lama-lama makin dingin.”
            “Oke.”
            Kami kemudian melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan menuju Pos 3, mulutku bungkam. Aku hanya mengikuti jalan di depan tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Jalanku pun cenderung kupercepat, pokoknya kudu sampe Pos 3 secepatnya!
            Di Pos 3, aku bernapas lega karena menemukan banyak pendaki. Mereka rata-rata juga akan melanjutkan perjalanan ke Pos 4. Dan lagi-lagi Mas Riyan melontarkan kalimat-kalimat berisi promosi atas kejombloanku. Meski aku ketawa, tapi diam-diam perasaanku kerasa nggak enak.

            Jangan ganggu aku. Aku nggak ada niatan jahat di sini.

         "Ayo lanjut aja, dingin banget nih duduk lama-lama,” aku beralasan, padahal kami baru beberapa menit duduk. Untungnya mereka nggak curiga atau apa, jadi kami langsung lanjut menuju Pos 4.
            Perjalanan menuju Pos 4 bisa dibilang sangat menguras energi. Jalannya nanjak tinggi banget, tanpa bonus. Kami melewati tangga-tangga batu tak beratutan. Kalau nggak hati-hati bisa terpeleset. Sekitar 1,5 jam kemudian, sampailah kami di Pos 4. Saat itu tepat pukul 12 malam. Aku sudah mau nangis aja. Lebay sih kedengerannya, tapi aku benar-benar nggak nyangka bisa sampai di Pos 4 dalam waktu sesingkat ini. Cuma 5 jam! Mungkin bagi pendaki lain itu normal, tapi bagiku yang masih newbie, ngelewatin 4 pos selama 5 jam itu luar binasa cepetnya, apalagi trek di Lawu terbilang sulit. Dulu aja pas ke sini, dari basecamp ke Pos 1 makan waktu berjam-jam.
            “Mau camp di sini apa lanjut Pos 5, Mbak?”
            “Manut. Mau ngecamp ayo, lanjut ayo.”
            “Woh, strong tenan mbak’e!”
            “Hahaha! Ora!”
          Tapi memang iya, saat itu aku anehnya enggak ngerasa capek. Biasa aja. Entah capeknya sudah dimakan semangat atau gimana. Akhirnya, kami mencari tempat buat mendirikan tenda di dekat Pos 4. Padahal perjalanan dari Pos 4 ke Pos 5 cuma 15 menit doang (tapi waktu itu kami nggak tahu jalannya bakal sesingkat itu, haha). FYI, kami ber-13 belum ada sama sekali yang pernah mendaki Lawu sampai puncak, bahkan beberapa ada yang belum pernah naik gunung sama sekali. Jadi bisa nyampe Pos 4 bagiku adalah pencapaian yang luar binasa.
            “Saatnya tidur. Besok bangun setengah lima, ya, lanjut perjalan lihat sunrise!”
            “Oke!”
            Aku masuk sleeping bag dan mencoba memejamkan mata, tapi enggak bisa. Dinginnya Lawu membuatku susah tidur. Entah pada pukul berapa, aku sangat menggigil dan berada di antara sadar dan tidak sadar. Mulutku menceracau entah apa. Rasanya tubuhku sedingin es. Bernapas pun susah. Aku tahu-tahu dibangunin Mas Riyan dan disodorin teh panas. Mungkin kalau saat itu di antara kami nggak ada yang bangun, aku sudah mati kedinginan. Mana saat itu ada badai pula. Karena nggak bisa tidur dan suasana hati juga nggak tenang, kami menunggu Subuh. Setelah sholat, baru lah aku bisa tidur dengan tenang. Aku nggak bangun sama sekali sampai pukul 7. Sementara itu, cowok-cowok pada sibuk masak. Sekalinya bangun aku langsung makan, hahahahaha. Mereka masak sup, mie instan, tempe goreng, dan sarden. Berasa prasmanan di gunung. Oh, ya, pagi itu kami nggak dapet sunrise. Kabutnya tebeeeeel banget. Jadinya kami baru naik agak siangan. Semua barang ditinggal di tenda.
            Perjalanan dari Pos 4 menuju Pos 5 emang cepet banget, 15 menit doang tapi nanjak. Di sana, kami menemukan warung Mbok Yem yang legendaris itu. Kami juga menemukan sumber mata air. Dulu Septian pernah cerita kalau di sini ada sumber mata air, dan akhirnya aku bisa melihatnya secara langsung, hiks. Dari Pos 5, kami lanjut ke puncak. Kami motong kompas biar waktunya lebih singkat. Dan Masya Allah, pemandangannyaaaaaa sangat indah! Fix aku bahagia!
            “Ayo, Mbak, sedikit lagi nyampe puncak!” teriak si Vandi dari atas.
        “Mana puncaknya? Kagak keliatan dari tadi!” aku udah lelah gegara jalannya nanjak dan berlumpur.
            “Ituuu di sana. Ayo, dikiiit lagi! Semangat!”
            Dengan sisa-sisa tenaga, aku merambat ke atas. Dan begitu mataku menangkap Tugu Lawu, aku refleks menjatuhkan diri. Sujud syukur. Nangis. Seneng. Benar-benar kayak mimpi. Ya Allah, ini kado terindah! Sungguh! Bisa berjalan sampai puncak adalah bonus yang luar biasa indahnya. Rasanya, semua rasa lelah terbayarkan sudah. *ngelap air mata*
            Memandang lukisan alam maha indah dari puncak, mulutku sontak tercekat. Rasa syukur, haru, bahagia, bercampur aduk jadi satu. Semakin merasa bukan apa-apa di tengah alam ciptaan-Nya. *ngelap air mata lagi*
            Kami berada di atas cukup lama. Ngapain lagi kalau bukan ngambil gambar. Ada-ada aja tingkah konyol anak-anak. Yang bikin ngakak adalah ada salah seorang teman yang dengan pedenya nulis “I Love Your Mom and Ded” dan “You Will Marry Me”. Asli lah aku ngakak kenceng.
            “Maksudmu ‘Will You Marry Me’ mungkin? Hahahaha!”
            Kocak lah mereka semua. Dan seperti biasa, Mas Riyan akan selalu menyempatkan dirinya ngukir tulisan dari batu buat kekasih tercinta. Alay bet, tapi ujung-ujungnya aku ikut-ikutan juga, HAHAHAHA! Tak lama kemudian, kabut tebal pun datang dan kami bersiap turun.
            Setelah membereskan tenda, kami turun. Kami berdoa agar dalam perjalanan pulang tidak menemui kesulitan apapun. Rintik hujan turun pelan-pelan.
            “Gila, jadi semalam kita ngelewatin jalanan curam begini. Untung kita naiknya pas malem ya, coba kalo siang, udah drop duluan kali.”
           Haha, memang. Jalanannya menyeramkan. Tapi hal itu setimpal dengan pemandangannya yang bagus. Coba enggak kabut, pasti lebih keren lagi. Dari Pos 4 ke Pos 3 kami jalan setengah jam doang tanpa istirahat. Di Pos 3, kami istirahat sekitar 10 menit, lalu jalan lagi. Instingku mengatakan untuk terus berjalan dan nggak noleh-noleh. Kejadian semalam terulang lagi. Di beberapa titik, aku merasakan sesuatu. Aku pun berjalan cepat. Gila, baru kali ini aku turun tanpa banyak istirahat. Awalnya sih iya-iya aja, tapi pas nyampe Pos 1, tenagaku sudah mau habis. Aku pengen berhenti, tapi keburu ditereakin Mas Riyan.
            “Bablas aja! Kalau berhenti makin sakit kakinya. Ayo, jalan pelan!”
         "SEKTALA, AKU SEK KESEL!” aku tereak agak esmosi sodara-sodara. Dengan memberengut, aku lanjut jalan cepet banget. Rodo nesu ceritane. Hahahahahaaaaa! Aku jalaaaan terus tanpa berhenti, paling lama mandek ya 10 detik. Tapi memang bener sih, duduk malah bikin kaki sakit. Sesampainya di basecamp, aku bernapas lega. Alhamdulillah, kami semua kembali dengan selamat. Kami sampai bawah sekitar pukul 5 sore, 3 jam perjalanan lah ya dari atas. Malam itu juga kami pulang.
            “Terima kasih, yaaa, sudah menemani kami dari berangkat sampe pulang! Senang mengenal kalian semua!”
            “Iya, sama-sama. Sampai jumpa di pendakian selanjutnya!”
            “Next time Gunung Andong, yuk!”
            “Insya Allah kalo skripsiku kelar cepet, hahahaha!”
            Kami pun berpisah. Aku dan Mas Riyan balik Jogja. Malam itu dinginnya menusuk tulang. Jalanan gelap. Di sebuah turunan, tiba-tiba rem motor blong dan nyaris nabrak mobil!
          “Mas, ati-ati! Pelan-pelan aja!” aku was-was. Perasaanku kembali nggak enak. Untuk mengusir kegalauan, Mas Riyan mulai mendongengiku tentang kisah cintanya dengan Reni. FYI, dia mendongeng dari Lawu sampe Jogja -______-. Kisah romantismenya dibeber dari A sampai Z.
“Kalau ditantang nikah sekarang mah aku berani. Aku pinginnya tuh nanti bla … bla … bla …duh, Dek Reni itu sangat lembut, keibuan bla … bla … dia juga bla … bla …”
Dia amat semangat cerita tanpa sadar kalau dia menghadapi seorang jomblo -______-
            “Mas, tau nggak kenapa aku semalam banyak diem?” tanyaku pas dia brenti ngocehin Reni.
            “Kenapa?”
            “Aku denger suara aneh.”
            “Aneh gimana?”
            “Ada suara cewek …” aku memelankan suara.
            “Hah? Apaan?”
            “Itu … ada suara cewek. Kadang nangis, kadang ketawa, kadang njerit …”
            “SUMPAH?”
            “Sumpah!”
            “Kamu dengernya di mana?”
            “Sepanjang Pos 2 sampe Pos 3.”
            Kami diam. Jeda beberapa saat.
            “Koe ngerti ora?”
            “Apa?”
            “Aku juga mendengar hal yang sama.”
            “Yang bener aja?”
        “Iya. Lihat, deh, tanganku merinding!” Mas Riyan menunjukkan tangan kirinya yang merinding. Tangan dan bulu kudukku juga berdiri. Sontak aku menoleh ke belakang, padahal saat itu jalanan rame, tapi entah kenapa suasana berasa sunyi dan senyap.
            “Mas, aku wedhi …”
            “Nggak papa. Yang penting kita nggak ada niatan buruk kan selama di sana? Kamu nggak ada pikiran jelek, kan?”
            “Enggak. Aku nggak aneh-aneh kok.”
            Kami kembali diam. Sesampainya di daerah Karanganyar, Mas Riyan kembali bicara.
            “Ndi …”
            “Opo?”
            “Tiba-tiba rem-nya nggak blong lagi. Udah normal kayak nggak kenapa-napa.”
            Aku kembali bergidik.
            “Apa mungkin tadi kita diikutin, ya?”
            “Wes, wes, jangan dilanjut. Ayo pulang!”
            Kami pun kembali ke Jogja dengan selamat. Alhamdulillah. Perjalanan kali ini sangat luar bisa. Bisa dibilang, ada banyak keajaiban selama perjalanan. Mulai cuaca yang tiba-tiba cerah dan nggak hujan, bertemu teman-teman hebat, juga pendakian yang terbilang lancar. Alhamdulillah. Ini adalah kado yang tak terlupakan. Sungguh!
            Sesampainya di kos, aku tidak langsung tidur. Nungguin si Anggun. Begitu bocah itu datang, aku lega.
            “Aku tidur kamarmu, ya.”
            “Kenapa?”
            “Aku masih kepikiran sesuatu e.”
            “Kepikiran apa?”
            “Besok aja lah kuceritain!”
           Aku pun tidur di kamarnya, tapi tak langsung memejamkan mata. Di kepalaku masih terngiang jeritan-jeritan di sepanjang jalan Pos 2 ke Pos 3….


Jogja, 17 Maret 2015.
Pukul 04.07 WIB




Ini tenda kami! :D
Demi cinta. *alaaah -___-

Pagi yang berkabut

Makaaaaan! :D
Perjalanan menuju puncak. Banyak yang heran kenapa muka saya tetap cerah. Mau tahu rahasianya? Sempatkan pakai bedak dan lipgloss 5 menit saja! HAHAHA!



Yeay! Kita berhasil mencapai puncak! {}



:')





Banyak yang jomblo, sist. Minat PM saya, ya! HAHAHAHAHAHA!


Lav you, all!