Archive for September 2012

Pertemuan

Baca selengkapnya » | No Comments »




            Aku masih ‘jalan-jalan’ ke Paris ketika suara itu mengagetkanku. Suara yang tak asing lagi. Bel pintu rumahku! Ku tutup mukaku dengan bantal. Sampai mana tadi? Ah, ya, aku tadi sedang menatap menara Eiffel yang memukau. Ku pejamkan mataku rapat-rapat, berharap bisa ‘kembali’ ke tempat menakjubkan itu.
            Tet … Tet … Tet …
            Argh! Suara itu lagi! Siapa pula yang berani-beraninya menggangguku sepagi ini? Semakin ku biarkan, bel pintu rumahku semakin nyaring terdengar. Aku tak tahan lagi. Ku kumpulkan ‘nyawaku’ selama beberapa menit, lalu beranjak dari tempat tidurku yang nyaman ini.  Ku buka pintu kamarku dengan malas, celingukan ketika tidak mendapati satu manusia pun di rumah ini. Ah, ya, aku baru ingat. Mama dan Papa ada acara penting hari ini.
            Tet … Tet … Tet …
            Hei! Bisakah kau bersabar sebentar, wahai manusia yang sedang memencet bel? Aku benar-benar kesal. Terhuyung-huyung aku berjalan ke ruang tamu. Sambil menguap lebar, aku memutar gagang pintu. Cklek!
            “Selamat pagi, Alia-chan …,” sapa seseorang yang kini berdiri di hadapanku.
            Aku yang saat itu tengah menguap lebar tak sanggup menahan keterkejutanku. Mulutku masih menganga saking kagetnya. Tubuhku panas dingin dibuatnya. Jantungku berdetak sangat keras. Ya, Tuhan, benarkah itu dia?
            Ya, dia. Seorang laki-laki bertubuh jangkung dan berwajah asing yang kini berdiri tegap di hadapanku. Tersenyum kepadaku.
            “Kkk … Kazu …?” mulutku kelu mengucapkan nama itu. Nama yang tersemat di hatiku selama dua tahun terakhir ini. Nama yang selalu ku tunggu setiap waktu.
            “Ya, ini aku, Alia-chan! Maukah kau menemaniku sarapan?” ucapnya lagi. Senyumnya semakin lebar.
            Dadaku membuncah. Benar, itu dia, Kazuto-san yang pergi meninggalkanku setahun yang lalu! Mataku mendadak panas. Sedetik kemudian, aku merasakan tangannya menghapus air mataku yang nyaris terjatuh.
            “Hei, jangan menangis! Ayo, temani aku sarapan!” Kazuto menggandeng tanganku dengan wajah tanpa dosa, lalu membawaku pergi ke sebuah tempat makan langganan kami dulu. Ketika kami sudah duduk dan memesan makanan, aku baru teringat sesuatu. Aku belum sempat mandi, ah jangankan mandi, mencuci muka saja belum! Aku masih mengenakan baju tidurku yang kusut. Rambutku yang panjang juga tampak sangat acak-acakan. Tapi tampaknya Kazuto tak begitu mempedulikan penampilanku ini.
            “Alia-chan …,” Kazuto memanggilku.
            Aku mendongak. Ku lihat binar matanya yang menatapku hangat. Aku membeku. Bayangan setahun yang lalu kembali hinggap di kepalaku. Kazuto adalah mahasiswa pertukaran dari Jepang. Dia belajar bahasa Indonesia di kampusku, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Pertemuan pertama kami benar-benar jauh dari kata ‘berkesan’. Dia menabrakku ketika aku berbelok hendak ke Bangjo (bangku ijo). Dan .. yah … sejak itulah, kami berteman. Selama satu tahun aku menemani hari-hari Kazuto, sebelum akhirnya dia kembali ke Jepang. Dan kini, dia ada di depanku.
            “Alia-chan …,” panggil Kazuto lagi. Senyumnya mengembang melihatku yang tampak gugup.
            “Kapan kau pulang? Kenapa tak mengabariku sama sekali?” aku menatapnya dengan terluka. Ya, sejak dia kembali ke negara asalnya, kami kehilangan kontak. Lebih tepatnya, dia yang tidak menghubungiku.
            “Ceritanya panjang, Alia-chan. Nanti akan ku jelaskan. Aku sengaja ke sini untuk mengejutkanmu. Tapi … apakah kau tidak senang dengan kehadiranku?” Kazuto tampak khawatir.
            Aku menggeleng. “Aku senang kau datang …”
            Kazuto kembali tersenyum. Dia merogoh sesuatu dari saku jaketnya, lalu menunjukkannya padaku. Sebuah kertas bertuliskan puisi buatanku. Dulu, dia mendapat tugas membuat puisi. Aku dengan senang hati membantunya, berharap dia bisa membaca perasaanku lewat puisi itu. Ah, ternyata dia masih menyimpannya …

Puisi Alia ...

No Comments »




            Dua jam sudah berlalu, tapi ekspresi wajah itu masih belum berubah. Terkadang tegang, terkadang gelisah, terkadang takut, terkadang juga senyum-senyum sendiri. Sedari tadi tangan kirinya hanya menopang dagu, sedangkan tangan kanannya asyik mencoret-coret sesuatu di atas kertas. Tak lama kemudian, kertas itu diremas-remas, lalu dibuang begitu saja. Entah sudah berapa banyak kertas yang berceceran di lantai.
            “Argh!” Alia mengumpat. Dia lalu memutar tempat duduknya, membelakangi meja belajar. Kakinya dihentak-hentakkan ke lantai dengan kesal. Sedetik kemudian, dia beranjak dari tempat duduknya. Berdiri di depan kaca, lalu mengamati dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tingginya sekitar 162 cm dengan berat badan 49 kg. Rambutnya hitam mengkilat, menjuntai hingga pinggang. Kulitnya putih bersih seperti susu. Hidungnya mancung ke dalam alias pesek. Matanya yang sipit di dukung oleh lesung pipit yang indah. Sekilas, gadis itu mirip sekali dengan perawakan orang Cina.
            “Apakah aku cantik?” tanyanya dengan penuh rasa tidak percaya diri. Lalu beberapa detik kemudian dia tersenyum-senyum lagi, nyaris seperti orang gila.
            Akhir-akhir ini Alia memang bersikap aneh. Cewek super cuek itu tiba-tiba saja berubah drastis. Dia sangat jauh dari kesan feminin. Tak pernah terbersit walau satu kali pun di otaknya untuk memakai rok atau pun high heels. Ah, bahkan bedak pun dia tak punya. Dia terbiasa memakai kemeja atau pun kaos oblong, lalu dipadu dengan celana jeans belel. Rambutnya juga selalu diikat sembarangan. Selain itu, dia juga terkenal dengan suaranya yang super kencang, mirip toa masjid.
            Tapi, sepertinya semua itu berubah sejak kejadian di kampus dua bulan yang lalu. Saat itu, Alia terburu-buru ingin ke Bangjo (bangku ijo) kampus yang terletak di belakang perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya. Dia ingin meminjam catatan materi ke Ezti, sahabat dekatnya. Satu jam lagi dia akan mengikuti ujian susulan dan parahnya dia belum belajar sama sekali.
            Brug!
            Seseorang menabraknya ketika dia berbelok. Dia pun nyusruk ke tanah. Baru saja dia akan mengumpat panjang-lebar, sebuah tangan terjulur di depan mukanya. Alia menepis tangan itu dengan kasar, lalu buru-buru membersihkan debu yang menempel di bajunya. Dan ketika dia mendongak, dia melihat seorang laki-laki bertubuh jangkung dan berwajah asing tengah menatapnya dengan penuh rasa bersalah.
            “Maafkan aku,” kata laki-laki tu. Dia menjulurkan tangannya.
            Alia terpaku. Dia merasakan jantungnya berdetak dua kali lipat lebih keras.
            “Maaf, aku tak sengaja,” tambahnya, dengan aksen bahasa Indonesia yang terdengar aneh.
            “Oh, tidak apa-apa,” Alia tersadar dari lamunannya, lalu menjabat tangan laki-laki itu. Entah sejak kapan dia bisa bersikap semanis itu. Jantungnya masih saja berdetak tak karuan. “Errr...sepertinya kamu bukan orang Indonesia,” kata Alia kemudian.
            Laki-laki itu tersenyum. “Iya, saya memang bukan orang Indonesia. Perkenalkan, nama saya Kazuto, mahasiswa pertukaran dari Jepang.”
            “Namaku Alia. Salam kenal, Kazuto-san!” kata Alia dengan senyum yang tak kalah manisnya.
            “Salam kenal, Alia-chan!”
            Dan sejak itulah, dunianya tak lagi sama. Alia yang super cuek itu mendadak jadi lebih kalem. Penampilannya pun perlahan-lahan berubah. Dia memang tidak memakai rok atau pun high heels, tapi kali ini dia tampak lebih rapi. Memakai baju bermotif bunga-bunga dipadu dengan celana jeans. Rambutnya yang terbiasa diikat itu kini lebih sering dibiarkan terurai.
            Sejak perkenalan itu, Alia dan Kazuto berteman baik. Alia selalu merasa senang saat berada di dekat Kazuto. Entahlah, mahasiswa Jepang itu tampak begitu menarik di matanya. Bukan saja karena Alia menyukai bahasa Jepang dan seluk-beluk kebudayaan Jepang, tapi lebih karena kepribadian Kazuto yang begitu menyenangkan.
            Dan malam ini, Alia benar-benar frustasi memikirkan puisinya yang tak kunjung selesai. Puisi? Ah, iya. Tiga hari yang lalu Kazuto meminta bantuannya untuk membuatkan puisi. Dia mendapatkan tugas dari Dosen untuk membuat puisi bertema bebas. Kazuto yang tidak ahli dalam berpusi pun kebingungan. Saat itulah, Alia datang bagaikan malaikat penolong. Dia bersedia membuatkan puisi untuk Kazuto. Tentu saja Kazuto sangat senang. Padahal, Alia memiliki niat terselubung.
            Alia ingin mengungkapkan sesuatu lewat puisi itu. Dia ingin Kazuto membaca puisi itu, berharap laki-laki itu akan memahami perasaannnya. Dia ingin Kazuto tahu, bahwa kuncup-kuncup Sakura itu mulai bermekaran di hatinya ....

           
Jogja, 9 September 2012.
Pukul 00.12 WIB