Archive for 2014

NGGEMBEL #2

No Comments »



JELAJAH ALAS PURWO

           
            Sebenarnya pagi itu kami berencana menjelajah dua tempat, yaitu Baluran dan Alas Purwo. Tetapi setelah dipikir-pikir, kayaknya enggak mungkin bisa mencapai keduanya dalam waktu sehari. Baluran letaknya di ujung utara, sementara Alas Purwo di ujung selatan. Untuk mencapai satu tempat, setidaknya kami membutuhkan waktu tiga jam. Daripada tewas di jalan, kami lantas memutuskan ke satu tempat saja. Alas Purwo menjadi pilihan karena letaknya yang lumayan dekat dengan rumah Mas Ilham. Pukul 9 pagi, kami turun dari kawasan Kawah Ijen. Separuh perjalanan kulalui dengan setengah sadar. Kepala meleng ke kanan, kemudian ke kiri. Ngantuk berat, meeen! Berulang kali Mas Ilham tereak-tereak gegara aku hampir jatoh, hahaha. Sebelum masuk ke kawasan Alas Purwo, kami harus melewati jalanan tanpa aspal yang dipenuhi bebatuan besar. Rasanya perutku kocak merasakan jalanan yang nggronjal-nggronjal, mana jauh pula. Kata Mas Ilham, jalanan ini masih terbilang mending kalau dibandingkan dengan Bande Alit. Woah, padahal aku pengen ke sana bareng bapakku -___-‘
            Pukul 12 siang, sampai lah kami di gerbang Alas Purwo. Kami turun sebentar buat foto-foto sambil mengistirahatkan pantat yang terasa tepos. Iya, tepos banget gila. Beberapa menit kemudian, kami menuju pos buat beli tiket. Waktu itu kira-kira tiketnya 25 ribu buat 3 orang. Lumayan murah lah kalau dibandingin Papuma yang 12,5 ribu per orang *ehm. Kami lantas melanjutkan perjalanan ke arah Pantai Pancur. Oya, di Alas Purwo ini ada banyak banget tempat yang bisa dikunjungi—dan waktu seharian nggak bakal cukup buat mengunjungi semuanya. G-Land adalah tempat yang paling terkenal dan sering dikunjungi turis. Kami pengen sih ke sana, tapi karena keterbatasan waktu, kami jalan ke tempat yang dekat-dekat saja. Sepanjang jalan, kami nengok kanan-kiri. Kali aja beruntung ketemu merak atau monyet. Kami masih punya banyak snack dan kayaknya monyet-monyet itu bakal suka. Tapi ternyata kami tidak menemui hewan apapun, hiks. Sesampainya di Pantai Pancur, kami memarkir motor dan laporan ke petugas. Di tempat ini ada wisata goa juga ternyata, dan untuk mencapai tempat itu kami harus jalan kaki lagi.
            “Nggak usah ke goa, deh. Mending mantai aja!” bujukku. Badanku sudah lumayan mreteli gegara jalanan nggronjal-nggronjal tadi -_-
            Siang itu Pantai Pancur terbilang sepi. Teriknya matahari membuat kami urung ke pantai dan leyeh-leyeh sejenak di sungai kecil dekat situ (sungai atau cekungan air, sih? hahaha). Aku langsung mencelupkan kakiku di sana dan ceessss … segarnyaaaa! Rasanya pengen nyebur, tapi kayaknya itu sungai cukup dalam. Airnya jernih ditambah dengan pemandangan ikan-ikan kecil di dalam sana. Sementara aku bernyanyi-nyanyi kecil, Aka dan Mas Ilham naik ke atas pohon, merasakan angin semilir dan tewas di tempat, ahahaha. Bosan dengan sungai, aku lantas menuju pantai. Sebenarnya pantainya bagus, sayang kotor banget. Pasir putih itu jadi tampak jelek gegara sampah di mana-mana. Aku berlari mengejar ombak, mencium bau laut sepuasnya sambil ketawa-ketawa nggak jelas, hahahaha. Yes, I love beach so much. Nggak ada bosen-bosennya kalau sudah ada di pantai. Aku bisa betah mainan ombak berjam-jam atau berjemur sembari menatap laut lepas. Aku bahkan pernah duduk diam di atas pasir tanpa melakukan apapun entah berapa jam lamanya. Entahlah, ketika aku di pantai semuanya terasa lepas. Menyenangkan. Tetapi siang itu Pantai Pancur sedang galak dan nggak bisa diajak berteman. Ombaknya ganas, jadi aku mengurungkan diri buat nyebur. Setelah puas berlarian nggak jelas ke sana ke mari, aku kembali ke tempat Aka dan Mas Ilham. Rupanya mereka juga agak bosan.
            “Ke Padang Savana, yuk! Lumayan dekat kok dari sini, sekitar 1 km doang,” kata Aka.
            “Yuk! Habis shalat kita ke sana,” sahut Mas Ilham sambil beranjak.
            Kami lantas menuju mushola terdekat, shalat duhur, lalu melanjutkan perjalanan. Tak sampai tiga puluh menit, sampailah kami di kawasan Padang Savana Alas Purwo. Setelah memarkir motor, kami naik ke sebuah gardu pandang dan melihat pemandangan dari atas. Sebenarnya aku agak kecewa sih gegara savana-nya dikelilingi pagar. Maksud hati kan pengen lari-larian di padang savana atau tidur-tiduran di sana gitu, ahaha. Tapi kayaknya ngeri juga kalau tahu-tahu ada banteng atau macam. Siang itu kami belum cukup beruntung. Tidak banyak hewan yang terlihat. Tetapi setidaknya kami cukup puas dengan pemandangan hijaunya savana. Beberapa menit kemudian, aku turun dari gardu pandang dan menewaskan diri di atas meja. Ngantuk berat. Aku sudah berpesan ke Mas Ilham untuk membangunkanku 30 menit kemudian. Dan benar saja, begitu tubuhku nempel di atas meja, aku langsung ilang. Tidur di alam terbuka dengan udara semilir merupakan suatu kenikmatan tak terkira. Baru juga aku bermimpi dimasakin emak, tahu-tahu aku dibangunin. Argh -____-
            “Ayo pulang! Langit gelap banget, kayaknya mau turun hujan!”
            Aku bangun, mengucek mata sembari mengembalikan nyawa, lalu berjalan ogah-ogahan ke parkiran. Masih ngantuk banget. Nyawaku belum penuh benar ketika Mas Ilham menstarter motor. Benar saja, sekeluarnya dari kawasan Alas Purwo kami disambut dengan hujan rintik-rintik yang makin lama makin deras. Awalnya aku bersikeras untuk tidak memakai mantel—toh sepuluh menit lagi sudah sampai rumah Mas Ilham—tapi karena hujannya makin ugal-ugalan akhirnya kami berhenti sejenak buat make mantel. Pukul setengah enam sore, sampailah kami di rumah Mas Ilham dalam keadaan lumayan basah kuyup. Begitu tubuhku menempel kursi, tahu-tahu aku ngilang gitu aja. Ketiduran, hahahaha. Sore itu hujan sangat deras. Diam-diam aku galau. Rencananya sore itu aku mau langsung pulang ke Jember, tapi karena cuaca tidak mendukung jadi Mas Ilham memutuskan untuk mengantarku besok pukul tiga pagi. Hiks … hiks … terharu campur nggak enak. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendirian, walaupun aku susah mengingat jalan tapi biasanya aku selalu bisa pulang dengan selamat. Ya, modal mulut lah, tanya-tanya ke orang. Hahahaha.
            Keesokan harinya, kami bangun telat gegara kelelahan, hahaha. Ujung-ujungnya kami pergi pukul setengah lima pagi. Dua lelaki itu mengantarku sampai kos Dila. Setelah mindahin foto ke laptop, kami kemudian sarapan di warung dekat situ. Selesai makan, Mas Ilham nganterin Aka ke Stasiun Jember, lalu pulang ke rumahnya di Banyuwangi. Domo arigatou gozaimasu, dua lelaki superbaik! Terima kasih atas perjalanannya. See you next time …:))


Annyeong!

Ini mah jalanannya masih bagus

Holla, Alas Purwo!

Pantai Pancur

Sungai entah apa namanya 
Padang Savana Alas Purwo




Jember, Selasa 23 Desember 2014
Pukul 15.40 WIB

           

NGGEMBEL #1

No Comments »



MENGEJAR BLUE FIRE

            “Aka mau ke Ijen tanggal 14 nanti.”
            “Hah? Kok kampret banget nggak ngasih tau?”
            “Hahahaha. Trus agenda kita bagaimana?”
            “Ya sudah lah, Mas, dibarengin aja. Yakali kamu bolak-balik dua kali.”
        Kampret lah, mendadak begini. Sebelumnya, aku, Mbak Anin, dan Mas Ilham berencana nggembel ke Kawah Ijen. Bareng Aka juga sih awalnya, tapi mendadak dia nggak bisa dan hell tahu-tahu anak itu bisa pergi tanpa ngasih tahu aku pula. Dengan agak gondok, aku menghubungi Mbak Anin terkait rencana nggembel kami. Dan apa yang aku khawatirkan terjadi juga. Mbak Anin nggak bisa pergi, ditambah dapat mandat dari orang rumah untuk segera pulang. Tanpa berpikir dua kali, aku segera membeli tiket keberangkatan tanggal 11. Rencananya sebelum pulang ke rumah aku akan nggembel diam-diam, hoahahaha. Sesampainya di Jember, aku numpang ngumpet di kos Dila sekalian ngerampok motornya buat kubawa ke Banyuwangi tanggal 14 nanti. Asli lah, ini agenda super impulsif di tengah-tengah suasana UAS yang merajalela. Pulang dengan membawa buku-buku buat garap tugas, dan bodohnya baju-baju yang niatnya mau kupake buat nggembel malah ketinggalan semua di Jogja. Ah, dasar ceroboh! Ujung-ujungnya aku ngerampok baju Dila dan Hirma, wakakakaka!
            Di hari H, Mas Ilham menjemputku ke Jember gegara aku buta jalan. Jangankan ke Banyuwangi, di Jember aja aku bisa ilang entah ke mana. Ya, aku memang punya kelemahan susah mengingat jalan dan nama orang. Pukul setengah 5 sore, kami berangkat ke Banyuwangi. Hah, lama juga nggak ke kota itu. Perjalanan berlangsung agak mendebarkan karena melewati Gumitir yang dipenuhi kendaraan sejenis truk dan bus.  Melewati Gumitir bikin keinget jalanan Gunung Kidul. Meliuk-liuk dan agak seram. Kira-kira pukul 8 malam, kami mampir sebentar di rumah Mas Ilham buat shalat dan istirahat sejenak sebelum menjemput Aka yang nggak tau kalau aku ikut di Stasiun Rogojampi. FYI, kami bertiga ini dulunya teman sekelas di Elfast Pare. Bisa dibilang ini pertemuan pertama kami setelah program berakhir Februari lalu.
            Pukul setengah 9 malam, Aka ngabarin kalau dia sudah sampai stasiun. Oke, saatnya ngerjain Aka. Mas Ilham nyembunyiin aku di warung bakso, kemudian jemput Aka. Nanti aku akan pura-pura marah gegara nggak dikasih tahu. Tapi rencana itu gagal gegara emakku tahu-tahu nelepon dan Aka keburu datang dengan muka kagetnya. Nggak jadi pura-pura marah. Jadinya malah sibuk memainkan lakon drama di telepon, hahaha. Setelah makan dan ngobrol ke sana ke mari, kami pun melanjutkan perjalanan. Untuk menuju kawasan Kawah Ijen, kami menempuh waktu sekitar dua jam. Jalanan gelap dan lumayan seram, berasa melewati Gumitir lagi. Sesampainya di lokasi, kami segera memarkir motor. Malam itu kami hanya melihat sekumpulan anak sedang genjrang-genjreng gitar sambil nyanyi. Nggak terlalu banyak pengunjungnya. Berhubung jalur pendakian baru boleh dilewati pukul 12 malam, kami leyeh-leyeh sejenak. Lagi enak-enaknya duduk, tahu-tahu kami didatangi mas-mas dari gerombolan yang genjrang-genjreng gitar tadi. Awalnya basa-basi kenalan, tapi lama-lama dia malah cerita kisah hidupnya dan aku hanya bisa “oh” atau “oya?” gegara gondok ditinggal Aka dan Mas Ilham. Kamfretos banget mereka berdua -____-
            Kami memulai pendakian sekitar pukul setengah satu pagi. Untunglah mas-mas tadi segera menyingkir dengan gerombolannya, hahaha. Oya, ada satu orang yang jalan bareng kami. Namanya Mas Anton. Untunglah doi nggak annoying kayak mas-mas sebelumnya, hahaha. Berbekal lampu senter, kami berempat berjalan menyusuri Ijen. Dua puluh menit pertama, perjalanan terasa ringan karena jalanannya mendatar. Lurus-lurus saja. Begitu naik, barulah terasa ngos-ngosannya. Bukan saja karena aku nggak latihan fisik sebelumnya, tapi juga gegara aku kurang minum. Seharian itu aku palingan cuma minum dua gelas air, ditambah segelas es teh di warung bakso tadi. Kami pun berhenti di sebuah gazebo. Mataku berkunang-kunang. Tiba-tiba saja aku keluar keringat dingin. Seperti ada yang mau keluar dari perut. Gawat. Aku langsung menenggak mizone untuk mengembalikan energi. Ekor mataku menangkap senyuman tiga laki-laki yang membersamaiku itu. Hahahanjir, berasa lemah banget -_-
            “Kok mukamu pucet, Ndi? Hahaha!”
            “Udah, istirahat dulu sebentar. Nanti malah ambruk.”
            “Kakinya ditinggal dulu aja di sini.”
            Kuampret, haha. Kami pun melanjutkan perjalanan dan berpapasan dengan gerombolan bocah tadi. Malam itu bisa dibilang keberuntungan berpihak pada kami. Kami nekat mendaki di musim hujan yang derasnya ugal-ugalan. Tetapi malam itu tidak hujan sama sekali. Kami disuguhi langit bertabur bintang dan cerahnya sinar bulan. Belum lagi kilatan oranye di kejauhan sana. Masya Allah, aku tidak henti-hentinya bersyukur. Indah banget. Terakhir kali melihat langit penuh bintang begini pas jalan-jalan sama sasindo setengah tahun lalu, hiks.
            Satu kilometer kemudian, kami aku berhenti lagi. Kali ini perutku sebelah kanan terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk. Agak heran juga. Biasanya kalau maag-ku sedang kumat, perut sebelah kiri atau tengah yang sakit. Ini malah yang kanan. Bodohnya lagi, obatku ketinggalan di dalam tas yang kutitipkan di pos. Aelah, Ndi, cerobohmu kapan sembuhnya?
            “Ya, itu gegara kamu kurang minum,” kata Mas Anton.
            Aku lupa kalau dia anak farmasi. Pastinya dia lumayan paham masalah beginian. Belum lagi aku masih belum bisa ngatur napas dengan benar. Teorinya sih ngerti, tapi praktiknya susah. Hahahaha. Aku pun menarik napas dalam-dalam, kemudian melepaskannya perlahan. Setelah sakit di perut agak baikan, kami melanjutkan perjalanan. Beberapa kali kami bertemu dengan bapak-bapak penambang belerang. Kami nyaris saja kesasar kalau tidak diteriakin dari atas. Fiuh...
            Satu kilometer terakhir, kami melewati jalanan sempit mendatar dengan jurang menganga di sebelah kanan kami. Meleng sedikit saja, mungkin kami sudah wassalam. Bau belerang mulai menyengat hidung. Kami segera memakai masker masing-masing. Tiba-tiba aku deg-degan campur senang. Oh, Tuhan, aku masih belum bisa percaya kalau aku akhirnya bisa menginjak tempat ini. Pergi ke Ijen itu tak ubahnya seperti ibu hamil yang lagi ngidam berat. Ketika mencium bau belerang, rasa lelahku langsung berganti dengan semangat. Itu artinya sebentar lagi kami mencapai puncak. Entah pergi ke mana rasa lelah itu, tiba-tiba saja kakiku terasa ringan. Sesampainya di atas, kami disambut dengan mas-mas cerewet tadi dan dua orang temannya. Saat itu kira-kira pukul setengah tiga pagi. Kami tidak melihat apapun selain kegelapan.
            “Lihat teman-teman kami nggak?” tanyanya.
            “Yang gerombolan tadi?”
            Dia mengangguk.
            “Wah, masih jauh di belakang, Mas. Tadi ada cewek yang kakinya kenapa gitu,” jelasku.
          “Hah…! Gini nih kalau bawa cewek-cewek, pasti manja, bla … bla …,” dia ngomel panjang-pendek.
            Mukaku langsung berubah. Kampret, dia nggak sadar kalau lagi ngomong sama cewek juga!
          “Eh, tapi beda lah sama mbak ini. Pasti punya tekad yang kuat!” ralatnya secara tidak langsung.
            “Memangnya dia cewek? Hahaha!” sahut sebuah suara.
        Hoh, terserah lah. Aku sudah biasa dianggap laki-laki yang terperangkap dalam tubuh perempuan -_-
            “Lihat Blue Fire, yuk! Sunrise-nya masih lama. Mo nunggu di sini juga ngapain, gelap gini,” ujar Mas Anton.
        Kami yang sama-sama nggak paham jalan akhirnya turun lagi, melewati belokan yang ‘kayaknya’ tadi dilewatin bapak-bapak penambang belerang. Beberapa saat kemudian, beberapa anggota dari gerombolan genjrang-genjreng tadi datang. Semuanya laki-laki. Jadilah aku perempuan satu-satunya dan aku tidak terlalu peduli juga. Jalanan yang kami lewati cukup sulit. Mata kami harus awas kalau nggak mau kesandung dan wassalam. Bebatuan besar di mana-mana. Jalanan yang sempit membuat kami harus berhenti dan minggir buat ngasih jalan para penambang. Makin ke bawah, jalanannya makin susah. Pas udah setengah jalan, tahu-tahu kakiku kram. Yassalam, sakitnya bukan main. Mana kram-nya lama lagi. Selanjutnya, aku mulai jalan pelan-pelan. Agak khawatir awalnya, jangan-jangan kami salah jalan. Habisnya lama banget, hahaha.
            “Hei, lihat! Itu Blue Fire-nya!” teriak mas-mas cerewet sembari menunjuk kobaran api biru di kejauhan.
            “Wah, iyaaa! Ayo ke sana!” aku ikutan berteriak.
           FYI, Blue Fire ini munculnya nggak lama. Kata bapak penambang sih, subuh udah hilang. Jadi kalau nggak mau ketinggalan, kudu cepet-cepet. Ketika Blue Fire sudah di depan mata, kami berteriak kegirangan, kek habis nemu harta karun gitu, hahaha. Sungguh, Blue Fire kereeeeeen banget! Orang-orang pada turun buat lihat lebih dekat, tapi aku ogah. Nggak mau ambil risiko pingsan gegara mencium asap belerang. Akhirnya aku, Mas Ilham, dan Aka duduk-duduk sambil lihat Blue Fire. Kalau di foto, sih, nggak terlalu bagus. Sudahlah, bisa melihatnya di depan mata sudah membuatku senang. Sumpaaaah, rasanya kayak mimpi aja! Hahaha!
            Setelah foto-foto dan ngobrol ke sana ke mari, kami balik ke atas. Kami sempat dihantam kabut tebal dan sontak kami tiarap. Njir, serem amat. Nah, pas jalan ke atasnya ini ngos-ngosan banget, haha. Beberapa kali kami berhenti untuk istirahat. Begitu sampai atas, kami langsung tepar di atas bebatuan. Tapi tetep aja aku nggak bisa tidur. Dinginnya minta ampun. Aku emang nggak bisa tidur nyenyak kalau terlalu dingin atau terlalu panas. Jadilah aku cuma tidur-tidur ayam sambil iseng motret muka anak-anak, hahaha.
            Pukul lima pagi, aku naik ke atas batu dan … Masya Allah, mau nangis rasanya! Di bawah sana, tampak Kawah Ijen berwarna hijau. Indah. Keren. Amazing. Aku baru sadar, ternyata tadi kami jalan di pinggir kawah itu. Kalau tadi jatoh, sepertinya bakal wassalam juga. Ah, rasanya dadaku penuh haru melihat ciptaan Allah yang sungguh tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata ini.
            “Hei, kalian …! Bangun …! Sini ke atas!” aku berteriak heboh.
            Aelah, Mas Ilham dan Aka masih aja tidur. Mas Anton sempat ngajakin lihat sunrise di atas sana, tapi niat itu kuurungkan. Mana mungkin aku meninggalkan dua lelaki itu *eaaa. Setelah Mas Ilham dan Aka bangun, kami langsung mengambil gambar. Foto-foto lalalalala. Mas Anton kemudian pamit buat ngelihat sunrise. Pamitnya udah kayak orang yang nggak bakal ketemu lagi, tahunya pas dia turun kami masih ada di tempat. Hahaha. Kami lantas jalan bareng lagi. Ketika kami turun, kami disambut dengan pemandangan yang nggak kalah bagusnya. Aku melihat jelmaan Lembah Kashmir! Gila keren banget lah. Dua kilometer berikutnya, kami bertemu dengan penjual ukiran belerang. Ternyata, di balik keindahan Ijen tersimpan sebuah ironi. Bayangkan saja, satu kilogram belerang hanya dihargai seribu rupiah. Padahal menambang belerang sama saja dengan merelakan nyawa yang bisa tercerabut kapan saja. Jika kalian memiliki kesempatan ke Ijen, tidak ada salahnya kalian membeli ukiran belerang. Murah kok, hanya 10 ribu rupiah. Kalau ukiran yang kecil-kecil hanya dua ribuan. Ah, melihat bapak-bapak penambang belerang yang bersimbah peluh membuatku tidak bisa berkata-kata. T.T
            Kami sampai di bawah pukul tujuh pagi. Woah, agak melelahkan tapi menyenangkan sekaliiii. Setelah sarapan dan bersih diri, kami pun melanjutkan perjalanan. Mas Anton nggembel ke Surabaya, sementara kami bertiga menuju Alas Purwo ….


Finally, Blue Fire! T.T






Kawah Ijen



Selfie w/ Mas Anton, Aka, dan Mas Ilham



Penambang belerang


Ukiran cantik dari belerang. Kalau berkesempatan ke Kawah Ijen, jangan lupa beli, ya! :D

Turun gunung!


Suguhan pemandangan pas lagi turun. Sweet!




Jember, Selasa 23 Desember 2014.
Pukul 00.09 WIB.

Jika

2 Comments »



Jika perjalanan adalah cara terbaik untuk mengenal seseorang lebih dalam, maukah kau melakukan perjalanan bersamaku?

Cerita Perjalanan Part 2 #Jakarta

No Comments »

Selesai berpetualang di Bandung, kami melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Kereta yang kami tumpangi berangkat pukul 13.30 WIB dan tiba di Stasiun Pasar Senen pukul 17.30 WIB. FYI, sebelum berangkat, seorang teman mewanti-wanti kami agar memasang tampang sangar bin songong. Bukannya apa-apa, sih, Jakarta gitu loh. Siap-siap aja dikadalin orang kalau masang tampang tolol. Sesampainya di Senen, belum apa-apa kami udah disuguhi kosakata macem "anjing tai babi" yang dilontarkan oleh seorang pemuda kepada petugas loket. Di Jogja sering juga sih denger beginian, tapi ... ya ... nggak separah itu juga.
Abis beli tiket komuter, kami masuk lagi ke stasiun. Dan drama pun dimulai! Dasar emang baru pertama kali naik komuter, pas di tempat pengecekan tiketnya kutinggal gitu aja. Bodohnya, si petugas cuek aja ngebiarin. Pas udah nyampe Stasiun UI, sebelum keluar, si petugas minta tiket tadi.
"Lah? Emang dibawa? Kirain ditaroh di stasiun tadi!"
"Kagak, Ndi. Ya ampun, maaf aku lupa ngasih tau. Udah, sih, Pak, izinkan kami keluar aja napa?" mohon Anggun ke petugas.
"Wah, ya, nggak bisa, Neng."
"Dendanya berapa deh, Pak?"
"50 ribu, Neng."
Anjir! Aku udah mau tewas di tempat. Tolong, ya, kemarin aku udah kena tilang 50 ribu!
"Nggak bisa kurang apa? Kami masih baru naik komuter nih, nggak begitu tahu peraturannya."
"Wah, saya hanya menjalankan tugas, Neng."
Aku nyaris putus asa. Ditambah kondisi tubuh yang amat capek, aku nyaris menyerahkan duit 50 ribu. Tapi dicegah oleh Anggun. Dengan segala cara, akhirnya kami menadapatkan solusi. Petugas nyuruh kami keluar, kemudian beli tiket komuter dengan tujuan yang paliiiing jauh. Abis itu kartunya dikasiin ke petugas tadi, semacem ganti kartu yang ketinggalan tadi. Nah, pas mo beli tiket itu, sebenernya aku sempet kepikiran buat kabur aja, toh petugasnya nggak tau, hahaha. Tapi enggak jadi, nggak enak.
Setelah urusan tiket kelar, kami dijemput oleh Rina, kawan SMA kami. Rencananya kami bakal nginep di kos dia dan Keceng a.k.a Habibah selama di sana.
"Ah, kalian ditipu. Sebenernya kalian nggak perlu beli tiket, sih, hahaha!" Rina ngakak. What the -_-
Pas nyampe kosan, kami langsung gegoleran. Keceng belum dateng, doi lagi nemenin Ifo nyari objek foto di HI. Ah, ya, Ifo ini adik kelas kami pas SMA, tapi udah kayak temen juga sih. Dia juga bakal nginep di kos ini. So, bisa dibayangin ketika lima cewek ngumpul jadi satu. Hahaha!
Rasanya berasa reunian. Kangen aja gitu kalau mengingat kegeblekan masa SMA. Entah karena efek hujan atau emang suasana hati lagi nggak jelas, Rina berulang kali bikin kami tertawa gegara omongannya soal status kami yang masih santai ngejomblo.
"Mblo, ini malem minggu ...!"
"Hahaha, jomblo karataaaaan. Jomblo sejak lahir, hahaha!"
"Aku nggak jomblo, ya. Aku LDR-an."
"Oya? Sama siapa?"
"Sama jodoh di masa depan."
"Kampret!"
"Hahahaha!"
Geblek banget lah orang-orang ini. Berkumpul dengan mereka selalu bikin aku sakit perut parah, hahaha.
Oya, jadi maksud dan tujuan aku dan Anggun ke Jakarta adalah menemui orang tua asuh yang membiayai kuliah kami hingga saat ini. Namanya Mas Aulia. Selama ini, kami belum pernah ketemu beliau. Begitu ada waktu luang, kami langsung berangkat. Bukannya apa-apa, sih, kami kan mau lulus, masa iya belum pernah ketemu sama sekali.
Pagi harinya, di saat kami sedang asyik tidur-tiduran, tahu-tahu Mas Aul menelepon dan minta ketemuan setengah jam lagi! Oh, men, padahal awalnya mo ketemu abis duhur.
"Ndi, buruan mandiiii!"
"Ayo, cepet! Cepet!"
Kami jadi panik sendiri. Berhubung kami enggak paham jalan, Keceng nganterin kami sampe jembatan. Kami ketemu Mas Aul di sana.
"Mau sarapan di mana?" tanya Mas Aul setelah bersalaman.
"Di mana aja deh, Mas. Kami nggak tahu daerah sini," kataku.
Mas Aul mengangguk. Mobil pun melaju. Di dalem, si Keceng nyikut tanganku mulu. Hahaha, sesungguhnya dia nggak niat ikutan. Udah gitu dia masih kayak gembel, belum mandi pula!
Nggak sampai lima menit, mobil berhenti di depan sebuah rumah makan entah apa namanya, aku lupa. Di sana ada sebuah tulisan "Dilarang membawa hewan piaraan di sini!" dan seketika itu pula Keceng narik-narik tanganku.
"Tuh, kan, nggak boleh bawa hewan piaraan ke sini!"
Bahahahahak, aku langsung ngakak. Segitu ngerasa gembelnya dia.
Di dalam, kami memesan beberapa makanan dan minuman. Ummm, pertemuan pagi itu bisa dibilang agak awkward.  Pasalnya, Mas Aul ini ternyata pendiam pake banget nget nget. Beliau ramah dan baik, tapi ya itu tadi, diam nan kalem. Aku yang dasarnya cuwawak'an alias seneng ngomong pun sampai bingung mo ngomong apa lagi. Kami saling bertukar kabar, tentang kuliah, pekerjaan, dan rencana ke depan mo kek mana. Selebihnya, hening -____-
"Ayah Indi usianya berapa?" tanya Mas Aul tiba-tiba.
"Mmm ..." aku berusaha mengingat-ingat, abisnya di keluargaku nggak ada tradisi ulang tahunan. "Sekitar 49 tahun, Mas."
"Kalau Anggun?"
"45."
"Kalau Habibah?"
*entah Keceng jawab apa, aku lupa jadi skip aja, hahaha*
"Wah, orang tua kalian masih muda ternyata," Mas Aul tersenyum, kemudian melanjutkan. "Kalian nggak ada rencana kerja di Jakarta?"
Serempak kami menggeleng. Hahaha. Melihat kemacetannya saja bikin kami malas.
"Mas Aul dulu kuliah di UI jurusan apa?" tanyaku di tengah keheningan.
"Ekonomi. S2 ambil Bisnis di Inggris."
"Mmm ... sekarang kerja di mana, Mas?"
"Kerja di perusahaan ortu."
Seketika itu pula aku langsung membatin, "Woa, pasti dia dari keluarga konglomerat!". Tapi pikiran itu tak bertahan lama. Tahu-tahu Mas Aul bercerita.
"Dulu, orang tua saya tinggal di Magelang ..."
"Wah? Dekat dengan Jogja, dong, Mas?" aku langsung antusias.
Tapi Mas Aul tidak menanggapi. Pandangannya menerawang jauh. Aku langsung salah tingkah. Duh, salah ngomong ya?
"Dulu, bapak saya kalau ke sekolah jalan kaki. Berangkat habis sholat subuh ..."
Hening.
"Dulu, kami sekeluarga tak punya TV. Lantai rumah kami terbuat dari tanah. Sehari-hari kami memakai sandal bakiak..."
Hening.
"Kalian tahu? Kami baru punya MCK sendiri ketika usia perkawinan ayah dan ibu saya menginjak angka 30. Bapak selalu mengajarkan ... bla ... bla ..."
Hening. Tampak mata Mas Aul berkaca-kaca. Aku tak sanggup lagi menghabiskan pizza yang tersangkut di mulut. Kelu. Kualihkan pandanganku ke arah lain agar mataku tak ikut-ikutan berair. Dada ini rasanya sesak.
"Kalian jangan pantang menyerah, ya. Terus berusaha ... bla ... bla ....jadilah orang yang bijaksana, rendah hati ... bla... bla ...."
Aku tidak terlalu mendengar perkataannya, tapi bisa menangkap maksudnya. Suara Mas Aul terlalu pelan dan aku nggak enak untuk menegur. Belum lagi beliau berkali-kali mengusap air mata. Ah, pagi itu sungguh syahdu. Kami mendapatkan banyaaakkk sekali pelajaran dari pertemuan singkat itu. Sangkaanku mengenai kehidupan Mas Aul yang kaya raya sejak lahir seketika musnah. Ternyata beliau terlebih dahulu jatuh dan bangun. Jatuh bangun melanjutkan sekolah, jatuh bangun membangun perusahaan, jatuh bangun memperjuangkan hidup.
"Kelak, aku akan mengikuti jejakmu, Mas. Apa yang kau berikan kepadaku sekarang akan kukembalikan kepada mereka, anak-anak yang penuh semangat dalam meraih mimpi. Sekarang Mas Aul menjadi orang tua asuh kami, di masa depan aku lah yang akan menjadi orang tua asuh mereka. Bismillah ...," janjiku dalam hati.
Terima kasih, ya Allah, telah mempertemukan kami dengan beliau.... :')

Selesai makan pagi, Mas Aul mengantar kami pulang.
"Semoga kita dipertemukan lagi, ya! Terima kasih sudah ke sini. Nanti kalau ke sini lagi, jangan lupa kabar-kabar," ujarnya.
Kami mengangguk sambil tersenyum. Ah, betapa pertemuan pagi itu sangat ... sangat ... sangat tidak mudah diungkapkan dengan kata-kata apapun.
Setelah agenda pertemuan dengan Mas Aul selesai, kami langsung tepar di kosan sampai sore. Iya, kami ngebo! Di luar hujan dan kami malas ke mana-mana. Toh badan juga masih cape, hoahm. Malamnya, aku dan Keceng mampir sebentar ke Margo sambil mencari sesuatu. Abis itu balik dan begadang, ngomongin hal-hal nggak penting, hahaha.
Keesokan harinya, barulah kami bergairah jalan-jalan.
"Ayoooo, kita cari mas-mas UI!" kelakarku.
"Hahahah! Ajak ke Teksas, beh! Biar dia cuci mata!" kata Rina.
"Teksas apaan?" aku penasaran.
"Itu, jembatan Teknik-Sastra. Anak teknik cakep-cakep hlo! Bajunya klimis, nggak kek FIB, hahaha!"
"Iya, kemarin dong aku papasan sama gerombolan anak kedokteran yang abis praktik entah apa, cakep-cakep!"
"Hoahahahaha!"
Kami ngakak lagi. Pukul setengah 10, kami berangkat ke UI naik bikun. Aaaaak, bis kuning! Coba, deh, ya, di UGM ada beginian. :3
Masuk FIB, kami langsung menuju kantin daaaaan langkahku berhenti mendadak. Ada sesosok mantan yang berjalan dari kejauhan. Kuperhatikan lamat-lamat, ternyata memang benar dia! Aku jadi heboh sendiri. Hahaha, tenang, ini bukan mantanku, tapi mantan temenku. Anaknya ternyata beneran cantik. Aih. *semoga temenku kagak baca ini, hahahaha!*
Berhubung Keceng ada kuliah, aku, Anggun, dan Ifo nungguin di danau UI. Aaaah, keren lah tempat itu. Cocok banget buat tiduran. Apalagi perpus pusat UI. Subhanallah, kalau aku kuliah di UI yakin deh bakal sering nongkrong di sana. Tempatnya nyaman banget. Sudah luas, koleksinya banyak, dan di dalemnya ada starbucks dan toko buku coba! T.T aku nyaris tergoda buat beli buku, tapi kutahan sekuat mungkin.
Di danau UI, kami bertiga tidak melakukan apa-apa. Hanya memandangi danau dan sesekali ngobrolin hal-hal nggak jelas. Anggun malah tidur. -_-
FYI, ditempelin Ifo dua hari bikin bahasaku balik kasar lagi, hahaha. Sebagai orang Jawa Timur yang punya budaya blak-blakan dan cangkeman, aku sering dianggap kasar oleh temen-temenku. Bahasa yang menurutku biasa saja dipandang kasar oleh mereka, semisal "cangkemmu!" atau "ndasmu, rek!". Sering juga aku disangkain lagi marah, padahal akunya nggak kenapa-napa. Karena faktor bahasa itu lah, selama di Jogja aku berusaha 'ngaluske' cara ngomongku. Aku jadi jarang mengungkapkan kosakata yang dipandang saru di sini. Tapi oh tapi, setelah ketemu Ifo jadi balik lagi laaaah, hahaha. Fix, aku kudu membiasakan diri lagi buat berlemah-lembut :P
Oke, lanjut. Setelah keliling perpus UI, kami balik lagi ke FIB buat makan. Di sana kami bertemu Rosyid, teman sekelas waktu SMA. Yeay, reunian!
Sore itu mendung. Beberapa agenda dibatalkan dan kami memutuskan untuk leyeh-leyeh di jembatan Teksas sembari cuci mata. Lagi-lagi aku dibikin iri sama UI. Asli lah, tempat itu keren. Jembatan Teksas adalah penghubung Fakultas Teknik dan FIB, makanya dinamain Teksas (Teknik-Sastra). Jembatan itu punya lambang cewek dan cowok. Cewek di bagian Sastra, cowok di bagian Teknik. Entah apa maksudnya, mungkin semacam cinta lokasi antarfakultas (?). Nah, di bawah jembatan itu ada danau yang terbentang luas. Kata Keceng, danau itu dijadiin lokasi syuting video musik Cakra Kan. Wooow...
Setelah puas foto-foto, kami pun ngelewatin Teksas. Dasar emang udah sore, di Fakultas Teknik cukup sepi, sehingga kami tidak begitu melihat penampakan anak-anak teknik. Hahahaha. Tapi memang beneran beda, sih. Di FIB, rerata penampilannya sama kek FIB UGM. Ada mas-mas gondrong, ada yang kucel nggak keurus, ada yang pake tas seniman (aku gatau namanya apaan, pokoknya tas tipis kumel itu loh), dll. Di teknik, ya gitu deh. Tampak lebih rapi, heuheuheu.
Kami kemudian pulang naik bikun. Sesampainya di jembatan arah kosan, aku dan Keceng nggak langsung pulang. Mumpung di UI, aku pingin foto di depan tulisan "Universitas Indonesia". Yah, sebagai kenang-kenangan aja. FYI, dulu aku terobsesi banget buat kuliah di UI jurusan Ilmu Komunikasi. Tapi takdir berkata lain. Aku kadung jatuh hati sama Jogja. Ah, namanya juga jodoh. Kali jodohku berasal dari Jogja ... *hahaha opo e, Ndi!
Setelah foto-foto, kami balik ke kos jalan kaki. Di kos, orang-orang udah pada tepar. Ah, nggak kerasa malam harinya kami harus udah balik Joja. Pukul 8 malam, aku, Ifo, dan Anggun naik taksi menuju Stasiun Senen. Lagi-lagi drama terjadi!
Jalanan macet. Kami baru nyampe stasiun pukul 21.50 sementara keretanya si Ifo berangkat pukul 22.00 daaan kami belum cetak tiket! Turun dari taksi, kami langsung lari-larian ke tempat cetak tiket. Rasanya udah kayak Cinta yang ngejar Rangga di bandara, hahaha. Bedanya, ini nggak ada yang dikejar. *eh
Syukurlah Ifo nggak ketinggalan kereta. Masuk peron, aku dan Anggun duduk lesehan sambil ngatur napas. Kereta kami berangkat pukul 23.00. Benar-benar melelahkan. Begitu kereta tiba, kami langsung tewas sepanjang perjalanan Jakarta-Jogja. Capeeeeeek gila! Tapi, perjalanan impulsif ini begitu menyenangkan. Sampai jumpa di perjalanan selanjutnya! :D

mantan calon universitasku :')


Jembatan Teksas a.k.a Teknik-Sastra


Pertemuan dengan Mas Aulia :')









Bis Kuning UI!
Commuter Line!




Jogja, 18 November 2014
Pukul 00.53 WIB