Archive for Juni 2015

Tentang Sepotong Hati dan Surat-Surat yang Tak Mungkin Kembali

No Comments »

Seharian itu, ia menghambur-hamburkan waktunya hanya untuk meringkuk sembari memeluk erat-erat boneka panda yang baru tiga hari menghuni kamarnya. Boneka itu basah. Ada butir-butir kristal bening yang tidak bisa berhenti mengalir. Juga rasa sesak yang tertahan. Ia bahkan tak bisa mengatur napasnya dengan benar. Rasa-rasanya ia ingin berteriak sekeras mungkin, tetapi ruangan sebesar 3x4 itu tampaknya tak cukup kuat untuk menampung gelombang suaranya. Maka yang ia lakukan adalah membenamkan muka pada boneka panda, lantas membiarkan matanya memproduksi berliter-liter air.


Bukankah sejak dulu alarm itu sudah memperingatkanmu? Mengapa kau abaikan?


Ia menutup telinga. Berusaha keras untuk tidak mendengarkan suara hatinya yang memaki-maki akibat kecerobohannya sendiri.


Berapa kali kau bilang lelah dan ingin menyerah, tapi bersamaan dengan itu kau juga membiarkan hatimu semakin jatuh?


Lagi-lagi ia menggeleng. Air matanya semakin tumpah. Bangsat, ia benci menjadi lemah seperti ini. Ia ingin menghentikan aliran air itu, tetapi apa daya, bahkan untuk mengusapnya dengan kedua tangan pun ia tak sanggup. Brengsek. Ia benci menjadi cengeng.

"Al! Kau kenapa?" Intan, karibnya, muncul di ambang pintu dengan raut muka bingung.
Alia mengangkat wajahnya beberapa detik, lantas kembali menunduk. Ia ingin sekali berbicara, tetapi mulutnya terus saja mengatup. Tanpa mengatakan apa pun, ia menunjukkan sesuatu melalui ponselnya.
Intan melotot, seolah tak percaya dengan penglihatannya. "Brengsek!"
Alia tersenyum masam. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Kau masih ingat kata-kataku dulu, kan? Jangan pertahankan! Jangan pertahankan! Jangan pertahankan!" ucap Intan berapi-api.
Alia tak menanggapi.
"Sudahlah, Al. Ini yang terakhir, Setelah ini, jangan lagi. Tinggalkan! Buang! Sudah cukup kau terjebak dalam absurditas yang makin nggak jelas gini. Sekarang kau lihat sendiri, kan? Apa yang kuucapkan dulu terbukti, kan?"
Alia mengangguk pelan. "Ya. Aku memang bodoh."
Intan menatapku. "Coba kau berkaca. Mukamu pucat begitu macam orang mau mati saja. Mau sampai kapan kau begini?"
Alia tidak menjawab. Tangannya meraih sebuah kotak, lantas mengambil tumpukan kertas di dalamnya.
"Apa itu?"
"Surat."
"Hm?"
"Ya. Surat yang kutulis untuknya sejak dulu. Kurasa aku harus membakarnya saat ini juga," ucap Alia sembari menyalakan korek api di luar kamar. Matanya tampak bengkak oleh air mata. Bersamaan dengan api yang melalap kertas-kertas itu, ia melihat bayangan-bayangan itu berkelebatan di kepalanya. Betapa yang ia inginkan saat ini adalah menjadi orang amnesia. Ia ingin lupa bahwa ia pernah mengenal makhluk itu. Ia ingin lupa bahwa mereka pernah saling mengucap kata. Ia ingin lupa bahwa semua yang ia rasakan dijadikan permainan belaka. Ia ingin melupakan semuanya. Sejak detik ini.


Dan air mata itu kembali jatuh....