Archive for Desember 2013

Saklek!

No Comments »

"Kalau kau tidak bisa menerima perbedaan, ya nggak usah berkumpul sama makhluk bernama manusia. Daripada kau ngotot dan saklek dengan isi otakmu sendiri, pergilah ke hutan dan hidup sendirian. Sana!" (status facebook, 16 jam yang lalu).


Sebagian orang mengartikan status itu sebagai perbedaan pendapat antaragama, sebagian lagi mengira saya sedang sensitif dengan perdebatan perayaan Natal dan semacamnya. Saya baru ingat kalau sekarang tanggal 25 Desember. Hari Natal bagi umat Katolik dan Kristiani. Pantas saja banyak yang mengira saya sensi dengan hal itu. Hadooooh, otak cethek! Kau pikir masalah perbedaan pendapat itu hanya sekadar 'boleh enggak sih ngucapin hari Natal?'. Doh, rempong amat lah, ngepas-ngepasin momen banget. Nggak ... masalah perayaan itu adalah urusan pribadi umat Katolik dan Kristiani. Saya nggak akan turut campur dengan memperkeruh keadaan, semacam memposting seputar kontroversi hari Natal di socmed. Nggak, saya bukan orang kurang kerjaan. Dan rasa-rasanya semua teman saya yang tidak seagama dengan saya akan sangat sakit hati membaca postingan yang terkadang disertai bahasa yang keterlaluan, semacam umpatan mungkin. Ah, tiba-tiba kok saya teringat dengan status facebook Mbak Habsari beberapa hari lalu.

"Persoalannya bukan Bangsa Yahudi yang terlalu cerdas, melainkan penganut Islam yang terlalu selo. Mereka sudah mengembangkan banyak hal, kita masiiiih saja meributkan ucapan Natal. Ngakak lah mereka."

Saya nggak akan menjelaskan, karena saya tahu kamu punya otak untuk berpikir. Coba, baca baik-baik dan pahami kalimat itu. Jika diibaratkan makanan, jangan langsung ditelan. Kunyah dulu.


Sama seperti hal nya status saya 16 jam yang lalu itu. Nek kowe ora gelem ono perbedaan neng ndunyo, yo kono budalo neng alas bareng munyuk lan kanca-kancane. Uripo dewean. Ning agamamu kan wis dipelajari kepiye hubungan menungso siji karo menungso liyane, hla kok ora mbok enggo?


Status yang entah mengapa menimbulkan banyak komentar, mulai dari bercandaan sampai serius. Haha, itu artinya masih ada yang mau berpikir. Baguslah. Beberapa teman malah sempat mengirim inbox, merasa tersindir.


Ndi, kowe nesu karo aku a?


Statusmu ... apa aku punya salah sama kamu? Maaf...


Kamu kenapa?



Dan semacamnya. Hahaha, entahlah kok banyak yang merasa tersindir. Postingan itu memang bukan seperti saya yang biasanya. Ben. Sak-sake lah mau mahamin kek mana. Saya marah? Mungkin. Dan karena itulah, malam ini saya sengaja memposting deretan kalimat ini.


"Jadi, banyak-banyaklah membaca buku. Temui banyak manusia. Agar kau bisa 'melihat' dunia yang tidak sekadar hitam dan putih. Kasihan otakmu kalau kau biarkan terkungkung, seperti katak dalam tempurung. Sekian. Selamat malam!"


Baca dan pahamilah. Dunia ini tidak sekadar hitam dan putih, Bung!

Dibawa Sante Aja!

2 Comments »

Menjelang akhir tahun. Tugas UAS menumpuk di tengah-tengah suasana minggu tenang yang sama sekali nggak tenang. Ada empat tugas UAS take home yang belum kujamah sama sekali. Seminar Sastra, Sastra Sinema, Sastra Peranakan, dan Sosiologi Sastra. Belum lagi UAS tulis dan deadline novel. Kau bisa bayangkan, semua ini harus sudah selesai di akhir tahun. Ya, SEMUANYA. Dan bukannya belajar, beberapa hari ini aku malah main-main, hahaha. Tiga hari berturut-turut. Senin kemarin main ke Sekaten bareng Fithri, Hamdan, dan Nia. Hari Selasa ke Sekaten lagi nemenin Jeng Andi. Kebetulan dia lagi berkunjung ke Jogja. Dia singgah di kosan Kak Fiza. Dan malam ini aku ama Jeng Andi dan Anggun blakrak'an ke Taman Lampion. Gagal masuk Istana Hantu (karena si Anggun mati-matian menolak, kamfretzzz), kami duduk di pinggir danau sembari ngobrol apa saja. Main, main, main. Seolah lupa tugas, padahal enggak sama sekali, hahaha.

in the name of dolan



anak alay





Dan ketika kembali ke kos, semua tugas dan deadline itu kembali melambai-lambai. Aku masih malas menyentuhnya. Bahkan kartu ujian juga belum kuambil sampai sekarang, hahaha. Sudahlah, semuanya dibawa santai saja!
Di tengah-tengah deadline menulis yang menggila ini, bisa saja aku sok-sokan mantengin laptop seharian dan mengabaikan teman-temanku yang asyik bersenang-senang. Tapi aku tahu, aku nggak bakal tenang. Seperti acara Inagurasi FIB kemarin. Semua temanku ngajakin. "Ayoooo, Ndi! Nonton adik-adik Sasindo tampil!". Dan karena aku sudah (sok) serius mau menyelesaikan deadline novel malam itu, aku menolaknya. Ujung-ujungnya, selama menulis aku kepikiran teman-teman. Penasaran setengah mati dengan penampilan adik-adik angkatan 2013. Dan pada akhirnya aku nggak nulis apapun -_____- aku tidak menonton juga tidak menulis. Dua-duanya merugikan.
Aku baru sadar kalau aku adalah orang yang paling tidak tahan membiarkan teman-temanku seneng-seneng sementara aku ribet sama tugas. Seperti acara kondangan anak IMM minggu lalu. Kami tour Jawa Tengah. Awalnya aku memutuskan untuk tidak ikut, tapi melihat anak-anak yang begitu antusias, ditambah rayuan Anggun yang kamfret syekale, aku pun ikut. Masa bodoh dengan deadline nulis. Akhirnya? Aku bersenang-senang! :D
Ya, sama seperti minggu ini. UAS semakin dekat dan aku memutuskan untuk bersantai. Bukan berarti aku tidak memikirkannya sama sekali. Setelah jalan-jalan ke mana lah, aku akan menyalakan laptop dan mulai mengerjakan deadline novel. Hasilnya? Aku berhasil menghasilkan 2000 kata dengan perasaan senang. Kalau aku bosan, aku akan membaca novel. Begitulah. Jalani saja semuanya dengan santai. Aku percaya, semua tugas ini akan selesai. Daripada aku stress mikirin dan ujung-ujungnya nggak ngapa-ngapain, mending aku main dan pulang dalam keadaan fresh, bisa mulai nulis.
Dan apa kabar UAS? Hoho... sudah kujadwal, tenang saja. Tanggal 27-29 aku akan menyelesaikannya. Sudahlah, dibawa sante aja! Semua pasti selesai :)))

KITA #Part 1

Baca selengkapnya » | 2 Comments »


          Sore hari. Lapangan Grha Sabha Pramana (GSP) tampak ramai. Puluhan manusia tengah asyik jogging sembari bercakap-cakap. Beberapa lebih memilih duduk di tangga GSP sambil memandang kegiatan di bawah sana. Seperti yang dilakukan mereka berempat sore ini. Indi, Fithri, Rozi, dan Budi. Empat sekawan yang entah sejak kapan memutuskan untuk menghabiskan waktu selo mereka di tempat ini. Menikmati senja di GSP. Senja yang indah. Seindah persahabatan mereka. Sudah 30 menit mereka lalui dalam diam. Tangis yang meledak itu perlahan mulai surut menjadi isakan-isakan kecil.
          “Udahlah, Fit. Nggak usah sedih gitu. Nanti kalo jodoh pasti kalian bakal bersatu, kok,” Indi memecah keheningan. Tidak tega melihat Fithri yang tak bisa berhenti menangis.
          “Iya, jangan nangis mulu dong. Malu kali diliatin orang-orang,” Budi yang ceplas-ceplos langsung menimpali, tapi langsung dipelototi oleh Indi. Dia bercanda pada saat yang tidak tepat!
       “Kamu nggak ngerti gimana rasanya jadi aku, Bud. Sakit.” Ucap Fithri dengan pandangan kosong.
            “Ya, bukan gitu maksudku, Fit … Aku tuh cuman …”
        “Udah, deh, daripada nambah galau mending abis ini kita jagungan aja! Gimana?” Rozi yang sedari tadi diam menawarkan solusi.
        “Ayok! Kebetulan aku juga laper. Ntar ceritanya dilanjut di sana, sambil jagungan. Biar pikiranmu juga rada tenang, Fit.” Kata Indi.
        Fithri mengangguk tanda setuju. Selepas shalat maghrib di mushola Fakultas Ilmu Budaya, mereka langsung berjalan kaki menuju tenda jagung bakar langganan mereka. Tenda jagung bakar itu terletak di depan MM UGM, bersebelahan dengan tenda yang menjual berbagai macam gorengan.
          Malam itu mereka menjadi pengunjung pertama di tenda jagung bakar tersebut. Sambil menunggu pesanan datang, Fithri melanjutkan kegalauannya yang tadi terputus di GSP.
          “Jadi, aku harus gimana, dong? Nggak bisa lupain dia, aaaaaaa!” Fithri bersiap-siap menumpahkan air matanya lagi.
       “Ngapain sih kamu mikirin orang yang nggak serius mikirin kamu? Seenaknya aja main putus trus ngajak balik lagi, kayak main layangan. Udah berapa kali kamu diginiin? Kalo aku jadi kamu, udah kubuang ke laut kali!” Budi mulai jengkel. Ya, jengkel dengan sikap Fithri yang tidak berubah sejak dulu. Tidak bisa bersikap tegas menghadapi kekasihnya.
           Entah sudah yang keberapa kalinya gadis itu diputus secara sepihak hanya gara-gara masalah yang terkadang menurut mereka sepele. Long distance relationship memang sering kali menimbulkan pertengkaran-pertengkaran maupun kesalahpahaman. Entah sudah berapa kali Fithri dan kekasihnya putus-nyambung. Sampai semua sahabatnya jengah. Jengah melihat perlakukan kekasihnya yang dinilai terlalu protektif. Padahal mereka tahu, Fithri sangat mencintai kekasihnya.
            “Kok kamu sewot sih, Bud? Aku ke sini mau curhat, bukan buat dibentak-bentak!” Fithri mendadak sakit hati mendengar suara Budi yang melengking saking emosinya.
         Rozi segera melerai. “Maksud Budi bukan gitu, Fit. Dia cuman pengen kamu buka mata lebar-lebar …”
              “Jadi maksudmu mataku buta? Gitu?” Fithri bertambah emosi.
          “Eh … eh, kok jadi begini, sih? Kita kan ke sini buat ngademin kepala, bukan buat gontok-gontokan. Jangan emosi gitu dong, Fit. Kita semua di sini berusaha ngasih solusi terbaik …”
           “Solusi apa? Aku tahu kalian emang nggak suka sama dia, makanya kalian selalu nyinyir kalo aku cerita tentang dia. Kalian bosen kan aku ocehin tentang dia mulu tiap hari? Oke fine, mulai sekarang aku nggak akan pernah ngeluh ke kalian lagi!” Fithri menarik tasnya yang tergeletak di meja, lantas meninggalkan tempat itu dengan air mata berlinang. Dia benar-benar kecewa.
           “Tuh, kan … Fithri jadi ngambek, kan? Kamu sih, Bud, ngomongnya nggak bisa alus gitu,” Rozi ngedumel.
        “Kok jadi nyalahin aku, sih? Kan aku cuman pengin ngingetin dia biar nggak terlalu cinta sama cowok!” Budi naik darah.
          “Iya aku tahu maksudmu emang baek, Bud. Tapi kamu tadi emang rada sengak ngomongnya. Situasi hati-nya Fithri kan lagi sensitif begitu.” Rozi berusaha tetap kalem.
            “Heh, kenapa malah kalian yang berantem, sih? Malu tahu diliatin banyak orang!” Indi lama-lama kesal melihat kedua sahabatnya adu mulut.
         “Terserah! Aku mau pulang!” Budi mengambil tas selempangnya, lalu berlalu dengan wajah merah padam.
          “Tadi Fithri yang ngambek, sekarang gantian Budi. Dasar kayak anak kecil semuanya!” kata Rozi.
          “Emang kamu nggak kayak anak kecil juga? Udah tahu sifat Budi kayak gitu, malah disalah-salahin pas lagi emosi!”
             “Aku cuman pengen ngingetin dia aja, Ndi!”
          “Tapi kamu nggak tahu tempat dan waktu yang tepat buat nasehatin orang!” teriak Indi penuh kekesalan. Dia pun meninggalkan Rozi yang masih mematung.

Jalan yang Tidak Kutempuh (The Road not Taken) by Robert Frost

No Comments »

Dua jalan bercabang dalam kabut hitam kehidupan
Dan sayang, aku tak sanggup menempuh keduanya
Sebagai petualang, aku mematung
Ke mana arahnya menghilang di balik semak belukar

Kemudian aku memandang yang satunya, sama indahnya
Dan mungkin jauh lebih indah
Karena jalan itu segar dan menawan
Meskipun jejak-jejak kaki yang melewati
Tak melumpuhkan rerumputannya

Dan pagi itu keduanya sama-sama membentang
Di bawah hamparan daun-daun gugur yang belum terjamah
Oh, kusimpan jalan pertama untuk lain hari!
Kendati kutahu semua jalan berkaitan
Aku tak yakin akan pernah kembali

Aku akan menuturkannya sambil mendesah
Suatu saat berabad-abad di masa depan-
Dua jalan bercabang di hutan, dan aku-
Aku menempuh jalan yang jarang dilalui orang
Dan itu membuatku berbeda...


(The Road not Taken)

The roads diverged in a yellow wood
And sorry i could not travel both
And be one traveler, long i stood
And looked down one as far as i could
To where it bent in the undergrowth

Then took the other, as just as fair
And having perhaps the better claim
Because it was grassy and wanted wear
Tought as for that the passing there
Hard worn them really about the same

And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black
Oh, i marked the first for another day!
Yet knowing how was leads on to way
I doubted if i should ever come back

I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence
Two roads diverged in a wood, and i
I took the one less traveled by
And that has made all the difference




Puisi itu kau sodorkan begitu saja, tatkala kita membincang pilihan yang sering kali kita sesali di kemudian hari. Tentang kau yang grasa-grusu  memilih menulis sebuah roman dalam hitungan hari--dengan deadline yang teramat dekat--ketimbang cerpen. Akibatnya, tulisanmu tak maksimal dan kesempatan menang beralih ke orang lain. Pun aku yang salah memasukkan tema--tidak sesuai dengan syarat lomba--membuat naskahku terbuang sebelum juri tertarik membacanya. Seseorang berkata padaku, "Kau kalah bukan karena karyamu yang tak bagus, tapi karena kau terlalu memaksakan tema di dalam ceritamu. Kau harus mengurangi porsi A atau B. Tidak boleh menonjolkan kedua-duanya, agar pembaca tidak bosan."

Ah, iya. Roman picisan itu--setelah kubaca kembali--memang terkesan memaksa. Dan setelah melalui diskusi panjang, aku memilih untuk 'menulis dengan hati'. Aku sadar sepenuhnya, kemarin aku hanya menulis berdasarkan 'pesanan'. Kini, aku akan merevisinya lagi. Dengan konflik yang semakin rumit dan semoga saja tidak membosankan (aku selalu cemas dan takut kalau pembacaku bosan dengan kalimat awal tulisanku).

Dan pagi ini, aku kembali membaca puisi yang kau sodorkan kemarin malam. Ya, kau benar. Hidup adalah pilihan--ini agak klise memang--dan kita harus cermat dalam menentukan pilihan-pilihan yang ada di depan mata, apa pun itu. Secara kebetulan kau menyodorkan puisi itu di saat aku tengah gamang dengan jalan bercabang (yang membuatku tidak produktif sebulan ini). Dan, aku pun terkesima dengan bait terakhir yang ditulis oleh Robert Frost...


Aku akan menuturkannya sambil mendesah
Suatu saat berabad-abad di masa depan-
Dua jalan bercabang di hutan, dan aku-
Aku menempuh jalan yang jarang dilalui orang
Dan itu membuatku berbeda...