Archive for Juli 2013

SUMPAH

2 Comments »

Hari ini, saya bersumpah. Setelah rasa kecewa itu menumpuk dari hari ke hari, menggumpal, lalu meledak tanpa bisa saya tahan lagi.
Kalau saya memilih marah meledak-ledak, bisa saja kata-kata ini terlontar.
"Jancuk!"
"Taik!"
"Anjing!"

Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, lebih baik saya tak usah marah berlebihan. Cukup mengumpat seperlunya, lantas bersumpah pada diri sendiri.

Iya. Hari ini saya bersumpah. Setelah dipermalukan di depan banyak orang, dan mempermalukan orang-orang yang saya sayangi dalam waktu yang sama, keluarga besar saya di jurusan tercinta. Membuat orang yang awalnya datang berduyun-duyun lantas pergi dengan wajah kecewa. Merasa tertipu. Saya telah mencoreng nama keluarga saya. Dan mencoreng nama saya sendiri.

Ini hari yang bersejarah, wahai. Lantas rusak seperti terkena badai dan tsunami. Taik.

Tahu nggak gimana rasanya diabaikan hanya gara-gara ada sesuatu yang 'lebih penting'? Tahu nggak gimana rasanya dinomorduakan setelah melakukan perjanjian di awal? Ah, lagi-lagi taik.
Sekadar tahu saja, saya adalah orang yang paling tidak suka dengan dua kata ini: ingkar janji. Kalau saya diremehkan, maka saya akan balik meremehkan. Kalau saya dikecewakan berkali-kali setelah saya berkali-kali mencoba memaklumi, maka jangan harap mendapat kepercayaan saya lagi. Saya tidak suka menunggu ber-jam-jam tanpa kejelasan, berkali-kali.
Percaya atau tidak, saya sudah tidak bisa respek lagi pada dia. Orang yang katanya berbudaya, berkesenian, bergudang penghargaan. Apalah artinya semua itu kalau mangkir dari janji? Bagi saya, janji adalah hutang yang harus dibayar.

Tapi ..., sudahlah. Saya tak akan menagih hutang itu. Saya hanya ingin bersumpah.


Sumpah: Kalau saya menjadi orang besar nanti, saya tidak akan pernah membatalkan janji dengan siapapun, meskipun tiba-tiba presiden negara ini ingin bertemu dengan saya. Saya akan memprioritaskan janji yang pertama, apapun yang terjadi. Karena saya tahu bagaimana rasanya diremehkan.







Untuk segala luka yang menganga,
Yogyakarta, 4 Juli 2013.


 

Semacam Umpatan

No Comments »


PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa terlepas dari interaksi dengan manusia lain. Interaksi tersebut memiliki beragam tujuan, seperti membina kerja sama, merekatkan hubungan, saling tolong-menolong, dan sebagainya. Hal itu wajar karena manusia memang diciptakan sebagai makhluk sosial, yakni makhluk yang tidak bisa hidup tanpa makhluk lainnya. Meski demikian, ada kalanya dalam berinteraksi terdapat perbedaan pendapat atau pun kesalahpahaman. Situasi demikian dapat mendorong seseorang untuk mengeluarkan perkataan kasar untuk mengekspresikan perasaannya. 
Umpatan merupakan bentuk ekpresi yang dilakukan seseorang ketika mengalami suatu tekanan atau pun situasi yang kurang nyaman. Hal itu dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap lawan bicara yang dirasa telah menyinggung perasaannya. Akan tetapi, tidak jarang pula umpatan digunakan sebagai simbol keakraban. Kata yang terdengar kasar dan tabu di suatu tempat bisa menjadi kata yang dianggap wajar atau lumrah di tempat lain. Hal ini bergantung pada konteks penggunaannya. Jika umpatan diucapkan dalam keadaan emosi dengan nada tinggi, maka itu artinya sebagai bentuk ekpresi kemarahan. Misalnya, kalimat dialek jawa timuran, “Jancuk, koen! Rasah golek perkoro! (Jancuk, kamu! Tidak usah mencari perkara!)” merupakan umpatan yang diucapkan dalam kondisi marah. Sebaliknya, jika makian diucapkan dalam situasi yang santai dan akrab, maka itu artinya sebagai bentuk ekspresi keakraban. Misalnya, kalimat dialek jawa timuran, “Ya’opo kabarmu, Cuk? Mak suwi ra pethuk raimu. Kangen tenan aku, Cuk! (Bagaimana kabarmu, Cuk? Lama tidak berjumpa denganmu. Aku kangen sekali, Cuk!) merupakan umpatan yang diucapkan dalam suasana yang akrab dan santai.


Penelitian mengenai umpatan berbahasa Jawa tampaknya masih belum banyak dilakukan oleh peneliti bahasa. Hal ini dikarenakan sulitnya peneliti dalam mencari data. Jika pun ada, pembahasan mengenai umpatan berbahasa Jawa terdapat di internet dengan sumber data yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, peneliti menemukan salah satu sumber yang membahas mengenai umpatan. Di dalam buku Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis yang ditulis oleh Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M. A. dan Muhammad Rohmadi, S.S., M. Hum, di Bab 8 terdapat pembahasan mengenai umpatan. Meskipun yang dibahas adalah umpatan dalam Bahasa Indonesia, akan tetapi hal itu cukup untuk dijadikan bahan referensi yang akan memudahkan peneliti untuk meneliti. Diharapkan penelitian ini dapat melengkapi pembahasan mengenai umpatan yang telah dibahas dalam buku tersebut.

Studi tentang makian erat kaitannya dengan sosiolinguistik. Sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat (Chaer, 1995:3). Sosiolinguistik erat kaitannya dengan interaksi yang terjadi antar manusia, salah satunya adalah umpatan yang terbentuk melalui interaksi.
Studi tentang makian erat berkaitan dengan masalah tabu (taboo). Kata taboo sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Polynesia yang diperkenalkan oleh Captain James Cook yang kemudian masuk ke dalam bahasa Inggris, dan seterusnya ke dalam bahasa-bahasa Eropa lainnya (Ullman via Wijana, 2006:110). Kata ini memiliki makna yang sangat luas, akan tetapi pada umumnya memiliki makna ‘sesuatu yang dilarang’. Meski demikian, umpatan atau makian memiliki peranan yang cukup penting karena sering bermunculan dalam proses interaksi. Umpatan tersebut memiliki makna yang bermacam-macam, bergantung dari kondisi penutur saat mengucapkannya.


FUNGSI DAN BENTUK-BENTUK UMPATAN


A. Umpatan Berbentuk Kata 
1.      Keadaan
-          Jancoooook! Koen nantang aku carok a? (Jancuk, kamu menantangku berantem, ya?)
-          Endos, ngunu thok ae gak iso! Hahaha! (Bodoh, seperti ini saja tidak bisa! Hahaha!)

2.      Binatang
-          Asu tenan kowe, nggarai mangkel ati! (Anjing sekali kamu, bikin sakit hati!)
-          Jaran rek, seng nggenah ae aku dikenekne? Hahaha! (Kuda, yang benar saja aku diginiin? Hahaha!)

3.      Makhluk Halus
-          Setan! Wani-wanine golek goro-goro neng aku! (Setan! Berani-beraninya mencari gara-gara sama aku!)
-          Beh, ndengaren Iblis sitok’an iki gelem nggarap tugas kuliah. (Wow, tumben Iblis satu ini mau mengerjakan tugas kuliah)

4.      Benda-benda
-          Taik arek iki, bacotane jan ra kenek dipercoyo! (Taik anak ini, omongannya memang tidak bisa dipercaya!)
-          Tak akoni, rai aspal-mu pas nguber-nguber aku kuwi lho seng nggarai aku iso trisno karo kowe. (Aku akui, muka aspal-mu itu lho yang membuatku bisa suka sama kamu)

5.      Bagian Tubuh
-          Dapurmu, ndasku yo mumet ki! (Mukamu, kepalaku juga pusing nih!)
-          Matamu picek a? Wes eroh lampu abang ditrobos ae! (Matamu buta, ya?
Sudah tahu lampu merah menyala, main terobos saja!)
6.      Kekerabatan
-          Mbok reken iki dalane mbahmu a? (Kamu pikir ini jalannya nenekmu?)

    B. Konteks Pemakaian Umpatan
-          Jancoooook! Koen nantang aku carok a? (Jancuk, kamu menantangku berantem, ya?)
Kosakata jancok dalam konteks kalimat tersebut digunakan oleh penutur kepada mitra tutur dalam keadaan marah. Kalimat itu biasanya muncul ketika mitra tutur melakukan sesuatu yang berlangsung terus-menerus hingga membuat penutur jengkel dan meluapkan kemarahannya.

-          Hahahahaassssyyyuuuuu! Mbuh lah karepmu, kene yo mumet. ( Hahahhahasssyuuuuuu! Terserahmu lah, aku juga pusing)
Kata Asu merupakan bahasa Jawa yang memiliki arti Anjing. Kata tersebut merupakan salah satu referensi umpatan berupa penyebutan nama hewan. Perlu diketahui, tidak semua hewan dapat digunakan untuk mengumpat. Biasanya hewan yang digunakan untuk mengumpat adalah hewan yang memiliki sifat menjijikkan dan membuat orang enggan menyentuhnya. Anjing merupakan salah satu hewan yang memiliki sifat tersebut, yakni memiliki air liur yang menjijikkan, gonggongannya memekakkan telinga, dan diharamkan oleh agama tertentu
Kosakata asu dalam konteks kalimat di atas bercampur dengan ekspresi tawa “Hahahaha” yang diluapkan oleh penutur. Kata asu yang bercampur dengan tawa menjunjukkan bahwa penutur tengah frustrasi menghadapi mitra tutur.

-          Setan! Wani-wanine golek goro-goro neng aku! (Setan! Berani-beraninya mencari gara-gara sama aku!)
Di dalam bahasa Jawa ataupun bahasa Indonesia, setan memiliki arti makhluk gaib atau makhluk halus. Kata tersebut merupakan salah satu referensi umpatan berupa makhluk halus. Setan merupakan makhluk yang sering mengganggu kehidupan manusia, biasanya diartikan sebagai arwah manusia yang sudah mati dan bergentayangan. Sifatnya yang merugikan manusia sering digunakan untuk melontarkan umpatan kepada lawan bicara.
Kosakata setan dalam konteks kalimat di atas diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur dalam keadaan marah. Kalimat tersebut diucapkan secara spontan oleh penutur ketika tersulut emosi.

-          Taik arek iki, bacotane jan ra kenek dipercoyo! (Taik anak ini, omongannya memang tidak bisa dipercaya!)
Kata taik berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti kotoran. Kata tersebut merupakan salah satu referensi umpatan berupa penyebutan nama-nama benda. Taik adalah benda menjijikkan berupa kotoran dengan bau menyengat. Taik digunakan sebagai umpatan untuk meluapkan beragam emosi.
Kosakata taik dalam kalimat di atas diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur dalam keadaan marah. Penutur menggunakan kalimat tersebut untuk menunjukkan rasa kesal kepada mitra tutur yang tidak bisa dipercaya.

-          Matamu picek a? Wes eroh lampu abang ditrobos ae! (Matamu buta, ya? Sudah tahu lampu merah menyala, main terobos saja!)
Kata matamu dalam konteks kalimat di atas diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur dalam kondisi marah. Penutur mengucapkan kalimat tersebut karena mitra tutur tidak mengendarai motor sesuka hati, sehingga nyaris menabrak penutur.
-          Mbok reken iki dalane mbahmu a? (Kamu pikir ini jalanannya nenekmu?)
Kata mbahmu merupakan salah satu referensi umpatan yang masuk kategori kekerabatan. Umpatan yang menggunakan kata-kata kekerabatan mengacu pada orang yang dihormati, oleh karenanya dianggap tabu untuk diucapkan. Akan tetapi, penutur bahasa Jawa maupun Indonesia sering kali menyangkut-nyangkutkan kata-kata kekerabatan ini dengan menambahkan klitika –mu di belakangnya.

DAFTAR PUSTAKA


Chaer, Abdul, Agustina, Leonie. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
        Wijana, I Dewa Putu. 2006. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Rina memangdangi tugas UAS Metode Penelitian Bahasa dengan kening mengkerut. Dia sangat frustrasi. Dia hanya ingin melakukan satu hal saat ini: meneriakkan data umpatan itu satu per satu.