Surat.

Kepada: Rei-san.

Apa kabar? Ini sudah tahun kedua sejak terakhir kali aku melihatmu. Bagaimana bunga sakura di sana? Sudah mekar kah? Pasti menyenangkan hidup di negara empat musim. Hal yang sangat kuinginkan sejak dulu. Ah, ya, kali ini suratku tak akan sepanjang sebelumnya. Aku tahu kau di sana begitu sibuk--tapi semoga kau tak lupa makan agar kesehatanmu senantiasa terjaga.

Rei, domo arigatou gozaimasu. Sadar tidak sadar, kau telah memberiku energi positif. Kau berhasil menularkan semangatmu kepadaku. Melihat perjuanganmu yang begitu mati-matian membuatku bangga sekaligus malu pada diri sendiri. Aku masih sangat sering didera moody yang berujung pada rasa malas. Entah berapa kali aku ingin menyerah dengan impianku yang tampak muluk-muluk ini, tapi kau selalu berhasil mengajakku bangkit.

Aku terus berlari. Tak terhitung berapa kali aku terjatuh di tengah jalan. Tubuhku penuh luka. Napasku nyaris habis. Pandanganku telah mengabur. Dan dalam kondisi seperti itu, sosokmu selalu muncul sembari melambaikan tangan.
"Ayo, terus berlari! Kau hampir meraih garis finish!" teriakmu penuh semangat. Dan aku kembali berlari...


Biar kukatakan sesuatu kepadamu.
Sejak bertemu denganm tiga tahun lalu, aku tahu kau memiliki pengaruh untuk memporak-porandakan tatanan hidupku yang kususun dengan rapi. Impian itu telah lama membangkai, tapi kau dengan kurang ajar menghidupkannya lagi. Ya, kau. Semangatmu yang berapi-api itu menjalari seluruh tubuhku. Aku tak mungkin lupa pada pertemuan itu. Di ruang kelas seni, seorang laki-laki asing tiba-tiba masuk kelas dengan tampang bingung. Di punggungmu tersampir sebilah katana. Rambut acakmu seketika mengingatkanku pada tokoh anime. Kau bertanya perihal tugas sementara otakku masih mencerna siapakah dirimu.
"Eto ... anata wa donata desu ka?" tanyaku.
"Ah, sumimasen. Watashi wa Rei Kimura desu," jawabmu.
Aku mengangguk. Rupanya kau bukan mahasiswa jurusanku. Dan Bu Kay seenaknya memasukkanmu dalam kelompokku. Kita pun bekerja sama. Di situ lah aku mulai mengagumimu dalam diam, Rei. Kau begitu ulet. Kau mengejar cita-cita dengan perjuangan yang tak semua orang bisa melakukannya. Kau berhasil mengalahkan ribuan manusia dalam seleksi ketat M*nbu. Kau bekerja keras. Sangat keras. Dan seketika itu juga kau mengingatkanku akan impian terpendam.


Menjejak negeri sakura dan belajar di sana.


 Impian itu kubunuh pelan-pelan ketika kenyataan berbicara lain. Orang tuaku lebih suka jika anaknya menjadi seorang guru. Tak ada jalan untuk mempelajari bahasa dan kebudayaan negeri sakura. Dan pada akhirnya aku terdampar di dunia sastra--tapi aku tak menyesal karena aku juga menyukainya.


Pada awal semester lalu, aku sengaja benar mengambil kursus bahasa Jepang. Tapi aku gagal, Rei. Untuk menembus JLPT N2, setidaknya aku harus melewati N5, N4, dan N3. Dan aku terkapar di tahap N5. Sedih dan kecewa. Aku bahkan tak bisa mengalahkan diriku sendiri.

Kini, aku berusaha berdiri kembali. Di saat teman-teman lain sibuk dengan tugas akhir, aku dengan santainya mengambil banyak SKS bahasa asing. Setua ini, seharusnya aku fokus pada skripsi dan apalah itu namanya. Tapi aku memilih jalan lain. Aku tahu apa yang sangat kuinginkan saat ini, jadi aku akan mengejarnya.

Oh, Rei, maaf. Suratku terlalu panjang, ya? Sumimasen... aku terbawa perasaan.


Arigatou gozaimasu, Rei. Tiga tahun berlalu sudah.
Kau telah mengajariku banyak hal. Banyaaaak sekali. Tuhan membuka pintu melaluimu, hingga aku dapat memasukinya. Melaluimu, aku belajar bagaimana menjadi manusia tangguh. Meski, di sela-sela itu dadaku juga nyeri karenamu. Tak apa. Bukankah rasa sakit juga dapat menjadi penyembuh lara?


Aku sudah berlari hingga sejauh ini.
Terima kasih.
Terima kasih.
Terima kasih.






Tertanda,


-Alia-

This entry was posted on Selasa, 07 Oktober 2014. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply