Selamat malam,
Kampung Inggris Pare.
Setelah
memaksakan diri mengikuti program setengah hari kemarin, pada akhirnya aku tergeletak
di kasur (lagi). Hah, sepertinya belum afdhol jadi pelajar Kampung Inggris kalo
enggak ngerasain sakit. Seharian ini aku hanya glimpang-glimpung di kasur,
menahan mual dan pusing. Pernah nggak sih ngerasa mo muntah tapi kagak
muntah-muntah juga? Ya, seperti itulah diriku saat ini. Dan, bawaannya jadi
sedih mulu. Badan juga rasanya pegel semua. Efek PMS dan kelayapan di Bromo
kemarin. Ah, tapi di Bromo nggak capek-capek banget, orang aku naik kuda sampe
bawah tangga -___-
Hal yang paling
menyedihkan ketika sakit adalah kesendirian. Sejak pagi sampai sore teman-teman
se-camp sibuk program di Elfast maupun lembaga lain. Aku kesepian. Meskipun
mereka mensugesti diriku agar cepat sembuh, tetap saja aku glimpungan sendiri.
Dan kata ‘sendiri’ benar-benar terasa ketika tidak ada seorang pun disampingmu,
yah untuk sekadar menemanimu ngobrol atau memberikan perhatian kecil semacam,
“Nih, obatnya diminum. Jangan telat makan, lalala ….”.
Alkisah, aku
mempunyai teman seprogram dan kami sama-sama sakit. Dia sakit asam lambung,
sedangkan aku terkena gangguan pencernaan campur nyeri PMS. Kami sama-sama
tepar setelah kelas Talk More dan bolos study club sore harinya. Sampai camp,
aku cepat-cepat masuk kamar dan tidur. Sedangkan temanku cepat-cepat dibawa ke
rumah sakit with the man who close in on
with her. U know what I mean, huh? #AkuRapopo -_-
Dan di saat
sendiri seperti itu, tidak ada hal lain yang kupikirkan selain Ibu. Dalam hati
aku tak ingin membiarkannya tahu kalau putrinya sedang sakit, tapi kepada siapa
lagi aku dapat berbagi keluh kesah? Tidak ada yang bisa menggantikan dirinya.
Sampai kapan pun.
Seperti biasa,
di ujung sana Ibu mengomeliku karena sering telat makan dan sebagainya,
menyuruhku meminum jamu pereda nyeri PMS, dan entah kenapa berakhir pada
guyonan agak serius mengenai siapa yang kelak mendampingiku seumur hidup.
“Oalah, lagi
sakit tho, Nduk. Mau tak cariin guling? Daripada sendirian aja.” Bude menyambar
ponsel dari tangan Ibu dan mencerocos begitu saja.
“He?” aku nggak
mudeng pada kalimat terakhirnya.
“Iya, guling.
Guling yang bisa hidup noh …”
BUAHAHAHAHAHAHAHAAAAKKK!!!
Anjir. Aku
ngakak sambil nahan perut sakit. Baru sadar apa yang dimaksud dengan guling
hidup. Yeah, pendamping hidup maksudnya. Ada-ada saja -_-
Stop. Aku tak
ingin membahasnya lebih lanjut karena omongan Budeku sudah ngaco ke mana-mana,
hahaha.
Yeah, seharian
ini aku berteman dengan Kamus Bahasa Inggris, Kamus Slang Amerika, dan buku Vocabulary.
Ceritanya aku lagi sok-sokan bantuin Miss Ratna mentranslate penggalan novel
berbahasa Inggris, daripada nggak ada kerjaan di kamar. Oh, meeeeeen, ternyata
mentranslate itu tidak segampang yang kukira. Selain karena aku masih miskin
vocab, di novel itu juga bertebaran idiom dan bahasa slang yang aku nggak
ngerti apa maksudnya. Kalau diartiin kata per kata bakalan aneh. Tapi sumpah,
pekerjaan ini sangat menarik sekaligus menjengkelkan. Menarik karena aku bisa
menemukan kata-kata baru, merasa tertantang dan rasanya sangat puas ketika
berhasil menerjemahkan kalimat yang penuh idiom bin slang. Dan terasa
menjengkelkan pas udah capek-capek buka kamus tapi nggak nemu arti yang cocok
dengan kalimat itu. Sampai sekarang aku masih menerjemahkan satu halaman, dan
itu capek sangat. Akan kulanjutkan lagi besok mengingat kinerja otakku yang
nggak maksimal hari ini.
Hoah, besok mau
nggak mau aku harus masuk. Aku sudah cukup sehat sekarang. Aku harus mengejar ketertinggalan.
Dan aku mumet. Jumat ada ujian Talk More, malamnya ujian Pronunciation bareng
Mr. Alex, native speaker dari Amerika daaaan aku belum nyiapin bahan apapun
buat ngobrol ama dia! Ditambah lagi hari Sabtu ujian speaking intensive class
yang amat berbeda ama Talk More. Why? Di kelas intensif, grammar sedikit banyak
akan diperhatikan karena selama pertemuan Mr. Aan selalu menyajikan sarapan
grammar for speaking.
Baiklah, segini
dulu tulisannya. Aku harus hapalan vocab sekarang. Bye!
Pare, 5 Maret
2014.
Pukul 21.59 WIB