Sepanjang sore tadi, aku dan Mbak Mira menghabiskan waktu di TBY. Kami menonton Operet Anak 'Cindelarasa' dan 'Pinokio'. Masya Allah, bahagianyaaaaa! Mungkin ini bahagia yang paling membahagiakan dalam minggu ini. Melihat anak-anak kecil itu menari dan menyanyi bikin hatiku krenyes-krenyes. Wajah mereka sungguh bahagia. Apalagi mendengar suara penyanyi cilik tadi, dadaku meledak-ledak saking harunya. Sekuat tenaga aku menahan air mata pada beberapa adegan. Bukan karena ceritanya, tapi karena melihat kreativitas bocah-bocah lucu itu. Tawa mereka begitu lepas.
Sesungguhnya aku sedang sedih melihat anak-anak masa kini. Pendidikan di Indonesia yang makin carut-marut bikin mereka stress. Coba bayangkan, anak kelas 6 SD sudah dikasih tugas meresensi buku! Gila nggak tuh? Adikku yang masih menginjak kelas 3 SD sudah diajarin materi yang nggak seharusnya dia dapatkan di usia sedini itu. Anak usia 2 tahun sudah diajari calistung--dan ketika dewasa mereka akan menjadi pribadi yang apatis dan egois. Belum lagi kalau melihat tontonan TV. Tayangannya makin nggak mendidik dan aneh-aneh. Mulai dari Ganteng-Ganteng Serigala sampai Manusia Harimau. Ada juga sebuah sinetron--lupa judulnya--yang menyuguhkan kehidupan anak SD. Isinya? Ya rebutan pacar, geng-gengan, dan bullying. Belum lagi pakaian mereka yang sungguh menyedihkan sekali. Rok mini dengan dandanan menor. Tongkrongannya kafe. Ke mana-mana bermobil. Kerjaannya menindas orang lain.
Indonesia, boleh aku menangis?
Aku mencintaimu dan membencimu sekaligus.
Ketika menonton Operet tadi, entah kenapa otakku malah mengaitkannya dengan kondisi politik Indonesia yang menjijikkan. Aku teringat kelakukan orang-orang DPR yang rebutan kursi ketika melihat adegan pengusiran Ratu. Alkisah, selir Raja meracuni Ratu karena ingin meraih posisi Ratu. Ia ingin anaknya yang kelak menjadi Raja, bukan anak Ratu. Juga, ketika ada adegan pertarungan ayam kurus dan ayam gemuk, seketika aku teringat Jokowi yang kurus dan Prabowo yang tambun. Entah apa yang terjadi dengan otakku tadi sore.
Tapi ketika melihat anak-anak itu menari bersama, oh Tuhan ... jangan tanya bagaimana perasaanku. Bahagia.
Diam-diam aku membuat perjanjian dalam hati. Kelak, jika aku memiliki anak, tak akan kubiarkan mereka mengenal TV di usia balita. Tak akan kubiarkan mereka memegang gadget sesuka hati. Tak akan kubiarkan mereka tersiksa karena harus belajar calistung di saat mereka harus mengembangkan diri. Tak akan kubiarkan mereka menjalani sekolah formal yang menganut kurikulum 'edan'.
Karena ibu adalah pendidik utama anak-anaknya. Aku akan merawat mereka dengan tanganku sendiri, tanpa bantuan baby sitter. Akan kudidik mereka sebaik-baiknya. Ah, ya,tadi aku menemukan postingan menarik mengenai cara mendidik anak.
Diana Baumrind menjelaskan ada 3 macam gaya pengasuhan anak : (1) permissive, mengasuh anak dengan sangat longgar, miskin disiplin dan aturan, tidak ada tuntutan dari orang tua, orang tua cenderung mengabulkan segala permintaan anak(kemudian dijabarkan menjadi permissive indeferent dan indulgence) (2) Authoritarian atau enaknya disebut otoriter. Orang tua membuat batasan yg tegas, tanpa kompromi, anak dalam kontrol orang tua sepenuhnya dan (3) Autoritatif atau demokratis, orang tua selalu memberikan alasan logis tentang suatu aturan dan anak diberi kebebasan menentukan sendiri namun tetap dlm kontrol yg lebih fleksibel.
Semua ada baik buruknya bg anak. Tipe pertama anak akan punya self esteem tinggi, percaya diri, tdk takut dgn hal baru tp juga tak tau aturan, tdk bisa toleran, semaunya sendiri. Tipe kedua anak akan punya nilai juang, disiplin, tapi minderan, pendendam, gangguan emosi. Tipe ketiga banyak dirasa yg paling baik karena mengambil keuntungan dari kedua tipe sebelumnya dan mengurangi efek negatif dari keduanya. Namun gaya pengasuhan ini yg paling sulit diterapkan.
Jauuh sebelum Diana Baumrind merumuskan gaya pengasuhan anak, Ali bin Abu thalib telah memberi petuah yg hampir mirip dgn teori itu. Bedanya, orang tua tidak hanya menerepkan salah satu gaya pengasuhan, tapi ketiganya.
Pada usia 0-7 tahun, perlakukan anak seperti raja -mendekati permissive-. Pada usia 7-14 tahun (ada yg mengatakan 18 tahun) perlakukan anak seperti tawanan -mendekati otoriter- dan ketika anak diatas 14/18 tahun, perlakukan ia seperti sahabat, demokratis.
Begitulah, demokrasi membutuhkan kedewasaan, kematangan dan usaha yg keras.
Untuk menjadi dewasa juga tidak mudah, banyak hal-hal berat yg harus dilalui, keputusan-keputusan dilematis yg harus diambil.
Nah, bagaimana? Mendidik anak bukan pekerjaan yang remeh, kan?
Itulah mengapa aku bertekad mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Ya, anak yang cerdas terlahir dari ibu yang cerdas, kan? :)
Rabu, 8 Oktober 2014.
Pukul 00:43 WIB.
Sesungguhnya aku sedang sedih melihat anak-anak masa kini. Pendidikan di Indonesia yang makin carut-marut bikin mereka stress. Coba bayangkan, anak kelas 6 SD sudah dikasih tugas meresensi buku! Gila nggak tuh? Adikku yang masih menginjak kelas 3 SD sudah diajarin materi yang nggak seharusnya dia dapatkan di usia sedini itu. Anak usia 2 tahun sudah diajari calistung--dan ketika dewasa mereka akan menjadi pribadi yang apatis dan egois. Belum lagi kalau melihat tontonan TV. Tayangannya makin nggak mendidik dan aneh-aneh. Mulai dari Ganteng-Ganteng Serigala sampai Manusia Harimau. Ada juga sebuah sinetron--lupa judulnya--yang menyuguhkan kehidupan anak SD. Isinya? Ya rebutan pacar, geng-gengan, dan bullying. Belum lagi pakaian mereka yang sungguh menyedihkan sekali. Rok mini dengan dandanan menor. Tongkrongannya kafe. Ke mana-mana bermobil. Kerjaannya menindas orang lain.
Indonesia, boleh aku menangis?
Aku mencintaimu dan membencimu sekaligus.
Ketika menonton Operet tadi, entah kenapa otakku malah mengaitkannya dengan kondisi politik Indonesia yang menjijikkan. Aku teringat kelakukan orang-orang DPR yang rebutan kursi ketika melihat adegan pengusiran Ratu. Alkisah, selir Raja meracuni Ratu karena ingin meraih posisi Ratu. Ia ingin anaknya yang kelak menjadi Raja, bukan anak Ratu. Juga, ketika ada adegan pertarungan ayam kurus dan ayam gemuk, seketika aku teringat Jokowi yang kurus dan Prabowo yang tambun. Entah apa yang terjadi dengan otakku tadi sore.
Tapi ketika melihat anak-anak itu menari bersama, oh Tuhan ... jangan tanya bagaimana perasaanku. Bahagia.
Diam-diam aku membuat perjanjian dalam hati. Kelak, jika aku memiliki anak, tak akan kubiarkan mereka mengenal TV di usia balita. Tak akan kubiarkan mereka memegang gadget sesuka hati. Tak akan kubiarkan mereka tersiksa karena harus belajar calistung di saat mereka harus mengembangkan diri. Tak akan kubiarkan mereka menjalani sekolah formal yang menganut kurikulum 'edan'.
Karena ibu adalah pendidik utama anak-anaknya. Aku akan merawat mereka dengan tanganku sendiri, tanpa bantuan baby sitter. Akan kudidik mereka sebaik-baiknya. Ah, ya,tadi aku menemukan postingan menarik mengenai cara mendidik anak.
Diana Baumrind menjelaskan ada 3 macam gaya pengasuhan anak : (1) permissive, mengasuh anak dengan sangat longgar, miskin disiplin dan aturan, tidak ada tuntutan dari orang tua, orang tua cenderung mengabulkan segala permintaan anak(kemudian dijabarkan menjadi permissive indeferent dan indulgence) (2) Authoritarian atau enaknya disebut otoriter. Orang tua membuat batasan yg tegas, tanpa kompromi, anak dalam kontrol orang tua sepenuhnya dan (3) Autoritatif atau demokratis, orang tua selalu memberikan alasan logis tentang suatu aturan dan anak diberi kebebasan menentukan sendiri namun tetap dlm kontrol yg lebih fleksibel.
Semua ada baik buruknya bg anak. Tipe pertama anak akan punya self esteem tinggi, percaya diri, tdk takut dgn hal baru tp juga tak tau aturan, tdk bisa toleran, semaunya sendiri. Tipe kedua anak akan punya nilai juang, disiplin, tapi minderan, pendendam, gangguan emosi. Tipe ketiga banyak dirasa yg paling baik karena mengambil keuntungan dari kedua tipe sebelumnya dan mengurangi efek negatif dari keduanya. Namun gaya pengasuhan ini yg paling sulit diterapkan.
Jauuh sebelum Diana Baumrind merumuskan gaya pengasuhan anak, Ali bin Abu thalib telah memberi petuah yg hampir mirip dgn teori itu. Bedanya, orang tua tidak hanya menerepkan salah satu gaya pengasuhan, tapi ketiganya.
Pada usia 0-7 tahun, perlakukan anak seperti raja -mendekati permissive-. Pada usia 7-14 tahun (ada yg mengatakan 18 tahun) perlakukan anak seperti tawanan -mendekati otoriter- dan ketika anak diatas 14/18 tahun, perlakukan ia seperti sahabat, demokratis.
Begitulah, demokrasi membutuhkan kedewasaan, kematangan dan usaha yg keras.
Untuk menjadi dewasa juga tidak mudah, banyak hal-hal berat yg harus dilalui, keputusan-keputusan dilematis yg harus diambil.
Nah, bagaimana? Mendidik anak bukan pekerjaan yang remeh, kan?
Itulah mengapa aku bertekad mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Ya, anak yang cerdas terlahir dari ibu yang cerdas, kan? :)
Rabu, 8 Oktober 2014.
Pukul 00:43 WIB.
semoga jadi ibu yang tidak galak bagi anaknya kelak.
BalasHapus