Tell
all your friends.
The class is over.
And all of you don’t need to get examination!
Aku mencelos
membacanya. Antara marah, jengkel, merasa bersalah, sedih, dan seolah merasakan
de ja vu. De ja vu? Iya, benar. Aku pernah merasakan hal ini pada liburan
semester lalu. Seorang teacher marah
karena kami jarang masuk kelas speaking
confidence. Saat itu kami mengambil paket grammar Efast One yang didalamnya
ada satu kali pertemuan kelas speaking.
Aku nggak akan cerita dg detail, semuanya ada di postingan tulisanku yang dulu,
cari aja kalau mau tahu. Intinya, teacher
itu marah dan meluapkan kekesalannya pada kami ketika pertemuan terakhir,
setelah ujian kelar. Kami meminta maaf dan mulai menjelaskan mengapa kami
jarang masuk, yah intinya kami nggak bisa mengikuti kelas level 4 itu. Otak
kami masih level 1. Selanjutnya, dg suasana agak melankolis kami saling meminta
maaf. Aku tahu sampai saat ini pun sakit hati itu masih membekas di hati Ms
Tika, tapi paling tidak kami mengakhiri kelas tanpa ganjalan sama sekali.
Semuanya terluapkan. Tapi, kelas yang kuikuti saat ini benar-benar berbeda. Dan
aku kecewa karenanya.
Dua minggu ini
aku mengambil kursus speaking di dua
buah lembaga. Aku tak akan menyebut namanya karena ini urusan pribadi antara
teacher dan student. Aku tak ingin ada semacam pencemaran nama baik. Aku hanya
ingin meluapkan perasaanku, dan salah satunya adalah dengan cara menulis.
Minggu pertama
di Pare kulalui dengan penuh cobaan. Mulai dari travel X yang mendadak nggak
bisa jemput sampai peristiwa meletusnya Gunung Kelud. Ketika semua orang pulang
ke kampung halaman, aku berusaha keras untuk bertahan. Aku tidak ingin hujan
batu dan hujan abu menghalangi misiku yang akan kulaksanakan 2 tahun lagi.
Bencana ada di mana-mana dan aku tetap kukuh untuk bertahan. Jogja hujan abu,
ditambah gempa bumi dan hujan es. Gunung Kelud meletus. Kediri diberitakan
dengan lebay di semua stasiun teve, membuat orang-orang khawatir dan menyuruhku
pulang saja. Pulang ke mana? Semua jalanan ditutup saat itu. Setelah mengungsi
di Jombang, aku kembali ke camp dan satu per satu kawanku pergi. Hingga tinggal
aku seorang diri di camp. Bahkan pengasuh camp-ku juga pulang. Aku benar-benar
seorang diri. Aku tetap bertahan, hingga beberapa hari kemudian Kediri kembali
diberitakan sedang banjir lahar. Iya, memang benar. Banjir itu sudah mencapai
kecamatan sebelah, dan aku tetap bertahan. Masa bodoh, selama banjir itu belum
mencapai sini, aku tak akan pergi.
Minggu kedua,
keadaan kursusan sepi. Banyak member yang pulang karena ketakutan. Di kelasku
pun, yang mulanya berjumlah 27 orang berkurang menjadi 11 orang. Kelas tetap
berjalan sebagaimana mestinya, meski cuaca sedang tidak mendukung. Di kelas
itu, kami diajar oleh dua orang teacher, satu mengajar speaking dasar dan
satunya lagi mengajar pronunciation dan vocabulary. Sepanjang kursus, aku enjoy
diajar oleh mereka. Jujur saja aku terkagum-kagum dengan Mr. X yang masih
seusia denganku tapi speaking-nya hebat banget. Kelas kami selalu ramai dan
penuh canda tawa karena dia memang tipe cowok humoris. Dan tentu saja karena
dia ganteng, huahahahaha!
Kau tahu?
Sebelum berangkat ke Pare, aku semacam membuat perjanjian dengan diriku
sendiri. Aku tidak akan mengecewakan teacher-ku seperti kelas E-Fast One dulu.
Dulu kelasku benar-benar durhaka pada Ms Tika, dan aku tidak ingin
mengulanginya lagi. Tapi, semua itu berubah pada hari Kamis kemarin. De ja vu!
Untuk pertama
kalinya aku tidak masuk kelas. Saat itu penyakitku kumat, jadi selepas kelas
speaking dasar aku langsung pulang dan tidur. Ba’da maghrib, aku mau tak mau
harus kembali ke kursusan karena ada ujian speaking. Saat itulah aku merasakan sesuatu yang berbeda. Di kantin, aku bertemu Mr. X dan dia seolah-olah tidak
melihatku. Dia tahu aku ada di sana, tapi entah mengapa aku merasakan ada aura
kemarahan. Bingung dengan perubahan sikapnya yang tak lazim (dia selalu ceria
dan murah senyum), aku keluar dari kantin dan menemukan teman-teman bergosip di
depan mushola (parah banget ngegosip di tempat ibadah, wehehe). Wajah mereka
tampak tegang, dan karena penasaran aku lantas menghampiri mereka.
“Padahal kan
kita nggak janjian!”
“Iya, kok bisa
barengan gini, sih …?”
“Tadi cuma aku
doang tahu yang masuk kelas…”
“Kamu kenapa
nggak masuk?”
“Ketiduran.”
“Kamu?”
“Aku lagi gak
enak badan. Tapi anak kelas lain ada yang masuk, kan?”
“Ada sih, tapi
sama aja sedikit.”
“Duh, gimana
dong? Mr. X pasti marah nih!”
Aku mendengarkan
percakapan mereka dan membatin dalam hati. De ja vu. Aku langsung lemas
dibuatnya. Bedanya, dulu di kelas Efast One lebih parah dari kelas ini.
Seingatku, ini baru pertama kalinya kami membolos dengan jumlah sebanyak ini.
Di Efast One dulu, nyaris setiap hari. Jadi bisa dibayangkan bagaimana perasaan
Ms Tika?
Keesokan
harinya, Jumat sore, kami berkumpul di tempat kursus karena ada ujian vocab.
Aku berencana untuk meminta maaf pada Mr. X dan mengajak teman-teman untuk
makan bersama di Waroeng Batok. Yah, semacam farewell party. Aku ingin kelas
ini berakhir dengan menyenangkan tanpa ada ganjalan apa pun. Clear.
Tapi …
rupa-rupanya sad ending. Dan aku
sedih karenanya.
Mr. X yang ramah
dan humoris itu mendadak tidak ada kabar. Ditelepon nggak diangkat. Di-WA pun nggak
dibalas. Kami menunggu hingga maghrib. Akhirnya, teman kami yang laki-laki
mendatangi kamarnya. Dia tidak membuka pintunya. Entah tidur, entah pura-pura
tidur. Tapi yang jelas kami tahu, dia marah besar karena kami berombongan tidak
masuk kelas. Dia kecewa, merasa tidak dihargai, dsb.
Apakah aku
merasa bersalah? Jelas. Meski aku membolos hanya satu kali itu dan memiliki
alasan mengapa tidak masuk, aku tetap tidak dapat menghilangkan perasaan
berdosa itu. Aku merasakan de ja vu. Mendurhakai dua orang teacher yang dengan
senang hati mentransfer ilmunya kepadaku.
Selepas isya’,
aku kembali ke kursusan dan menemukan teman-temanku masih setia di sana. Kami
sepakat untuk meminta maaf. Kami tidak ingin kelas yang diawali dengan
baik-baik lalu berakhir seperti ini. Bahkan aku sempat melihat beberapa mata
mulai merebak.
Kami menunggu di
depan kantin dengan bingung. Akhirnya, kami memutuskan untuk mendatangi
kamarnya bersama-sama. Sebenarnya aku agak rikuh, nggak nyaman. Bayangin aja,
masuk camp cowok! Dan kau tahu apa yang dia lakukan?
“What?” ucapnya
ketika membuka pintu.
“Mr, teman-teman
ingin bertemu. Itu yang cewek-cewek pada nunggu di sana,” kata temanku sembari
menunjuk ke arah kami, para cewe.
Dia menoleh
sesaat, lalu kembali menutup pintu. Begitu saja. Melihat semua itu, mendadak
darahku naik ke kepala. Sembari turun dari tangga, aku mengusap dadaku, berharap
tidak ada sejenis tindakan kasar yang akan kulakukan. Sekuat mungkin aku
menahan diri untuk tidak melemparkan tong sampah di depan kamarnya. Tolong,
beri aku kesabaran. Dia adalah guruku. Orang yang harus kuhormati!
“Mbak, aku harus
gimana …?” salah seorang teman memegang tanganku erat-erat. Hampir menangis.
“Udah, biarin
aja.” Kataku singkat.
“Tapi, Mbak …
aku besok harus pulang. Kalau tidak sekarang, kapan aku ujiannya? Gimana kalau
orangtuaku nanyain hasil belajarku nanti?”
“Hah. He is not
only childish, but also chicken, right? Hell banget kelakuannya!” kataku
sembari mengambil kunci sepeda.
“Mbak mau ke
mana?” kejar dia.
“Mo balik.
Ngapain lama-lama di sini? Ngabisin waktu aja ngadepin dia. Bye!”
Sesampainya di
camp, salah satu teman sekelas—dia lima tahun lebih tua di atasku—mendekat
sambil cengengesan.
“Gimana, Ndi?
Dia masih ngambek?” tanya Mbak B.
“Iya. Kayak anak
kecil aja! Aku aja yang cewek nggak segitunya. Lah dia? Dia cowok, woy! Mukanya
pas nongol dari pintu tadi lho, aaaarrrh … kurang ajar banget! Songoooong!”
“Hahahaha, aku
bilang juga apa. Dari awal lihat dia ngambek aja udah keliatan nggak
profesional. Marah, ya, marah, tapi nggak gitu juga caranya. Mo gimana pun dia
wajib ngasih kita final exam, itu tugasnya dia kan? Dia digaji pake duit, bukan
pake daon.”
“Terserah deh
dia mo ngapain sekarang. Aku nggak peduli. Ngadepin dia berasa ngadepin bocah
lima tahun.”
Aku masuk kamar
dan langsung merebahkan diri di kasur. Masih jelas terbayang bagaimana wajah
Mr. X ketika melakukan aksi ngambek tadi. Wajah yang cenderung melecehkan, dan
juga … arogan. Tidak tahan menahan marah sendirian, aku keluar kamar dan
menemui salah satu pengasuh camp. Aku mencurahkan semua kekesalanku padanya.
Mendengar curhatanku, Miss A tertawa.
“Dia lagi PMS,
kali. Tapi kupikir ini juga ada kaitannya dengan faktor U.”
“Faktor U?”
“Iya, faktor
umur.”
“Hahaha, benar
juga. Dia seumuranku sih. Tapi, Miss, ya nggak gitu juga kali kelakukannya. Dia
cowok lho! Lagian, mana tanggung jawab dia sebagai tutor? Ngambek nggak jelas,
kayak bocah. Dia sadar nggak sih apa dampak dari aksi ngambeknya?”
“Hm?”
“Pertama, kami
nggak bisa ujian. Kedua, masalah akan semakin rumit karena besok sebagian besar
harus pulang ke kampung halaman masing-masing. Kami ke sini buat belajar, dan
karena yang bayarin adalah orang tua, kami wajib mempertanggung jawabkan hasil
belajar selama di sini. Ketiga, teman-teman yang harusnya ujian grammar jadi
terbengkalai gara-gara ngadepin dia. Keempat, saya yakin ke depannya bakal
makin ruwet. Dia harus mempertanggungjawabkan hasil ngajarnya ke atasan,
sementara anak-anak pada pulang. Harusnya dia sadar, kami ini ngambil program
berapa lama. Iya kalo kami ngambil sebulan, sok atuh ngambek aja sampe puas.
Tapi ini? Di saat-saat genting malah ngambek, cowok apaan dia!”
Miss A mendesah
melihatku yang meledak-ledak. “Mungkin, dia belum pernah dikecewakan orang
lain.”
“Maksudnya,
Miss?”
“Yah, mungkin
dia selama ini belum pernah dibikin kecewa sama murid-muridnya. Jadinya kayak
gitu, ngambek. Beda lah kalau kamu bandingkan dengan Ms Tika. Dia kan sudah
dewasa, sudah berkeluarga, punya banyak pengalaman dan pastinya lebih bisa
nguasain emosi. Yah, Mr. X perlu banyak belajar. Dia masih dalam proses
belajar.”
“Yes, I know.
But I don’t like with his attitude! Aksi ngambeknya ngerugiin banyak orang.”
“Kalian tinggal
ujian apaan sih?”
“Vocab ama
pronunciation. Kan dia juga yang megang. Lah dia ngambek gini, berantakan
jadinya.”
Jeda sepuluh
menit, Miss A menyarankanku untuk menelepon tutor satunya. “Coba telepon Miss
C. Jelaskan ke dia tentang masalah antara kalian dan Mr. X. Siapa tahu dia bisa
menggantikan Mr. X buat ngasih ujian.”
***
End. Tulisanku
terhenti sampai situ. Udah keburu males. Beberapa pekan lalu, teacher-ku main
ke Jogja. Iseng aku nanyain gimana kabar Mr. X. Katanya, dia habis ngambek
lagi. Yealaaaaah, ternyata kelakukannya masih sama, hahaha. Bocah tenaaaaan. Fix, aku nggak
respek lagi sama dia!