CERITA PARE #PART9




            Tell all your friends.
The class is over.
And all of you don’t need to get examination!

Aku mencelos membacanya. Antara marah, jengkel, merasa bersalah, sedih, dan seolah merasakan de ja vu. De ja vu? Iya, benar. Aku pernah merasakan hal ini pada liburan semester lalu. Seorang teacher marah karena kami jarang masuk kelas speaking confidence. Saat itu kami mengambil paket grammar Efast One yang didalamnya ada satu kali pertemuan kelas speaking. Aku nggak akan cerita dg detail, semuanya ada di postingan tulisanku yang dulu, cari aja kalau mau tahu. Intinya, teacher itu marah dan meluapkan kekesalannya pada kami ketika pertemuan terakhir, setelah ujian kelar. Kami meminta maaf dan mulai menjelaskan mengapa kami jarang masuk, yah intinya kami nggak bisa mengikuti kelas level 4 itu. Otak kami masih level 1. Selanjutnya, dg suasana agak melankolis kami saling meminta maaf. Aku tahu sampai saat ini pun sakit hati itu masih membekas di hati Ms Tika, tapi paling tidak kami mengakhiri kelas tanpa ganjalan sama sekali. Semuanya terluapkan. Tapi, kelas yang kuikuti saat ini benar-benar berbeda. Dan aku kecewa karenanya.
Dua minggu ini aku mengambil kursus speaking di dua buah lembaga. Aku tak akan menyebut namanya karena ini urusan pribadi antara teacher dan student. Aku tak ingin ada semacam pencemaran nama baik. Aku hanya ingin meluapkan perasaanku, dan salah satunya adalah dengan cara menulis.
Minggu pertama di Pare kulalui dengan penuh cobaan. Mulai dari travel X yang mendadak nggak bisa jemput sampai peristiwa meletusnya Gunung Kelud. Ketika semua orang pulang ke kampung halaman, aku berusaha keras untuk bertahan. Aku tidak ingin hujan batu dan hujan abu menghalangi misiku yang akan kulaksanakan 2 tahun lagi. Bencana ada di mana-mana dan aku tetap kukuh untuk bertahan. Jogja hujan abu, ditambah gempa bumi dan hujan es. Gunung Kelud meletus. Kediri diberitakan dengan lebay di semua stasiun teve, membuat orang-orang khawatir dan menyuruhku pulang saja. Pulang ke mana? Semua jalanan ditutup saat itu. Setelah mengungsi di Jombang, aku kembali ke camp dan satu per satu kawanku pergi. Hingga tinggal aku seorang diri di camp. Bahkan pengasuh camp-ku juga pulang. Aku benar-benar seorang diri. Aku tetap bertahan, hingga beberapa hari kemudian Kediri kembali diberitakan sedang banjir lahar. Iya, memang benar. Banjir itu sudah mencapai kecamatan sebelah, dan aku tetap bertahan. Masa bodoh, selama banjir itu belum mencapai sini, aku tak akan pergi.

Minggu kedua, keadaan kursusan sepi. Banyak member yang pulang karena ketakutan. Di kelasku pun, yang mulanya berjumlah 27 orang berkurang menjadi 11 orang. Kelas tetap berjalan sebagaimana mestinya, meski cuaca sedang tidak mendukung. Di kelas itu, kami diajar oleh dua orang teacher, satu mengajar speaking dasar dan satunya lagi mengajar pronunciation dan vocabulary. Sepanjang kursus, aku enjoy diajar oleh mereka. Jujur saja aku terkagum-kagum dengan Mr. X yang masih seusia denganku tapi speaking-nya hebat banget. Kelas kami selalu ramai dan penuh canda tawa karena dia memang tipe cowok humoris. Dan tentu saja karena dia ganteng, huahahahaha!
Kau tahu? Sebelum berangkat ke Pare, aku semacam membuat perjanjian dengan diriku sendiri. Aku tidak akan mengecewakan teacher-ku seperti kelas E-Fast One dulu. Dulu kelasku benar-benar durhaka pada Ms Tika, dan aku tidak ingin mengulanginya lagi. Tapi, semua itu berubah pada hari Kamis kemarin. De ja vu!
Untuk pertama kalinya aku tidak masuk kelas. Saat itu penyakitku kumat, jadi selepas kelas speaking dasar aku langsung pulang dan tidur. Ba’da maghrib, aku mau tak mau harus kembali ke kursusan karena ada ujian speaking. Saat itulah aku merasakan sesuatu yang berbeda. Di kantin, aku bertemu Mr. X dan dia seolah-olah tidak melihatku. Dia tahu aku ada di sana, tapi entah mengapa aku merasakan ada aura kemarahan. Bingung dengan perubahan sikapnya yang tak lazim (dia selalu ceria dan murah senyum), aku keluar dari kantin dan menemukan teman-teman bergosip di depan mushola (parah banget ngegosip di tempat ibadah, wehehe). Wajah mereka tampak tegang, dan karena penasaran aku lantas menghampiri mereka.

“Padahal kan kita nggak janjian!”
“Iya, kok bisa barengan gini, sih …?”
“Tadi cuma aku doang tahu yang masuk kelas…”
“Kamu kenapa nggak masuk?”
“Ketiduran.”
“Kamu?”
“Aku lagi gak enak badan. Tapi anak kelas lain ada yang masuk, kan?”
“Ada sih, tapi sama aja sedikit.”
“Duh, gimana dong? Mr. X pasti marah nih!”

Aku mendengarkan percakapan mereka dan membatin dalam hati. De ja vu. Aku langsung lemas dibuatnya. Bedanya, dulu di kelas Efast One lebih parah dari kelas ini. Seingatku, ini baru pertama kalinya kami membolos dengan jumlah sebanyak ini. Di Efast One dulu, nyaris setiap hari. Jadi bisa dibayangkan bagaimana perasaan Ms Tika?
Keesokan harinya, Jumat sore, kami berkumpul di tempat kursus karena ada ujian vocab. Aku berencana untuk meminta maaf pada Mr. X dan mengajak teman-teman untuk makan bersama di Waroeng Batok. Yah, semacam farewell party. Aku ingin kelas ini berakhir dengan menyenangkan tanpa ada ganjalan apa pun. Clear.


Tapi … rupa-rupanya sad ending. Dan aku sedih karenanya.

Mr. X yang ramah dan humoris itu mendadak tidak ada kabar. Ditelepon nggak diangkat. Di-WA pun nggak dibalas. Kami menunggu hingga maghrib. Akhirnya, teman kami yang laki-laki mendatangi kamarnya. Dia tidak membuka pintunya. Entah tidur, entah pura-pura tidur. Tapi yang jelas kami tahu, dia marah besar karena kami berombongan tidak masuk kelas. Dia kecewa, merasa tidak dihargai, dsb.

Apakah aku merasa bersalah? Jelas. Meski aku membolos hanya satu kali itu dan memiliki alasan mengapa tidak masuk, aku tetap tidak dapat menghilangkan perasaan berdosa itu. Aku merasakan de ja vu. Mendurhakai dua orang teacher yang dengan senang hati mentransfer ilmunya kepadaku.

Selepas isya’, aku kembali ke kursusan dan menemukan teman-temanku masih setia di sana. Kami sepakat untuk meminta maaf. Kami tidak ingin kelas yang diawali dengan baik-baik lalu berakhir seperti ini. Bahkan aku sempat melihat beberapa mata mulai merebak.
Kami menunggu di depan kantin dengan bingung. Akhirnya, kami memutuskan untuk mendatangi kamarnya bersama-sama. Sebenarnya aku agak rikuh, nggak nyaman. Bayangin aja, masuk camp cowok! Dan kau tahu apa yang dia lakukan?

“What?” ucapnya ketika membuka pintu.
“Mr, teman-teman ingin bertemu. Itu yang cewek-cewek pada nunggu di sana,” kata temanku sembari menunjuk ke arah kami, para cewe.
Dia menoleh sesaat, lalu kembali menutup pintu. Begitu saja. Melihat semua itu, mendadak darahku naik ke kepala. Sembari turun dari tangga, aku mengusap dadaku, berharap tidak ada sejenis tindakan kasar yang akan kulakukan. Sekuat mungkin aku menahan diri untuk tidak melemparkan tong sampah di depan kamarnya. Tolong, beri aku kesabaran. Dia adalah guruku. Orang yang harus kuhormati!
“Mbak, aku harus gimana …?” salah seorang teman memegang tanganku erat-erat. Hampir menangis.
“Udah, biarin aja.” Kataku singkat.
“Tapi, Mbak … aku besok harus pulang. Kalau tidak sekarang, kapan aku ujiannya? Gimana kalau orangtuaku nanyain hasil belajarku nanti?”
“Hah. He is not only childish, but also chicken, right? Hell banget kelakuannya!” kataku sembari mengambil kunci sepeda.
“Mbak mau ke mana?” kejar dia.
“Mo balik. Ngapain lama-lama di sini? Ngabisin waktu aja ngadepin dia. Bye!”
Sesampainya di camp, salah satu teman sekelas—dia lima tahun lebih tua di atasku—mendekat sambil cengengesan.
“Gimana, Ndi? Dia masih ngambek?” tanya Mbak B.
“Iya. Kayak anak kecil aja! Aku aja yang cewek nggak segitunya. Lah dia? Dia cowok, woy! Mukanya pas nongol dari pintu tadi lho, aaaarrrh … kurang ajar banget! Songoooong!”
“Hahahaha, aku bilang juga apa. Dari awal lihat dia ngambek aja udah keliatan nggak profesional. Marah, ya, marah, tapi nggak gitu juga caranya. Mo gimana pun dia wajib ngasih kita final exam, itu tugasnya dia kan? Dia digaji pake duit, bukan pake daon.”
“Terserah deh dia mo ngapain sekarang. Aku nggak peduli. Ngadepin dia berasa ngadepin bocah lima tahun.”

Aku masuk kamar dan langsung merebahkan diri di kasur. Masih jelas terbayang bagaimana wajah Mr. X ketika melakukan aksi ngambek tadi. Wajah yang cenderung melecehkan, dan juga … arogan. Tidak tahan menahan marah sendirian, aku keluar kamar dan menemui salah satu pengasuh camp. Aku mencurahkan semua kekesalanku padanya. Mendengar curhatanku, Miss A tertawa.
“Dia lagi PMS, kali. Tapi kupikir ini juga ada kaitannya dengan faktor U.”
“Faktor U?”
“Iya, faktor umur.”
“Hahaha, benar juga. Dia seumuranku sih. Tapi, Miss, ya nggak gitu juga kali kelakukannya. Dia cowok lho! Lagian, mana tanggung jawab dia sebagai tutor? Ngambek nggak jelas, kayak bocah. Dia sadar nggak sih apa dampak dari aksi ngambeknya?”
“Hm?”
“Pertama, kami nggak bisa ujian. Kedua, masalah akan semakin rumit karena besok sebagian besar harus pulang ke kampung halaman masing-masing. Kami ke sini buat belajar, dan karena yang bayarin adalah orang tua, kami wajib mempertanggung jawabkan hasil belajar selama di sini. Ketiga, teman-teman yang harusnya ujian grammar jadi terbengkalai gara-gara ngadepin dia. Keempat, saya yakin ke depannya bakal makin ruwet. Dia harus mempertanggungjawabkan hasil ngajarnya ke atasan, sementara anak-anak pada pulang. Harusnya dia sadar, kami ini ngambil program berapa lama. Iya kalo kami ngambil sebulan, sok atuh ngambek aja sampe puas. Tapi ini? Di saat-saat genting malah ngambek, cowok apaan dia!”
Miss A mendesah melihatku yang meledak-ledak. “Mungkin, dia belum pernah dikecewakan orang lain.”
“Maksudnya, Miss?”
“Yah, mungkin dia selama ini belum pernah dibikin kecewa sama murid-muridnya. Jadinya kayak gitu, ngambek. Beda lah kalau kamu bandingkan dengan Ms Tika. Dia kan sudah dewasa, sudah berkeluarga, punya banyak pengalaman dan pastinya lebih bisa nguasain emosi. Yah, Mr. X perlu banyak belajar. Dia masih dalam proses belajar.”
“Yes, I know. But I don’t like with his attitude! Aksi ngambeknya ngerugiin banyak orang.”
“Kalian tinggal ujian apaan sih?”
“Vocab ama pronunciation. Kan dia juga yang megang. Lah dia ngambek gini, berantakan jadinya.”
Jeda sepuluh menit, Miss A menyarankanku untuk menelepon tutor satunya. “Coba telepon Miss C. Jelaskan ke dia tentang masalah antara kalian dan Mr. X. Siapa tahu dia bisa menggantikan Mr. X buat ngasih ujian.”

***

End. Tulisanku terhenti sampai situ. Udah keburu males. Beberapa pekan lalu, teacher-ku main ke Jogja. Iseng aku nanyain gimana kabar Mr. X. Katanya, dia habis ngambek lagi. Yealaaaaah, ternyata kelakukannya masih sama, hahaha. Bocah tenaaaaan. Fix, aku nggak respek lagi sama dia!

This entry was posted on Selasa, 07 Oktober 2014. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply