Pada akhirnya, saya berada pada titik terendah. Rapuh. Ibarat bangunan, tubuh saya hanya tinggal puing-puing. Hancur. Berantakan. Dan dalam kondisi seperti ini, saya hanya butuh sandaran. Rumah. Pelukan ibu.
Persisnya, sejak KKN usai, saya berubah drastis. Entah ke mana perginya semangat yang begitu menggebu. Skripsi kutinggalkan, tapi toh hingga detik ini proyek itu tak kunjung kukerjakan. Novel ngadat. Revisi entah sampai mana. Part time ngajar kulepas begitu saja. Praktis, saya menjadi manusia selodan nggak guna.
Sejak tumbang di kamar kost bulan lalu, saya merasa ada yang salah dengan tubuh saya. Saya kira itu hanya efek PMS, tahunya berlanjut pada hari-hari selanjutnya. Nafsu makan menurun drastis. Pasca Idul Adha, saya bahkan nggak bisa menghabiskan seluruh makanan saya. Kalau dipaksa pastilah muntah. Sudah begitu, badan jadi mudah lelah. Nyeri di perut semakin menjadi. Pusing. Sore tadi saya memaksakan diri ke GMC. Dokter dengan entengnya bilang, "Stres, ya, Mbak? Mikirin apa toh?" -______-"
Belum sempat saya menjawab, beliau meneruskan, "Jangan makan pedas atau asam. Hindari kopi dan susu berlemak tinggi. Pola makan dan pola tidur diatur. Maag-mu kalau nggak segera diatasi bisa menjalar ke tifus atau usus buntu."
Mampus lah -____-
Di tengah keseloan itu, saya menghabiskan 6 buku dalam dua minggu saking selonya. Harusnya, sih, saya baca buku teori buat skripsi. Atau baca novel Kei yang kelak menjadi objek kajian skripsi saya. Tapi saya malah baca novel dan buku-buku traveler. Bisa dibilang, otak saya sedang tumpul untuk menulis hal-hal berbau ilmiah--bahkan novel sekalipun. Saya juga nggak tahu saya kenapa.
Dalam lingkup pertemanan pun, saya sering kali menjadi manusia bertopeng. Berpura-pura bahagia. Padahal sejatinya hati ini kering sekali. Saya merasa sangat jauh dengan apa pun yang ada di depan saya. Jauh dari orang-orang terdekat. Jauh dari Tuhan.
Tampaknya saya perlu menarik diri sejenak. Saya butuh kontemplasi. Enggak apa-apa, kan?
Persisnya, sejak KKN usai, saya berubah drastis. Entah ke mana perginya semangat yang begitu menggebu. Skripsi kutinggalkan, tapi toh hingga detik ini proyek itu tak kunjung kukerjakan. Novel ngadat. Revisi entah sampai mana. Part time ngajar kulepas begitu saja. Praktis, saya menjadi manusia selo
Belum sempat saya menjawab, beliau meneruskan, "Jangan makan pedas atau asam. Hindari kopi dan susu berlemak tinggi. Pola makan dan pola tidur diatur. Maag-mu kalau nggak segera diatasi bisa menjalar ke tifus atau usus buntu."
Mampus lah -____-
Di tengah keseloan itu, saya menghabiskan 6 buku dalam dua minggu saking selonya. Harusnya, sih, saya baca buku teori buat skripsi. Atau baca novel Kei yang kelak menjadi objek kajian skripsi saya. Tapi saya malah baca novel dan buku-buku traveler. Bisa dibilang, otak saya sedang tumpul untuk menulis hal-hal berbau ilmiah--bahkan novel sekalipun. Saya juga nggak tahu saya kenapa.
Dalam lingkup pertemanan pun, saya sering kali menjadi manusia bertopeng. Berpura-pura bahagia. Padahal sejatinya hati ini kering sekali. Saya merasa sangat jauh dengan apa pun yang ada di depan saya. Jauh dari orang-orang terdekat. Jauh dari Tuhan.
Tampaknya saya perlu menarik diri sejenak. Saya butuh kontemplasi. Enggak apa-apa, kan?