Semilir angin menerpa wajahku. Sejuk terasa. Daun–daun kering
berjatuhan, mengenai kerudung putihku. Kubiarkan saja. Aku tersenyum
kaku. Tidak tahu apakah senyum itu pertanda senang atau pun sedih. Yang
ku tahu, seperti ada sesuatu yang hilang dari peredaranku. Entah apa
itu. Abstrak. Tak bisa dijangkau oleh mata.
“Aneh,” batinku bertanya-tanya. Kenapa ini? Seperti ada sesuatu yang
mengganjal di hati. Berusaha untuk keluar, namun ku tahan sekuat
mungkin. Ah, ini tak mungkin!
Angin itu kembali
menerpa wajahku. Seakan ingin menjawab kegelisahanku. Tapi tak
kuhiraukan. Aku segera beranjak pergi dari tempat itu. Sebelum semuanya
terlambat dan aku akan menyesal seumur hidup!
“Jangan pergi….” sebuah suara memasuki gendang telingaku. “Tinggallah
lebih lama di sini,” ucapnya lagi. Aku menoleh, tapi tak ada siapa-siapa
disekitarku. Hanya ada desau angin dan pepohonan yang membisu.
“Kau siapa?” aku ketakutan.
“Aku adalah kau!” jawab suara misterius itu.
“Kau adalah aku?” aku bingung.
“Iya. Aku adalah kau! Duduklah, dan tumpahkan segalanya bersamaku.”
Meski masih bingung, aku menurut. Aku lalu duduk di sebuah bangku hijau tua, di bawah pohon perdu.
“Apa yang kau rasakan?”tanyanya.
“Tak ada,” jawabku.
“Jangan bohong! Kau tak bisa membohongi dirimu sendiri!”
Aku menelan ludah. Sialan. Kenapa dia bisa membaca seluruh isi pikiranku? Bah!
“Sudah kukatakan, aku ini adalah kau! Jujurlah pada dirimu sendiri, sebelum penyesalan itu mendatangimu lagi.” Katanya lagi.
Aku terdiam.
“Kau tak boleh larut dalam kubangan hitam itu. Aku tidak akan pernah
rela kalau kau berhubungan dengan sesuatu yang tak penting itu. Karena
jika kau sakit, maka aku juga akan sakit!” jeritnya.
Air mataku menetes perlahan-lahan. Menyadari akan kebodohanku sendiri.
Ini memang sebuah kesalahan. Ya, kesalahan yang tak boleh terulang
kembali tapi nyatanya aku mengulanginya tanpa sadar. Aku tergugu. Tak
sanggup berucap apa pun.
Tiba-tiba saja langit
begitu gelap. Dalam hitungan detik, hujan mengguyur bumi. Petir
menyambar-nyambar. Tapi aku tak beranjak dari tempatku. Kubiarkan diriku
basah oleh hujan. Siapa tahu, semua yang mengganjal-ganjal ini bisa
tersapu badai.
“HEI, LIHATLAH! DIA SANGAT MARAH PADAMU!!” teriaknya tepat di telingaku.
Aku menangis….
“Dia sudah memberimu banyak kesempatan, sayang. Jangan kau kecewakan
Dia dengan tingkah konyolmu ini. Tak sadarkah kau, berapa banyak rizki
yang kau rasakan selama ini? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang
engkau dustakan?” sekarang suaranya terdengar agak lembut.
“Pernahkah…pernahkah kau merasa ketakutan seperti takut yang kurasakan
ini? Pernahkah kau merasa kesakitan seperti sakit yang kurasakan ini?!”
teriakku.
“Tentu saja. Karena aku adalah kau!”
“Aku tak tahu harus bagaimana…”
“Bersabarlah. Karena waktu yang kau nanti-nantikan itu pasti akan tiba
jika sudah waktunya. Ini adalah cobaan, sayang. Lihatlah, Dia begitu
marah padamu. Dia kirimkan hujan dan petir agar kau tahu bahwa kau tak
boleh menyia-nyiakan waktumu!”
“Tapi, bagaimana dengan…?”
“CUKUP!! Tak usah kau pikirkan. Dia pasti merencanakan sesuatu yang
indah di balik kesedihanmu saat ini. Temuilah Dia. Ungkapkan semua
pada-Nya. Karena jika terus-terusan kau biarkan akan menjadi penyakit
kronis. Bersujudlah lebih lama. Dia memberimu apa yang kau butuhkan,
bukan apa yang kau inginkan.”
Aku tersenyum.
Pendar-pendar pelangi mulai tampak diwajahku. Perlahan aku bangkit dari
dudukku. Aku pasti akan jatuh sakit kalau membiarkan diriku kehujanan.
“Jalanmu masih panjang, sayang. Tersenyumlah, maka hidupmu akan lebih indah.” Ucapnya riang.
Ya. Jalanku memang masih panjang….
Langit cerah
Pelangi muncul perlahan-lahan dari balik awan
Burung-burung berkicau
Semuanya turut merasakan kebahagiaanku
*Hanya aku yang mengerti*
Jogja, Senin 9 Januari 2012
Pukul 21.00 WIB
Zakia Salsabila
Percakapan Hati
This entry was posted on Selasa, 03 April 2012 and is filed under ceracauanku,sehari-hari,spesial. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.