JAMUAN TERAKHIR


Sudah berapa lamakah cerita itu merangkai jejak?
Enam tahun? Atau…tujuh tahun?
Entah. Aku tak ingat lagi.
Yang ku ingat saat ini, kau akan pergi jauh..
Dan mungkin tak akan pernah kembali lagi..

            Aku menyesap teh hangat tanpa selera. Tatapan mataku nyaris kosong. Masih ada sisa-sisa ‘hujan’ yang tergurat di wajah. Senyum itu menghilang ditelan duka. Di luar sana, hujan masih deras mengguyur jalanan. Menyesakkan.
            “Hei! Melamun terus!” celotehmu sembari mengotak-atik netbook putihku.
            “Hmmm….” Aku menggumam.
            Kau menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Tepatnya, tersenyum getir.
            “Kau ini kenapa?” tanyamu lagi.
            Aku menggeleng. “Tidak apa-apa.”
            “Hahaha, aku tahu kau kenapa.”
            “Sok tahu.”
            “Tidak. Aku memang benar-benar tahu.”
            Aku menghembuskan napas. Percuma. Aku tahu kau pasti bisa membaca isi kepalaku.
            “Memangnya kau pikir aku ini kenapa?” dengusku. Agak kesal.
            Wajahmu mendadak berubah. Melukiskan gurat kesedihan yang sama sepertiku.
            “Maaf. Aku tak bisa mengatakannya..”
            “Hehe, ya sudahlah…” Aku tertawa kering.
            Kau masih saja mengutak-atik benda putih itu. Berusaha memasangkan sebuah aplikasi yang akan memudahkan koneksi internet. Wajahmu mengkerut-kerut. Mungkin bingung.
            “Hei, kau bisa tidak?”
            “Hhhh, di sini tak ada sinyal!” kau menggerutu.
            “Aku tak mau tahu. Pokoknya harus bisa!” ancamku.
            “Ah, kau ini. Selalu saja memaksa!”
            “Hahaha, biarkan saja. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kau kan tahu, besok aku mau ke Malang…”
            “Iya aku tahu. Akan ku usahakan..” kau geleng-geleng lagi.
            Beberapa saat kemudian, Ibu datang sambil membawa nampan berisi beberapa piring camilan.
            “Ayo, dimakan…” kata Ibu dengan senyumnya yang khas.
            Kami mengangguk. Ibu lalu beranjak ke dapur lagi. Melanjutkan aktivitas meracik makanan. Aku mencomot pisang goreng, lalu mengunyahnya pelan. Tatapan mataku kembali jatuh ke jalanan di depan rumah. Masih hujan.
            Hei, kau ingat tidak? Hujan ini mengingatkanku tentang sesuatu. Saat itu, kau datang saat hujan mengguyur bumi. Tubuhmu basah terguyur hujan. Aku dan Ibu hanya bisa menertawakanmu. Kau tampak konyol sekali, hahaha.
            Dan kini, kau juga akan pergi saat hujan. Ya, kau datang bersama hujan dan pergi bersama hujan pula. Benar-benar waktu yang pas.
            “Hei, berhentilah melamun!” kau mengagetkanku lagi.
            “Hujan.”
            “Ya?”
            “Tidak. Tidak apa-apa.” Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.
            “Ah, kau ini. Ckckckc….”
            “Eh, kenapa kau tak makan kue buatan Ibu? Enak tahu!”
            “O, iya..” Kau mencomot sebuah kue, lalu memakannya dengan santai.
            “Hmmm…enak…” komentarmu.
            “Tentu saja. Makanlah sepuasmu, karena besok-besok kau tak akan bisa menikmatinya lagi..”
            Kau tersedak. “Apa maksudmu?”
            “Ini adalah jamuan terakhirmu. Setelah ini, mungkin kau tak akan pernah menginjakkan kaki di sini lagi…”
            Kau tersenyum getir. “Ternyata, kau menyadarinya juga…”
            “Tentu saja.”
            “Hmmm…”
            “Ngomong-ngomong, apa yang sudah kau persiapkan sekarang?”
            “Oh, itu. Mmm, Ibu akan membelikan aku netbook. Yah, setidaknya itu akan kujadikan modal awalku..” Wajahmu tampak sumringah.
            “Oya? Waaaah, selamat ya!” Aku turut senang.
            “Hehehe, minta doanya ya. Karena setelah ini, tantangan di depanku akan lebih besar lagi.”
            “Iya, pasti ku doakan.” Aku tersenyum.
            Tiba-tiba saja, sekelebat bayangan itu datang. Mimpi yang pernah mengisi tidurku beberapa tahun yang lalu.
            Di sebuah gedung yang megah, kau duduk bersama orang-orang hebat. Semua stasiun televisi meliput beritamu. Milyaran pasang mata menatapmu, entah secara langsung atau hanya menontonmu dari TV. Yang pasti, pada hari itu semua orang terhipnotis oleh bukumu. Ya, buku yang menggemparkan umat manusia. Buku yang menjernihkan pikiran, begitu katamu.
            Saat itu, aku tengah sibuk mewawancarai kau dan orang-orang hebat itu. Aku lah yang memimpin acara talkshow terhebat sepanjang sejarah itu. Hari itu adalah 10 tahun dari sekarang. Ya, kita dipertemukan lagi setelah 10 tahun berjuang mati-matian menggapai impian masing-masing. Ah, mengingat semua itu membuatku ingin menitikkan air mata saja.
            “Hei, kenapa kau tersenyum-senyum sendiri?” Kau keheranan melihat tingkahku.
            “Aku hanya membayangkan seperti apakah kita 10 tahun lagi.” Aku tersenyum.
            “Hmmm, aku yakin, kau akan menjadi orang besar nanti!”
            “Kau juga.”
            “Amin…”
            Hening. Hujan mulai reda. Itu artinya, kau akan segera menghilang dari kehidupanku.
            “Sudah selesai. Ini…” Kau menyodorkan netbook putihku.
            “Gomawo…”
            Kami terdiam lagi. Detik-detik itu terasa semakin mencekik. Mulutku tercekat. Tak mampu berkata-kata.
            “Hujan sudah reda. Aku…pulang dulu…ya…” katamu.
            Aku menghela napas, lalu mengangguk lemah. Tuhan, inikah saatnya?
            “Tetaplah semangat. Aku tahu, kau sangat kuat!” Katamu lagi. Aku hanya tersenyum.
            Perlahan tapi pasti, kau melangkahkan kaki keluar rumah.
            “Tunggu!” Panggilku.
            “Hm?” Kau menoleh sambil membenarkan letak kaca matamu.
            “Selamat berjuang. Ganbatte kudasai! Sa…sa…sayonara…” kataku parau.
            Kau mengacungkan jempol sambil tersenyum. Detik selanjutnya, jejak-jejakmu mulai menghilang ditelan gelapnya malam….




Dalam Kereta, Stasiun Madiun
Sabtu, 21 April 2012
Pukul 10.30 WIB



This entry was posted on Selasa, 24 April 2012 and is filed under ,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply