Archive for April 2012
Me Vs Einstein (Part 3)
Baca selengkapnya » | No Comments »
Me Vs Einstein (Part 2)
Baca selengkapnya » | No Comments »
Perjalanan Pulang
Baca selengkapnya » | No Comments »
Hei, Gue Ini Masih Mahasiswa!
Baca selengkapnya » | No Comments »
JAMUAN TERAKHIR
Baca selengkapnya » | No Comments »
KESRO, Sebuah Nama Penuh Cerita
Baca selengkapnya » | No Comments »
Pertama kali denger kata Kesro, pasti pikiran kalian langsung negatif
deh. Yup, Kesro emang identik dengan hal – hal yang menyimpang dari
aturan. Bahasa kerennya, ngesroh alias doyan cari perkara, wakakakaka…..:D
Dan kali ini, aku pengen bercerita tentang
komunitasku, XII IPS 2. Komunitas ini kita beri nama Kesro, kependekan
dari Kreasi I Pe Es Loro. Keren banget kan? Nama ini rasanya sesuai
banget dengan background anak – anak XII IPS 2 yang emang doyan
ngesroh. Segala macam karakter rusak bisa ditemukan di sini. Ada yang
doyan bolos, bikin kekacauan di kelas, tukang tidur, jadi langganan BP,
ngimpar, bikin guru nangis, berantem, wah… pokoknya lengkap banget deh!
Semua “ The Master Of Preman ” pada ngumpul di sini. Kesro adalah “
Areal Berbahaya.”
Kesro ini terlahir akibat adanya perilaku diskriminasi – entah diakui ato gak - dari pihak sekolah yang nota bene menjadi salah satu sekolah bergengsi di kota Jember ini. Kenyataannya, semua anak yang dianggap nakal dan berkasus ditumplekin di kelas ini. Maka gak heran, kelas kita dipandang sebelah mata oleh semua orang. Kita di cap anak yang ugal – ugalan & seakan – akan gak layak untuk menjadi siswa di sekolah kita. Menurunkan reputasi sekolah aja, mungkin gitu pikiran mereka.
Secara gak langsung kita pun memberontak. Preman kok dilawan, itu cari masalah namanya.
Rindu Adinda…
Baca selengkapnya » | No Comments »
Handphone itu berdering ketika kaki ini baru saja membuka pintu kamar. Siapa yang telepon malam-malam begini? Ku taruh barang belanjaanku di meja, lalu mengambil handphone.
Babeh Gue calling….
“Assalamualaikum…” sapaku.
“Waalaikumsalam. Lagi ngopo kowe nduk?” suara Bapak di seberang sana.
“Ini abis belanja di minimarket. Ada apa, Pak?”
“Ada yang pengen ngobrol sama kamu…”
“He? Siapa?”
“Dinda. Katanya, dia kangen sama Mbaknya…”
Dug!! Hatiku seperti terguyur hujan salju begitu nama itu disebutkan. Dinda, adik kecilku itu ingin ngobrol lewat telpon denganku? Wow, ini pertama kalinya seumur hidup. Heboh! Dan tentu saja, saya terharu setengah mati. Bukannya apa, adikku ini memang rada-rada unik. Kalo lagi ditinggal orang rumah, entah itu Bapak, Ibu, atau aku, dia pasti bakal nanyain terus. Tapi begitu disodorin hape biar bisa ngobrol, dia ga pernah mau ngomong alias mati gaya. Hehehehe…
Aku Dan Puisi
Baca selengkapnya » | No Comments »
Jengah
Sebongkah kisah lama itu
Selalu datang dan pergi
Timbul dan tenggelam sesuka hati
Menawarkan luka menggores dada
Meninggalkan jejak sakitnya jiwa
Ingin ku hapus semua memori
Agar tak ada lagi perih menghujam diri
Tak ingin kurasakan duka nestapa itu lagi
Rentetan dusta menyayat hati
Ribuan janji yang tak tertepati
Pergilah sejauh mungkin
Terbang bersama hembusan angin
Jangan pernah kembali
Tinggalkan aku sendiri
Jogja, 22 Desember 2011
Pukul 12.45 WIB
Oh, I'm Sad!! Hiks...
Kisah Dua Orang Anak Manusia
Baca selengkapnya » | No Comments »
Inilah kisah paling mengenaskan sepanjang abad!! T-T
Kisah tentang dua orang anak manusia yang gak lain dan gak bukan adalah
gue dan Anggun. Kenapa gue bilang mengenaskan? Ya makanya, lo tuntasin
dulu baca ini biar tahu, hahaha.
Sekitar jam 9 pagi, gue ma Anggun
dengan penuh semangat meluncur ke Malioboro pake bus Transjogja. Kami
mo nyari oleh-oleh buat keluarga. Beberapa hari lagi kami mo pulang
kampung, euy! :D
Begitu nyampe jalanan Malioboro, dengan gaya sok
kaya kami menyusuri jalan. Cuci mata, ngeliat pernak-pernik bagus yang
cuma bisa bikin kami nelen ludah (inget kantong woy!). Ujung-ujungnya
kami masuk ke pasar Beringharjo. Semua toko kami satroni, mulai dari
lantai bawah sampai lantai atas. Pokoknya yang ada di otak kami, gimana
caranya biar bisa dapet barang bagus tapi murah (dasar!), mengingat
keluarga di rumah gak cuma satu dan pastinya kami bakalan bangkrut kalo
gak pinter-pinter ngatur duit.
Ada Apa Dengan Saya? --"
Baca selengkapnya » | 2 Comments »
Hari ini aku mamonk banget! TT
Hei, ada apa denganku?
Sejak tadi pagi aku emang udah ngerasa ada yang ga beres sama nih otak. Berangkat ke kampus dengan mata merah akibat insomnia kambuh. Alhasil, UTS bahasa belanda tadi ga maksimal. Bawaannya pengen ambruk. Hmmph, penyakit ini emang harus ku basmi secepatnya, biar gak ganggu aktivitas kuliahku..hhuhuu..
Pulang kuliah, aku nyaris kayak orang kesambet. Pergi ke kantor pos dengan muka datar. Sebelum masuk ke dalem, aku beli amplop dulu. Sudah beberapa hari ini aku diteror terus sama Mas Yus. Gara-gara denger dari Mbak Pipin kalo aku doyan nggrasak'i buku di Jogja, dia pun ikut-ikutan titip.
Tak berjudul
Sebal!
Ah, sesuatu itu masih saja menggelayuti diri
Menimbulkan kekesalan
Tak beralasan
Kau tak peka
Kau tak tahu
Kau tak mengerti
Kau tak memahami
Yang kumau hanya ada aku, dia dan dia
Tak boleh bergeser sedikitpun
Yang kumau hanya ada aku, dia dan dia
Tak ada yang lain
Aku tak suka
Aku tak rela
Tak bisa menerima
Entah mengapa
Percakapan Hati
Semilir angin menerpa wajahku. Sejuk terasa. Daun–daun kering
berjatuhan, mengenai kerudung putihku. Kubiarkan saja. Aku tersenyum
kaku. Tidak tahu apakah senyum itu pertanda senang atau pun sedih. Yang
ku tahu, seperti ada sesuatu yang hilang dari peredaranku. Entah apa
itu. Abstrak. Tak bisa dijangkau oleh mata.
“Aneh,” batinku bertanya-tanya. Kenapa ini? Seperti ada sesuatu yang
mengganjal di hati. Berusaha untuk keluar, namun ku tahan sekuat
mungkin. Ah, ini tak mungkin!
Angin itu kembali
menerpa wajahku. Seakan ingin menjawab kegelisahanku. Tapi tak
kuhiraukan. Aku segera beranjak pergi dari tempat itu. Sebelum semuanya
terlambat dan aku akan menyesal seumur hidup!
“Jangan pergi….” sebuah suara memasuki gendang telingaku. “Tinggallah
lebih lama di sini,” ucapnya lagi. Aku menoleh, tapi tak ada siapa-siapa
disekitarku. Hanya ada desau angin dan pepohonan yang membisu.
“Kau siapa?” aku ketakutan.
“Aku adalah kau!” jawab suara misterius itu.
“Kau adalah aku?” aku bingung.
“Iya. Aku adalah kau! Duduklah, dan tumpahkan segalanya bersamaku.”
Meski masih bingung, aku menurut. Aku lalu duduk di sebuah bangku hijau tua, di bawah pohon perdu.
“Apa yang kau rasakan?”tanyanya.
“Tak ada,” jawabku.
“Jangan bohong! Kau tak bisa membohongi dirimu sendiri!”
Aku menelan ludah. Sialan. Kenapa dia bisa membaca seluruh isi pikiranku? Bah!
“Sudah kukatakan, aku ini adalah kau! Jujurlah pada dirimu sendiri, sebelum penyesalan itu mendatangimu lagi.” Katanya lagi.
Aku terdiam.
“Kau tak boleh larut dalam kubangan hitam itu. Aku tidak akan pernah
rela kalau kau berhubungan dengan sesuatu yang tak penting itu. Karena
jika kau sakit, maka aku juga akan sakit!” jeritnya.
Air mataku menetes perlahan-lahan. Menyadari akan kebodohanku sendiri.
Ini memang sebuah kesalahan. Ya, kesalahan yang tak boleh terulang
kembali tapi nyatanya aku mengulanginya tanpa sadar. Aku tergugu. Tak
sanggup berucap apa pun.
Tiba-tiba saja langit
begitu gelap. Dalam hitungan detik, hujan mengguyur bumi. Petir
menyambar-nyambar. Tapi aku tak beranjak dari tempatku. Kubiarkan diriku
basah oleh hujan. Siapa tahu, semua yang mengganjal-ganjal ini bisa
tersapu badai.
“HEI, LIHATLAH! DIA SANGAT MARAH PADAMU!!” teriaknya tepat di telingaku.
Aku menangis….
“Dia sudah memberimu banyak kesempatan, sayang. Jangan kau kecewakan
Dia dengan tingkah konyolmu ini. Tak sadarkah kau, berapa banyak rizki
yang kau rasakan selama ini? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang
engkau dustakan?” sekarang suaranya terdengar agak lembut.
“Pernahkah…pernahkah kau merasa ketakutan seperti takut yang kurasakan
ini? Pernahkah kau merasa kesakitan seperti sakit yang kurasakan ini?!”
teriakku.
“Tentu saja. Karena aku adalah kau!”
“Aku tak tahu harus bagaimana…”
“Bersabarlah. Karena waktu yang kau nanti-nantikan itu pasti akan tiba
jika sudah waktunya. Ini adalah cobaan, sayang. Lihatlah, Dia begitu
marah padamu. Dia kirimkan hujan dan petir agar kau tahu bahwa kau tak
boleh menyia-nyiakan waktumu!”
“Tapi, bagaimana dengan…?”
“CUKUP!! Tak usah kau pikirkan. Dia pasti merencanakan sesuatu yang
indah di balik kesedihanmu saat ini. Temuilah Dia. Ungkapkan semua
pada-Nya. Karena jika terus-terusan kau biarkan akan menjadi penyakit
kronis. Bersujudlah lebih lama. Dia memberimu apa yang kau butuhkan,
bukan apa yang kau inginkan.”
Aku tersenyum.
Pendar-pendar pelangi mulai tampak diwajahku. Perlahan aku bangkit dari
dudukku. Aku pasti akan jatuh sakit kalau membiarkan diriku kehujanan.
“Jalanmu masih panjang, sayang. Tersenyumlah, maka hidupmu akan lebih indah.” Ucapnya riang.
Ya. Jalanku memang masih panjang….
Langit cerah
Pelangi muncul perlahan-lahan dari balik awan
Burung-burung berkicau
Semuanya turut merasakan kebahagiaanku
*Hanya aku yang mengerti*
Jogja, Senin 9 Januari 2012
Pukul 21.00 WIB
Zakia Salsabila
Mozaik
Jejak-jejak itu kembali datang
Berdesak-desakan memenuhi labirin otak
Dan aku hanya bisa menatap kosong
Tak berekspresi
Dua tahun silam
Dua warna datang bersinggungan
Membuatku terusik penasaran
Oh, ternyata warna itu tak asing lagi
Aku pun mulai terbiasa dengan kehadirannya
Hei, seandainya sandiwara itu tak pernah kau lakukan
Mungkin ceritanya menjadi lain
Ah! Tapi sudah terlanjur terjadi
Tak patut disesali
Satu per satu warna itu perlahan menghilang
Meninggalkan jejak yang berlainan
Dan aku kembali terbiasa sendiri
Berpura-pura tak pernah mengenali
Jogja, 2 April 2012
Pukul 09.55 WIB
Mereka Bilang, Aku Tak Punya Hati…
Di suatu siang yang panas…
Agak terkantuk-kantuk aku mendengarkan Pak Puji, dosen matkul teori prosa ngomong. Haiiih, selalu begitu. Aku sering ga bisa bertahan di pertengahan proses belajar mengajar. Pasti setengah sadar. Dan kalo udah kayak gitu, biasanya aku selalu ngasih wangsit ke siapa aja yang duduk di sebelahku, “Ntar kalo aku kumat, tolong jorokin kepalaku! Ato cubit keras-keras tanganku. Ga usah sungkan-sungkan.” Dan temenku pasti dengan senang hati melaksanakan tugas. Hiks, agak sedih juga dengan penyakit yang ini. Akhir-akhir ini aku emang sering terjaga pas tengah malem. Susah tidur. Udah dipaksain tetep aja ga bisa.
“Shalat malam, Nak. Biar setannya pada keluar,” begitulah saran Bapak.
Yah. Aku emang sering insomnia, sejak SMA dulu malah. Dulu, aku doyan begadang. Tapi sekarang, udah mahasiswa gini, berabe banget kalo kebiasaan itu dipiara. Bisa-bisa kuliahku ancur gara-gara itu. Hmm, sekarang aku berusaha keras untuk ngilangin my insomnia…
Di tengah-tengah kesadaranku yang tinggal beberapa persen itu, Pak Puji menjelaskan tentang pentingnya pengalaman sosial dalam membuat sebuah cerita.
“Apakah Anda pernah merasa terharu ketika melihat suatu kejadian atau membaca cerita menyedihkan?” Tanya Pak Puji.
“Pernah…” jawab anak-anak serempak.
“Ya, tentu saja. Ketika kita menulis, pengalaman batin diperlukan agar tulisan kita terasa bernyawa. Biasanya, orang yang cenderung tidak sedih atau terharu ketika melihat suatu fenomena menyedihkan, dia itu kurang berperasaan. Pengalaman sosialnya kurang…” lanjut Pak Puji.
“Haaa, Indiana!!” Fitri berteriak kecil sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
Aku yang ngantuk berat langsung tersadar begitu mendengar kasak-kusuk para manusia itu. Fitri, Iza, Puri, Dilla, dan sederet manusia lain memandangku dengan pandagan, “Ndi, kamu sungguh manusia yang tidak berperasaan!!”
“Hehehe…” aku cuma meringis.
Yah, entah sudah yang ke berapa kali aku dibilang gak berperasaan. Alasannya sepele, ketika semua orang menangis melihat sesuatu yang menyedihkan, aku justru biasa aja. Misalnya aja nih, soal Film.
“Ndi…filmnya bikin aku nangis tau, nggak! Huhuhuhu…seddddiiiih…” Fitri curhat pas kami lagi nunggu dosen di kelas.
“Film apa?” aku rada-rada lupa.
“Itu lho, yang kamu kasih ke aku kemaren. Sumpah, mengharukaaaaaan! Aku sampe nangiiiis…”
“Ah, biasa aja deh kayaknya. Apanya yang bikin terharu?” aku cengok.
“Ah, indi…itu kan menyedihkan…”
“Bagian yang mana sih yang bikin kamu nangis?”
“Endingnya itu lho…ah, parah amat kamu ga nangis!”
Di hari yang lain…
“Huhuhu, filmnya mengharukan! Aku sama mbak-mbak kost pada nangis…” Iza melapor.
“Film apa sih?” Tanya Fitri.
“Itu lho, kisah tentang seorang kakak idiot yang berjuang ngidupin keluarganya. Aku nangis pas dia mati…”
“Oh, film itu…” aku manggut-manggut.
“Sedih ya?”
“Ah, aku ga sampe nangis kok…”
“ITU KAN MENYEDIHKAN!!”
“Iya, tapi aku tetep ga bisa nangis…” aku garuk-garuk kepala.
Pas lagi ngobrol di Bangjo…
“Fit, aku udah nonton. Ah, film kayak gitu apanya yang menyedihkan?”
“Yak ampyuuuun! Itu kan tragis pas si tokoh mati kena kanker!!”
“Tapi, aku gak nangis nggarong-nggarong kayak kamu kok…”
“Hhhhhh!!!”
Di lain kesempatan…
Orang-orang pada ngobrolin novel Surat Kecil Untuk Tuhan. Fitri, seperti biasa, bilang kalo dia nangis. Ga tau kenapa, rasa-rasanya semua kisah pasti bikin dia nangis…ckckckc…
“Huhuhu, kasiaaaaan banget pas si cewek kena penyakit itu. Aku baca sambil ngebayangin gimana ya kalo aku jadi dia, pasti ga kuat…” kata Fitri.
“Aku juga udah baca…”
“Bikin nangis yaaah…”
“Emang menyedihkan, tapi aku enggak sampe nangis…”
“Ha? Kamu bacanya gak pake perasaan ya?”
“Ya pake lah. Waktu itu, aku baca di Bis…”
“Ah, indi…” Fitri geleng-geleng.
Aku hanya meringis.
“Novel Tere Liye yang judulnya Bidadari-Bidadari Surga bikin aku nangis kejer,” kata Iza.
“Aku juga udah baca…”
“Pasti nggak nangis!!”
“Menyedihkan banget ceritanya, tapi aku emang ga nangis sih…”
“Dasar gak berperasaan!”
“TERBUAT DARI APA SIH HATIMU….???!!!”
Gak hanya Fitri ato Iza yang bilang gitu, tapi si Anggun juga. Pas malem-malem, dia muter film. Aku lupa judulnya apa, pokoknya film itu ceritanya tentang seorang Ibu yang meninggal karena suatu penyakit. Awalnya, aku nonton. 30 menit kemudian, Anggun bercucuran air mata dan aku tertidur pulas.
“Indiiiiii, bangun!! Lihat, ini bagian menyedihkan….” Anggun memaksaku bangun.
“Hoaammm…” aku mengucek-ucek mata sambil menatap netbook.
“Ah, kamu tuh ya! Pasti kalo lagi diajakin nonton ujung-ujungnya tiduuuurrrr!!” Anggun mencak-mencak.
Itu adalah beberapa contoh sikap kawan-kawanku yang kesel setengah mati gara-gara responku yang berkebalikan dengan mereka.
Indi jahat!
Ga punya hati!
Ga berperasaan!
Indi bukan manusia!
Hatinya kayak batu!!
Dia pasti punya pengalaman sosial yang kurang, kayak kata Pak Puji!
HHooooohh… -___-
Memangnya kenapa kalo aku ga nangis? Ada yang salah?
Apakah aku emang manusia yang ga berperasaan?
Hmm. Baik, mari saya jelaskan.
Begini kawan-kawan, aku emang bukan orang yang gampang nangis setiap kali ngeliat sesuatu yang tampak menyedihkan. Iya, aku jarang menangis. Tapi aku rasa, sedih itu tidak selalu harus diwujudkan dengan cara mengeluarkan air mata + ingus sebanyak-banyaknya.
Apakah kata-kataku masih terdengar kejam?Hehehe.
Kalo kalian bertanya apakah aku punya hati atau tidak, tentu saja kujawab punya. Gini-gini aku kan juga manusia kayak kalian. Tapi aku tidak memperlihatkan kesedihan itu dengan menangis.
“Kenapa ga nangis?”
Aku juga gak tahu. Tapi, memang beginilah aku. Tidak mudah terkesan oleh sesuatu. Lagi pula, menurutku setiap orang pasti punya sikap yang berbeda dalam memandang suatu hal. Misalnya, film yang kujadikan contoh tadi. Orang-orang pada nangis sedangkan aku tidak. Apa yang bikin mereka nangis belum tentu bisa bikin aku nangis juga. Kalo pada dasarnya seseorang punya sifat melankolis, pasti deh bakalan gampang banget ngeluarin air mata. Yah, semua orang emang punya sifat berbeda-beda. Begitu pula denganku.
Saat awal-awal kuliah, banyak yang bilang kalo maba itu rentan home sick. Suka nangis gara-gara keinget keluarga di rumah. Anggun, sahabatku, juga seperti itu pas awal-awal di Jogja. Seringkali aku menemukan matanya bengkak.
“Kok kamu gak nangis sih, Ndi? Gak kangen ya sama ortu?” Anggun terheran-heran. Gak hanya dia, hampir semua temenku berkata begitu.
Kangen? Itu jelas. Tapi seperti yang kubilang tadi, sedih tidak harus menangis. Waktu awal-awal di Jogja, emang sih aku suka keinget rumah. Kangen dengan suasana Jember. Tapi, aku gak nangis, hehehe. Sejak kecil aku sudah terbiasa jauh dari rumah. Waktu SMP, aku sekolah di tempat yang agak jauh dan tinggal bersama Bude. Sejak itu lah aku belajar untuk mandiri. Berkelana ke segala tempat bukan masalah bagiku, karena memang aku dasarnya suka berpetualangan. Sama halnya ketika aku di Jogja. Jauh dari rumah tidak pernah kujadikan beban, tapi tantangan.
Sikapku yang seperti ini seringkali menimbulkan kesan pada teman-temanku bahwa aku adalah orang yang kuat.
Indi itu mandiri.
Dia itu setegar karang, bisa bertahan dengan segala ujian.
Dia adalah manusia batu, ga pernah sedih.
Selalu ceria.
Kuat menghadapi apapun.
Ah kawan, aku juga manusia. Tidak selamanya aku seperti yang kalian pikirkan. Pada saat-saat tertentu aku bahkan bisa jadi manusia yang lebih melankolis dari kalian.
“Ya abisnya, kamu ga gampang mewek sih pas liat film sedih ato baca buku. Emang kapan sih kamu bisa sedih?” kata seseorang, mungkin jengkel karena aku selalu bermuka datar, hehehe.
Biasanya, aku baru bisa mengeluarkan air mata kalo bener-bener lagi down karena hal-hal tertentu. Dan saat-saat seperti itu, aku bisa saja menjadi sosok yang lain. Mendadak cengeng, huhuhu. Bahkan aku bisa saja mewek walaupun yang aku tonton itu acara sepak bola. Rasanya sedih aja. Tapi aku juga ga suka berlarut-larut. Menyiksa diri sendiri itu ga baik kan? :)
Satu-satunya film yang bisa bikin aku sedih en nangis kejer adalah film BLACK. Heuh, sumpah aku menghayati banget pas nonton. Film itu menceritakan tentang seorang gadis yang tidak bisa mendengar, melihat, juga berbicara. Film itu emang diangkat berdasarkan kisahnya Hellen Keller, penulis terkenal itu lho. Hmmm, bener-bener bengkak mataku seabis nonton itu.
“Waaaah, ternyata kamu bisa terharu juga tho, Ndi?”
Huuuu, enak saja. Ya bisa lah… -___- gini-gini aku juga punya hati dan perasaan kawan-kawan. Setiap orang pasti memiliki pandangan yang berbeda dalam menyikapi sesuatu bernama “kesedihan”. Dan, menangis bukanlah satu-satunya cara untuk meluapkan rasa sedih. Tul?
Jogja, 1 April 2012
Pukul 14.21 WIB