Perjalanan

Minggu, 5 Februari 2012

Ku tatap jalanan dari kaca dengan pandangan kosong. Perlahan tapi pasti, bus mulai melaju. Meninggalkan Kota Jember perlahan-lahan. Aku menghela nafas berat. Ada sebongkah batu bercokol di dadaku, dan karenanya aku menjadi sesak. Aku menunduk dalam-dalam, membiarkan mutiara bening itu jatuh satu per satu, membasahi kerudung merah mudaku. Kupeluk tas ranselku erat-erat.
“Raisa...” Kak Okta menepuk bahuku sembari duduk di sebelahku. Buru-buru kualihkan pandangan ke kaca bus sembari mengusap air mata.
“Kau kenapa?” tanyanya.
Aku menggeleng sembari tersenyum.”Nggak papa, Kak…”
Drrrt….Drrrrt….Drrrrt...
Hapeku bergetar. Ada sms masuk. Hm, ternyata Dama yang sms.

Maaf, aku tak bisa menjemputmu segera. Badanku tiba-tiba panas T.T

Aku menelan ludah. Yah, apa mau dikata. Takdir Allah berbicara lain.
“Kak, aku boleh ke kosmu untuk sementara? Temanku sakit…” kataku.
Kak Okta mengangguk. Aku tersenyum lega.
                                                                       ***

“Nah, ini UMM dek…” Kak Okta menunjukkan bangunan megah yang ada didepanku.
“Bagus banget, Kak,” komentarku.
Kupandangi deretan gedung di hadapanku. Berdiri tegak seakan menantang langit. Begitu kokoh. Kak Okta dengan riangnya menjelaskan setiap sudut UMM kepadaku. Sejenak aku mencoba untuk melupakan semuanya. Ku potret beberapa bagian UMM yang kusukai. Kuhirup udara dalam-dalam hingga merasuk ke seluruh tubuh. Sejuk. Kutatap danau UMM yang begitu elok. Beberapa ikan mas tampak meliuk-liuk riang. Aku tersenyum getir…

Senin, 6 Februari 2012

“Aku mo keluar…kamu nggak ikut?” Tanya Kak Okta.
Lagi-lagi aku menggeleng.” Kepalaku agak pusing. Aku di sini saja.”
“Okay…” Dia pun pergi.
Aku melangkah ke balkon. Kupandangi bulan di langit sana. Begitu cerah dan tentu saja….indah. Kutatap lamat-lamat bulan itu. Kuajak ia bercakap-cakap sembari merasakan dinginnya malam.
Duhai bulan yang indah, tahukah engkau bagaimana rasanya mati? Ya, mati. Nyawa tercerabut dari tubuh. Pasti sakit rasanya. Hmmm, tiba-tiba aku merasa takut…
Kupandangi sebuah nomor di hapeku. Nomor Ustadz Rahman, seorang ahli pengobatan tibun nabawi.
“Ah, besok saja lah…” kataku akhirnya. Kumasukkan hape itu ke saku. Dari balkon, kupandangi Kota Malang yang terhampar luas. Kerlap-kerlip lampu menambah keindahan malam ini. Lalu, aku pun mulai mengurai semuanya....

Selasa, 7 Februari 2012

 “Jadi….?” Dama menutup mulutnya, menahan tawa yang hampir meledak.
 “Hehehe, tapi sekarang udah enggak kok….” Kataku sembari menyeruput es teh.
 “He?” Dama mengerutkan kening. Bingung.
 “Begitulah. Setelah kupikir-pikir, ini bukan seperti yang kurasakan dua tahun lalu.” Jelasku.
 “Ya, tentu saja. Karena kau yang sekarang memang berbeda dengan kau yang dulu. Pemikiranmu yang berbeda itu lah yang kini bisa menyelamatkanmu.”
 Aku hanya tersenyum.
 “Sebenarnya aku sudah menduga-duga. Hmmm, jangan diulangi lagi ya!” katanya lagi.
 “Iya…aku khilaf. Benar-benar khilaf….seharusnya aku mendengarkan perkataan Ustadzah Arini dulu, tapi malah kuabaikan dan menuruti keegoisanku.” Aku menundukkan kepala. Menyesal.
“Raisa, aku tahu kau kuat. Kau pasti bisa menghadapinya. Sudah, jangan menoleh ke belakang lagi. Perjuanganmu masih panjang. Ingat itu.”
Aku mengangguk. Tersenyum.
“Sudah merasa baikan?” Tanya Dama.
“Yah…setidaknya aku lega sekarang. Semuanya sudah terpecahkan. Mungkin Allah mencoba memberi peringatan padaku atas cobaan ini. Yah, aku bisa kembali ke Jember tanpa ganjalan apapun. Aku merasa bebas sekarang…”
“Alhamdulillah…. Aku senang mendengarnya…” Dama tersenyum.
“Ya sudah, mari kita pulang!”
Kami lalu beranjak dari tempat duduk. Malam ini dingin sekali. Kami mengitari Malang sembari bercanda ria. Dadaku terasa semakin ringan. Beban berat itu menghilang perlahan-lahan…

Ya Rabbi, ampuni aku..
Aku khilaf..
Sungguh-sungguh khilaf…

Ya Rabbi, beri aku kekuatan agar setegar karang…
Penuhi diriku dengan rasa syukur agar tak merasa selalu kurang..
Jauhkan aku dari segala sesuatu yang Engkau benci…

Ya Rabbi…
Ku ingin selembut Aisyah..
Sekuat Khadijah…
Setegar Maryam…

Ya Rabbi..
Ku tutup lembar hitam pekat ini…
Izinkan aku tuk memperbaiki semuanya…

Ku tatap langit malam ini. Bulan bersinar terang. Indah…sangat indah. Kumantapkan hatiku sekali lagi. Ku lirik hatiku dengan yakin.
“Hei, are you ok?” tanyaku.
“Yup…lubang itu telah tertutup, kawan.” Jawabnya sambil tersenyum.
Aku pun tersenyum. Hmmm, bayang-bayang Jepang tiba-tiba menghantuiku lagi. I will go there… I will go there…


Malang, 8 Februari 2012
Pukul 22.15 WIB

This entry was posted on Minggu, 28 April 2013. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply