Apa yang ada dalam pikiran kalian
jika mendengar sebuah tempat bernama Watu Ulo? Iya, itu adalah nama sebuah
pantai yang terletak di Jember bagian selatan. Bagi kalian yang sudah pernah ke
sana, mungkin kalian akan berkata bahwa pantai Watu Ulo adalah tempat wisata
yang indah dengan pasirnya yang hitam, ombaknya yang besar hingga sanggup
membawamu ke dasar laut, cerita asal-usul Watu Ulo yang penuh mistis, ataupun
tradisi ritual yang sudah turun-temurun diwariskan oleh Nenek Moyang. Itu semua
memang benar, kawan. Tapi, bagiku Watu Ulo lebih dari itu...
Senja. Itu lah alasan mengapa Watu
Ulo tampak begitu istimewa di mataku. Setiap sore, aku selalu melangkahkan
kakiku ke tempat yang hanya berjarak 1 km dari rumahku ini. Duduk beralaskan pasir
sembari menatap laut lepas, menikmati senja yang begitu mempesona. Menatap
langit yang kemerah-merahan, juga matahari yang tampak lelah dan ingin
tenggelam sejenak, meredupkan cahayanya yang seharian ini sibuk menyinari bumi.
Ketika senja itu tiba, maka Watu Ulo
akan tampak sepi dengan sendirinya. Para wisatawan pulang ke rumah
masing-masing, juga anak-anak kecil yang biasa berjualan minuman dan makanan
ringan. Hanya tampak beberapa manusia yang masih tetap tinggal, mungkin petugas
keamanan pantai, atau anak-anak muda labil yang asyik berpacaran hingga lupa
waktu. Di antara orang-orang yang tetap tinggal itu, aku adalah salah satunya.
Bagiku, senja adalah waktu yang
sangat menyenangkan untuk menumpahkan segala sesuatu yang aku rasakan seharian
ini. Iya, senja adalah kawan terbaik yang aku miliki selama ini. Karena dia
sama sekali tidak pernah mengeluh dan bosan. Dia begitu pengertian, bukan?
Kepada senja aku bercerita. Ketika
seseorang begitu tega membuat hatiku ngilu, maka senja akan dengan senang hati
menghapus air mataku. Dia lah yang menyuruhku untuk tetap tegar, dia lah yang
menyuruhku untuk menyingkirkan semua memori tentang luka hati itu, dan dia juga
lah yang senantiasa membantuku untuk bangkit.
Kepada senja aku bercerita. Ketika suatu
hari aku menerima sebuah kepalsuan dari
seorang manusia, maka senja akan dengan senang hati memelukku. Dia akan
membiarkanku berteriak-teriak penuh kemarahan karena tak bisa menerima
kenyataan. Bagaimanapun, ‘kebohongan’ dan ‘kepalsuan’ adalah kata-kata yang sangat
ku benci. Sampai kapan pun rasa percaya itu tak akan pernah kembali, meski diri
ini bersedia membukakan pintu maaf untuknya.
Kepada senja aku bercerita. Ketika
tantangan besar itu menghadang benteng pertahananku, maka senja akan
menguatkanku. Dia bilang, jangan pernah menyerah. Dia bilang, jangan takut
bermimpi karena mimpi itu gratis. Dia bilang, kejarlah cita-citamu sampai ke
ujung dunia. Dia bilang, 10 tahun kemudian aku akan mengecap hasil jerih payah
kerja kerasku selama ini. Dan memang benar, perlahan-lahan pintu impian itu
mulai terbuka satu per satu ...
Kepada senja aku bercerita. Tentang
segalanya. Ya, dia adalah ‘makhluk’ yang paling ku percaya. Karena senja
bukanlah manusia yang bisa membongkar rahasia kapan saja. Karena senja bukanlah
manusia yang bisa menjadi seorang penghianat. Karena senja tak akan pernah
mengeluh dengan segala curahan hatiku. Dia adalah pendengar yang setia.
Di sini. Di pantai Watu Ulo ini aku
biasa menghabiskan waktuku bersama senja yang baik hati.
“Senja, aku takut kalau kau
tiba-tiba mengumbar seluruh curahan hatiku ...,” kataku.
“Itu tidak akan pernah terjadi.
Percayalah!” jawabnya.
“Mengapa?”
“Karena setiap kali kau selesai
mencurahkan isi hatimu, aku akan menyuruh ombak yang ganas itu untuk menggulung
ceritamu hingga ke dasar laut, menyimpannya di sana. Aku tak akan membiarkan
para manusia itu mengetahui rahasiamu ...”
Aku pun tersenyum. Sejak saat itu,
aku tak pernah meragukannya lagi. Karena kepada senja lah aku bercerita ....
Jogja,
9 September 2012
Pukul
02.05 WIB