"Kamu tuh ya, kalo lagi pengen sesuatu, pasti deh bakal dikejer terus sampe dapet!" kata seorang teman.
Archive for April 2013
Kenapa?
Ini mengherankan!
Bagaimana mungkin aku bisa malas menyentuh makanan? Iya, aku baru sadar. Sudah beberapa hari ini aku paling malas jika bertemu makanan. Nafsu nggragasku tiba-tiba lenyap begitu saja. Biasanya, setiap kali bangun tidur, aku akan langsung menenggak 2 gelas air putih. Atau, aku akan pergi ke warung sebelah kost untuk menuruti perutku yang berteriak-teriak ganas. Tapi, kali ini tidak. Bangun tidur, aku akan termenung-menung sejenak di atas tempat tidur. Setengah ngantuk, aku pergi ke kamar mandi. Setelah itu, aku pergi ke kampus. Tidak ada ritual menenggak 2 gelas air putih atau pun sarapan.
Semalam, kalau saja masku yang datang jauh-jauh ke Jogja dan main ke kosku tanpa membawa makanan, mungkin aku tak akan makan. Lupa makan.
Dan siang ini, aku hanya menenggak setengah gelas air putih. Tidak makan. Malas.
Kenapa?
Haaah, mungkin aku sedang bosan. Hampir 2 tahun aku tinggal di Jogja, dan aku selalu mengalami saat-saat seperti ini di pertengahan semester: malas makan. Wajar sih, karena sejujurnya hingga detik ini aku mbetah-mbetahne menelan makanan Jogja yang masih belum cocok di mulutku. Makanan Jogja itu khas dengan rasa manisnya. Kelewat manis menurutku. Di sini, aku jaraaang sekali menemukan makanan yang rasanya pedas atau pun asin seperti di kampung halaman. Kalau pun ada, rasanya tak sama.
Mungkin aku sekarang sedang berada di fase kejenuhan. Rasanya semua makanan pernah kucoba di sembarang tempat, dan sekarang aku bosan. Bosan makan.
Ini juga mengherankan!
Hampir 2 minggu lamanya aku tak pergi ke ATM sekadar mengecek uang atau pun mengambil uang. Aku hidup dengan uang yang ada di dompetku. Bahkan, kalau kuhitung sekarang, aku masih bisa hidup 2 minggu lamanya tanpa nyatronin ATM. Berkali-kali aku ngecek dompet dan terheran-heran melihat uang yang seakan tidak berkurang. Hellloooo, sejak kapan aku jadi super irit begini? Padahal biasanya seminggu sekali nyatronin ATM. Iya, ini aneh. Aku jarang mengusik dompet.
Jadi, intinya ...?
Intinya, aku kangen masakan rumah. Kangen makanan khas Jember.
Intinya lagi ...???
Intinya, aku pengen pulang!
Hahahahahahahahaha ..... :D
Bagaimana mungkin aku bisa malas menyentuh makanan? Iya, aku baru sadar. Sudah beberapa hari ini aku paling malas jika bertemu makanan. Nafsu nggragasku tiba-tiba lenyap begitu saja. Biasanya, setiap kali bangun tidur, aku akan langsung menenggak 2 gelas air putih. Atau, aku akan pergi ke warung sebelah kost untuk menuruti perutku yang berteriak-teriak ganas. Tapi, kali ini tidak. Bangun tidur, aku akan termenung-menung sejenak di atas tempat tidur. Setengah ngantuk, aku pergi ke kamar mandi. Setelah itu, aku pergi ke kampus. Tidak ada ritual menenggak 2 gelas air putih atau pun sarapan.
Semalam, kalau saja masku yang datang jauh-jauh ke Jogja dan main ke kosku tanpa membawa makanan, mungkin aku tak akan makan. Lupa makan.
Dan siang ini, aku hanya menenggak setengah gelas air putih. Tidak makan. Malas.
Kenapa?
Haaah, mungkin aku sedang bosan. Hampir 2 tahun aku tinggal di Jogja, dan aku selalu mengalami saat-saat seperti ini di pertengahan semester: malas makan. Wajar sih, karena sejujurnya hingga detik ini aku mbetah-mbetahne menelan makanan Jogja yang masih belum cocok di mulutku. Makanan Jogja itu khas dengan rasa manisnya. Kelewat manis menurutku. Di sini, aku jaraaang sekali menemukan makanan yang rasanya pedas atau pun asin seperti di kampung halaman. Kalau pun ada, rasanya tak sama.
Mungkin aku sekarang sedang berada di fase kejenuhan. Rasanya semua makanan pernah kucoba di sembarang tempat, dan sekarang aku bosan. Bosan makan.
Ini juga mengherankan!
Hampir 2 minggu lamanya aku tak pergi ke ATM sekadar mengecek uang atau pun mengambil uang. Aku hidup dengan uang yang ada di dompetku. Bahkan, kalau kuhitung sekarang, aku masih bisa hidup 2 minggu lamanya tanpa nyatronin ATM. Berkali-kali aku ngecek dompet dan terheran-heran melihat uang yang seakan tidak berkurang. Hellloooo, sejak kapan aku jadi super irit begini? Padahal biasanya seminggu sekali nyatronin ATM. Iya, ini aneh. Aku jarang mengusik dompet.
Jadi, intinya ...?
Intinya, aku kangen masakan rumah. Kangen makanan khas Jember.
Intinya lagi ...???
Intinya, aku pengen pulang!
Hahahahahahahahaha ..... :D
Wajah
Semuanya berawal dari wajah. Bentuknya sederhana saja,
namun bisa menimbulkan bermacam ekspresi. Perhatikan baik-baik wajah
orang-orang di sekitarmu, maka kau akan terkejut melihat banyaknya ‘akibat’
yang ditimbulkan oleh wajah. Hal pertama yang membuat seorang manusia jatuh
cinta adalah wajah. Memang, cantik dan tampan itu relatif, tapi percayalah
bahwa wajah adalah faktor utama yang membuat orang tertarik! Ada bermacam
sebutan yang biasa dialamatkan pada wajah seseorang. Entah itu cantik, tampan,
manis, imut, dan sebagainya.
Ekspresi
yang ditimbulkan oleh wajah bisa berubah-ubah, tergantung bagaimana suasana hati
si pemilik. Dalam keadaan normal, bentuk wajah seseorang akan tampak sama. Ya,
sama-sama memiliki satu hidung, dua mata, satu mulut, dua alis, pipi, dagu, dan
jidat. Namun, suasana hati bisa mengubah wajah seseorang kapan saja.
Lihatlah
wajah seorang gadis yang tengah tersenyum menatap seseorang yang dicintainya.
Matanya akan tampak berbinar-binar, seperti bercahaya. Bibirnya yang semula
datar akan tampak melengkung ke atas, membentuk senyuman yang begitu indah.
Lalu, lihatlah betapa kedua pipinya tampak memerah, seperti matahari yang
malu-malu terbit. Bagaimana perasaanmu ketika melihar ekspresi itu? Bahagia,
bukan? Setidaknya, senyumannya bisa memunculkan energi positif bagi setiap
orang yang memandangnya.
Namun,
kau tak akan menemukan energi positif itu ketika melihat ekspresi marah
seseorang. Walau pun kau tak memiliki kesalahan apa pun, atau bahkan tak
mengenalnya, kau bisa saja menjadi korban amarahnya. Jadi, segeralah ambil
jarak jika melihat orang tengah marah. Sorot matanya tak lagi sama seperti
ketika sedang tersenyum. Kau tak akan menemukan mata yang berbinar-binar, namun
sebaliknya. Matanya tampak begitu tajam dan membunuh, seolah ingin meledakkan
apa saja yang ada di sekitarnya. Bibirnya yang semula datar akan melengkung ke
bawah dengan sendirinya, atau bahkan membentuk huruf ‘O’ besar sampai semua
giginya kelihatan. Gerahamnya bergemeletuk, lalu keluarlah suara-suara memekakkan
telinga. Bisa umpatan, teriakan yang tak pantas didengar, atau hanya sekadar
bentuk sindiran saja. Jangan harap bisa menemukan pipi yang merah merona pada
orang yang sedang marah. Sebaliknya, kau akan melihat pipi dan jidat
berkerut-kerut, kaku sekali. Ya Tuhan, tampaknya ekspresi marah bisa membuat
orang ketakutan!
Lain
halnya ketika kau melihat ekspresi sedih seseorang. Bukan takut yang kau
rasakan, melainkan iba. Perhatikanlah wajahnya baik-baik. Matanya tampak begitu
redup, seolah-olah ada awan hitam yang menggantung di wajahnya. Tak jarang mata
itu juga mengeluarkan butiran air mata sebagai luapan kesedihan yang
dirasakannya. Dan setelah air mata itu berhenti mengalir, kau akan melihat
matanya yang sembab dan bengkak. Bibirnya yang semula datar juga akan membentuk
lengkungan ke bawah, diiringi dengan rintihan yang memilukan siapa saja yang
mendengarnya.
Begitulah
wajah. Banyak ekspresi yang bisa kau temukan pada wajah seseorang. Kau bisa
menilai keadaan psikis seseorang hanya dengan melihat wajahnya, apakah orang
itu sedang sedih, marah, atau bahagia. Sederhana sekali, bukan?
Kepada Senja ....
Baca selengkapnya » | No Comments »
Apa yang ada dalam pikiran kalian
jika mendengar sebuah tempat bernama Watu Ulo? Iya, itu adalah nama sebuah
pantai yang terletak di Jember bagian selatan. Bagi kalian yang sudah pernah ke
sana, mungkin kalian akan berkata bahwa pantai Watu Ulo adalah tempat wisata
yang indah dengan pasirnya yang hitam, ombaknya yang besar hingga sanggup
membawamu ke dasar laut, cerita asal-usul Watu Ulo yang penuh mistis, ataupun
tradisi ritual yang sudah turun-temurun diwariskan oleh Nenek Moyang. Itu semua
memang benar, kawan. Tapi, bagiku Watu Ulo lebih dari itu...
Senja. Itu lah alasan mengapa Watu
Ulo tampak begitu istimewa di mataku. Setiap sore, aku selalu melangkahkan
kakiku ke tempat yang hanya berjarak 1 km dari rumahku ini. Duduk beralaskan pasir
sembari menatap laut lepas, menikmati senja yang begitu mempesona. Menatap
langit yang kemerah-merahan, juga matahari yang tampak lelah dan ingin
tenggelam sejenak, meredupkan cahayanya yang seharian ini sibuk menyinari bumi.
Ketika senja itu tiba, maka Watu Ulo
akan tampak sepi dengan sendirinya. Para wisatawan pulang ke rumah
masing-masing, juga anak-anak kecil yang biasa berjualan minuman dan makanan
ringan. Hanya tampak beberapa manusia yang masih tetap tinggal, mungkin petugas
keamanan pantai, atau anak-anak muda labil yang asyik berpacaran hingga lupa
waktu. Di antara orang-orang yang tetap tinggal itu, aku adalah salah satunya.
Bagiku, senja adalah waktu yang
sangat menyenangkan untuk menumpahkan segala sesuatu yang aku rasakan seharian
ini. Iya, senja adalah kawan terbaik yang aku miliki selama ini. Karena dia
sama sekali tidak pernah mengeluh dan bosan. Dia begitu pengertian, bukan?
Kepada senja aku bercerita. Ketika
seseorang begitu tega membuat hatiku ngilu, maka senja akan dengan senang hati
menghapus air mataku. Dia lah yang menyuruhku untuk tetap tegar, dia lah yang
menyuruhku untuk menyingkirkan semua memori tentang luka hati itu, dan dia juga
lah yang senantiasa membantuku untuk bangkit.
Quote
Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.
Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang.
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.
--Tere Liye, novel 'Daun yang jatuh tak pernah membenci angin'--
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana....
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.....
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana......
Nina mengusap air matanya sembari sesenggukan. "Kenapa ini semua harus terjadi?"
"Hahaha, entahlah," aku tersenyum getir.
"Kenapa kau malah tertawa?"
"Karena air mataku sudah habis. Tertawa itu lebih baik."
"Itu menyakitkan sekali, kau tahu?"
"Ya. Aku tahu. Sudahlah, kau tak perlu cengeng begitu."
"Tapi ... tapi ...," Nina masih saja sesenggukan.
Aku lantas melemparnya dengan bantal sambil tertawa. "Berhentilah menangis, cengeng!"
Nina bersungut-sungut. "Aku nggak ngerti harus ngomong apa."
"Kamu nggak perlu ngomong. Sudah ah, aku harus kembali ke pekerjaanku. Dada!" aku beranjak keluar.
"Hei!"
"Apa lagi?"
"Baik-baik, ya ..."
"Apanya?" aku tak mengerti.
Nina tak mengatakan apapun. Dia hanya menempelkan kedua tangannya di dada. Aku tersenyum, lantas meninggalkannya.
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana....
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.....
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana....
Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang.
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.
--Tere Liye, novel 'Daun yang jatuh tak pernah membenci angin'--
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana....
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.....
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana......
Nina mengusap air matanya sembari sesenggukan. "Kenapa ini semua harus terjadi?"
"Hahaha, entahlah," aku tersenyum getir.
"Kenapa kau malah tertawa?"
"Karena air mataku sudah habis. Tertawa itu lebih baik."
"Itu menyakitkan sekali, kau tahu?"
"Ya. Aku tahu. Sudahlah, kau tak perlu cengeng begitu."
"Tapi ... tapi ...," Nina masih saja sesenggukan.
Aku lantas melemparnya dengan bantal sambil tertawa. "Berhentilah menangis, cengeng!"
Nina bersungut-sungut. "Aku nggak ngerti harus ngomong apa."
"Kamu nggak perlu ngomong. Sudah ah, aku harus kembali ke pekerjaanku. Dada!" aku beranjak keluar.
"Hei!"
"Apa lagi?"
"Baik-baik, ya ..."
"Apanya?" aku tak mengerti.
Nina tak mengatakan apapun. Dia hanya menempelkan kedua tangannya di dada. Aku tersenyum, lantas meninggalkannya.
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana....
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.....
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana....
Ditolak (Lagi) -__-"
Pagi-pagi, sekitar jam setengah 12 (menurut gue ini masih pagi), gue kebangun dan langsung nyalain laptop. Cling cling, YM gue bunyi. Ada e-mail masuk. Oih, dari penerbit XXX! *gue langsung bangun 100%*
Dengan mata yang masih belekan karena belon ke kamar mandi, gue langsung buka e-mail. Dan gue ketawa sendiri baca e-mailnya.
Hai Indi,
Gaya penulisannya "teenlit" ya?
Heuheu, ternyata pimrednya tau kalo gue pernah ngirim naskah ini ke penerbitnya. Waktu itu emang gue ikutin lomba sih, tapi kaga menang. Dan gue baru tahu alesan gue gak menang setelah mas-mas pimrednya bilang kayak begini ke gue:
Mbak Indi,
Dengan mata yang masih belekan karena belon ke kamar mandi, gue langsung buka e-mail. Dan gue ketawa sendiri baca e-mailnya.
Hai Indi,
Bukannya naskah ini pernah dikirim ke X ya?
Heuheu, ternyata pimrednya tau kalo gue pernah ngirim naskah ini ke penerbitnya. Waktu itu emang gue ikutin lomba sih, tapi kaga menang. Dan gue baru tahu alesan gue gak menang setelah mas-mas pimrednya bilang kayak begini ke gue:
Mbak Indi,
Naskah
ini gaya "teenlit" banget. Dan, tidakkah mbak tahu bahwa gaya "teenlit"
sudah lewat zamannya? Gunakanlah gaya genre romance. Panduannya, kami
kira sudah detail, ada di blog YRI.
Apaaaa? Lewat zamannya? Oke oke, secara ga langsung dia ngatain novel gue jadul alias kagak ap tu det. Dipikir-pikir bener juga sih, soalnya itu novel gue tulis pas gue masih SMA, masih unyu-unyunya. Abis gue rombak di sana-sini, gue kirim ke penerbit itu dan ... jeng ... jeng ... *backsound petir serem* ternyata belum lolos. Emang sih,kalo nurutin keinginan pasar, novel gue udah gak cocok lagi ama selera pasar. Dari hasil pengamatan gue setiap nyatronin toko buku, novel yang lagi hot sekarang itu novel semacem korea-koreaan dan jejepangan. Wajar sih, secara indo lagi digrebek ama J-Pop, K-Pop lalala. Dan gue adalah salah satu yang keseret J-Pop ama K-Pop, tapi nggak gila-gila amat sih. Nah, fenomena inilah yang bikin gue tertarik buat gue bikin skripsi ntar :)
Balik ke e-mail tadi. Setelah gue bales tuh e-mail, gue iseng nanyain kabar audisi nulis yang pernah gue ikutin di penerbit itu. Kan ceritanya posisi gue masih digantungin coy. Mana novel yang gue ajuin itu juga udah setengah jalan (sekitar 45%), pengen gue kirim ke penerbit tapi takutnya ntar jangan-jangan gue lolos audisi *penyakit GR, hahahah!*
Daaaan, lu tahu apa jawaban mas-mas pimred itu?
Dear Indi,
Ngomongin soal penolakan nih, sebenernya ini bukan penolakan pertama gue. Gue udah lupa berapa kali gue ditolak ama penerbit. Sebulan lalu naskah gue ditolak ama penerbit Z, dan sekarang naskah gue ditolak penerbit ini. Gara-gara keseringan ditolak jadinya gue biasa aja. Cuman ngurut dada doang sambil bilang, "Belom rezeki lu, nyong!"
Kamu punya blog?
Gue langsung masang muka cengok. Kenapa pertanyaan ama jawaban kagak nyambung? -__-
Pengen gue bales, "Cieeee, masnya kepo deh ... :P" tapi enggak jadi, hahahaha. Ntar dikiranya gue apaan. Ya udah sih gue kasih aja blog gue yang super dekil ini. Kali aja dia mau baca curhatan tulisan gue yang laen. Ato jangan-jangan .... masnya naksir gueeee? Hahahaha! *langsung digampar*
Ngomongin soal penolakan nih, sebenernya ini bukan penolakan pertama gue. Gue udah lupa berapa kali gue ditolak ama penerbit. Sebulan lalu naskah gue ditolak ama penerbit Z, dan sekarang naskah gue ditolak penerbit ini. Gara-gara keseringan ditolak jadinya gue biasa aja. Cuman ngurut dada doang sambil bilang, "Belom rezeki lu, nyong!"
Tapi terkadang penolakan ini bikin gue lumayan stress. Bukan karena gue gak pede sama tulisan gue, tapi karena omongan-omongan orang yang kadang bikin gue mikir.
"Ih indi, tulisan lu keren tahu!"
"Ajarin gue nulis dong ...!"
"Maaak, bikinin gue cerpen buat tugas!"
"Ndi, tulisan lu idup banget. Gue suka bagian yang ini ... bla ... bla .."
Dikatain begitu bukannya bangga, gue malah stress sendiri. YAKALIK GUE DIPUJI-PUJI TAPI BELOM PERNAH NERBITIN APAPUN????!! *tereak pake toa masjid*
Pertama kali nerbitin tulisan duluuuuu banget, taon 2011. Itu pun cuma cerpen dan isinya curhat, gue ceritanya ngambek ama bokap gegara gak dibolehin kuliah di luar kota. Daaaan, bokap gue baca. Hahaha!
Udah itu doang, coy! Gue belom bisa nembus media apapun setelah itu. Pernah menang lomba nulis, itu juga cuman sekali. Abis itu gak pernah menang lagi pas ikut lomba nulis T.T
Jadinya gue ngeblog aja lah, ato nge-note di FB, hahahahaha. Tau deh, kayaknya gue emang belum beruntung di dunia tulis-menulis. Bahkan di kelas Penulisan Kreatif, Pak Aprinus belum pernah sekali pun ngelirik tulisan gueeeeh! Padahal gue pengen banget dapet makian dari beliau. Tapi tulisan gue malah langsung masuk ke tong sampah -_-
Haaaaaah, ya sudah laaaaaah. Mending gue sekarang fokus ngelarin novel romance "Love in Sakura" aja deh. Moga sebulan udah jadi, trus bisa dibaca ama temen-temen :D
Eh ... gue jadi mikir. Jangan-jangan, pas gue mosting ini tulisan, mas-mas pimred tadi lagi ngepoin blog gue? Hahahahahakkkk!!
Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Baca selengkapnya » | 5 Comments »
Judul Buku :
Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Penulis :
Tere Liye
Tahun Terbit :
2011
Tebal :
264 Halaman
Bagi
sebagian orang, jatuh cinta adalah sesuatu yang wajar. Ya, jatuh cinta memang
sudah menjadi fitrah bagi setiap manusia. Bahkan, orang yang seumur hidupnya
tidak pernah merasakan jatuh cinta pasti akan dianggap abnormal. Namum, pernahkah
engkau merasakan apa yang dirasakan oleh Tania, memendam cinta dalam waktu yang
sangat lama? Apa yang kau lakukan jika hal itu terjadi padamu?
Semua
itu bermula di suatu malam yang dingin. Hujan turun deras di sepanjang jalan.
Tania yang saat itu tengah mengamen bersama sang adik terpaksa mengeluarkan suara
yang lebih kencang, berharap kepingan receh dari penumpang bus yang tampak
lelah. Namun, sesuatu terjadi saat mereka tengah mengedarkan kantong plastik kepada penumpang.
Kaki Tania tertancap paku payung! Gadis kecil itu menangis, sementara sang adik
tampak kebingungan. Saat itu lah, seorang laki-laki menolong mereka. Dia
membalut kaki gadis itu dengan sapu tangannya. Perkenalan pun terjadi. Saat
itu, Tania baru berumur 12 tahun, sedangkan laki-laki itu berumur 25 tahun.
Hari-hari
berikutnya, laki-laki yang ternyata bernama Danar itu rutin mengunjungi
keluarga Tania yang tinggal di rumah kardus. Tania hanya tinggal bersama Ibu
dan adik laki-lakinya. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Kehidupan keluarga
kecil itu pun kian berwarna dengan kehadiran Danar. Dua minggu setelah
pertemuan di Bus itu, Danar mengajak Tania dan adiknya, Dede, pergi ke salah
satu toko buku yang cukup terkenal di Jakarta. Sebelum pergi, Tania sengaja
memakai pakaian terbaik yang dia miliki. Saat Danar melihatnya, Danar memujinya
dengan mengatakan bahwa dia cantik dan rapi. Tania sangat gembira mendengar
pujian itu. Dia sama sekali tidak paham dengan perasaannya yang tiba-tiba
meledak-ledak itu.
Danar
ibarat malaikat di rumah kardus sederhana itu. Karena sejak bertemu dengan dia,
kehidupan keluarga Tania berubah menjadi lebih baik. Danar bersedia
menyekolahkan Tania dan Dede, namun dia tak pernah melarang mereka berdua untuk
tetap mengamen sepulang sekolah. Dia sangat pengertian. Tania pun semakin kagum
kepadanya.
Perjalanan
Minggu, 5 Februari 2012
Ku tatap jalanan dari kaca dengan pandangan kosong. Perlahan tapi pasti, bus mulai melaju. Meninggalkan Kota Jember perlahan-lahan. Aku menghela nafas berat. Ada sebongkah batu bercokol di dadaku, dan karenanya aku menjadi sesak. Aku menunduk dalam-dalam, membiarkan mutiara bening itu jatuh satu per satu, membasahi kerudung merah mudaku. Kupeluk tas ranselku erat-erat.
“Raisa...” Kak Okta menepuk bahuku sembari duduk di sebelahku. Buru-buru kualihkan pandangan ke kaca bus sembari mengusap air mata.
“Kau kenapa?” tanyanya.
Aku menggeleng sembari tersenyum.”Nggak papa, Kak…”
Drrrt….Drrrrt….Drrrrt...
Hapeku bergetar. Ada sms masuk. Hm, ternyata Dama yang sms.
Maaf, aku tak bisa menjemputmu segera. Badanku tiba-tiba panas T.T
Aku menelan ludah. Yah, apa mau dikata. Takdir Allah berbicara lain.
“Kak, aku boleh ke kosmu untuk sementara? Temanku sakit…” kataku.
Kak Okta mengangguk. Aku tersenyum lega.
***
“Nah, ini UMM dek…” Kak Okta menunjukkan bangunan megah yang ada didepanku.
“Bagus banget, Kak,” komentarku.
Kupandangi deretan gedung di hadapanku. Berdiri tegak seakan menantang langit. Begitu kokoh. Kak Okta dengan riangnya menjelaskan setiap sudut UMM kepadaku. Sejenak aku mencoba untuk melupakan semuanya. Ku potret beberapa bagian UMM yang kusukai. Kuhirup udara dalam-dalam hingga merasuk ke seluruh tubuh. Sejuk. Kutatap danau UMM yang begitu elok. Beberapa ikan mas tampak meliuk-liuk riang. Aku tersenyum getir…
Senin, 6 Februari 2012
“Aku mo keluar…kamu nggak ikut?” Tanya Kak Okta.
Lagi-lagi aku menggeleng.” Kepalaku agak pusing. Aku di sini saja.”
“Okay…” Dia pun pergi.
Aku melangkah ke balkon. Kupandangi bulan di langit sana. Begitu cerah dan tentu saja….indah. Kutatap lamat-lamat bulan itu. Kuajak ia bercakap-cakap sembari merasakan dinginnya malam.
Duhai bulan yang indah, tahukah engkau bagaimana rasanya mati? Ya, mati. Nyawa tercerabut dari tubuh. Pasti sakit rasanya. Hmmm, tiba-tiba aku merasa takut…
Kupandangi sebuah nomor di hapeku. Nomor Ustadz Rahman, seorang ahli pengobatan tibun nabawi.
“Ah, besok saja lah…” kataku akhirnya. Kumasukkan hape itu ke saku. Dari balkon, kupandangi Kota Malang yang terhampar luas. Kerlap-kerlip lampu menambah keindahan malam ini. Lalu, aku pun mulai mengurai semuanya....
Selasa, 7 Februari 2012
“Jadi….?” Dama menutup mulutnya, menahan tawa yang hampir meledak.
“Hehehe, tapi sekarang udah enggak kok….” Kataku sembari menyeruput es teh.
“He?” Dama mengerutkan kening. Bingung.
“Begitulah. Setelah kupikir-pikir, ini bukan seperti yang kurasakan dua tahun lalu.” Jelasku.
“Ya, tentu saja. Karena kau yang sekarang memang berbeda dengan kau yang dulu. Pemikiranmu yang berbeda itu lah yang kini bisa menyelamatkanmu.”
Aku hanya tersenyum.
“Sebenarnya aku sudah menduga-duga. Hmmm, jangan diulangi lagi ya!” katanya lagi.
“Iya…aku khilaf. Benar-benar khilaf….seharusnya aku mendengarkan perkataan Ustadzah Arini dulu, tapi malah kuabaikan dan menuruti keegoisanku.” Aku menundukkan kepala. Menyesal.
“Raisa, aku tahu kau kuat. Kau pasti bisa menghadapinya. Sudah, jangan menoleh ke belakang lagi. Perjuanganmu masih panjang. Ingat itu.”
Aku mengangguk. Tersenyum.
“Sudah merasa baikan?” Tanya Dama.
“Yah…setidaknya aku lega sekarang. Semuanya sudah terpecahkan. Mungkin Allah mencoba memberi peringatan padaku atas cobaan ini. Yah, aku bisa kembali ke Jember tanpa ganjalan apapun. Aku merasa bebas sekarang…”
“Alhamdulillah…. Aku senang mendengarnya…” Dama tersenyum.
“Ya sudah, mari kita pulang!”
Kami lalu beranjak dari tempat duduk. Malam ini dingin sekali. Kami mengitari Malang sembari bercanda ria. Dadaku terasa semakin ringan. Beban berat itu menghilang perlahan-lahan…
Ya Rabbi, ampuni aku..
Aku khilaf..
Sungguh-sungguh khilaf…
Ya Rabbi, beri aku kekuatan agar setegar karang…
Penuhi diriku dengan rasa syukur agar tak merasa selalu kurang..
Jauhkan aku dari segala sesuatu yang Engkau benci…
Ya Rabbi…
Ku ingin selembut Aisyah..
Sekuat Khadijah…
Setegar Maryam…
Ya Rabbi..
Ku tutup lembar hitam pekat ini…
Izinkan aku tuk memperbaiki semuanya…
Ku tatap langit malam ini. Bulan bersinar terang. Indah…sangat indah. Kumantapkan hatiku sekali lagi. Ku lirik hatiku dengan yakin.
“Hei, are you ok?” tanyaku.
“Yup…lubang itu telah tertutup, kawan.” Jawabnya sambil tersenyum.
Aku pun tersenyum. Hmmm, bayang-bayang Jepang tiba-tiba menghantuiku lagi. I will go there… I will go there…
Malang, 8 Februari 2012
Pukul 22.15 WIB
Ku tatap jalanan dari kaca dengan pandangan kosong. Perlahan tapi pasti, bus mulai melaju. Meninggalkan Kota Jember perlahan-lahan. Aku menghela nafas berat. Ada sebongkah batu bercokol di dadaku, dan karenanya aku menjadi sesak. Aku menunduk dalam-dalam, membiarkan mutiara bening itu jatuh satu per satu, membasahi kerudung merah mudaku. Kupeluk tas ranselku erat-erat.
“Raisa...” Kak Okta menepuk bahuku sembari duduk di sebelahku. Buru-buru kualihkan pandangan ke kaca bus sembari mengusap air mata.
“Kau kenapa?” tanyanya.
Aku menggeleng sembari tersenyum.”Nggak papa, Kak…”
Drrrt….Drrrrt….Drrrrt...
Hapeku bergetar. Ada sms masuk. Hm, ternyata Dama yang sms.
Maaf, aku tak bisa menjemputmu segera. Badanku tiba-tiba panas T.T
Aku menelan ludah. Yah, apa mau dikata. Takdir Allah berbicara lain.
“Kak, aku boleh ke kosmu untuk sementara? Temanku sakit…” kataku.
Kak Okta mengangguk. Aku tersenyum lega.
***
“Nah, ini UMM dek…” Kak Okta menunjukkan bangunan megah yang ada didepanku.
“Bagus banget, Kak,” komentarku.
Kupandangi deretan gedung di hadapanku. Berdiri tegak seakan menantang langit. Begitu kokoh. Kak Okta dengan riangnya menjelaskan setiap sudut UMM kepadaku. Sejenak aku mencoba untuk melupakan semuanya. Ku potret beberapa bagian UMM yang kusukai. Kuhirup udara dalam-dalam hingga merasuk ke seluruh tubuh. Sejuk. Kutatap danau UMM yang begitu elok. Beberapa ikan mas tampak meliuk-liuk riang. Aku tersenyum getir…
Senin, 6 Februari 2012
“Aku mo keluar…kamu nggak ikut?” Tanya Kak Okta.
Lagi-lagi aku menggeleng.” Kepalaku agak pusing. Aku di sini saja.”
“Okay…” Dia pun pergi.
Aku melangkah ke balkon. Kupandangi bulan di langit sana. Begitu cerah dan tentu saja….indah. Kutatap lamat-lamat bulan itu. Kuajak ia bercakap-cakap sembari merasakan dinginnya malam.
Duhai bulan yang indah, tahukah engkau bagaimana rasanya mati? Ya, mati. Nyawa tercerabut dari tubuh. Pasti sakit rasanya. Hmmm, tiba-tiba aku merasa takut…
Kupandangi sebuah nomor di hapeku. Nomor Ustadz Rahman, seorang ahli pengobatan tibun nabawi.
“Ah, besok saja lah…” kataku akhirnya. Kumasukkan hape itu ke saku. Dari balkon, kupandangi Kota Malang yang terhampar luas. Kerlap-kerlip lampu menambah keindahan malam ini. Lalu, aku pun mulai mengurai semuanya....
Selasa, 7 Februari 2012
“Jadi….?” Dama menutup mulutnya, menahan tawa yang hampir meledak.
“Hehehe, tapi sekarang udah enggak kok….” Kataku sembari menyeruput es teh.
“He?” Dama mengerutkan kening. Bingung.
“Begitulah. Setelah kupikir-pikir, ini bukan seperti yang kurasakan dua tahun lalu.” Jelasku.
“Ya, tentu saja. Karena kau yang sekarang memang berbeda dengan kau yang dulu. Pemikiranmu yang berbeda itu lah yang kini bisa menyelamatkanmu.”
Aku hanya tersenyum.
“Sebenarnya aku sudah menduga-duga. Hmmm, jangan diulangi lagi ya!” katanya lagi.
“Iya…aku khilaf. Benar-benar khilaf….seharusnya aku mendengarkan perkataan Ustadzah Arini dulu, tapi malah kuabaikan dan menuruti keegoisanku.” Aku menundukkan kepala. Menyesal.
“Raisa, aku tahu kau kuat. Kau pasti bisa menghadapinya. Sudah, jangan menoleh ke belakang lagi. Perjuanganmu masih panjang. Ingat itu.”
Aku mengangguk. Tersenyum.
“Sudah merasa baikan?” Tanya Dama.
“Yah…setidaknya aku lega sekarang. Semuanya sudah terpecahkan. Mungkin Allah mencoba memberi peringatan padaku atas cobaan ini. Yah, aku bisa kembali ke Jember tanpa ganjalan apapun. Aku merasa bebas sekarang…”
“Alhamdulillah…. Aku senang mendengarnya…” Dama tersenyum.
“Ya sudah, mari kita pulang!”
Kami lalu beranjak dari tempat duduk. Malam ini dingin sekali. Kami mengitari Malang sembari bercanda ria. Dadaku terasa semakin ringan. Beban berat itu menghilang perlahan-lahan…
Ya Rabbi, ampuni aku..
Aku khilaf..
Sungguh-sungguh khilaf…
Ya Rabbi, beri aku kekuatan agar setegar karang…
Penuhi diriku dengan rasa syukur agar tak merasa selalu kurang..
Jauhkan aku dari segala sesuatu yang Engkau benci…
Ya Rabbi…
Ku ingin selembut Aisyah..
Sekuat Khadijah…
Setegar Maryam…
Ya Rabbi..
Ku tutup lembar hitam pekat ini…
Izinkan aku tuk memperbaiki semuanya…
Ku tatap langit malam ini. Bulan bersinar terang. Indah…sangat indah. Kumantapkan hatiku sekali lagi. Ku lirik hatiku dengan yakin.
“Hei, are you ok?” tanyaku.
“Yup…lubang itu telah tertutup, kawan.” Jawabnya sambil tersenyum.
Aku pun tersenyum. Hmmm, bayang-bayang Jepang tiba-tiba menghantuiku lagi. I will go there… I will go there…
Malang, 8 Februari 2012
Pukul 22.15 WIB
Ada Apa Dengan Sakura (AADS)
Suatu hari, aku tengah berbincang ringan dengan kakakku. Seperti biasa, kalau ngobrol sama dia, pasti topiknya nggak jauh-jauh dari dunia kuliah, organisasi yang kuikuti, perkembangan tulisanku, impian, cita-cita, dan masa depan. *aje gile serius banget*
"Ntar kalo kamu lulus, mo ngapain rencananya?" tanyanya di sela-sela mengetik.
"Sekolah lagi, dong!" jawabku sambil nyengir.
"Sekolah mulu! Kapan kerjanya?"
"Ya nyambi lah! Masa iya S2 masih minta ortu, gimana sih ..."
"Mo lanjut di mana emang?"
"Jepang."
Matanya membulat besar. "Heh, seriusan mo ke sana beneran?"
"Ya iya lah."
"Aku kok jadi penasaran. Opo tho yang bikin kamu pengen banget ke sana?"
Aku tersenyum sambil menerawang jauh, lalu berkata, "Alasannya sederhana saja. Karena aku sangat menyukai bunga sakura."
"He?" kakakku langsung memasang tampang cengok.
"Why?"
"Alasan yang aneh."
"Biarin."
"Tapi aku jadi penasaran. Apa sih yang bikin kamu sukaaa banget sama bunga sakura? Nggak di laptop, nggak di dinding kamar, nggak di buku, isinya gambar bunga ituuuuu mulu!"
Aku terkekeh geli. "Aku nggak tahu."
"Heee?" lagi-lagi dia memasang tampang cengok.
"Iya, aku nggak tahu kenapa aku sangat menyukainya."
"Aneh banget kowe ki," dia geleng-geleng.
"Kecintaanku terhadap bunga sakura itu tidak beralasan, sama halnya dengan kecintaanmu kepada Mbak Mer yang tak beralasan. Aseeeekkk!!" aku ngakak. Mbak Mer adalah istrinya yang sangat dia cintai.
"Hahahaha, sial! Tapi ... bener juga sih. Rasa cinta itu memang tidak beralasan."
Aku tersenyum.
~~~
Ya, itulah alasanku menyukai sakura. Alasan yang tak beralasan. Entah sudah berapa kali orang-orang bertanya padaku, "Kenapa sih kok pengen banget ke Jepang?"
Dan biasanya akan kujawab, "Soalnya aku pengen memetik bunga sakura di sana."
Mereka akan kebingungan mendengar jawaban super aneh itu. Hahaha.
"Sakura nggak cuma ada di Jepang kali! Di Korea ada, di China ada, bahkan di Indo juga ada!"
Iya, sih. Tapi ... aku juga menyukai negara matahari terbit itu.
Biasanya orang-orang kepengen ke Jepang karena suatu hal. Mungkin dia penggila anime, mungkin dia penggila Yui, mungkin dia suka budaya Jepang, etc. Tapi ... aku? Karena suka sama sakura, hahaha. Alasan yang konyol mungkin, tapi ini serius. Aku tak pernah main-main dengan impianku.
Apa aku bisa berbahasa Jepang? Ah, nggak juga. Aku cuma bisa sepatah dua patah kata.
Apa aku penggila anime? Enggak tuh.
Apa aku penggila drama Jepang? Kalo ini .... iya. Hahaha!
Aku tak ingat sejak kapan aku mulai tertarik dengan bunga sakura, lebih-lebih negara Jepang. Yang jelas, sejak SMP aku kepengen banget pergi ke sana. Entah kenapa. Aku yakin sekali bisa ke sana suatu saat nanti. Dan keyakinan itulah yang membawaku sampai ke sini, di bumi Yogyakarta. Kok bisa?
Singkat cerita, dulu aku pengen ngambil jurusan Sastra Jepang atau Sastra Korea, tapi kagak dibolehin sama ortu. Ambil ilmu komunikasi? Hah, apalagi! Jadilah aku 'nyasar' ke Sastra Indonesia. Eh sebenernya enggak nyasar juga sih, soalnya kebetulan aku juga suka sastra indo. Nah, di jurusan inilah aku menyerap banyak sekali ilmu pengetahuan, hingga sampai pada satu kesimpulan: suatu saat, aku ingin menjadi pengajar bahasa indonesia di Jepang.
Tahun ini aku gagal daftar beasiswa monbukagakusho, dan aku kecewa sekali. Ya, penyesalan memang selalu datang di belakang. Sejak masuk SMA, aku benciiii sekali dengan bahasa inggris. Padahal, dulu waktu SMP. aku sempat menggilai mata pelajaran itu. Bahkan untuk membuat naskah drama bahasa inggris pun aku nggak buka kamus sama sekali. Pintar? Tentu saja. Tapi, itu dulu, hahaha. Sekarang begonya setengah mati. Bener-bener nggak bisa! Dan aku menyesal, kenapa aku membenci bahasa itu? Padahal ayahanda tercinta adalah guru bahasa inggris -_____-"
Karena kegagalan itulah, aku bersikeras untuk bangkit lagi. Pelan-pelan aku belajar dari awal, kayak anak SD itu lho! Hahaha. Tapi tak apa. Aku akan berusaha sekeras mungkin. Man Jadda Wa Jadda!
"Karena aku menyukai bunga sakura."
Alasan konyol itulah yang mampu membangkitkan semangatku. Sekali lagi kutegaskan, aku tak main-main dengan impianku.
Karena menyukainya, aku mati-matian belajar bahasa inggris dari awal.
Karena menyukainya, aku mati-matian belajar bahasa jepang (dan karena aku suka bahasa jepang XD )
Karena menyukainya, aku mati-matian meningkatkan IPK-ku agar mencapai persyaratan monbukagakusho.
Karena menyukainya, aku bersikeras untuk membanggakan kedua orang tuaku.
Karena menyukainya, aku bersikeras untuk menginjak bumi Allah di bumi lain, sebagai bentuk rasa syukurku pada-Nya.
Karena menyukainya .... karena menyukainya ...
Alasan yang sederhana sekali, bukan?
Tahun ini aku menuliskan banyak sekali target, jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya, aku tinggal berusaha sekeras mungkin, dengan disertai doa tentunya.
Aku ingin sekali melanjutkan S2 di sana. Bahkan salah seorang kakak yang tinggal di Jepang dengan senang hati memberikan alamat e-mail seorang profesor yang kira-kira sejalur denganku. Tapi sampai sekarang aku beum menghubunginya, karena ... yah, kemampuan bahasa inggrisku masih belum bagus, hahaha. Dari jauh-jauh hari aku sudah mencari universitas yang sesuai dengan minatku. Tokyo University of Foreign Studies. :D
"Niatkan semua karena Allah, niscaya jalanmu akan dimudahkan," ucap Bapak.
Ya. Aku percaya itu.
Aku percaya, tak ada yang tak mungkin di dunia ini.
Suatu saat, aku pasti akan memetik bunga itu dengan tanganku sendiri :)
"Ntar kalo kamu lulus, mo ngapain rencananya?" tanyanya di sela-sela mengetik.
"Sekolah lagi, dong!" jawabku sambil nyengir.
"Sekolah mulu! Kapan kerjanya?"
"Ya nyambi lah! Masa iya S2 masih minta ortu, gimana sih ..."
"Mo lanjut di mana emang?"
"Jepang."
Matanya membulat besar. "Heh, seriusan mo ke sana beneran?"
"Ya iya lah."
"Aku kok jadi penasaran. Opo tho yang bikin kamu pengen banget ke sana?"
Aku tersenyum sambil menerawang jauh, lalu berkata, "Alasannya sederhana saja. Karena aku sangat menyukai bunga sakura."
"He?" kakakku langsung memasang tampang cengok.
"Why?"
"Alasan yang aneh."
"Biarin."
"Tapi aku jadi penasaran. Apa sih yang bikin kamu sukaaa banget sama bunga sakura? Nggak di laptop, nggak di dinding kamar, nggak di buku, isinya gambar bunga ituuuuu mulu!"
Aku terkekeh geli. "Aku nggak tahu."
"Heee?" lagi-lagi dia memasang tampang cengok.
"Iya, aku nggak tahu kenapa aku sangat menyukainya."
"Aneh banget kowe ki," dia geleng-geleng.
"Kecintaanku terhadap bunga sakura itu tidak beralasan, sama halnya dengan kecintaanmu kepada Mbak Mer yang tak beralasan. Aseeeekkk!!" aku ngakak. Mbak Mer adalah istrinya yang sangat dia cintai.
"Hahahaha, sial! Tapi ... bener juga sih. Rasa cinta itu memang tidak beralasan."
Aku tersenyum.
~~~
Ya, itulah alasanku menyukai sakura. Alasan yang tak beralasan. Entah sudah berapa kali orang-orang bertanya padaku, "Kenapa sih kok pengen banget ke Jepang?"
Dan biasanya akan kujawab, "Soalnya aku pengen memetik bunga sakura di sana."
Mereka akan kebingungan mendengar jawaban super aneh itu. Hahaha.
"Sakura nggak cuma ada di Jepang kali! Di Korea ada, di China ada, bahkan di Indo juga ada!"
Iya, sih. Tapi ... aku juga menyukai negara matahari terbit itu.
Biasanya orang-orang kepengen ke Jepang karena suatu hal. Mungkin dia penggila anime, mungkin dia penggila Yui, mungkin dia suka budaya Jepang, etc. Tapi ... aku? Karena suka sama sakura, hahaha. Alasan yang konyol mungkin, tapi ini serius. Aku tak pernah main-main dengan impianku.
Apa aku bisa berbahasa Jepang? Ah, nggak juga. Aku cuma bisa sepatah dua patah kata.
Apa aku penggila anime? Enggak tuh.
Apa aku penggila drama Jepang? Kalo ini .... iya. Hahaha!
Aku tak ingat sejak kapan aku mulai tertarik dengan bunga sakura, lebih-lebih negara Jepang. Yang jelas, sejak SMP aku kepengen banget pergi ke sana. Entah kenapa. Aku yakin sekali bisa ke sana suatu saat nanti. Dan keyakinan itulah yang membawaku sampai ke sini, di bumi Yogyakarta. Kok bisa?
Singkat cerita, dulu aku pengen ngambil jurusan Sastra Jepang atau Sastra Korea, tapi kagak dibolehin sama ortu. Ambil ilmu komunikasi? Hah, apalagi! Jadilah aku 'nyasar' ke Sastra Indonesia. Eh sebenernya enggak nyasar juga sih, soalnya kebetulan aku juga suka sastra indo. Nah, di jurusan inilah aku menyerap banyak sekali ilmu pengetahuan, hingga sampai pada satu kesimpulan: suatu saat, aku ingin menjadi pengajar bahasa indonesia di Jepang.
Tahun ini aku gagal daftar beasiswa monbukagakusho, dan aku kecewa sekali. Ya, penyesalan memang selalu datang di belakang. Sejak masuk SMA, aku benciiii sekali dengan bahasa inggris. Padahal, dulu waktu SMP. aku sempat menggilai mata pelajaran itu. Bahkan untuk membuat naskah drama bahasa inggris pun aku nggak buka kamus sama sekali. Pintar? Tentu saja. Tapi, itu dulu, hahaha. Sekarang begonya setengah mati. Bener-bener nggak bisa! Dan aku menyesal, kenapa aku membenci bahasa itu? Padahal ayahanda tercinta adalah guru bahasa inggris -_____-"
Karena kegagalan itulah, aku bersikeras untuk bangkit lagi. Pelan-pelan aku belajar dari awal, kayak anak SD itu lho! Hahaha. Tapi tak apa. Aku akan berusaha sekeras mungkin. Man Jadda Wa Jadda!
"Karena aku menyukai bunga sakura."
Alasan konyol itulah yang mampu membangkitkan semangatku. Sekali lagi kutegaskan, aku tak main-main dengan impianku.
Karena menyukainya, aku mati-matian belajar bahasa inggris dari awal.
Karena menyukainya, aku mati-matian belajar bahasa jepang (dan karena aku suka bahasa jepang XD )
Karena menyukainya, aku mati-matian meningkatkan IPK-ku agar mencapai persyaratan monbukagakusho.
Karena menyukainya, aku bersikeras untuk membanggakan kedua orang tuaku.
Karena menyukainya, aku bersikeras untuk menginjak bumi Allah di bumi lain, sebagai bentuk rasa syukurku pada-Nya.
Karena menyukainya .... karena menyukainya ...
Alasan yang sederhana sekali, bukan?
Tahun ini aku menuliskan banyak sekali target, jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya, aku tinggal berusaha sekeras mungkin, dengan disertai doa tentunya.
Aku ingin sekali melanjutkan S2 di sana. Bahkan salah seorang kakak yang tinggal di Jepang dengan senang hati memberikan alamat e-mail seorang profesor yang kira-kira sejalur denganku. Tapi sampai sekarang aku beum menghubunginya, karena ... yah, kemampuan bahasa inggrisku masih belum bagus, hahaha. Dari jauh-jauh hari aku sudah mencari universitas yang sesuai dengan minatku. Tokyo University of Foreign Studies. :D
"Niatkan semua karena Allah, niscaya jalanmu akan dimudahkan," ucap Bapak.
Ya. Aku percaya itu.
Aku percaya, tak ada yang tak mungkin di dunia ini.
Suatu saat, aku pasti akan memetik bunga itu dengan tanganku sendiri :)
Mati
Sudah membatu,
Hatiku
Sudah terkunci rapat,
Hatiku
Sudah mati,
Hatiku
Tak ingin lagi
Lelah
Jengah
Marah
Tak percaya lagi
Kecewa
Dusta
Luka menganga
Sudah terkoyak,
Hatiku
Sudah mengeras,
Hatiku
Maka jangan coba-coba mendekatinya
Jangan menyentuhnya barang seinci pun
Karena aku akan menjaganya
Hingga 'waktu' itu tiba
Hatiku
Sudah terkunci rapat,
Hatiku
Sudah mati,
Hatiku
Tak ingin lagi
Lelah
Jengah
Marah
Tak percaya lagi
Kecewa
Dusta
Luka menganga
Sudah terkoyak,
Hatiku
Sudah mengeras,
Hatiku
Maka jangan coba-coba mendekatinya
Jangan menyentuhnya barang seinci pun
Karena aku akan menjaganya
Hingga 'waktu' itu tiba
Bu, Aku Ingin Pulang!
Aku memegang kepalaku yang terasa pening. Pikiranku kacau. Pandangan mataku terasa kosong sejak tiga hari terakhir. Berbagai hal membuatku ingin sekali mengumpat, tapi kutahan-tahan. Dan seakan menjadi bom waktu, semua itu terluapkan di hari ini. Ya, hari ini.
Aku sengaja menghindari pembicaraan dengan orang-orang. Aku takut menyakiti mereka. Aku bukan orang jawa tengah yang pintar memendam perasaan dan tersenyum saat sedang ada masalah. Mukaku ekspresif. Maka jangan heran ketika melihatku meledak-ledak. Tapi hari ini aku memilih diam.
"Kamu kenapa?" tanya seorang teman.
Aku hanya menggeleng. Lalu melenggang pergi.
Pukul 15.00 WIB, aku menuju BLK. Hari ini shift-ku menjaga DAM. Sesampainya di sana, aku langsung menghempaskan diriku di kursi. Sesekali aku mengobrol dengan mbak-mbak yang ada di sana. Setelah itu, aku masuk kamar. Kepalaku kembali pening. Tuhan...
Hampir satu jam lamanya aku berdiam diri di sana. Kamar itu kosong karena peserta sedang mengikuti materi. Aku telentang di kasur sembari memijit-mijit kepala. Detik selanjutnya, aku menutup kepalaku dengan bantal. Air mataku luruh.
"Hai, Indi!" Mbak Rosa dan kawan-kawan masuk ke dalam kamar sambil tersenyum ceria. Mereka baru saja datang. Aku berusaha tersenyum, lalu duduk dan mengamati kegiatan mereka.
"Kau saja yang mengambil gambar," kataku sembari menyodorkan kamera kepada Anggun.
Dia mengangguk, lalu naik ke lantai atas dengan Sarah. Sementara itu, aku kembali tergeletak di kasur. Kepalaku masih pening.
"Mbak, aku pulang ya," kataku kepada Mbak Rosa.
"Di luar hujan lho," jawabnya.
"Aaaargh! Kenapa harus hujaaaan?"
"Hei, jangan begitu. Hujan itu rahmat lho!"
Aku terdiam. Ah, ya, lupa. Tidak ada satu manusia pun yang boleh mencaci-maki hujan. Tanpa sadar aku tertidur hampir 2 jam lamanya. Begitu bangun, aku langsung melihat ke luar. Hujan telah reda. Setelah mengambil kunci motor dan beberapa bungkus nasi yang mubadzir jika tak dimakan, aku langsung meluncur tanpa banyak kata. Aku malas berkata-kata.
Sepanjang jalan, pikiranku melayang ke segala arah. Kunikmati malam yang dingin dengan menyusuri jalanan Jogja. Sengaja aku berputar-putar tak jelas. Sesampainya di lampu merah, mataku menelusuri pinggir jalan. Ke mana mereka? Keningku berkerut-kerut samar. Ketika lampu hijau menyala, aku langsung melajukan motorku sembari mencari sosok yang kucari-cari. Entah kenapa aku begitu ingin bertemu mereka. Aku lalu kembali ke lampu merah tadi, lewat jalan yang berbeda. Begitu berhenti di lampu merah, aku melihat sosok itu. Senyumku langsung mengembang.
"Dik, sini!" panggilku.
Gadis kecil berkerudung putih itu lalu menghampiriku. Kuberikan kresek berisi nasi bungkus yang tadi kuambil untuknya. Dia tersenyum. Aku tersenyum. Ini adalah senyumku yang pertama hari ini.
Aku lalu melanjutkan perjalanan. Sesampainya di kos, aku tak tahan lagi. Aku langsung menelepon orang rumah.
"Kenapa, Nduk?" suara Bapak terdengar di ujung sana.
Aku tak mengatakan apapun. Hanya isak tangis yang sengaja kutahan-tahan.
"Kau ingin bicara sama Ibu?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk, dan tentu saja Bapak tak melihatnya. Aku lalu mengucapkan, "Ya".
"Ya sudah, tunggu sebentar. Bapak pulang sekarang," ucapnya.
15 menit kemudian, aku kembali menelepon. Bapak sudah sampai rumah rupanya.
"Assalamualaikum," suara Ibu terdengar.
Dan tangisku pun meledak....
Bu, aku ingin pulang ...
Aku ingin pulang ...
Aku ingin pulang ...
Saat-saat seperti ini, yang kuinginkan hanyalah pulang. Meluapkan semuanya pada Ibu. Aku tak tahan lagi.
"Sabar. Kau pasti bisa melewatinya," ucap Ibu.
"Aku ingin pulang."
"Perbanyak doa pada Allah, niscaya jalanmu akan dimudahkan...."
"Aku ingin pulang."
"Namanya musibah, mau gimana lagi. Itu cobaan, Nduk ..."
"Aku ingin pulang."
"Ikhlaskan saja, nanti pasti kau akan mendapatkan yang jauuuh lebih berkah."
"Aku ingin pulang."
Bu, aku ingin pulang!
Aku sengaja menghindari pembicaraan dengan orang-orang. Aku takut menyakiti mereka. Aku bukan orang jawa tengah yang pintar memendam perasaan dan tersenyum saat sedang ada masalah. Mukaku ekspresif. Maka jangan heran ketika melihatku meledak-ledak. Tapi hari ini aku memilih diam.
"Kamu kenapa?" tanya seorang teman.
Aku hanya menggeleng. Lalu melenggang pergi.
Pukul 15.00 WIB, aku menuju BLK. Hari ini shift-ku menjaga DAM. Sesampainya di sana, aku langsung menghempaskan diriku di kursi. Sesekali aku mengobrol dengan mbak-mbak yang ada di sana. Setelah itu, aku masuk kamar. Kepalaku kembali pening. Tuhan...
Hampir satu jam lamanya aku berdiam diri di sana. Kamar itu kosong karena peserta sedang mengikuti materi. Aku telentang di kasur sembari memijit-mijit kepala. Detik selanjutnya, aku menutup kepalaku dengan bantal. Air mataku luruh.
"Hai, Indi!" Mbak Rosa dan kawan-kawan masuk ke dalam kamar sambil tersenyum ceria. Mereka baru saja datang. Aku berusaha tersenyum, lalu duduk dan mengamati kegiatan mereka.
"Kau saja yang mengambil gambar," kataku sembari menyodorkan kamera kepada Anggun.
Dia mengangguk, lalu naik ke lantai atas dengan Sarah. Sementara itu, aku kembali tergeletak di kasur. Kepalaku masih pening.
"Mbak, aku pulang ya," kataku kepada Mbak Rosa.
"Di luar hujan lho," jawabnya.
"Aaaargh! Kenapa harus hujaaaan?"
"Hei, jangan begitu. Hujan itu rahmat lho!"
Aku terdiam. Ah, ya, lupa. Tidak ada satu manusia pun yang boleh mencaci-maki hujan. Tanpa sadar aku tertidur hampir 2 jam lamanya. Begitu bangun, aku langsung melihat ke luar. Hujan telah reda. Setelah mengambil kunci motor dan beberapa bungkus nasi yang mubadzir jika tak dimakan, aku langsung meluncur tanpa banyak kata. Aku malas berkata-kata.
Sepanjang jalan, pikiranku melayang ke segala arah. Kunikmati malam yang dingin dengan menyusuri jalanan Jogja. Sengaja aku berputar-putar tak jelas. Sesampainya di lampu merah, mataku menelusuri pinggir jalan. Ke mana mereka? Keningku berkerut-kerut samar. Ketika lampu hijau menyala, aku langsung melajukan motorku sembari mencari sosok yang kucari-cari. Entah kenapa aku begitu ingin bertemu mereka. Aku lalu kembali ke lampu merah tadi, lewat jalan yang berbeda. Begitu berhenti di lampu merah, aku melihat sosok itu. Senyumku langsung mengembang.
"Dik, sini!" panggilku.
Gadis kecil berkerudung putih itu lalu menghampiriku. Kuberikan kresek berisi nasi bungkus yang tadi kuambil untuknya. Dia tersenyum. Aku tersenyum. Ini adalah senyumku yang pertama hari ini.
Aku lalu melanjutkan perjalanan. Sesampainya di kos, aku tak tahan lagi. Aku langsung menelepon orang rumah.
"Kenapa, Nduk?" suara Bapak terdengar di ujung sana.
Aku tak mengatakan apapun. Hanya isak tangis yang sengaja kutahan-tahan.
"Kau ingin bicara sama Ibu?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk, dan tentu saja Bapak tak melihatnya. Aku lalu mengucapkan, "Ya".
"Ya sudah, tunggu sebentar. Bapak pulang sekarang," ucapnya.
15 menit kemudian, aku kembali menelepon. Bapak sudah sampai rumah rupanya.
"Assalamualaikum," suara Ibu terdengar.
Dan tangisku pun meledak....
Bu, aku ingin pulang ...
Aku ingin pulang ...
Aku ingin pulang ...
Saat-saat seperti ini, yang kuinginkan hanyalah pulang. Meluapkan semuanya pada Ibu. Aku tak tahan lagi.
"Sabar. Kau pasti bisa melewatinya," ucap Ibu.
"Aku ingin pulang."
"Perbanyak doa pada Allah, niscaya jalanmu akan dimudahkan...."
"Aku ingin pulang."
"Namanya musibah, mau gimana lagi. Itu cobaan, Nduk ..."
"Aku ingin pulang."
"Ikhlaskan saja, nanti pasti kau akan mendapatkan yang jauuuh lebih berkah."
"Aku ingin pulang."
Bu, aku ingin pulang!
Ketika Saya Ngigo --"
"In, sori ya smsmu belum tak bales. Tadi hapeku mati," kata Fithri begitu aku memasuki kelas.
"Ha? Sms apaan?" aku bingung.
"Itu lho, pas jam 3 pagi tadi..."
"Emang aku sms kamu?"
"Katanya kamu habis mimpi aneh. Mimpi apaan?"
"Ha? Mimpi?" aku semakin gak paham.
"Hhhh! Iya tahu, kamu tadi sms kayak gitu ke aku!" Fithri mulai jengkel.
"Masa?"
Aku langsung merogoh hape di saku, lalu membuka sent items.
"HAAA??" aku shock sendiri membaca sms-sms terkirim. Sumpah, itu bukan aku yang ngirim sms! T.T
Aku baca satu per satu, bener-bener nggak nyangka kalo aku sms kayak begituan. Dan begonya lagi, ada yang nanggepin jam segitu.
Aaaaaaaargh!
Iya, malam itu aku emang mimpi super aneh. Aneh bin ajaib. Aku melihat wajah teman-temanku dengan jelas. Ada wajah Rozi, Fithri, Iza, Budi, Hamdan, Zulfa, dll. Dan posisiku adalah di ruang persalinan. Iya, di ruang persalinan --"
Situasi kacau, antara rasa takut dan cemas. Begitu bangun, aku langsung keringetan dan ketakutan. Beberapa menit kemudian, dalam keadaan setengah sadar, aku mengirimkan sms geblek itu ke temen-temenku.
GEBLEK BANGET, KAN?? -________-"
Ini tuh apa-apaan banget gitu lho. Kurang kerjaan banget sms gak jelas begitu.
Pernah ngigo?
Yak, ngelindur sodara-sodara!
Dalam keadaan setengah sadar, aku biasa melakukan hal-hal yang aneh. Pokoknya kalo tidur jangan sampe ada hape di deketku. Bahaya. Bisa-bisa aku kirim sms atau nelepon orang tanpa sebab. Aneh? Iya, ini emang aneh dan janggal sekali.
Aku bahkan pernah ngigo di kelas pas kuliah.Ya enggak ngigo yang ngomong-ngomong sendiri gitu, tapi ngomong gak jelas. Biasanya aku suka begitu kalo kesadaranku tinggal seperempat. Aku inget banget waktu mata kuliah teori puisi. Aku duduk di samping Nining. Aku berusaha keras merhatiin Dosen, sampe akhirnya angin semilir bikin aku ngantuk.
Aku nyoret-nyoret kertas sambil bilang gini ke Nining, "Ning, teori ini tuh kayak gini kan ... bla ... bla ..."
"Ha? Apa, Ndi?"
"Ini lho, teori ..."
5 detik kemudian, aku melotot, "Eh, ya ampun. Lupain, Ning, tadi aku setengah sadar."
Kadang suka bete sendiri kalo udah sadar sepenuhnya :|
Gimana coba kalo misalnya aku ngomong nggak bener? Misalnya, saat aku mimpi sesuatu, kebangun, ketakutan, lalu sms babe kayak begini: Pak, mangga depan rumah kayaknya udah mateng. Paketin ke Jogja ya...
Seminggu kemudian paketan mangga dateng, dan aku hanya bingung menatapnya. -_-
Oh, ya, sekarang masih jam 4 pagi.
Jangan-jangan ... pas aku nge-blog kayak gini, aku lagi ngigo????
"Ha? Sms apaan?" aku bingung.
"Itu lho, pas jam 3 pagi tadi..."
"Emang aku sms kamu?"
"Katanya kamu habis mimpi aneh. Mimpi apaan?"
"Ha? Mimpi?" aku semakin gak paham.
"Hhhh! Iya tahu, kamu tadi sms kayak gitu ke aku!" Fithri mulai jengkel.
"Masa?"
Aku langsung merogoh hape di saku, lalu membuka sent items.
"HAAA??" aku shock sendiri membaca sms-sms terkirim. Sumpah, itu bukan aku yang ngirim sms! T.T
Aku baca satu per satu, bener-bener nggak nyangka kalo aku sms kayak begituan. Dan begonya lagi, ada yang nanggepin jam segitu.
Aaaaaaaargh!
Iya, malam itu aku emang mimpi super aneh. Aneh bin ajaib. Aku melihat wajah teman-temanku dengan jelas. Ada wajah Rozi, Fithri, Iza, Budi, Hamdan, Zulfa, dll. Dan posisiku adalah di ruang persalinan. Iya, di ruang persalinan --"
Situasi kacau, antara rasa takut dan cemas. Begitu bangun, aku langsung keringetan dan ketakutan. Beberapa menit kemudian, dalam keadaan setengah sadar, aku mengirimkan sms geblek itu ke temen-temenku.
GEBLEK BANGET, KAN?? -________-"
Ini tuh apa-apaan banget gitu lho. Kurang kerjaan banget sms gak jelas begitu.
Pernah ngigo?
Yak, ngelindur sodara-sodara!
Dalam keadaan setengah sadar, aku biasa melakukan hal-hal yang aneh. Pokoknya kalo tidur jangan sampe ada hape di deketku. Bahaya. Bisa-bisa aku kirim sms atau nelepon orang tanpa sebab. Aneh? Iya, ini emang aneh dan janggal sekali.
Aku bahkan pernah ngigo di kelas pas kuliah.Ya enggak ngigo yang ngomong-ngomong sendiri gitu, tapi ngomong gak jelas. Biasanya aku suka begitu kalo kesadaranku tinggal seperempat. Aku inget banget waktu mata kuliah teori puisi. Aku duduk di samping Nining. Aku berusaha keras merhatiin Dosen, sampe akhirnya angin semilir bikin aku ngantuk.
Aku nyoret-nyoret kertas sambil bilang gini ke Nining, "Ning, teori ini tuh kayak gini kan ... bla ... bla ..."
"Ha? Apa, Ndi?"
"Ini lho, teori ..."
5 detik kemudian, aku melotot, "Eh, ya ampun. Lupain, Ning, tadi aku setengah sadar."
Kadang suka bete sendiri kalo udah sadar sepenuhnya :|
Gimana coba kalo misalnya aku ngomong nggak bener? Misalnya, saat aku mimpi sesuatu, kebangun, ketakutan, lalu sms babe kayak begini: Pak, mangga depan rumah kayaknya udah mateng. Paketin ke Jogja ya...
Seminggu kemudian paketan mangga dateng, dan aku hanya bingung menatapnya. -_-
Oh, ya, sekarang masih jam 4 pagi.
Jangan-jangan ... pas aku nge-blog kayak gini, aku lagi ngigo????