Penulisan Kreatif #2

Yak, ini adalah tulisan kedua gue di kelas Penulisan Kreatif-nya Pak Aprinus. Minggu ini tugasnya disuruh bikin cerpen. Ini adalah kelas yang paling gue suka diantara kelas lainnya. Soalnya, di kelas ini gue berasa menemukan dunia baru yang sangat menyenangkan. Berbeda dengan kelas lain yang suka bikin pala gue puyeng, di kelas ini gue bisa melenturkan otak (?), ngakak bareng sekelas, dengerin Pak Aprinus 'mendongeng' yang gak bikin gue bosen sama sekali, ngelatih diri buat menulis yang lebih baik, dan yang jelaaaas, hanya di kelas inilah kami bisa memaki-maki atau memuji tulisan temen tanpa rasa bersalah. Hahahaha.
Gue paling suka dengan cara ngajar beliau. Jadi tuh, ntar per anak disuruh iuran 2 ribu. Duitnya dikumpulin dan dikasiin ke anak yang tulisannya paling bagus. Lumayan lah, bisa buat bertahan hidup selama seminggu. Jadilah kelas ini sebagai ajang kompetisi. Dan begonya, gue gak ada persiapan sama sekali. Padatnya aktivitas bikin gue lupa kalo ada tugas bikin cerpen *alesan doang sih sebenernya*. Gue adalah tipe orang yang sante. Bukan mentang-mentang gue suka nulis cerpen trus gue ngeremehin matkul ini, tapi gue emang suka garap tugas mepet-mepet detlen, hahaha. Miss Deadliner, kata temen gue.  Gue ga tau kenapa otak gue suka buntu kalo bikin tugas jaoh-jaoh hari. Bahkan semalem, beberapa jam menjelang pengumpulan, gue stuck. Gue gak nulis apa-apa dan akhirnya .... gue ketiduran . Hzzzz ....
Bangun-bangun jam 5 pagi, gue rusuh sendiri di kamar, bingung setengah mati. hahaha. Jadilah gue bikin cerpen di kampus, tepatnya di kelas Metode Penelitian Bahasa. Gue nulis di sela-sela Pak Tri ngejelasin materi. Yeah, gue adalah mahasiswa paling dodol, nulis pas ada matkul lain. -_-
Tapi untungnya sih kagak ketahuan Pak Tri, ehehehe. Gomeeeeeen, Pak Tri, saya kepepet tenan hlo >,<
Sejam kemudian, cerpen itu kelar dan jeng ... jeng ...

Gue mules. Ya, gue mules lihat cerpen gue sendiri. Flat, gak ada konflik, jelek, parah banget pokoknya. Gue ogah lihat cerpen itu. Tapi ga tau kenapa tadi si Salsa malah bilang, "Walo gak ada konfliknya tapi gue suka kok bacanya." *terharuuuuuu!*
Nah, sebelum semua cerpen dibedah anak-anak, Pak Aprinus ngasih kotbah dulu. Intinya, beliau bilang gini nih ...
"Usia kalian itu memang berada di masa transisi. Tapi, ayolah kembangkan cakrawala berpikir kalian. Bacaan kalian udah bukan G*dis, G*ul, atau majalah remaja menye-menye lainnya. Baca tulisan yang lebih 'mikir'. Jangan cuma cinta-cintaan mulu yang ditulis, bla ... bla ... "
Gue tutup telinga. Hahaha, nyindir banget sih, Pak! Ya, gue emang lebih suka tulisan ngepop dibanding tulisan 'mikir'. Tulisan gue juga kebanyakan tentang kisah cinta dramatis. Oke, gue mungkin udah jadi korban drama jepang ato korea -____-
Tapi apapun itu, gue tetep suka novel pop. Jalan gue emang disitu. Gue udah sepaket ama Bang Raditya Dhika, Alit, dan beberapa penulis komedi. Kalo urusan tulisan genre romace, gue paling suka tulisannya Ilana Tan. Itu soswit!:3
Walo begitu, gue juga gak menutup diri buat baca tulisan sekelas SGA, Djenar, Ayu Utami, dll. Gue suka tulisan mereka. Di otak gue, gak ada yang namanya tulisan 'pop' atau 'serius'. Itu hanya pengkotak-kotakan yang akan mengerdilkan cakrawala berpikir. Bahkan Pak Aprinus sendiri yang jalur tulisannya adalah sastra 'serius', beliau juga tidak suka mengkotak-kotakkan karya sastra. Gue jadi inget pas minggu kemaren si Budi nanya ke beliau.
"Pak, kalo bikin tulisan populer bagaimana?" tanya Budi.
"Maksudnya?"
"Ya ... bukan tulisan sastra gitu.."
"Memangnya yang kamu sebutkan itu bukan sastra?"
HAHAHAHAHA. Mati lu bud! Makanya, gue paling kesel sama orang yang suka menjudge novel pop sebagai novel ecek-ecek dan novel 'serius' sebagai novel yang paling bermutu. Prek! Ini bukan semata-mata karena gue suka novel pop, tapi ya ... gue gak suka aja kalo ada orang suka nge-judge gitu tanpa mau meneliti ke dalem-dalemnya. Ibarat aliran, dia itu udah kena aliran sesat, HAHAHA. Banyak kali novel pop yang isinya mutu. Bagi gue, semua karya sastra patut dihargai, karena menulis juga butuh mikir. Fenomena membanjirnya novel pop di dunia sastra bahkan bisa dijadikan objek penelitan yang menarik (calon skripsi gue, amiiiiin). Intinya, gue pengen nyampein ini: Jangan mempersempit pikiran!
Oke, oke, gue tahu tulisan gue makin ke mana-mana. Sebelum makin gak jelas, mending gue posting cerpen "preketek" yang gue bikin tadi pagi. Tulisan ekstra kilat yang gue persembahkan buat Pak Aprinus! Monggo dibaca, ini tanpa edit! Hahahaha... XD




AKU INGIN ….
Oleh: Indiana Malia
11/320185/SA/16205

            Sore hari. Hujan turun begitu deras, sama seperti hari-hari kemarin. Di bawah payung yang sama, Jihan dan Randi berjalan beriringan. Seragam putih abu-abu mereka tampak sedikit basah terkena tempias hujan. Berbeda dengan Randi yang tampak santai, Jihan justru sebaliknya. Dia berkali-kali menyuruh Randi untuk berjalan lebih cepat.
            “Kau mau ke mana, sih? Buru-buru sekali!” Randi mengomel sambil membenarkan payungnya yang tertiup angin.
            “Aku harus segera pulang, Randi. Setengah jam lagi guru lesku datang. Mama bisa marah kalau aku sampai terlambat,” jelas Jihan tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.
            “Memangnya Mamamu tak tahu kalau sekarang hujan? Wajar kan kalau terlambat?” ada nada emosi dalam suara Randi.
            “Tidak bisa, Ran. Kau seperti tak tahu Mamaku saja!”
            Randi melirik sahabatnya sambil menghela napas pelan. Dia tahu bagaimana kehidupan sahabatnya itu selama ini. Setelah pulang sekolah, Jihan akan disibukkan dengan berbagai macam les privat yang telah disiapkan orang tuanya. Mulai dari les mata pelajaran sekolah sampai les musik. Jihan baru bisa bersantai pada hari Minggu, waktu yang biasanya dia habiskan bersama Randi.
            “Ya, aku tahu …,” kata Randi pelan.
            Lima belas menit kemudian, sampailah mereka di depan rumah Jihan. Randi menutup payungnya. Hujan sudah mereda.
            “Aku masuk dulu, ya …,” kata Jihan dengan terburu-buru.
            Randi mengangguk. Ditatapnya gadis anggun itu hingga menghilang di balik pintu, lalu beralih ke istana yang berdiri megah di hadapannya. Ya, istana yang menjadi tempat tinggal Jihan. Randi tahu, di dalam sana ada banyak kesenangan. Kasur yang nyaman, makanan enak, dan belasan pembantu yang dengan setia meringankan beban mereka.
            “Astaga!” Randi terkesiap. Entah berapa lama dia terpaku di depan gerbang. Randi segera bergegas menuju rumahnya yang berjarak 1 km dari rumah Jihan. Ada banyak pekerjaan yang harus dia lakukan.
            Baru saja kakinya menginjak teras rumah, Ibu sudah berteriak-teriak dengan raut muka menyeramkan.
            “Dari mana saja kau, Randi? Kami sudah jamuran karena terlalu lama menunggumu!”
            “Tadi hujan deras, Bu. Sopir pribadi Jihan mendadak sakit, jadi aku harus mengantarnya pulang,” jelas Randi sembari melepas sepatunya.
            “Ya sudah, lekas ke ruang makan,” kata Ibu akhirnya.
            Randi masuk ke dalam kamarnya, mengganti seragam sekolahnya dengan kaos oblong, lalu beranjak ke ruang makan. Di sana, Ayah, Ibu, dan kedua adiknya sudah menunggu. Randi menarik kursi di depannya. Setelah Ayah memimpin doa, keluarga kecil itu lalu menikmati menu makan siang yang sederhana. Memang sudah menjadi kebiasaan, mereka selalu makan bersama-sama, mulai sarapan sampai makan malam. Begitu pula ketika shalat, mereka melaksanakannya dengan berjamaah.
            Selesai makan, Ayah dan Ibu segera pergi ke sawah, melanjutkan pekerjaan mereka. Sedangkan Randi mengurus kolam lele di belakang rumah. Kedua adiknya asyik bermain di bawah pohon jambu yang berdiri tak jauh dari kolam lele.
            “Kalau saja aku menjadi penghuni istana itu, pasti sekarang aku bisa tidur siang dengan nyaman,” bisik Randi tanpa sadar.
            Ya, sejujurnya dia memang iri dengan kehidupan Jihan yang seperti tuan puteri itu. Bagaimana tidak? Jihan memiliki kedua orang tua yang sukses dan menyayanginya sepenuh hati. Tak ada satu pun permintaan Jihan yang tidak dituruti. Bahkan, tanpa diminta, kedua orang tuanya memberinya fasilitas bimbingan belajar privat. Alangkah menyenangkannya hidupnya.
            Pada saat yang bersamaan, di dalam istana yang selalu dibayangkan Randi, tampak Jihan yang duduk rapi di depan guru lesnya. Matanya menatap lurus whiteboard yang berdiri di depannya, sementara pikirannya melayang ke sebuah rumah sederhana yang dihuni oleh sahabatnya, Randi. Dia selalu membayangkan dirinya menjadi salah satu anggota keluarga itu. Dia rindu dengan kebersamaan yang selalu dia lihat setiap kali bertandang ke rumah Randi. Ya, kebersamaan yang tidak pernah dia dapatkkan di istana ini.
            “Baiklah, sampai di sini dulu pelajaran kita kali ini. Sampai jumpa minggu depan,” kata Bu Rani, guru les Jihan.
            Jihan terkesiap, lalu mengangguk pelan. Baru saja Bu Randi menghilang dari balik pintu, Mama muncul dengan kalimat yang sudah dia hafal diluar kepala. Seperti kaset rusak.
            “Bergegas, Jihan. 20 menit lagi kelas piano dimulai.  Kau harus berlatih dengan giat. Minggu depan keluarga Pak Priambodo datang. Mama tak mau pertunjukanmu mempermalukan keluarga,” ucap Mama.
           Jihan tak menjawab. Saat ini, yang dia inginkan hanya keluar dari istana ini. Istana yang memenjarakan kebebasannya.




Yogyakarta, 19 Maret 2013.
Pukul 09.05 WIB.

           


This entry was posted on Senin, 18 Maret 2013. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply