Ini adalah tulisan perdana gue di kelas Penulisan Kreatif. Ceritanya disuruh bikin feature sama Pak Aprinus, tapi enggak tahu kenapa malah jadi kayak cerpen -_____-
Dan ini adalah komen pedesnya Pak Aprinus, "Aku nggak butuh keterharuanmu e, aku pengennya ya aku yang dibikin terharu, bukan penulisnya."
Mak jleeeeebbbb!
Oke deh, Pak. Makasih atas kritikannnya. Saya akan berusaha lebih baik lagi :)
Dan ini adalah komen pedesnya Pak Aprinus, "Aku nggak butuh keterharuanmu e, aku pengennya ya aku yang dibikin terharu, bukan penulisnya."
Mak jleeeeebbbb!
Oke deh, Pak. Makasih atas kritikannnya. Saya akan berusaha lebih baik lagi :)
KOLONG
MELARAT
Oleh: Indiana Malia
11/320185/SA/16205
Hampir setiap pagi, ketika
saya berangkat kuliah, saya melihat pemandangan itu di perempatan MM UGM. Seorang
ibu-ibu setengah baya dan beberapa anak kecil yang asyik memegang kain kumal. Penampilan
mereka tampak sangat memprihatinkan. Ibu tersebut memakai baju kurung yang
sobek di sana-sini, sandal yang nyaris putus, juga sebuah kerudung sebagai
penutup kepala. Begitu pula anak-anak kecil yang berkeliaran di sana,
penampilan mereka tidak jauh berbeda. Saya hafal betul, setiap kali lampu merah
menyala, mereka akan berduyun-duyun turun ke jalanan. Ibu-ibu itu seketika
mengeluarkan kalimat yang selalu diulang-ulang seperti kaset rusak, sementara
tangannya menyodorkan kantong plastik bekas makanan. Seperti biasa, orang-orang
yang tengah menunggu lampu hijau menyala itu hanya menatapnya beberapa detik,
lalu membiarkannya begitu saja. Kalau sedang beruntung, dia akan menerima
beberapa keping receh. Sementara itu, anak-anak kecil yang membawa kain kumal
akan beramai-ramai mengusapkan kain tersebut ke motor atau mobil. Dalam sekejap
para pemilik kendaraan bermotor itu akan menggelengkan kepalanya, menolak jasa
kebersihan yang justru dirasa akan mengotori kendaraan mereka. Terkadang malah
ada yang dengan begitu tega membentak mereka. Kasihan.
Ketika melihat pemandangan
itu sehari-hari, terbersit bermacam-macam pikiran dalam benak saya. Sementara
saya bisa tidur nyenyak di dalam kamar yang nyaman, di mana mereka akan
merebahkan tubuhnya? Kata orang, mereka biasa tinggal di kolong jembatan yang
rentan penyakit. Sebut saja tempat itu sebagai kolong melarat, yaitu tempat
yang dihuni oleh orang-orang melarat kesrakat. Atau kalau tidak, mereka biasa
menggeletakkan tubuh mereka di emperan toko yang sudah tutup. Keadaan itu sungguh
berbanding terbalik dengan orang-orang yang berhamburan duit setiap hari. Sebut
saja mereka konglomerat, kumpulan orang kaya yang hartanya tak akan habis
sampai tujuh turunan. Ah, perpaduan yang pas sekali. Kolong melarat dan
konglomerat.
Seringkali hati saya terasa
nyeri setiap kali melihat penghuni kolong melarat itu bertebaran di jalanan,
mengais rezeki dengan cara meminta-minta, mengamen, atau membersihkan kendaraan
dengan sehelai kain kumal. Rasanya saya ingin sekali melakukan sesuatu yang
bermanfaat untuk mereka, misalnya membangun sekolah gratis atau melatih
keterampilan para orang tua. Namun, rasa nyeri itu mendadak menguap beberapa
bulan kemudian.
Sore itu, langit Jogja
tampak sangat cerah. Dengan mengendarai motor mio, saya menuju Swalayan Mirota
Kampus sambil menyanyi riang. Saya ingin membeli sebuah kue tart. Oh, ya, hari
itu sahabat saya, Rita, sedang berulang tahun. Saya berniat memberinya kejutan
tengah malam nanti. Sesampainya di Mirota Kampus, saya segera menuju tempat
khusus yang menjual aneka macam kue tart. Setelah memilih-milih, saya lalu
menyuruh seorang pegawai Mirota untuk membungkusnya. Tepat saat itulah, sebuah
pemandangan mengejutkan hadir di hadapan saya.
“Mbak, kue tart yang saya
pesan kemarin mana ya?” tanya seorang Ibu-ibu dengan tergesa-gesa.
Salah satu pegawai Mirota
langsung mengambil sebuah kotak besar, lalu menyerahkannya pada Ibu-ibu itu.
“Silakan, Bu.”
Mulut saya menganga. Saya perhatikan
Ibu-ibu itu dengan mata tak berkedip, dari atas sampai bawah. Dia memakai baju
kurung yang tak terawat, sandal jepit yang nyaris putus, juga sebuah kerudung
yang bertengger di kepalanya. Tangannya dengan sigap mengambil sebuah dompet
dari saku, lantas mengeluarkan beberapa lembar uang yang jumlahnya tak sedikit.
Saya berani bertaruh, dia adalah Ibu-ibu yang biasa berkeliaran di MM UGM.
Bagaimana saya tidak hafal? Nyaris setiap hari saya melihatnya!
“Beli kue buat siapa, Bu?”
tanya saya, berpura-pura basa-basi.
“Buat cucu saya, Mbak. Hari
ini dia ulang tahun,” jawab Ibu-ibu itu dengan sumringah.
Setelah menyelesaikan
transaksi, Ibu-ibu itu segera keluar dari Mirota. Tanpa sadar saya
mengikutinya, tidak peduli dengan teriakan pegawai Mirota yang tadi membungkus
kue tart pesanan saya. Di luar, saya melihat Ibu-ibu itu mengambil motor Vario
kinclong, lantas membawanya keluar dari area parkir. Saya sangat syok hingga
tak bisa berkata-kata.
Oh, Tuhan, tampaknya tak
semua penghuni kolong melarat itu adalah orang-orang yang kesrakat.
Rupa-rupanya orang yang konglomerat pun bisa saja menjadi salah satu anggota
kolong melarat. Ya, menjadikannya sebagai kedok. Kurang ajar. Saya tertipu.