1. Dam
"Aku bosan," kata Dam sambil menghela nafas pelan.
"Maksudmu?" aku mengerutkan kening sambil menyandarkan diri di gerbang kost. Siang itu Jogja sangat panas. Aku menyuruhnya masuk, namun dia menolak.
"Ya ... bosan. Bosan dengan Re, bosan dengan Fa, bosan denganmu ...," katanya lagi, kali ini suaranya agak pelan. Mungkin takut dengan tatapan mataku yang meminta penjelasan. Tapi aku tak mengatakan apa pun.
"Aku tahu, tindakanku terkadang menyakiti kalian, tapi aku sama sekali tak bermaksud demikian. Aku hanya..."
"Ya sudah, tak apa. Mungkin kau butuh waktu sendiri," aku mencoba tersenyum.
Tak lama kemudian, motornya melaju dari hadapan mataku. Itu adalah obrolan terakhirku dengannya. Malam harinya, aku tak sengaja melihat novel 5 CM di rak bukuku. Kubaca sekali lagi, dan mataku terpaku di bagian yang paling menyesakkan.
"Dam, entah kenapa aku merasa kisah 5 CM kok mirip kita ya?" tanyaku lewat sms.
"Kalau begitu, kita seperti mereka saja. Diem-dieman sampai keadaan membaik," timpal Dam.
"Berapa lama?"
"Sebulan."
"Itu terlalu lama, Dam!"
"Ya sudah, kalau begitu, sehari saja."
Dan saat itu rasanya aku ingin menangis. Entah kenapa.
2. Re
"Ayo main ...!" Re berteriak ceria seperti biasanya.
"Aku nggak bisa, Re. Habis ini aku cabut, ada hal yang harus kuurus," kataku.
Re memonyongkan bibirnya. "Tuh, kaaaaan! Pasti nggak bisa!"
"Hehehe, lain kali deh ..."
"Huuu, lama-lama kamu kayak si Fe sama Dam, deh. Nggak ada waktu buat aku, sibuuuuk terus!"
"Aduh, say, beneran deh. Bukannya begitu, bentar lagi aku mau lengser dari kepengurusan. Aku mau nyiapin program terakhir."
"Iya ... aku tahu, kok. Good luck, ya!"
"Makasih...!" aku melambaikan tangan dan bersiap pergi. Tapi aku tahu, bocah itu beberapa hari ini sangat kesepian.
3. Fe
Dari kejauhan, aku melihat Fe tengah berkutat dengan sesuatu. Dia tampak sangat sibuk. Wajahnya berkerut-kerut. Aku urung menyapanya. Takut mengganggu. Ya sudah, aku pergi saja ...
4. Aku
Aku merasakan kekosongan. Aku merasakan sekat di antara kita. Hei, ada apa? Aku tak tahu sejak kapan ini terjadi. Tahu-tahu kita agak berjauhan dan semakin lama semakin jauh. Jauh. Sibuk? Mungkin. Aku sibuk di organisasi A, di acara B, sibuk dengan C, tapi semuanya terasa kosong.
Kenapa?
Mungkin aku terlampau bosan dengan rutinitas yang begitu-begitu saja. Kuliah, makan di bonbin, rapat di komsat, rapat KMSI, menulis di kamar, membaca buku, lalu tidur. Dan perlahan-lahan aku tenggelam dalam putaran waktu yang tak berujung.
Ada apa?
Di sela-sela rutinitas membosankan itu, batinku seringkali berbisik: Aku kangen kalian.
Kangen dengan Fe, Dam, dan Re. Aku tak ingat kapan terakhir kali kita makan bersama. Aku tak ingat kapan terakhir kali kita menatap senja yang indah dari tangga GSP. Aku tak ingat kapan terakhir kali kita mencurahkan perasaan masing-masing sembari makan jagung bakar. Aku tak ingat kapan terakhir kali kita bisa tertawa lepas tanpa ada yang saling menyakiti.
Aku terlalu berlebihan? Melankolis? Mungkin. Hahaha, suasana hatiku memang tidak stabil akhir-akhir ini.
Sampai kapan mau berdiam diri, wahai?
"Aku tahu aku menyakiti hatinya,"
"Aku sudah terbiasa diperlakukan seperti itu, jadi ya sudah,"
"Aku ... aku tidak tahu,"
Ah. Mau sampai kapan? Aku kangen kalian, tapi di sisi lain, aku tahu 'waktu' itu belum datang menghampiri kita. Mungkin aku harus menunggunya.
5. Kecewa
Malam itu, air mataku tumpah ruah. Mungkin aku sudah berada di puncak kejenuhan bercampur kebosanan bercampur segala macam perasaan. Dadaku terasa sangat sesak. Aku tak pernah merasa begini sebelumnya. Aku menelungkupkan kepalaku di bantal dan berteriak sekeras-kerasnya.
Malam itu, ada perasaan kecewa yang teramat sangat.
Kau tahu bagaimana rasanya dikecewakan?
Kau tahu bagaimana rasanya diabaikan?
Kau tahu bagaimana rasanya diacuhkan tanpa alasan?
Sungguh, apa lagi yang harus kulakukan?
Satu per satu pergi. Menolak ajakanku dengan segala macam alasan.
"Aku nggak bisa, Mbak. Ada acara ini, ini, dan ini ..."
"Maaf, aku ada banyak kegiatan di kampus. Acaraku lebih penting dibanding acara ini."
"Aku ingin fokus satu per satu."
Tangisku semakin keras. Dengan dada naik-turun menahan sesak, aku berbisik, "Aku tidak meminta lebih. Sungguh. Aku hanya meminta sedikit waktumu untuk organisasi ini. Sedikiiiittt saja. Apa kau tak ingat dengan ikrar itu? Bukankah segala sesuatu yang kita lakukan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah?"
Dan tangisku semakin meledak ketika membaca sebuah tulisan dari salah seorang kakak. Tulisan yang dia hadiahkan kepada kami ketika baru saja menjadi pengurus. Kubaca baik-baik tulisan itu, dan nyaris apa yang dia tulis terjadi sama persis dengan yang kurasakan.
‘Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan’ (QS. An Nisaa: 125) Keikhlasan membuat kita tak kenal lelah dan tak kenal henti dalam menyampaikan Al Haq karena tujuan kita hanya satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika tujuan kita menyimpang kepada yang sifatnya duniawi, maka saat tujuan itu tak tercapai, kita akan mudah kecewa dan berbalik ke belakang. Bila berda’wah lantaran mengharapkan apa-apa yang ada pada manusia, berupa penghormatan, penghargaan, pengakuan eksistensi diri, popularitas, jabatan, pengikut dan pujian, maka hakekatnya kita telah berubah menjadi hamba manusia, bukan lagi hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kisah yang sangat menarik ketika Khalid bin Walid selaku panglima perang yang notabene sangat berjasa bagi kaum muslimin, tiba-tiba diturunkan jabatannya menjadi prajurit biasa, oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun Umar melakukan itu karena melihat banyaknya kaum muslimin yang mengelu-elukan kepahlawanan dan cenderung mengkultuskan Khalid, sehingga Umar khawatir hal itu akan membuat Khalid menjadi ujub (bangga diri), yang dapat berakibat hilangnya pahala amal-amal Khalid di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan subhanallah’., Khalid tidak marah ataupun kecewa karena jabatannya diturunkan, bahkan ia tetap turut berperang di bawah komando pimpinan yang baru. Ketika ditanya tentang hal itu, Khalid menjawab dengan tenang, ‘Aku berperang karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena Umar.‘
Pada bagian itulah tangisku bisa benar-benar berhenti. Ikhlas. Kata itu bagaikan menjadi obat mujarab ketika hati ini kotor oleh rasa benci dan marah. Dan perlahan-lahan aku mulai menata niatku lagi. Bukankah tekadku dari awal adalah 'memberi', bukan 'meminta?'. Ya, memberi apapun yang bisa kuberikan. Bukan membebani orang lain dengan permintaan yang terkadang dirasa memberatkan. Sungguh, aku tak berniat memberatkan siapapu. Terima kasih Mbak Yuar, tulisanmu selalu bisa menghilangkan kegalauanku.
6. Ikhlas
"Kau harus belajar ikhlas," kata Karin ketika melihatku yang sedang termenung-menung sambil bertopang dagu. Beberapa menit yang lalu aku melihat pesawat terbang di langit sana.
Aku hanya tersenyum. "Iya."
Kira-kira hampir 2 tahun aku berkutat dengan bunga sakura. Sungguh menyenangkan melihat bunga itu tumbuh mekar. Tapi, aku juga sadar bahwa ini bukanlah tempat yang cocok untuknya. Jika dipaksa untuk tumbuh di sini, lama-kelamaan dia pasti mengering lalu mati.
"Jalanmu masih panjang," kata Karin lagi. "Bukankah impianmu masih tetap sama seperti dulu? Melanjutkan S2 di Jepang, berkarya sebanyak-banyaknya, membangun sekolah anak-anak..."
"Hentikan. Tentu saja aku tidak lupa," kataku.
"Nah, makanya ..."
"Tanggal berapa sekarang?" tanyaku tiba-tiba.
"Tanggal 28 Maret. Kenapa?"
"Sudah mendekati, ya ..."
Mata Karin membulat. "Eh, kau ..."
"Aku sudah ikhlas."
"Maksudmu?"
"Dulu, kupikir aku tak akan bisa membiarkan bunga itu dibawa pergi begitu saja. Tapi rupanya Dia mengabulkan doaku."
"Doa apa?"
"Semoga sebelum bunga itu menghilang dari hadapanku, Dia bersedia membalikkan hatiku. Dan sekarang, perasaanku jauh lebih ringan. Beban itu perlahan-lahan menghilang," aku tersenyum.
Karin pun tersenyum penuh arti. Wajahnya tampak bahagia bercampur lega.
|
|
|
Kau pernah merasa jenuh?
|
|
|
Jenuh dengan keadaan. Jenuh dengan segala hal yang bisa membuat emosimu naik turun. Seperti yang kurasakan sekarang. Jenuh. Jenuh. Jenuh.
|
|
|
Aku hanya ingin semuanya kembali normal.
|
|
|
Aku ingin berkumpul kembali dengan Re, Fe, dan Dam. Tertawa bersama tanpa ada yang merasa menyakiti atau disakiti.
|
|
|
Aku ingin organisasi yang kuikuti hampir 2 tahun ini bisa sehangat dulu. Aku ingin memberikan apapun sebanyak yang aku punya. Karena aku menyayangi kalian.
|
|
|
Aku ingin kejenuhan ini cepat pergi.
Yogyakarta, 28 Maret 2013.
Pukul 16.31 WIB
"Aku bosan," kata Dam sambil menghela nafas pelan.
"Maksudmu?" aku mengerutkan kening sambil menyandarkan diri di gerbang kost. Siang itu Jogja sangat panas. Aku menyuruhnya masuk, namun dia menolak.
"Ya ... bosan. Bosan dengan Re, bosan dengan Fa, bosan denganmu ...," katanya lagi, kali ini suaranya agak pelan. Mungkin takut dengan tatapan mataku yang meminta penjelasan. Tapi aku tak mengatakan apa pun.
"Aku tahu, tindakanku terkadang menyakiti kalian, tapi aku sama sekali tak bermaksud demikian. Aku hanya..."
"Ya sudah, tak apa. Mungkin kau butuh waktu sendiri," aku mencoba tersenyum.
Tak lama kemudian, motornya melaju dari hadapan mataku. Itu adalah obrolan terakhirku dengannya. Malam harinya, aku tak sengaja melihat novel 5 CM di rak bukuku. Kubaca sekali lagi, dan mataku terpaku di bagian yang paling menyesakkan.
"Dam, entah kenapa aku merasa kisah 5 CM kok mirip kita ya?" tanyaku lewat sms.
"Kalau begitu, kita seperti mereka saja. Diem-dieman sampai keadaan membaik," timpal Dam.
"Berapa lama?"
"Sebulan."
"Itu terlalu lama, Dam!"
"Ya sudah, kalau begitu, sehari saja."
Dan saat itu rasanya aku ingin menangis. Entah kenapa.
2. Re
"Ayo main ...!" Re berteriak ceria seperti biasanya.
"Aku nggak bisa, Re. Habis ini aku cabut, ada hal yang harus kuurus," kataku.
Re memonyongkan bibirnya. "Tuh, kaaaaan! Pasti nggak bisa!"
"Hehehe, lain kali deh ..."
"Huuu, lama-lama kamu kayak si Fe sama Dam, deh. Nggak ada waktu buat aku, sibuuuuk terus!"
"Aduh, say, beneran deh. Bukannya begitu, bentar lagi aku mau lengser dari kepengurusan. Aku mau nyiapin program terakhir."
"Iya ... aku tahu, kok. Good luck, ya!"
"Makasih...!" aku melambaikan tangan dan bersiap pergi. Tapi aku tahu, bocah itu beberapa hari ini sangat kesepian.
3. Fe
Dari kejauhan, aku melihat Fe tengah berkutat dengan sesuatu. Dia tampak sangat sibuk. Wajahnya berkerut-kerut. Aku urung menyapanya. Takut mengganggu. Ya sudah, aku pergi saja ...
4. Aku
Aku merasakan kekosongan. Aku merasakan sekat di antara kita. Hei, ada apa? Aku tak tahu sejak kapan ini terjadi. Tahu-tahu kita agak berjauhan dan semakin lama semakin jauh. Jauh. Sibuk? Mungkin. Aku sibuk di organisasi A, di acara B, sibuk dengan C, tapi semuanya terasa kosong.
Kenapa?
Mungkin aku terlampau bosan dengan rutinitas yang begitu-begitu saja. Kuliah, makan di bonbin, rapat di komsat, rapat KMSI, menulis di kamar, membaca buku, lalu tidur. Dan perlahan-lahan aku tenggelam dalam putaran waktu yang tak berujung.
Ada apa?
Di sela-sela rutinitas membosankan itu, batinku seringkali berbisik: Aku kangen kalian.
Kangen dengan Fe, Dam, dan Re. Aku tak ingat kapan terakhir kali kita makan bersama. Aku tak ingat kapan terakhir kali kita menatap senja yang indah dari tangga GSP. Aku tak ingat kapan terakhir kali kita mencurahkan perasaan masing-masing sembari makan jagung bakar. Aku tak ingat kapan terakhir kali kita bisa tertawa lepas tanpa ada yang saling menyakiti.
Aku terlalu berlebihan? Melankolis? Mungkin. Hahaha, suasana hatiku memang tidak stabil akhir-akhir ini.
Sampai kapan mau berdiam diri, wahai?
"Aku tahu aku menyakiti hatinya,"
"Aku sudah terbiasa diperlakukan seperti itu, jadi ya sudah,"
"Aku ... aku tidak tahu,"
Ah. Mau sampai kapan? Aku kangen kalian, tapi di sisi lain, aku tahu 'waktu' itu belum datang menghampiri kita. Mungkin aku harus menunggunya.
5. Kecewa
Malam itu, air mataku tumpah ruah. Mungkin aku sudah berada di puncak kejenuhan bercampur kebosanan bercampur segala macam perasaan. Dadaku terasa sangat sesak. Aku tak pernah merasa begini sebelumnya. Aku menelungkupkan kepalaku di bantal dan berteriak sekeras-kerasnya.
Malam itu, ada perasaan kecewa yang teramat sangat.
Kau tahu bagaimana rasanya dikecewakan?
Kau tahu bagaimana rasanya diabaikan?
Kau tahu bagaimana rasanya diacuhkan tanpa alasan?
Sungguh, apa lagi yang harus kulakukan?
Satu per satu pergi. Menolak ajakanku dengan segala macam alasan.
"Aku nggak bisa, Mbak. Ada acara ini, ini, dan ini ..."
"Maaf, aku ada banyak kegiatan di kampus. Acaraku lebih penting dibanding acara ini."
"Aku ingin fokus satu per satu."
Tangisku semakin keras. Dengan dada naik-turun menahan sesak, aku berbisik, "Aku tidak meminta lebih. Sungguh. Aku hanya meminta sedikit waktumu untuk organisasi ini. Sedikiiiittt saja. Apa kau tak ingat dengan ikrar itu? Bukankah segala sesuatu yang kita lakukan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah?"
Dan tangisku semakin meledak ketika membaca sebuah tulisan dari salah seorang kakak. Tulisan yang dia hadiahkan kepada kami ketika baru saja menjadi pengurus. Kubaca baik-baik tulisan itu, dan nyaris apa yang dia tulis terjadi sama persis dengan yang kurasakan.
‘Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan’ (QS. An Nisaa: 125) Keikhlasan membuat kita tak kenal lelah dan tak kenal henti dalam menyampaikan Al Haq karena tujuan kita hanya satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika tujuan kita menyimpang kepada yang sifatnya duniawi, maka saat tujuan itu tak tercapai, kita akan mudah kecewa dan berbalik ke belakang. Bila berda’wah lantaran mengharapkan apa-apa yang ada pada manusia, berupa penghormatan, penghargaan, pengakuan eksistensi diri, popularitas, jabatan, pengikut dan pujian, maka hakekatnya kita telah berubah menjadi hamba manusia, bukan lagi hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kisah yang sangat menarik ketika Khalid bin Walid selaku panglima perang yang notabene sangat berjasa bagi kaum muslimin, tiba-tiba diturunkan jabatannya menjadi prajurit biasa, oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun Umar melakukan itu karena melihat banyaknya kaum muslimin yang mengelu-elukan kepahlawanan dan cenderung mengkultuskan Khalid, sehingga Umar khawatir hal itu akan membuat Khalid menjadi ujub (bangga diri), yang dapat berakibat hilangnya pahala amal-amal Khalid di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan subhanallah’., Khalid tidak marah ataupun kecewa karena jabatannya diturunkan, bahkan ia tetap turut berperang di bawah komando pimpinan yang baru. Ketika ditanya tentang hal itu, Khalid menjawab dengan tenang, ‘Aku berperang karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena Umar.‘
Pada bagian itulah tangisku bisa benar-benar berhenti. Ikhlas. Kata itu bagaikan menjadi obat mujarab ketika hati ini kotor oleh rasa benci dan marah. Dan perlahan-lahan aku mulai menata niatku lagi. Bukankah tekadku dari awal adalah 'memberi', bukan 'meminta?'. Ya, memberi apapun yang bisa kuberikan. Bukan membebani orang lain dengan permintaan yang terkadang dirasa memberatkan. Sungguh, aku tak berniat memberatkan siapapu. Terima kasih Mbak Yuar, tulisanmu selalu bisa menghilangkan kegalauanku.
6. Ikhlas
"Kau harus belajar ikhlas," kata Karin ketika melihatku yang sedang termenung-menung sambil bertopang dagu. Beberapa menit yang lalu aku melihat pesawat terbang di langit sana.
Aku hanya tersenyum. "Iya."
Kira-kira hampir 2 tahun aku berkutat dengan bunga sakura. Sungguh menyenangkan melihat bunga itu tumbuh mekar. Tapi, aku juga sadar bahwa ini bukanlah tempat yang cocok untuknya. Jika dipaksa untuk tumbuh di sini, lama-kelamaan dia pasti mengering lalu mati.
"Jalanmu masih panjang," kata Karin lagi. "Bukankah impianmu masih tetap sama seperti dulu? Melanjutkan S2 di Jepang, berkarya sebanyak-banyaknya, membangun sekolah anak-anak..."
"Hentikan. Tentu saja aku tidak lupa," kataku.
"Nah, makanya ..."
"Tanggal berapa sekarang?" tanyaku tiba-tiba.
"Tanggal 28 Maret. Kenapa?"
"Sudah mendekati, ya ..."
Mata Karin membulat. "Eh, kau ..."
"Aku sudah ikhlas."
"Maksudmu?"
"Dulu, kupikir aku tak akan bisa membiarkan bunga itu dibawa pergi begitu saja. Tapi rupanya Dia mengabulkan doaku."
"Doa apa?"
"Semoga sebelum bunga itu menghilang dari hadapanku, Dia bersedia membalikkan hatiku. Dan sekarang, perasaanku jauh lebih ringan. Beban itu perlahan-lahan menghilang," aku tersenyum.
Karin pun tersenyum penuh arti. Wajahnya tampak bahagia bercampur lega.
|
|
|
Kau pernah merasa jenuh?
|
|
|
Jenuh dengan keadaan. Jenuh dengan segala hal yang bisa membuat emosimu naik turun. Seperti yang kurasakan sekarang. Jenuh. Jenuh. Jenuh.
|
|
|
Aku hanya ingin semuanya kembali normal.
|
|
|
Aku ingin berkumpul kembali dengan Re, Fe, dan Dam. Tertawa bersama tanpa ada yang merasa menyakiti atau disakiti.
|
|
|
Aku ingin organisasi yang kuikuti hampir 2 tahun ini bisa sehangat dulu. Aku ingin memberikan apapun sebanyak yang aku punya. Karena aku menyayangi kalian.
|
|
|
Aku ingin kejenuhan ini cepat pergi.
Yogyakarta, 28 Maret 2013.
Pukul 16.31 WIB