Beberapa waktu yang lalu, saya menjadi panitia Latihan Instruktur Madya (LIM) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IMM DIY. Di sana, saya menemukan teman-teman baru dari komisariat luar UGM. Tentu saja saya senang. Jumlah panitia saat itu hanya 12 orang, 2 dari UGM, 2 dari UNY, dan sisanya dari UMY. Acara LIM berlangsung selama 4 hari di asrama Persada Universitas Ahmad Dahlan (UAD). 4 hari di sana membuat saya semakin akrab dengan teman-teman panitia dan para instruktur. Kita berbagi cerita. Tentang perkembangan komisariat, program-program kerja, hobi, rencana masa depan komsat, dll. Dari sekian banyak cerita di sana, ada satu cerita yang masih membekas di hati saya hingga kini. Benar-benar membekas.
Siang itu panas sekali. Setelah menyiapkan konsumsi peserta dan mencuci gelas dan piring, saya naik ke kamar panitia yang terletak di lantai 5. Saya lelah dan ingin istirahat sejenak. Saya tidak sadar sudah tidur berapa lama, tahu-tahu pintu kamar saya terbuka dan muncul seseorang sambil membawa makanan. Sebut saja Mbak Rahmi.
"Masya Allah, mbok ya jangan ngagetin!" saya terlonjak dari tempat tidur.
"Hehehe, makan dulu, Ndi. Tadi aku sms kamu tapi gak bales, jadi aku langsung ke sini. Ayo makan dulu, kamu kan belum makan," kata Mbak Rahmi sambil menyodorkan kotak nasi.
Dengan agak sungkan aku menerima kotak nasi itu. Bagaimana tidak sungkan? Bisa-bisanya saya ketiduran 2 jam sedangkan di bawah sana panitia pada sibuk :(
"Age dimakan, Ndi," kata Mbak Rahmi lagi.
Aku tersenyum, lantas membuka kotak nasi itu. Niatnya sih habis makan langsung turun, tapi entah mengapa kami malah asyik bergosip ke sana ke mari. Hahaha. Tapi, tenang ... gosip ini benar-benar membuat saya mencelos! Yang saya tahu, Mbak Rahmi adalah orang yang cekatan dalam melakukan segala hal, rada galak kayak saya, tapi berhati baik. Saya tidak menyangka bahwa dibalik keceriaannya tersimpan sebuah kisah yang membuat saya 'mikir jeru'. Kami berbagi cerita mengenai dunia perkuliahan.
"Kamu tahu, Ndi? Aku tidak pernah menyangka bisa kuliah seperti sekarang," katanya.
"Kok bisa?"
"Ya. Aku dulu sempat di luar negeri selama 3 tahun. Nyari kerja, nyambung hidup."
Saya terdiam.
"Di luar negeri itu ..."
"Ya, semacam jadi TKW begitulah. Lulus SMA, aku langsung ke luar negeri. Nggak tahu, tiba-tiba kepikiran gitu aja. Aku anak pertama dari 3 bersaudara. Bapakku sakit-sakitan. Kalau bukan aku yang menjadi tumpuan keluarga, lalu siapa lagi?" ungkapnya.
Saya tidak berani menyela ketika dia bercerita. Di luar negeri, Mbak Rahmi bekerja keras mengumpulkan uang untuk keluarganya. Yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana dia bisa membantu meringankan beban keluarganya. Dengan gaji 6 juta per bulan, dia menyisihkan sebagian uang itu untuk meraih impiannya: kuliah. Hingga tibalah saat itu. Tahun 2011, tahun yang menguji kesabarannya. Bapaknya Mbak Rahmi dipanggil oleh Allah SWT. Saat itu, Mbak Rahmi masih di luar negeri. Malam sebelum Bapaknya meninggal, dia sempat bercakap-cakap dengan beliau melaui telepon. Apakah kau tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kau cintai ketika kau jauh darinya? Saya tidak dapat membayangkan perasaan Mbak Rahmi saat itu. Majikannya sempat menyuruhnya pulang, namun dia enggan.
"Buat apa saya pulang kalau hanya akan menambah kesedihan? Saya akan tetap bekerja." katanya.
"Istirahat saja, Rahmi."
"Tidak, Bu. Saya lebih baik bekerja daripada menangis di dalam kamar."
Ketabahan hatinya sungguh membuat hati saya runtuh. Bagaimanalah? Mendengar ceritanya membuat saya teringat dengan Bapak dan Ibu saya di rumah. Apalagi saya juga anak pertama dari 3 bersaudara. Saya belum tentu mempunyai keberanian seperti dia.
Tapi, saya sama sekali tidak menemukan raut kesedihan ketika dia bercerita. Saya tahu, dia memang ceria. Mungkin karena kita memiliki kesamaan watak (keras, galak, rada tomboy, hahaha), jadi kita bisa mudah berbagi cerita.
Setelah 3 tahun bekerja, dia pulang ke Indonesia dan mendaftar kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) jurusan Pendidikan Agama Islam. Masya Allah, saya sungguh salut. Biasanya, orang yang sudah bekerja dan memiliki gaji tinggi cenderung malas untuk memikirkan pendidikan.
"Ndy, biaya kosmu berapa e?" dia mengalihkan perhatian.
"4 juta sekian mbak. Kalo mbak?," jawabku.
"Aku di asrama UMY, jadi agak lebih murah... Trus, biaya kuliahmu piye?"
"Alhamdulillah aku dapat beasiswa, Mbak. Uang kuliah dan biaya hidup ditanggung pemerintah," jawabku.
"Enak, ya... Aku yo pengen e, Ndy."
"Hehehe," saya tak dapat berkata-kata.
"Pernah bolos kuliah?"
"Kamis kemarin aku bolos, hehehe. Kepala agak migrain, ditambah mood nggak enak, jadi bolos deh ..."
"Ealaaaah. Ning jangan keseringan bolos, Ndi. Eman-eman kuliahmu. Kamu kan kuliah dibiayai pemerintah tho? Jadi ya harus amanah..."
JLEB.
"Kamu itu masih beruntung lho dibanding aku. Wes kuliah ra mbayar, biaya hidup ditanggung, makmur tenan tho?"
Saya menunduk.
"Waktu itu ndak bakal bisa kembali, Ndy. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya. Kowe pasti bakal nyesel suatu saat kalau masih berlarut-larut dalam kesedihan. Ora apik," katanya lagi.
Ehm, saya memang ada sedikit masalah saat itu. Dan itu membuat mood saya berubah-ubah sampai sekarang. Tapi, kisahnya itu ... duhai, bagaimana saya bisa mengungkapkannya? Semangatnya benar-benar luar biasa. Saya malu.
Sekarang, Mbak Rahmi tercatat sebagai mahasiswa angkatan 2012. Dapatkah kau bayangkan bagaimana dia bisa menyesuaikan diri? Tapi, buktinya dia bisa. Dia tidak malu dengan keadaan dirinya. Dia supel, tidak menutup diri dengan orang lain. Satu lagi, dia percaya diri. Di kampus, dia megikuti organisasi IMM hingga bisa bertemu dengan saya di kepanitiaan LIM. Sungguh saya bahagia :)
"Ndak pengen nikah, Mbak? Kan sudah cukup umur tho?" goda saya.
"Hahaha, apa sih kamu ini. Aku belum mikir ke situ. Westalah, daripada galau masalah begituan, kuliah seng bener sik. Nanti kalau sudah saatnya aku pasti ketemu jodoh yang baik, hehehe."
"Eaaaaaaak...."
"Lho, bener tho?"
"Iya, Mbak ..."
Itu adalah sepenggal kenangan saya di Persada. Mbak Rahmi, kisahmu sungguh membuat hati saya nyeri, Mbak. Saya salut. Dan semoga, kelak kau akan mendapatkan laki-laki sholeh seperti yang kau harapkan. Amin :)
#Saat menulis ini, saya sedang kangen dengan teman-teman IMM UMY, terutama Mbak Rahmi. Semoga Allah selalu menjaga mereka#
Yogyakarta, 10 Maret 2013
Pukul 00.31 WIB