Kira-kira satu minggu yang lalu, aku melemparkan sebuah pertanyaan kepada teman-temanku.
"Kau pernah takut mati?" tanyaku.
"Tidak pernah. Untuk apa takut? Toh semuanya sudah diatur oleh Allah," jawab si A.
"Pernah. Sering malah," jawab si B.
"Ngapain sih nanya-nanya begitu? Tumben," jawab si C.
Aku terdiam. Aku juga tidak tahu mengapa aku menanyakan hal itu. Sejujurnya, dalam beberapa hari terakhir aku sering dihantui mimpi-mimpi yang aneh. Benar-benar aneh dan janggal hingga membuatku ketakutan. Ketika aku bangun, peluh keringat membanjiri tubuh. Aku hanya bisa beristighfar dan berdoa semoga tidak terjadi apa-apa.
Kira-kira 2 hari yang lalu, alam bawah sadarku membawaku pergi ke masa lalu. Aku bermimpi sedang berkumpul dengan teman-teman SMP, lalu teman-teman SMA, lalu bersama keluargaku. Mungkin memang benar, aku sedang kangen dengan keluarga di rumah. Kangen dengan sahabat-sahabat masa sekolah. Tapi, mengapa mimpi itu datangnya beruntun? Aku takut, atau jangan-jangan memang aku yang terlalu paranoid. Aku lalu menelepon keluarga, berharap tidak terjadi apa-apa.
Ada apa? Kenapa pikiranku akhir-akhir ini sering mengarah kepada kematian?
"Mungkin kamu sedang diingatkan oleh Allah," kata seorang teman.
"Diingatkan bagaimana?"
"Ya, diingatkan bahwa hidupmu di dunia hanya sementara."
Lagi-lagi aku terdiam. Mungkin saja perkataannya benar. Dan ketika membaca Al-Qur'an, aku seperti mendapatkan tamparan keras.
"Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan."
(QS.Al Imran:185).
Bukankah itu firman-Mu?
Dan tengkukku langsung merinding. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telingaku.
Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati ...
Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati ...
Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati ...
Ya, mati. Kematian merupakan sebuah misteri yang tak seorang pun dapat mengetahuinya. Dan pagi tadi, ketika mataku baru terbangun dari tidur, sebuah sms datang dan langsung membuat jantungku berdegup keras. Salah satu teman masa SMA meninggal dunia. Kurang percaya, aku langsung membuka grup FB yang beranggotakan teman-teman se-SMA. Oh, berita itu benar adanya. Innalillahi ...
Aku terdiam lama di depan laptop. Aku memang tidak begitu akrab dengan temanku yang meninggal itu. Dulu kelas kami bersebelahan saat kelas 1, dan aku mengenalnya gara-gara salah satu sahabatku dekat dengannya. Tak kusangka, mingggu ini dia dipanggil oleh Allah.
"Hei, kematian tak memandang umur! Bisa jadi besok atau lusa, kau akan menyusulnya," kata sebuah suara.
Ak merinding. Ya, kematian memang tak memandang umur. Dulu, ketika aku masih duduk di kelas 1 SMA, salah satu teman SMP-ku juga meninggal dunia. Yang membuatku merinding, dia dan teman SMA-ku meninggal karena kecelakaan di tempat yang sama.
Bagaimana aku tidak takut? Hari minggu aku dan beberapa temanku akan survey lokasi ke tempat yang sangat jauh. Kami akan mengikuti program hibah desa yang diadakan Dikti. Sepanjang jalan, aku tak henti-hentinya menyuruh Iza untuk hati-hati. Jalanannya meliuk-liuk dan berada di puncak gunung. Padahal, biasanya aku biasa saja melewati jalanan seekstrim apapun. Dan alhamduliiah, kami pulang dengan selamat meskipun sempat nyaris menabrak kendaraan lain.
Sampai di kos, pikiranku tentang temanku yang meninggal itu kembali hadir. Aku sibuk bertanya.
"Sedang apa dia sekarang?"
"Apakah dia sudah dimintai pertanggung jawaban?"
"Seperti apa rasanya mati? Sesakit apa?"
"Apakah dia bisa melihat kami yang masih hidup di dunia?"
dan seterusnya ... dan seterusnya...
Kalau kau bertanya apakah aku takut mati, tentu saja kujawab "Ya, aku takut mati." Bagaimana jika aku mati dalam keadaan yang masih bergelimang dosa? Mungkin itu pertanyaan klise, tapi cobalah berpikir, memangnya ada manusia yang mau mati dalam keadaan bertumpuk dosa?
Ketika aku sedang galau-galaunya, aku tiba-tiba teringat dengan sebuah materi kajian dari Mbak R setahun lalu. Ketika itu, kami sedang mendiskusikan sesuatu bernama "Uqdatul Kubro", sebuah simpul besar pertanyaan manusia.
1. Dari mana saya berasal?
2. Untuk apa saya ada atau hidup di dunia ini?
3. Akan ke mana saya setelah kehidupan ini?
Dan berbicara tentang Uqdatul Kubro, aku juga teringat dengan sebuah kejadian paling mengerikan dalam hidup saya. Kejadian yang membuatku tak bisa tidur, menangis berhari-hari, ketakutan, hingga akhirnya sebuah suara hati menuntunku untuk berjilbab selepas lulus SMA. Dan aku tidak akan melepasnya apa pun yang terjadi.
Hhhh ...
Sungguh, kabar tentang kematian temanku itu membuatku tak bisa tidur. Tapi, aku juga harus mengucapkan terima kasih padanya. Dia telah mengingatkanku bahwa sejatinya manusia tak selamanya hidup di dunia. Hanya kepada Allah-lah kita kembali.
Selamat jalan, kawan ...
Semoga segala amal ibadahmu diterima di sisi-Nya ...
Senin, 18 Maret 2013.
Pukul 04.57 WIB
"Kau pernah takut mati?" tanyaku.
"Tidak pernah. Untuk apa takut? Toh semuanya sudah diatur oleh Allah," jawab si A.
"Pernah. Sering malah," jawab si B.
"Ngapain sih nanya-nanya begitu? Tumben," jawab si C.
Aku terdiam. Aku juga tidak tahu mengapa aku menanyakan hal itu. Sejujurnya, dalam beberapa hari terakhir aku sering dihantui mimpi-mimpi yang aneh. Benar-benar aneh dan janggal hingga membuatku ketakutan. Ketika aku bangun, peluh keringat membanjiri tubuh. Aku hanya bisa beristighfar dan berdoa semoga tidak terjadi apa-apa.
Kira-kira 2 hari yang lalu, alam bawah sadarku membawaku pergi ke masa lalu. Aku bermimpi sedang berkumpul dengan teman-teman SMP, lalu teman-teman SMA, lalu bersama keluargaku. Mungkin memang benar, aku sedang kangen dengan keluarga di rumah. Kangen dengan sahabat-sahabat masa sekolah. Tapi, mengapa mimpi itu datangnya beruntun? Aku takut, atau jangan-jangan memang aku yang terlalu paranoid. Aku lalu menelepon keluarga, berharap tidak terjadi apa-apa.
Ada apa? Kenapa pikiranku akhir-akhir ini sering mengarah kepada kematian?
"Mungkin kamu sedang diingatkan oleh Allah," kata seorang teman.
"Diingatkan bagaimana?"
"Ya, diingatkan bahwa hidupmu di dunia hanya sementara."
Lagi-lagi aku terdiam. Mungkin saja perkataannya benar. Dan ketika membaca Al-Qur'an, aku seperti mendapatkan tamparan keras.
"Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan."
(QS.Al Imran:185).
Bukankah itu firman-Mu?
Dan tengkukku langsung merinding. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telingaku.
Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati ...
Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati ...
Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati ...
Ya, mati. Kematian merupakan sebuah misteri yang tak seorang pun dapat mengetahuinya. Dan pagi tadi, ketika mataku baru terbangun dari tidur, sebuah sms datang dan langsung membuat jantungku berdegup keras. Salah satu teman masa SMA meninggal dunia. Kurang percaya, aku langsung membuka grup FB yang beranggotakan teman-teman se-SMA. Oh, berita itu benar adanya. Innalillahi ...
Aku terdiam lama di depan laptop. Aku memang tidak begitu akrab dengan temanku yang meninggal itu. Dulu kelas kami bersebelahan saat kelas 1, dan aku mengenalnya gara-gara salah satu sahabatku dekat dengannya. Tak kusangka, mingggu ini dia dipanggil oleh Allah.
"Hei, kematian tak memandang umur! Bisa jadi besok atau lusa, kau akan menyusulnya," kata sebuah suara.
Ak merinding. Ya, kematian memang tak memandang umur. Dulu, ketika aku masih duduk di kelas 1 SMA, salah satu teman SMP-ku juga meninggal dunia. Yang membuatku merinding, dia dan teman SMA-ku meninggal karena kecelakaan di tempat yang sama.
Bagaimana aku tidak takut? Hari minggu aku dan beberapa temanku akan survey lokasi ke tempat yang sangat jauh. Kami akan mengikuti program hibah desa yang diadakan Dikti. Sepanjang jalan, aku tak henti-hentinya menyuruh Iza untuk hati-hati. Jalanannya meliuk-liuk dan berada di puncak gunung. Padahal, biasanya aku biasa saja melewati jalanan seekstrim apapun. Dan alhamduliiah, kami pulang dengan selamat meskipun sempat nyaris menabrak kendaraan lain.
Sampai di kos, pikiranku tentang temanku yang meninggal itu kembali hadir. Aku sibuk bertanya.
"Sedang apa dia sekarang?"
"Apakah dia sudah dimintai pertanggung jawaban?"
"Seperti apa rasanya mati? Sesakit apa?"
"Apakah dia bisa melihat kami yang masih hidup di dunia?"
dan seterusnya ... dan seterusnya...
Kalau kau bertanya apakah aku takut mati, tentu saja kujawab "Ya, aku takut mati." Bagaimana jika aku mati dalam keadaan yang masih bergelimang dosa? Mungkin itu pertanyaan klise, tapi cobalah berpikir, memangnya ada manusia yang mau mati dalam keadaan bertumpuk dosa?
Ketika aku sedang galau-galaunya, aku tiba-tiba teringat dengan sebuah materi kajian dari Mbak R setahun lalu. Ketika itu, kami sedang mendiskusikan sesuatu bernama "Uqdatul Kubro", sebuah simpul besar pertanyaan manusia.
1. Dari mana saya berasal?
2. Untuk apa saya ada atau hidup di dunia ini?
3. Akan ke mana saya setelah kehidupan ini?
Dan berbicara tentang Uqdatul Kubro, aku juga teringat dengan sebuah kejadian paling mengerikan dalam hidup saya. Kejadian yang membuatku tak bisa tidur, menangis berhari-hari, ketakutan, hingga akhirnya sebuah suara hati menuntunku untuk berjilbab selepas lulus SMA. Dan aku tidak akan melepasnya apa pun yang terjadi.
Hhhh ...
Sungguh, kabar tentang kematian temanku itu membuatku tak bisa tidur. Tapi, aku juga harus mengucapkan terima kasih padanya. Dia telah mengingatkanku bahwa sejatinya manusia tak selamanya hidup di dunia. Hanya kepada Allah-lah kita kembali.
Selamat jalan, kawan ...
Semoga segala amal ibadahmu diterima di sisi-Nya ...
Senin, 18 Maret 2013.
Pukul 04.57 WIB