Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #1

Kamis, 15 Oktober 2015


"Nduk, kamu bawa power bank nggak pas di gunung nanti?" Bapak tiba-tiba nongol di ambang pintu kamar.
Aku yang saat itu sedang berkemas-kemas sontak mendongak sembari menaikkan alis. Heran campur geli. "Bawa. Kenapa?"
"Ya buat nge-charge hape. Di sana beneran nggak ada sinyal, ya?" tanyanya lagi.
Aku semakin ingin ngakak. "Palingan di basecamp doang, Pak."
"Nanti kalau sudah mau naik kabarin, ya."
"Hmmm..."
Bapak kemudian berlalu dari hadapanku. Aku tercenung sesaat. Pertanyaan Bapak barusan benar-benar membuatku geli. Bagaimana tidak? Doi udah sering merambah alam liar, bro! Tidak terhitung berapa kali doi *pssst, aku menyebutnya "doi" karena Bapakku gaul sekali* pergi ke alam liar berhari-hari tanpa sinyal. Sebagai seorang pembina ekskul Pecinta Alam yang sering nemenin murid-muridnya ekspedisi ke mana-mana, doi pasti tahu kalau di pedalaman sana nggak ada tower. Hahaha. Yeah, kukira ini adalah bentuk kekhawatiran seorang Bapak kepada anak. Padahal, ini bukan sekali dua kali aku berpamitan untuk naik gunung. Mungkin karena kali ini aku pamitannya di rumah, jadi lebih kerasa gitu (?). Yeah, FYI aku baru dua hari pulkam dan besoknya langsung pamit ke gunung. 
"Nduk, segini cukup, nggak?" Ibu masuk ke kamar sembari membawa dua kresek beras, sekresek apel, sekresek jajanan, dan sekresek kentang. 
Aku melongo. "Maaaaak! Ini kebanyakan!"
Hahaha. Duh, Gusti. Begini, ya, rasanya kalau mau mbolang dari rumah. Nggak usah khawatir logistik karena ibuku sudah pasti akan menjejali carrier-ku dengan beraneka ragam makanan. Beda banget kalau lagi di Jogja, mau beli ini-itu musti dipikir mateng-mateng.
"Lha kalau nanti kamu kelaparan gimana?"
"Haha, ora...ora! Temenku, kan, banyak..." aku lagi-lagi terkikik geli. Setelah ibuku pergi, aku menata ulang barang-barang yang akan kubawa mendaki. Barang yang sekiranya nggak penting buru-buru kusingkirkan. SB, baju ganti, kaos kaki, masker, headlamp, senter, kacamata item, dan logistik kumasukkan satu per satu ke dalam carrier berkapasitas 45L. Fiuh, selesai juga.


Malam itu, aku tidur dengan lelap. Besok aku akan memulai perjalanan panjang, melakukan pendakian terakhir sekaligus memperingati satu tahun pendakianku *alah*. Dan sebagai penutupan, aku memilih Mahameru sebagai gunung terakhir yang kudaki di tahun ini. Mengapa pendakian terakhir? Apakah aku sudah bosan mendaki? Aha, tentu saja tidak. Sebagai seorang fresh graduate yang luntang-lantung, tentu sudah menjadi kewajiban untuk sesegera mungkin menanggalkan status pengangguran. Udah nggak sebebas dulu kalau mau ke mana-mana. Lagi pula, saat ini bencana kebakaran gunung terjadi di mana-mana. Jadi kupikir sudah saatnya lah membiarkan gunung-gunung itu menyembuhkan diri terlebih dahulu. Nanti kalau udah pada sehat, baru didaki lagi. Tsah, omonganku kek orang bener aja. 
Oke, lanjut!
Seperti biasa, setiap kali akan mbolang, aku akan browsing sebanyak-banyaknya mengenai tempat yang kutuju. Dari sekian hasil penjelajahan di dunia maya, aku paling tertarik dengan tulisan ini https://simplyindonesia.wordpress.com/2012/10/02/sekali-mendaki-puncak-mahameru-dua-tiga-survival-terlampaui/. Catatan perjalanan berdarah-darah tiga orang pendaki koplak menuju Mahameru ini amat kocak dan bikin aku ngakak berkali-kali. Sedikit banyak aku mengambil pelajaran dari catatan itu. 

Logistik bawa apa saja?

Sebuah pesan Whatsapp dari Mas Ilham masuk ke ponselku. Masih ingat dia siapa? Kalau kamu membaca catatan perjalananku beberapa bulan lalu, kamu pasti tahu *sok-sokan, padahal blog eike mah sepi-sepi aja*. Jadi, Mas Ilham ini adalah seorang teman yang kukenal di Pare kurang lebih setahun lalu. Kami pernah melakukan pendakian bareng di Gunung Ijen sebelumnya. Jadi, ini adalah pendakian bareng kedua kami. 

Bawa banyak. Tenang ja. Semua beres.

Beberapa saat kemudian, aku tergabung dalam grup Whatsapp "Ranukumbolo". FYI, dalam perjalanan kali ini sebenarnya ada perbedaan tujuan. Mbak Fai, Mbak Nisa, dan Mas Fendi memilih mendaki sampai Ranukumbolo, sedangkan aku, Mas Ilham, Mas Firman a.k.a Pencit, dan Mas Syaiful a.k.a Pleir berencana mendaki sampai puncak (kalau sanggup). Dari semua anggota itu, satu-satunya orang yang kukenal cuma Mas Ilham doang, hahahaha. Lantas, seperti apakah perjalanan kami? Lihat saja nanti! 


Jumat, 16 Oktober 2015

Selepas jumatan, Bapak mengantarku ke kota. Hari itu aku sudah janjian bakal ketemuan sama Mas Ilham di kos Dila. Sepanjang jalan Bapak selalu mewanti-wanti untuk lekas ngabarin kalau udah mo mendaki. Maklum, belakangan emang lagi banyak berita kebakaran. Sesampainya di kos Dila, Mas Ilham pun menjemputku. Setelah berpamitan dengan Bapak, aku dan Mas Ilham melanjutkan perjalanan ke rumahnya yang terletak di Lumajang. Rencananya kami akan berangkat bareng anak-anak lain di sana. Perjalanan dari Jember ke Lumajang kurang lebih memakan waktu 2 jam. Di tengah jalan, kami berhenti sejenak di depan sebuah toko untuk menunggu Mas Pencit dan Mas Pleir. Sesampainya di rumah Mas Ilham, kami istirahat sembari menunggu kedatangan Mbak Fai, Mbak Nisa, dan Mas Fendi.
"Hei, kenalin nih!" Mas Ilham memperkenalkanku pada dua orang adik tingkatnya.
"Indi," aku mengulurkan tangan.
"Firman."
"Syaiful."

Krik. Krik. Krik.

Kesan pertama ketika berkenalan dengan dua makhluk itu adalah: mereka amat pendiam. Bakat radio rusak (doyan ngoceh) yang kupelihara sejak orok mendadak padam seketika. Mereka memilih duduk-duduk di luar. Aku? Tentu saja mengudap aneka gorengan yang tersaji di depan mata. Haha. Dan aksi mengudap gorengan pun terhenti ketika membaca sebuah pesan di grup Ranukumbolo. Serasa ada yang nyangkut di kerongkongan.

"He, Mas! Mbak Nisa sama Mas Fendi baru otw, cooooy!" aku heboh sendiri. Saat itu pukul 4 sore dan posisi Mbak Nisa dan Mas Fendi masih di Surabaya.
"Ha? Seng nggenah koe?"
"Iku lho wacanen nang grup!"
"Waduh, nyampe sini jam berapa mereka?"
Sungguh sebuah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, wahai Mas Ilham.
"Yo bengi tala, Mas." Aku langsung gletakan di kursi ruang tamu. Ngantuk berat. Kalau dipikir-pikir dengan akal sehat, tampaknya sangat tidak mungkin melakukan pendakian malam ini juga. Perjalanan dari rumah Mas Ilham ke Ranupani setidaknya memakan waktu 2 jam. Sudah pasti kami akan kelelahan.
"Piye, Ndi? Ra sido mlaku bengi noh?"
"Ya udah, nanjaknya besok."
Lagi pula, kami tidak tahu bagaimana perkembangan Semeru saat ini. Zaman dulu sih masih boleh jalan malem, kalau sekarang ya entahlah. Sembari menunggu Mbak Fai yang lagi otw dari Jember, aku, Mas Ilham, Mas Pleir, dan Mas Pencit bongkar-bongkar isi carrier. Selepas Isya', datanglah Mbak Fai dengan segala alat tempurnya yang bikin mata mo copot. Cewek setinggi 150cm itu sempoyongan membawa carrier kapasitas 80L dan satu tas besar berisi aneka ragam makanan. Sesampainya di ruang tamu dia langsung berkicau sesuka hati.
"Maaf, ya, telat. Aku habis kerja langsung cus sini. Ini dibawain makanan sama Mama. Trus ini yang ngepack barang-barang Abahku semua, dong! Hahahah!"
Aku melongo. Bagaimana bisa anak ini membawa beban yang lebih berat dari dirinya? -_-
"Fai, carriermu aku yang bawa aja yo? Kamu bawa tasku aja gimana?" ujar Mas Ilham sembari mengeluarkan barang-barang dari carrier.
"Iyo wis, terserah Mas. Malah enak, dong, enggak berat! Ahahaha!"
Aku hanya bisa mengelus dada.
"Sini, Mbak, tak bantuin packing. Mana aja yang mau dibawa?" Aku turun tangan.
"Ini, ini, sama ini. Eh, bawa ini nggak, ya? Kayaknya nggak usah. Kalau ini gimana, Mas Ilham? Bla...bla...bla..." anak itu heboh sendiri dengan peralatan tempurnya.


Ya Tuhan ...

Beberapa saat kemudian, sampailah Mbak Nisa dan Mas Fendi di rumah Mas Ilham. Untuk kedua kalinya mataku dibikin njepat melihat perbekalan yang mereka bawa. Hal yang membuatku nggak habis pikir adalah ketika melihat setoples biskuit nangkring di sana. Belum lagi makanan-makanan lain. Jika pada pendakian-pendakian sebelumnya aku selalu menjadi orang kere dengan bekal ngepas, tampaknya kali ini derajatku akan terangkat. Semacam foya-foya di alam liar. 
Sebelumnya Mas Ilham memang pernah bercerita kalau orang-orang yang bakal mendaki bersama kami ini adalah orang yang masih baru dalam dunia pendakian, jadi wajar saja jika ada kejadian koplak semacam ini. Kecuali Mas Pler dan Mas Pencit, sih. Mereka ini adalah adik tingkat Mas Ilham di Mapala Teknik UNEJ. Parahnya, Mas Ilham nggak terlalu kenal dengan mereka.

"Ndi, nanti kamu bareng salah satu di antara mereka, ya?"
"Yang mana?"
"Mana aja lah."
"Mas, kok mereka pendiam banget e? Bingung aku meh ngejak omong."
"Heee wong aku sebenernya nggak terlalu kenal sama mereka. Baru-baru ini ja."
"Sumpah?"
"Hehehehe..."


Fix lah, kami ber-7 adalah orang yang baru saling kenal. Anggap saja begitu. 


Sekitar pukul 11 malam, kami berangkat menuju Ranupani. Sejam pertama dilalui dengan lancar-lancar saja. Barulah ketika kami melewati tanjakan berbatu, kesabaran kami diuji. Tengah malam, dingin, dan berhadapan dengan batu gede-gede. Ngeri. Jalanan itu mengingatkanku pada jalanan menuju Alas Purwo. Sangat terjal. Bedanya, yang ini nanjak dan gelap-gelapan. Di tengah jalan, motor Mas Fendi tiba-tiba ngadat. Jangan macet, please! 

"Kenapa, Mas?" 
"Kayaknya akinya mati, deh. Yang, kamu turun, ya!" ucap Mas Fendi ke Mbak Nisa yang tak lain adalah pacarnya.
Mbak Nisa pun turun sembari mendorong motor Mas Fendi biar mau jalan. Sungguh pemandangan yang romantis di bawah taburan bintang. Hahahaha. Kesetiaan pacar pun diuji di saat-saat seperti ini. Berada di tengah jalan terjal yang sepi dan nggak ada sinyal. Melaz. 
Sekitar pukul setengah 2, sampailah kami di Ranupani. Udara dingin nan menusuk kulit menyambut kedatangan kami. Rupanya bukan kami saja yang datang terlambat dan baru bisa melakukan pendakian keesokan harinya. 
"Baru turun atau mau naik, Mas?" sapaku pada seorang mas-mas yang tengah menghirup segelas kopi.
"Mau naik, Mbak. Dateng telat tadi. Mbak sendiri?"
"Sama, mau naik juga. Dari mana, Mas?"
"Rombongan dari Probolinggo ini."
Aku mengangguk-angguk sambil mondar-mandir ke sana ke mari buat menghalau dingin. Setelah tenda didirikan, aku buru-buru masuk dan menggelungkan tubuhku pada SB. Oh, iya! Bapak! Aku buru-buru merogoh saku jaket dan mengeluarkan seonggok ponsel. Nggak ada sinyal. Ya sudah, yang penting aku sudah berpamitan sore tadi. Rencana Minggu malam sudah balik. 







Tetapi, tahukan Anda apa yang terjadi selanjutnya?






Manusia memang hanya bisa berencana, tetapi hanya Tuhan yang bisa memutuskan kapan kami kembali dari rimba Mahameru.






Bersambung.....

This entry was posted on Sabtu, 24 Oktober 2015. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

2 Responses to “Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #1”