Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #3

Minggu, 18 Oktober 2015

“Ngapain kamu di sini?” aku terkaget-kaget melihat sosok itu tiba-tiba masuk ke tenda.
“Aku nggak mungkin biarin kamu sendirian lah,” jawabnya dengan cuek, tapi berhasil membuat pipiku memanas.
“Gimana bisa kamu ada di sini? Kok kamu bisa tahu kalau aku di Semeru?”
“Rahasia,” lagi-lagi ia menjawab dengan gaya menyebalkan.
Aku memanyunkan bibir. Dongkol sekaligus penasaran, bagaimana mungkin bocah nyentrik itu tahu-tahu ada di sini. Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, ia keluar tenda. Aku buru-buru menyusulnya, tapi …
“Adaaaw!” aku merutuk. Ujung jilbabku tersangkut resleting tas!
“Kenapa, Mbak?”
“Ha?”
“Ada apa, Mbak?”
“Ha?” aku bingung. Semakin bingung setelah mendapati diriku terbungkus sleeping bag dengan posisi ndusel-ndusel Mbak Fai dan Mbak Nisa. Ke mana bocah nyentrik tadi? Aku buru-buru bangun. Di luar sana terdengar suara orang-orang yang meributkan sunrise. Barulah aku sadar apa yang sebenarnya terjadi. Ngebo selama 9 jam ternyata menghasilkan mimpi yang ra cetho tapi membuatku senyum-senyum sendiri. Aku lantas mengusap wajah berkali-kali. What the hell, ada apa denganku. Sebelum pikiranku makin nggak waras, aku lalu menunaikan sholat Subuh. Usai sholat, aku merasakan ada yang mendesak-desak di dalam tubuh. Kebelet pipis.

“Mbak, lihat sunrise, yuk! Sekalian anterin aku pipis, dong!” kataku.
“Bentar, ya, Cyin. Aku tak dandan disek,” ujar Mbak Fai sembari memoleskan maskara. Buset dah, sempat-sempatnya. Hahaha.
Begitu keluar dari tenda, kami langsung disambut udara dingin yang bikin tubuh kembali menggigil. Di depan danau, puluhan orang sibuk mencari spot terbaik untuk foto. Ya, matahari baru saja menyembul pelan-pelan dari balik dua bukit di ujung sana. Golden sunrise! Mbak Fai segera menyeretku ke pinggir danau, meninggalkan Mbak Nisa yang masih sibuk di dalam tenda. Kukeluarkan kamera digital dari saku jaket, kemudian memfoto Mbak Fai yang sudah siap berpose berbagai gaya. Puas foto-foto, kami berjalan menuju barisan toilet yang terletak di depan shelter. Ya, di Mahameru memang ada tempat khusus untuk buang air demi menghindari penyebaran ranjau. Aku segera masuk ke salah satu toilet dan menahan napas sampai urusanku selesai. Keluar dari toilet kepalaku langsung kliyengan.
“Mbak, pake maskernya kalau nggak pengen pingsan!” kataku pada Mbak Fai.
“Hahaha, oke. Titip hape, ya!” ucap Mbak Fai sembari menyerahkan ponselnya kepadaku. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari toilet dengan tampang yang sudah kuduga. Hahahaha. Mabok-mabok dah, lu!

Kami lalu berjalan menuju pinggiran danau. Entah kenapa, aku tidak terlalu bernapsu memotret. Setelah menjepret beberapa spot, aku langsung memasukkan kamera ke saku. Aku telanjur tersihir dengan kecantikan Danau Ranukumbolo pagi itu. Di pinggiran danau, tampak beberapa pohon tumbang yang menjadi spot foto favorit. Sementara itu, di belakangku tampak Tanjakan Cinta yang fenomenal akan mitosnya. Menurut cerita teman-temanku yang pernah ke sini, trek Tanjakan Cinta penuh dengan tipuan. Kelihatannya mudah, tapi sukses bikin orang ngos-ngosan dan dikit-dikit mandek. Aku jadi penasaran. Sesusah apa sih?

Sunrise di Danau Ranukumbolo

“Ayo, Mas, sini tak foto!” Mbak Fai menyeret Mas Ilham ke pinggir danau sambil bawa kertas. Aku tersenyum membaca tulisan di kertas itu. “Ciyeee, Mas Ilham!”
“Bukan aku lho yang nulis, si Fai nih!”
“Ahahaha, yang penting kan pesannya nyampe! Ciyeee!”
Mas Ilham senyum-senyum aja. Setelah foto dengan kertas bertuliskan nanana tersebut, kami lanjut jalan ke pinggiran danau sebelah utara, mendekati pohon tumbang yang menjulur di danau. Aku menghentikan langkah. Tiba-tiba hidungku terasa sakit, lalu merembet ke kening. Pening.
“Kalian foto-foto aja sana. Aku tunggu di sini, ya. Pengen menikmati pemandangan,” kataku sembari duduk di kayu-kayuan.
“Oke, kami mau cari spot foto dulu!”
Aku mengangguk saja. Setelah mereka pergi, aku mulai memijit kepalaku yang terasa pening. Heran, perasaan tadi tidak kenapa-napa. Hidungku juga terasa sakit. Pikiranku mulai aneh-aneh.

Duh, belum juga jalan ke Kalimati, udah pusing begini. Bagaimana kalau aku nggak usah lanjut jalan aja? Takut ngerepotin Mas Pleir dan Mas Pencit.
Tapi … kalau aku nggak lanjut, kasihan juga mereka udah beli tiket buat nemenin aku sampe besok. Aduh, ndasku kenopo seh? Please, ojok rewel ta ndas!

Sakit di hidungku semakin menjadi-jadi. Kupejamkan mataku rapat-rapat sembari memijit kepala. Entah berapa menit aku terpejam. Ketika membuka mata, aku mendapati dua orang mas-mas tengah memandangiku. Barangkali mereka heran melihat seorang cewek duduk sendirian sambil merem. Mana poseku kek orang galau. Hah. Bodo amat.
Setelah sakit di hidung dan kepala mereda, aku kembali ke tenda bersama Mbak Fai dan Mas Ilham. Aku lantas mengambil botol kosong dan kembali ke pinggir danau, ngambil air buat nyuci peralatan masak. Saat itulah, pandanganku tertumbuk pada seonggok manusia yang tengah sibuk menata posisi boneka beruang berukuran sedang di pinggir danau. Tak lupa ia menyematkan sebuah kertas di depan boneka tersebut. Entah apa tulisannya.
Mbak-mbak ini niat banget dah bawa boneka segede itu ke gunung, aku membatin sembari berjalan. Setiap kali mendaki atau ngegembel ke mana pun, aku pasti membawa barang seminimal mungkin. Barang yang sekiranya nggak penting bakal kutinggal. Alasannya cuma satu: biar nggak berat. Nggak kebayang kalau boneka itu masuk ke carrier-ku. Selain makan tempat, pastinya punggungku bakalan pretel lebih cepat. Sungguh luar biasa mbak-mbak pembawa boneka itu. Setrong. Eh, tapi tunggu sebentar! Aku memicingkan mata ketika tak sengaja menatap wajahnya. Kok mukanya nggak kayak cewek? Aku makin curiga ketika melihat dia berjalan. Agak … mmm … agak cucok. Tiba-tiba dia menatapku sambil senyum. Njir, aku buru-buru balik ke tenda.
Sambil membersihkan peralatan masak dengan air danau dan tissue basah, aku dan anak-anak ngobrol ngalor-ngidul.  Kompor yang sudah bersih segera dipakai untuk menyeduh air. 
“Kentangnya di mana, Mas? Rebusin kentang, dong!” kataku pada Mas Ilham macam orang ngidam.
“Mo ngerebus berapa?”
“Lima aja.”
“Oke.”
Setelah semua peralatan masak tercuci bersih, kami melingkari kompor. Mencari kehangatan. Gila, matahari sudah meninggi tapi masih saja dingin.
“Eh, kita belum foto bareng loh dari kemarin. Ayo foto!” Mbak Fai segera menjulurkan tongsis pink andalannya.
Mas Pencit dan Mas Pleir berkali-kali tertawa geli. Mereka mengaku baru pertama kali ini merasakan foto pakai tongsis, hal yang mereka pandang alay. Hahahaha. Yah, kalau diilihat dari penampakannya, mereka berdua kayaknya emang nggak terlalu suka nggaya di depan kamera.
“Yok, makan! Udah mateng, nih!”
Di depan kami tersaji mie instan aneka rasa. Agak mengherankan juga, kami bawa banyak makanan tapi yang dimasak mie instan melulu. Bukannya malas, tapi kayaknya kami lupa kalau di dalam tas masih ada wortel, bumbu masak, sarden, dll. Huehehehe.


Masak-masakan

Aku hanya memakan beberapa sendok mie, lalu mengunyah tiga biji kentang. Dan langsung kenyang. Usai makan, kami segera beres-beres. Kupandangi carrier-ku lamat-lamat. Perjalanan kita masih panjang, Nak. 
“Mbak, logistik masih ada nggak? Ini aku ada snack, bawa aja.”
“Tissue basahnya kurang nggak? Ini bawa aja.”
“Sekalian ini, ya. Kalian masih harus lanjut jalan. Jangan sampai kelaparan.”
“Iya. Ini bawa semua aja!”

“Apa lagi yang kurang?”
Aku, Mas Pencit, dan Mas Pleir tebengong-bengong melihat beragam makanan dimasukkan ke dalam kresek besar. Saking takutnya kami bakal mati kelaparan di gunung, anak-anak ini menghibahkan semua makanannya pada kami. Mereka hanya membawa setengah botol air mineral.
“Nggak papa. Bawa aja. Nanti kan ada orang jualan semangka juga, hahaha!” kata Mbak Nisa.
Ya ampun, aku jadi terharu. Tiba-tiba saja aku merasa agak sedih ketika akan berpisah dengan mereka.
“Sebelum pulang, foto bareng yuk depan danau!” ajak Mbak Fai.
Kami lantas menuju pinggir danau dan foto bareng. Setelah itu, mereka menyalami kami, macam melepas anak-anaknya yang akan pergi jauh.
“Kalian hati-hati, ya. Jaga diri baik-baik!” ucap Mbak Nisa.
“Aku titip Indi, ya.” Mas Ilham memandang Mas Pleir dan Mas Pencit, kemudian ganti memandangku, “Koe nek gak kuat ojo dipaksa pokok’e. Oke?”
Kami mengangguk. Mereka kemudian berjalan pulang sembari melambaikan tangan.
“Hati-hati …!”
“Semangat, ya, kalian!”
Aku tersenyum sambil membalas lambaian mereka, lantas membalikkan badan. Kenapa jadi sedih begini?
“Mau berangkat jam berapa, Mbak?” tanya Mas Pleir.
“Sekarang aja, yuk, biar nyampenya nggak kesorean,” jawabku.
“Oke.”
Sementara mereka membongkar tenda, aku membereskan barang-barang lain yang masih berserakan. Di sekitar kami, satu per satu tenda juga dibongkar. Beberapa kali kami disapa oleh para pendaki.
“Mau balik apa lanjut naik, Mbak?”
“Lanjut naik, Mas. Mas sendiri?”
“Mau balik ini, besok udah harus kerja soalnya, hehe. Mau naik sampe Kalimati apa muncak sekalian?”
“Sekuatnya kaki dah, Mas. Hahaha!”
“Hahaha. Oke, duluan, ya!”
“Monggo…!”
Setelah semua barang masuk ke dalam carrier, kami melanjutkan perjalanan. Di depan kami, Tanjakan Cinta sudah melambai-lambai minta didaki. Dan seperti biasa, jantungku akan berdegup cepat, tanda sedang menyesuaikan diri. Aku berjalan sembari menghitung dalam hati. Setiap 25 langkah, aku akan berhenti selama 10 detik. Tetapi semakin ke atas, hitunganku semakin sedikit. Aku menghentikan langkah di hitungan ke-15, lalu ke-10, lalu ke-5. Mula-mula hanya berhenti 10 detik, lama-lama bertambah jadi 15 detik, 25 detik, dan seterusnya. Hahaha. Di pertengahan tanjakan, aku menoleh ke belakang. Hijaunya Danau Ranukumbolo terbentang luas di bawah sana. Aku berdecak kagum.
“Apik, yo, Mas?” kataku pada Mas Pleir yang berdiri tak jauh dariku.
“Ho’oh, Mbak.”
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Konon, kalau kita mendaki Tanjakan Cinta tanpa menoleh sedikit pun sambil membayangkan orang yang disukai, niscaya orang tersebut akan balik menyukai kita. Dan aku telah menolehkan kepalaku sebelum sampai di puncak Tanjakan Cinta. Itu artinya, aku gagal membuat orang yang kusukai balik menyukaiku. Tapi masalahnya …



Aku lagi nggak suka siapa-siapa. 
Jadi, siapa pula yang mau kubayangin? Hahahaha!


Sesampainya di puncak Tanjakan Cinta, kami langsung menjatuhkan diri di atas tanah. Menatap kecantikan Danau Ranukumbolo sembari menenggak air mineral yang terasa mak nyeeesss. Seger banget!
“Mau naik apa turun, Mas?” sapaku pada seorang mas-mas yang tengah beristirahat di sampingku. Di sebelahnya ada seorang bapak-bapak sedang sibuk memijit kaki.
“Turun, Mbak. Kalian pada mau muncak?” ia balik bertanya.
Aku hanya mengendikkan bahu sambil tersenyum. “Sekuatnya kaki deh, Mas.”
“Semangat, Mbak. Pokoknya hanya orang sabar yang bisa menghadapi medan di puncak. Saya aja hampir mau menyerah,” kata si mas-mas yang sukses bikin aku ketar-ketir.
“Iya, Mbak. Kami lho sudah ampun-ampunan semalam. Eh pas sudah mau nyerah, kami teruuuss disemangatin sama rombongan dari Surabaya. Akhirnya, sampailah kami di puncak,” tambah bapak-bapak di sampingnya.
“HAI, KALIAN! TAK KIRO ILANG! HAHAHAHA!” sebuah teriakan dari bawah mencuri fokus kami. Seorang bapak-bapak berjalan cepat menuju ke arah kami.
“Alhamdulillah nggak ilang, hahaha!” sahut si mas-mas.
“Aku mau wes ketar-ketir ndek ngisor. Pokok nek sampek jam 12 dorong moleh, tak susul munggah!” ujar si bapak sembari duduk di depanku. Ia lantas menoleh ke arahku, “Mau naik?”
Aku, Mas Pleir, dan Mas Pencit serentak mengangguk.
“Wah, Mbak, semangat, ya! Kudu sabar! Pokok’e kudu sabar sampean. Dulu saya pernah muncak di sini, banyak yang nyerah di tengah jalan,” ujarnya.
“Iya. Semalam itu buaaanyak banget yang muncak, tapi pas nyampe atas cuma 20-an,” tambah bapak-bapak satunya.
“Memang semalam summit jam berapa?” tanya Mas Pencit.
“Jam 12-an dari Kalimati, Mas. Nyampe puncak jam 7-an. Antre banget, Mas, kalau mau muncak. Kami harus bikin jarak antarpendaki,” jelas si mas-mas.
“Gila! 7 jam summit. Aku dulu 5 jam-an. Gimana kita, ya?” ujar Mas Pleir.
“Yah, kalian harus sabar kalau bareng cewek. Beda tenaga soalnya, haha!” aku tertawa ngenes. Membayangkan summit lebih dari 7 jam bersama mereka kok rasanya nggak tega. Apakah mereka bakal sabar menemani aku yang jalannya lelet ini?
“Apa lagi kalau bawa cewek, Mas. Semalam itu buanyaaak cewek-cewek yang muncak juga, tapi sebagian besar pada turun karena nggak kuat. Treknya nyeremin, loh, Mbak. Mbaknya kalau mau muncak kudu digandeng. Kalau sendirian nanti kepayahan,” jelas si mas-mas.
Aku hanya tersenyum kecut. Sebelum pergi ke sini, aku sudah mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang pendakian ke Semeru. Dan, yah, tulisan-tulisan yang kubaca juga menceritakan hal yang sama, tentang sulitnya trek menuju puncak. Belum lagi berita-berita yang isinya tentang kematian para pendaki Semeru. Takut? Jelas. Tapi ketakutan itu tidak lebih besar dari rasa penasaran yang terus menghentak-hentak minta dituntaskan.
Setelah ngobrol ke sana ke mari, kami berpamitan. Tak lupa mereka menyemangati kami—terutama aku, sih. Cewek soalnya, hahaha. Tak sampai dua menit, kami disambut oleh pemandangan Oro-Oro Ombo di bawah sana. Menurut informasi yang kubaca, di sana ada banyak bunga berawarna ungu mirip Lavender. Konon, bunga itu adalah parasit yang dalam waktu dekat akan segera dimusnahkan. Sayang, kami datang pada musim kemarau. Bukannya menjumpai bunga-bunga cantik, kami malah menjumpai tanaman kering nan gersang.

Oro-Oro Ombo di musim kemarau
 Untuk menuju pos selanjutnya, ada dua jalur yang dapat dilewati, yaitu turun melewati Oro-Oro Ombo atau melipir ke bukit sebelah kiri yang treknya lebih mudah. Jalanannya mendatar dan lebih teduh. Kami memilih jalur melipir. Dua puluh menit kemudian, sampailah kami di pos Cemoro Kandang. Dan, betapa kagetnya kami saat menjumpai bapak-bapak penjual semangka!
“Semangka … ya Allah ada semangkaaaaa!” kami segera menghampiri bapak-bapak semangka, mencomot dua iris semangka, lalu tertawa-tawa.
“Hahaha, kupikir kita nggak bakal ketemu orang jualan lagi!”
“Iya. Logistik kita masih buanyak, lho, malah makan semangka. Ben, wes, menggoda iman kok!”
“Jangan-jangan di puncak nanti ada I*domaret, hahahaha!”
Kami semakin ngakak. Nggak jelas banget. Tak jauh dari kami, tampak dua orang bule sedang menikmati semangka. Di sampingnya ada mas-mas porter yang membawa barang-barang mereka.
“Nge-guide mereka, Mas?” tanyaku basa-basi.
“Iya, nih, nganter keponakan.”
“Njir, keponakan! Hahahaha!” Mas Pleir ngakak.
“Mbaknya sama siapa?”
“Sama mereka ini, Mas,” aku menunjuk Mas Pleir dan Mas Pencit.
“Pacarnya yang mana, Mbak?”
“Yang mana aja lah, Mas.”
“Pacarnya udah duluan, Mas. Nungguin di atas,” kata Mas Pencit.
“Masa? Iya ta, Mbak?”
“Hahahaha!” aku cuma tertawa.
“Tega banget, Mbak, masa naik gunung carrier-nya nggak dibawain?”
“Rapopo. Kan aku cewek setrong, Mas.”
“Haha. Namanya siapa, Mbak?”
“Indiana.”
“Nama facebook?”
“Ya itu wes, Mas.”
“Foto profilnya yang kek apa?”
“Emang kenapa?”
“Ya mau tak add, Mbak, kalau boleh. Kalau nggak boleh, ya, pin BB juga nggak papa.”
Preketek!
“Mbak, kenapa duduknya kayak gitu?” tanya dia lagi.
“Nggak papa, Mas. Pengen aja.”
“Nggak sakit ta, Mbak? Bisa jalan?”
“Bisa lah.”
“Ya udah, kapan?”
Aku terdiam sejenak, lalu ngakak. Baru sadar apa maksud perkataannya. What the hell koe, Mas.
Sembari menikmati semangka, aku iseng ngobrol dengan bapak-bapak penjual semangka. Ternyata, beliau dan kawan-kawan pedagang lain belum lama berjualan di Semeru. Mungkin sekitar 1 atau 2 tahunan. Booming film 5 cm rupa-rupanya membawa berkah bagi penduduk lokal Ranupani.
“Oke, Pak. Kami lanjut jalan, ya. Mari, Mas, duluan!” aku berpamitan.
“Ya, Mbak. Hati-hati. Salam buat pacarnya, ya!”
“Hahaha, yo, Mas!”
Kami pun melanjutkan perjalanan. Masuk ke dalam hutan, kami disambut oleh trek awal berupa jalanan mendatar. Banyak pohon tumbang di sana-sini yang menghalangi jalur pendakian.  Suasana siang itu sangat sepi, sampai-sampai aku bisa mendengar napasku sendiri. Kami jarang sekali berpapasan dengan pendaki. Kayaknya sebagian besar pendaki naik ketika akhir pekan. Besok adalah hari Senin, sudah pasti banyak yang pulang hari ini.
“Break, Mas!” ujarku dengan napas ngos-ngosan.
Kami lantas menyandarkan punggung di pohon besar. Makin lama treknya makin nanjak walau nggak parah-parah amat. Aku kembali menghitung dalam hati. Pada langkah ke 30, aku akan berhenti dan istirahat selama 10 detik, lalu lanjut jalan. Begitu terus sampai hitunganku semakin sedikit. Mulanya 30 langkah, lalu berkurang jadi 25 langkah, 20 langkah, sampai 5 langkah. Nggak papa lah pelan-pelan, asal bisa sampai dengan selamat. Aku semakin sering berhenti—walau hanya tiga detik—ketika trek yang kami lewati semakin menanjak. Di atas sana, kami melihat tiga orang pendaki tengah istirahat.
“Mau turun, Mas?” sapaku.
“Ndak, Mbak. Ini kami mau naik, cuma lagi istirahat. Dia tepar, nih!” jawab salah satu mas-mas sembari menunjuk temannya yang lagi tidur.
Aku mengangguk, lalu duduk tak jauh dari mereka. Obrolan basa-basi semacam ‘dari mana asalnya?’ atau ‘udah berapa kali ke sini?’ pun terjadi.
“Dia udah tidur berapa lama, Mas?” tanya Mas Pencit.
“Ada kali setengah jam. Kenapa memangnya?”
“Kalau bisa jangan dibiarin lelap terlalu lama, takutnya hipotermia. Angin lagi kenceng dan dingin begini,” jelas Mas Pencit.
“Oh, iya, Mas,” mas-mas itu mengangguk, lalu membangunkan temannya. “Woi, kampret! Bangun! Jangan lama-lama tidurnya, ndak matek koen engko!”
Aku spontan ngakak. “Mas, ya nggak gitu juga. Hahaha!”
“Hahaha, ben wes, Mbak. Kebluk terahe! Tangi, woy!” ia terus mengguncang-guncang badan temannya.
Mas Pleir membuka carrier, mengambil sekresek apel, lalu menyuguhkannya pada mereka.
“Apel, Mas!”
Mata mas-mas itu sontak membulat, lalu kembali membangunkan temannya. “Tangi, woy! Ojo turu suwi-suwi, ndak matek koen! Woi, apel ki lho! Apel enaaak!”
Aku sampai ngakak dibuatnya. Tak lama kemudian mbak-mbak yang terlelap itu pun terbangun, lalu menatapku yang duduk di sampingnya. Aku sontak melambaikan tangan sambil tersenyum.
“Hallo, Mbak!”
Ia kemudian melepas maskernya, lalu membalas sapaanku dengan suara berat. Di lehernya tampak sebuah jakun yang turun-naik. “Hai.”
Mati! Ternyata dia cowok! Aku tersenyum kecut. Habisnya perawakannya kayak cewek, sih. Hahaha. Sambil mengudap apel, kami ngobrol ngalor-ngidul.
“Sebenarnya rombongan kami banyak, lagi pada nungguin di atas. Rombongan ketemu di jalan sih tapi,” jelas si mas-mas. “Kalian bertiga aja?”
“Bertujuh awalnya, tapi yang empat turun,” jawab Mas Pleir.
Setelah istirahat cukup lama, kami pun melanjutkan perjalanan bersama-sama. Mas-mas berperawakan mbak-mbak yang tidur tadi langsung berlari jauh di depan, macam orang kesambet jin.
“Ayo, semangat, gaeeesss!” ia mengompori dari atas.
“Oooo, kuampret! Polae bar turu langsung yak-yakan!” ujar temannya sambil geleng-geleng.
“Ayo, semangaaatt!! Bariki wes teko!”
“Teko ndasmu sempal!”
Huahahaha. Aku ngakak sejadi-jadinya. Sudah lama tidak mendengar guyonan khas jawa timuran macam itu. Beberapa kali kami berhenti untuk mengatur napas, kemudian lanjut jalan. Setelah melewati tanjakan yang lebih sulit dari Tanjakan Cinta, sampailah kami di pos selanjutnya. Pos Jambangan. Puncak Mahameru yang menjulang tinggi tampak jelas di depan mata. Aku ternganga. Yang tampak hanyalah pasir hitam. Diam-diam aku bergidik. Setinggi itu? Apa aku mampu mendaki sampai atas sana?
“Woiii, sampai juga kalian! Kukira kalian nggak bakal sampe sini!” sapa seorang mas-mas.
“Iya, dibangunin mereka tadi. Hahahaha!”
Sambil glesotan di tanah, kami kembali mengobrol. Rombongan mereka banyak banget, mungkin sekitar 12-an orang.
“Hei, lihat! Puncaknya sudah kelihatan!” seru salah satu di antara mereka.
“Iya. Kita harus semangat pokok’e!”
“Tapi ya’opo lek gak nyampek ndukur?”
“Yo mudun. Kita berjalan sekuatnya, eman nyawa kalau maksain.”
“Pokok’e semangat wes ya!”
Aku tersenyum mendengarnya. Semuanya saling menyemangati. Rombongan yang luar biasa. Baru lima menit duduk, tubuhku kembali menggigil. Meskipun hari sudah siang, tapi dinginnya masih terasa menggigit kulit. Sepuluh menit kemudian, aku mengajak Mas Pencit dan Pleir jalan duluan. Nggak tahan dingin.
“Mas-mas, kami duluan, ya!” kami berpamitan.
“Oke. Hati-hati, sampai jumpa di Kalimati!”
Melewati Pos Jambangan, kami disambut oleh cantiknya bunga edelweiss yang tumbuh di sana-sini. Perjalanan dari Pos Jambangan ke Kalimati tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu 40 menit. Treknya berupa jalan mendatar dan turunan yang membuat kami lari-larian. Tepat pukul 2 siang, sampailah kami di Kalimati. Tak lama kemudian, rombongan tadi pun menyusul. Sementara Mas Pleir dan Mas Pencit mendirikan tenda, aku bongkar-bongkar carrier. Setelah tenda berdiri, aku segera masuk. Makin lama makin dingin, padahal masih siang. Mas Pleir dan Mas Pencit sibuk bikin kopi dan energen. Aku? Menunggu minuman siap disajikan. Hahahaha.
“Gila, kita pesta makanan, meeeen! Logistik turah-turah, hahaha!” kataku sembari mengobrak-abrik isi kresek, mengambil beberapa cemilan.
“Santai lah, kita punya banyak tetangga yang siap ngabisin, kok. Hahaha!”

Para tetangga sedang sibuk mendirikan tenda

Setelah minuman kami habis, Mas Pleir dan Mas Pencit pamitan ke Sumber Mani, sumber air yang jaraknya sekitar sejam dari tenda kami. Kututup tenda rapat-rapat, lantas mengganti pakaianku yang penuh keringat. Rok elastis yang menemaniku dari Ranupani segera kuganti dengan celana. Selain karena sudah kotor, aku juga tidak mau mengambil risiko muncak pake rok. Takut tersangkut-sangkut. Belum terbiasa. Dan entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu aku terlelap begitu saja di pojok tenda. Aku baru membuka mata ketika kurasakan tubuhku semakin menggigil. Aku lantas mengambil senter dan keluar tenda. Kebelet pipis. Rupanya di luar sana sudah banyak tenda yang didirikan, dan aku tidak menemukan tempat terdekat untuk pipis. Aku lalu kembali ke tenda.
“Mas, anterin, dong! Aku mau pipis di belakang sana tapi ada orang,” kataku.
Mas Pencit langsung bangun, lalu menemaniku mencari tempat yang jauh dari keramaian manusia. Di luar, angin semakin kencang berhembus. Gigiku mulai bergemeletuk. Setelah menemukan tempat, aku segera menjalankan ritual rutin. Ketika kembali ke tenda, aku baru tersadar kalau sebelah sarung tanganku tertinggal!
“Apa diambil besok aja, ya? Tapi dingin e. Kalau diambil sekarang, malas jauh,” aku mulai rewel. Ribut sendiri.
“Mas, bukannya kamu punya sarung tangan sebelah?” tanya Mas Pleir.
“Oh, iya, bentar!” Mas Pencit mengubek-ubek isi tasnya, lalu menyerahkan sebuah sarung tangan berwarna biru untukku. Ndilalah kok ngepas di tangan kiriku. Aku pun nggak rewel lagi.
“Kita mau summit pukul berapa?” tanyaku.
“Pukul sebelas aja. Makan dulu, minum yang anget-anget, ngobrol-ngobrol sambil menyesuaikan suhu,” jawab Mas Pleir.
Baiklah. Setelah sholat Maghrib dan Isya, aku langsung menggelungkan diriku pada sleeping bag dan melanjutkan tidur. 

This entry was posted on Senin, 09 November 2015. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply