Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #2

Sabtu, 17 Oktober 2015

Udara dingin basecamp Ranupani membangunkan tidur kami pagi itu. Sambil menahan dingin campur kantuk campur lelah perjalanan, kami keluar tenda dengan bermalas-malasan. Satu per satu pendaki yang semalam gluntungan di lantai pun mulai bangun. Tenda-tenda yang berjajar di sebelah kami juga telah menampakkan aktivitasnya. Setelah sholat Subuh, kami segera menyiapkan sarapan. Loket baru akan dibuka pukul 8 nanti. Rencananya kami akan mulai mendaki pukul 9-an biar abis Duhur udah bisa ongkang-ongkang kaki di Ranukumbolo, istirahat sejam dua jam, lalu lanjut jalan ke Kalimati tapi kok kayaknya nggak mungkin.
"Mau bikin apaan?"
"Kopi."
"Energen"
"Nggak usah bikin nasi, ya? Di Ranukumbolo aja bikinnya."
"Iya. Makan mie aja lah."
"Sakarep wes. Aku nggak biasa sarapan juga."
Kami ribut bongkar-bongkar perbekalan. Akhirnya, kami pun bikin mie instan sebagai pengganjal perut pagi itu, ditemani kopi dan energen. Sebenarnya mie instan sangat nggak disarankan buat nggunung, tapi mau gimana lagi, kami terlalu mager buat masak yang agak ribet. Hahaha. Selesai makan, kami segera bongkar tenda dan menata ulang barang-barang yang berserakan di lantai. Dari tempat kami berdiri, tampak bukit-bukit indah berjajar di kejauhan sana. Aku berdecak kagum, setengah tidak percaya bahwa pagi ini berada di sebuah tempat yang kuimpikan sejak dulu: Mahameru. 
"Dari mana, Mbak?" seorang mas-mas bercarrier hitam menyapaku yang tengah bengong menatap kejauhan.
"Eh? Dari sini aja, Mas. Hehe," aku meringis.
"Di sini itu di mana?"
"Jember, Mas. Samean soko ngendi?"
"Ooo... Jember, tho. Saya dari Wonosobo. Sering ndaki, Mbak? Anak Mapala?"
"Hahaha, bukan, Mas, cuma suka jalan-jalan aja."
"O, kirain. Ngomong-ngomong, ndaki pake rok emang nggak ribet?" Mas-mas itu menatap sekilas rok cokelat yang kupakai.
"Enggak, kok, Mas," jawabku sambil meneruskan dalam hati, nggak tahu ribet apa kagak, orang baru pertama kali juga.
"Yowis, ati-ati, Mbak. Aku duluan, ya. Rombonganku udah mau jalan, nih. Sampai ketemu di sana!" Mas-mas itu melambaikan tangan sambil berlalu dari hadapanku.
"Oke, Mas!" aku balas melambaikan tangan. 



Mendaki gunung pakai rok? Apakah ribet?


Hmm. Aku memandangi rok elastis yang kupakai sembari membatin, gile lu, Ndro, sekalinya nyobain pake rok langsung ke Mahameru. Yeah, ini semacam tantangan gila yang kubikin sendiri. Sehari-hari aku memang lebih sering pake rok, tapi khusus untuk mendaki, aku selalu memakai celana panjang. Kalau nggak pake celana abu-abu butek tur ngeblur, ya, aku pake celana biru Adidas yang ada sakunya itu. Emang cuma punya dua, itu pun kubeli gegara jatuh cinta dengan dunia pendakian setahun lalu. Hahaha. Lantas, kenapa aku tiba-tiba memutuskan memakai rok?
Berawal dari rasa penasaran, sih, sebenernya. Dua bulan lalu, aku terlibat percakapan dengan seorang kawan lama. Saat itu kami sedang mendaki bersama. Lama tidak bertemu membuatnya terheran-heran melihatku pakai celana.
"Kukira koe pake rok terus, In," ujarnya dengan rasa heran.
"Kalau lagi mendaki, ya, kagak. Ndak ribet mengko," jawabku enteng.
"Masa? Aku beberapa kali mendaki dengan temenku cewe yang pake rok, katanya enggak ribet tuh."
Begitulah. Ucapan anak itu terngiang-ngiang terus di telingaku sampai akhirnya aku memutuskan untuk mencoba pakai rok buat hiking.
"Udah siap semua? Yuk, kita turun. Kita harus ikut briefing dulu sebelum mendaki," Mas Ilham ngasih aba-aba.
He? Alisku terangkat. Briefing? Baru kali ini aku mendengar ada briefing sebelum mendaki. Biasanya, kan, abis beli tiket dan ngisi biodata langsung cabut. Kata Mas Ilham, sih, dulu nggak pake acara briefing. Sejak film 5 cm booming, Mahameru nggak pernah sepi pendaki. Kalau zaman dulu gunung selalu identik dengan anak-anak pecinta alam, sekarang rasa-rasanya segala jenis manusia mulai menggandrungi dunia pendakian. Termasuk aku, mungkin.
Sekitar pukul 9, kami masuk ruang briefing, berdesak-desakan dengan pendaki lain. Di luar sana masih banyak pendaki lain yang menunggu giliran untuk briefing. Dan seketika aku inget kalau hari itu adalah weekend. Pantes!
Di dalam ruangan, ada tiga mas-mas gondrong yang mem-briefing kami. Poin-poin yang dia omongin kira-kira kek gini:
1. Hindari melakukan pendakian malam sendirian, takutnya ntar ketemu Panthera Pardusi alias macan yang suka menampakkan diri di antara Pos 2 dan Pos 3. Jangan sampai kamu dijadiin kudapan ringan.
2. Jangan bikin api unggun dan buang puntung rokok sembarangan.
3. Jaga kebersihan air danau Ranukumbolo dengan baik. Kalau mau nyuci, ambil airnya dan bikin jarak sekurang-kurangnya 15 meter agar danau tidak tercemar. Oya, jangan menirukan adegan nyebur di danau macem film 5 cm yang menyesatkan banyak orang itu. Konon, dulu pernah ada sepasang pengantin, warga Ranupani, yang honeymoon di sana. Si istri nyebur danau dan wassalam karena kedinginan.
4. Jaga sikap selama di gunung. Ojo celelekan, ndak ganggu penghuni sana.
5. Batas aman pendakian hanya sampai di Kalimati. Kalau nekad mau muncak, risiko ditanggung sendiri. Semuanya wajib pake sepatu kalau nggak pengen kakinya soak. Medannya sangat ekstrim, kalau pake sendal gunung, ya ..., eman-eman sendal gunungnya, rek!
6. Di Kalimati ada sumber air bernama Sumber Mani. Kalau mau ngambil air usahakan jangan kemaleman biar nggak ketemu Panthera Pardusi--kecuali kalau kamu emang niat ketemu dan ngajakin selfie bareng.
7. Bawa peralatan standar mendaki.
8. Bawa turun kembali sampahmu!

Selain poin-poin di atas, mas-mas gondrong juga memaparkan data-data seputar para pendaki yang kehilangan nyawa di Mahameru. Pada bagian inilah aku agak merinding. Masih ingat, kan, berita tentang seorang pendaki asal Bogor yang meninggal di jalur menuju puncak gegara kejatuhan batu? Berkali-kali mas-mas gondrong mengingatkan kami untuk tetap waspada dan fokus terhadap medan pendakian. Ada jurang di kanan-kiri yang bakal menelanmu kalau kamu meleng. Selain itu, jangan lupa untuk berpamitan pada orang tua. Ah, lagi-lagi aku teringat Bapak. Semoga doi nggak mikir yang aneh-aneh.



suasana briefing

Briefing yang kukira cuma makan waktu beberapa menit itu ternyata baru kelar pukul 11-an. Sambil terkantuk-kantuk, kami berjalan keluar menuju Danau Ranupani. Hoah, dinginnyaaa! Walau sudah siang, tapi udara di sana tetep aja ngeblar. Dingin euy. Sambil nunggu Mas Pleir ngisi data, aku sibuk ngitungin waktu. Kalau kami baru berangkat di siang bolong begini, tampaknya sangat tidak mungkin langsung jalan sampe Kalimati dan bablas muncak--kecuali kamu adalah orang sakti mandraguna yang bisa muncak sekali jalan.
"Mas, berani jalan woles nggak?" tantangku ke Mas Ilham.
"Maksudnya?"
"Ya, jalan woles, santai. Ndak mungkin banget lah kita sekali jalan langsung nyampe Kalimati. Kita nambah sehari lagi gimana? Jadinya balik Senin."
"Aku nggak jadi ikut muncak, deh."
"Wooooiii?" mataku melotot. "Seng nggenah? Kenopoooo?"
"Nggak tahu, lihat nanti aja. Kalau semisal nggak jadi jalan sampe Kalimati, kamu bareng Pleir sama Pencit aja, ya?"
Aku lantas menoleh ke mereka berdua. "Piye, Mas? Kancani aku, ya? Please! Sudah jauh-jauh dari Jogja lhoooooo!"
Mereka ngangguk woles. "Kami mah terserah gimana enaknya."
"Ah, yowislah sementara kalian bertiga beli tiket ampe Senin, ya. Aku masih belum pasti," ujar Mas Ilham.
Hah. Oke lah. Walau agak meleset dari rencana awal, nggak papa lah, yang penting agenda ke Kalimati nggak gagal. Puncak mah gampang lihat sikon nanti. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan barang bawaan oleh mas-mas gondrong, kami lantas menuju loket. Harga tiket masuk Mahameru adalah 17,5 rb untuk weekdays, sedangkan weekend 22,5 rb (kalau nggak salah, lupa-lupa inget haha). Setelah membayar, kami pun jalan menuju gerbang pendakian. Yaiy!

Dari kiri: Mas Pencit, Mas Pler, Mas Ilham, Mbak Fai, aku, Mbak Nisa, dan Mas Fendi. 

Dari gerbang pendakian, sekitar pukul setengah 12 siang, kami berjalan melewati sawah-sawah penduduk. Sesekali kami berpapasan dengan penduduk lokal dan bertegur sapa. Suasana ini ... ah, aku suka sekali suasana ini! Jauh dari hiruk-pikuk kota, sejauh mata memandang yang terlihat adalah barisan bukit, langit biru cerah, dan para penduduk lokal yang amat ramah. Jalanan mulai terasa menanjak setelah melewati sebuah gubuk. Dan seperti biasa, aku selalu ngos-ngosan di awal, terlebih bebanku kali ini jauh lebih berat dari biasanya. Belum apa-apa pundakku sudah terasa pegal. Fiuh!
"Permisi, Mbak ... Mas ...," sapa pendaki lain yang akan turun.
Kami mengangguk sambil minggir memberikan jalan. Setelah mereka berlalu, barulah kami berjalan lagi. Dalam setiap pendakian, bagiku saat-saat terberat adalah ketika awal mula mendaki. Meski sudah latihan fisik sebelumnya, tetap saja aku kesulitan mengatur napas di awal-awal. Ngos-ngosan dan gampang lelah. Bagiku, kekuatan sugesti dan mental amat menentukan perjalanan. Makanya, setiap kali mendaki aku selalu berjanji dalam hati untuk nggak mengeluarkan kata-kata "Ah, aku capek!" atau "Udah sampai mana sih, ini? Lama amat?", karena secara nggak langsung kata-kata itu amat ampuh untuk menjatuhkan mental. Jadi kalau aku merasa capek, ya, tinggal berhenti. Atur napas, sandaran di pohon, atau minum. Sebisa mungkin aku menghindari duduk glesotan agar kaki nggak kaget lagi kalau diajak jalan. Tapi kalau udah nggak kuat, ya, ngglesot juga sih. Haha.



Sepanjang jalan menuju Pos 1, tidak banyak yang kami obrolkan. Semua sibuk mengatur napas masing-masing. Palingan yang agak ceriwis, ya, Mbak Fai. Lainnya adem-ayem aja. Trek menuju Pos 1 didominasi oleh jalan mendatar yang menyenangkan. Karena banyak debu beterbangan, apalagi kalau lagi papasan dengan pendaki lain, aku segera memakai masker hijau dan kacamata kesayangan.
"Mbak, Pos 1 masih jauh, ya?" tanya Mbak Nisa yang jalan di belakangku.
Aku menggeleng. "Nggak tahu, Mbak, aku kan juga baru pertama kali ke sini. Sudahlah, kita jalani saja, hahaha..."
Di depan sana, tampak rombongan pendaki yang akan melewati kami. Anak-anak muda memanggul carrier dengan tampang lelah tapi bahagia. Senang sekali melihat mereka. Terlebih ketika kami berpapasan dengan rombongan bapak-bapak gaul yang terus menyemangati kami.
"Semangat, Mbak! Pos 1 sebentar lagi!" ujar mereka sambil mengacungkan jempol.
Hahahahaha, bapak-bapak ini bercanda. Baru juga setengah jam jalan. Trik basi untuk mengelabui para pendaki, tapi anehnya tetap ampuh untuk membuat kami semangat mendaki. Sebentar-sebentar aku berhenti. Belum apa-apa pandangan mataku berkunang-kunang. Mas Ilham dan Mbak Fai sudah jauh di depan. Mas Pencit dan Mas Pleir yang jadi sweeper tetap setia di belakang.
"Kenapa, Mbak? Sakit? Aku bawa obat nih," ujar Mbak Nisa.
Aku menggeleng. "Nggak usah, Mbak. Agak pusing aja kepalaku."
"Ya udah, duduk dulu aja, Mbak. Jangan dipaksain," tambah Mas Fendi.
Aku lantas menyandarkan badanku di sebuah batu besar. Kepala nyut-nyutan. Keringat dingin mulai keluar dari wajahku. Aku membatin, jadi begini rasanya mendaki di siang bolong? Capek juga. Ini adalah pendakian siangku yang pertama. Biasanya aku selalu memulai pendakian di malam hari. Nggak tahu, lebih asyik aja kalau malam. Apalagi kalau ada bintang. Weh, nggak kerasa capeknya. Setelah lima menit berhenti, kami jalan lagi. Aku langsung merogoh saku jaket dan mengeluarkan sepotong gula merah. Sambil ngunyah, aku berjalan tanpa banyak bicara.
"Eh, itu Pos 1!" Mbak Nisa sudah teriak-teriak kegirangan. "Akhirnya, Ya Allah!"
Kami semakin mempercepat langkah. Saat itu pukul 13.45 WIB. Total perjalanan dari basecamp ke Pos 1 memakan waktu sejam 45 menit. Di sana, banyak pendaki yang sedang beristirahat. Dan alangkah terkejutnya kami ketika mendapati bapak-bapak penjual semangka dan gorengan. Kukira aku hanya akan menemukan penjual makanan di Lawu aja, ternyata di Mahameru ada orang jualan juga.
Semangka terenak sejagad raya!

"Ya Tuhan, semangkaaaaaa!" aku langsung mencomot dua iris semangka segar. Jangan tanya bagaimana rasanya. Kesegarannya sangat berbeda dengan semangka yang didiemin di kulkas. Hanya dengan merogoh kocek 2500 rupiah per iris, maka kenikmatan duniawi akan segera kau rasakan. *sial, aku ngetiknya sambil nelen ludah, kebayang enaknya semangka waktu itu*
"Gila, kalau kek gini caranya mana bisa kita survival? Hahaha!" Mas Pencit geleng-geleng menatap seiris semangka di tangannya.
"Ndak usah jauh-jauh ngomongin survival, lha wong bekal logistik kita banyak banget!" timpal Mbak Nisa.
"Eh, kata mas-mas tadi di sini ada sinyal kan, ya? Mau apdet instagram dulu, ah!" Mbak Fai heboh mengupload foto di IG. Buset dah, sempat-sempatnya.
Saat itu, sebenarnya aku sempat kepikiran untuk ngabarin Bapak kalau aku bakal telat sehari. Tapi entah kerasukan setan mana, tanganku tak jua mengambil ponsel di jaket sampai kami meninggalkan Pos 1, hal yang sangat kusesali keesokan harinya. Anak macam apa saya, bikin khawatir orang tua.
Selesai menikmati semangka segar, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos berikutnya. Jarak antara Pos 1 dengan Pos 2 rupanya tidak terlalu jauh. Pukul 14.30 kami sudah sampai di Pos 2. Lagi-lagi kami beristirahat sejenak. Trek yang kami lalui masih terbilang mudah, sedikit menanjak tapi tidak terlalu berarti. Treknya seketika mengigatkanku pada trek awal-awal di Merbabu. Datar dan membahagiakan. Walau demikian, tetap saja beban di punggung membuatku tidak bisa berjalan terlalu cepat. Pukul 15.30 WIB, sampailah kami di Pos 3. Kami beristirahat kira-kira 10 menitan, lalu lanjut jalan.
"Buset, mulai nanjak, oi!" aku menengadahkan kepala, agak ngeri dengan trek yang sudah menunggu di depan mata.
Perjalanan dari Pos 3 ke Pos 4 mulai nanjak banget. Kami harus bergantian dengan para pendaki lain karena jalurnya cukup licin dan subhanallah debunya warrrbiyasak memblurkan pandangan. Sementara para pendaki lain tampak bahu-membahu dan saling mengulurkan tangan ketika temannya kesusahan naik, aku cukup bahagia dengan pegangan pada pohon dan batu-batuan saja. Rapopo, aku kan cewek setrooong dan sudah terbiasa sendiri. Mas Ilham dan Mbak Fai sudah jalan amat jauh, Mas Pencit dan Mas Pleir pamit jalan duluan buat mendirikan tenda di Ranukumbolo. Kini yang tersisa di belakang tinggal aku, Mbak Nisa, dan Mas Fendi. Setelah melewati tanjakan mengerikan itu, kami kini dihadapkan pada jalanan sempit yang hanya bisa dilewati oleh satu orang. Di kanan-kirinya terdapat jurang yang mangap-mangap kelaparan. Susah payah kami melewatinya. Untunglah kami tidak terpeleset. Oya, sepanjang jalan itu kami selalu salip-salipan dengan rombongan kocak dari Surabaya. Mendengar logat jawa timuran yang kental mau tak mau membuatku ngakak. Lama nggak denger logat ini.
"Ngene iki wes lek arek pantai dijak neng gunung! Haboooh, gempor sikilku!"
"Ayo tala semangat! Engko lek wes teko Ranukumbolo koen tak gawekne alis cetar!"
"Boh iyooo, kudu iku! Alis iku kan lambang kekuatan. Hanya orang-orang kuat seng iso nggambar alis!"
"Kaaaah omong tok koen iku. Ayo mlaku maneh!"
Hahahahahaha. Aku ngakak mendengar percakapan mereka. Sungguh sebuah hiburan gratis! Setelah mereka pergi, aku, Mbak Nisa, dan Mas Fendi ngemil roti. Kelaparan euy.
"Jam berapa sekarang?"
"Jam setengah 5."
"Waduh, bisa kemaleman kita kalau lama-lama. Yuk jalan!"
"Yuk!"
Baru jalan beberapa menit, kami bertemu dengan Mas Ilham dan Mbak Fai. Mereka ternyata nungguin kami. Weeew.
"Tak kiro ilang!"
"Ndak mungkin lah."
"Mas Pencit sama Mas Pleir mana?"
"Udah bangun tenda, mungkin. Yuk, jalan!"
Aku dan Mbak Fai jalan duluan. Setengah jam kemudian, kami berhenti. Rupanya Mas Ilham, Mas Fendi, dan Mbak Nisa masih jauh di belakang. Sambil menunggu mereka, aku beranjak sholat. Niatnya mau sholat di Ranukumbolo, tapi ternyata ra nutut wektune. Usai sholat, kami lanjut jalan sampai Pos 4. Danau Ranukumbolo sudah tampak jelas di depan mata, bikin kami pengen cepet-cepet lari ke sana.
Keindahan Ranukumbolo dari Pos 4


Ekspresi "nunggu jodoh jatuh dari langit" ala Mbak Fai
"Mereka mana, ya, Mbak? Kok lama?" aku mulai cemas.
"Nggak tahu. Ada apa, ya?"
Kami berkali-kali tingak-tinguk mencari batang hidung mereka, tapi tak jua tampak. Hingga hari beranjak gelap....
"Nah, itu merekaaaa!"
Dari kejauhan, tampak Mas Fendi dan Mbak Nisa yang berjalan beriringan tapi terseok-seok. Rupa-rupanya Mas Fendi sudah 2x kram kaki. Dari jauh, pasangan perawat itu tampak so sweet sekali bikin ngiri. Setelah istirahat beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan ke lokasi perkemahan. Itulah saat-saat yang paling melelahkan. Hari sudah gelap, dan kami tak kunjung sampai. Bahu dan punggungku rasanya seperti akan pretel. Jalanku sudah terseok-seok. Berkali-kali aku nyaris jatuh gegara meleng dan nggak konsen. Baju basah berkeringat. Sesampainya di lokasi perkemahan, aku langsung menjatuhkan diriku di rerumputan. Awak legrek, cak. Jujur saja, sebenarnya trek menuju Ranukumbolo nggak sulit-sulit amat. 85% didominasi jalanan mendatar, sisanya tanjakan. Tapi entah kenapa, walaupun medannya terbilang mudah, badanku bisa remuk begini.

Priiiiiitt!! Priiiiit!!

Mas Ilham membunyikan peluit, sebagai pertanda kalau kami sudah datang. Tak ada sahutan. Ia pun mulai menyusuri tenda yang buaaaanyak itu.
"Mas Penciiiit! Mas Pleeeiir!!" aku berteriak dengan sisa-sisa tenaga.
Tak ada sahutan juga. Hawa semakin dingin. Tubuhku mulai menggigil. Saat itulah, pikiran negatif bermunculan di kepalaku.

Kamu yakin mau lanjut jalan ke Kalimati besok?
Yakin fisikmu masih kuat?
Jalan dari basecamp ke Ranukumbolo yang treknya biasa aja koe sempoyongan, yakin mau lanjut?
Yakin koe mampu ke puncak?
Yakin Mas Pencit dan Mas Pleir yang baru kau kenal itu nggak kau bikin repot di jalan nanti?

Aku termenung-menung sendiri. Rasa lelah bercampur lapar serentak menggoyahkan imanku untuk melanjutkan perjalanan esok hari. Untunglah, sebelum pikiranku makin kacau, Mas Ilham datang bersama Mas Pencit dan Mas Pleir.
"Mas, bawain carrierku please! Aku ndak kuat ..." aku jalan ke tenda dengan langkah patah-patah.
Mas Ilham tertawa. "Yakin besok masih kuat jalan?"
"KUAT LAH!" teriakku. Padahal yo embuh....

Sesampainya di tenda, aku, Mbak Fai, dan Mbak Nisa langsung berganti pakaian. Jangan sampai aku kedinginan gegara baju basah, kayak di Merapi kemarin. Itu namanya cari mati. Setelah ganti pakaian, kami keluar tenda untuk menikmati makan siang yang dirangkap makan malam. Nasi, mie instan, abon, remah-remah teri, dan aneka minuman hangat mengisi perut kami yang keroncongan. Malam itu banyak bintang di langit, tapi munculnya cuma sebentar gegara ada kabut, hahaha. Sambil menikmati makan malam, kami ngobrol ngalor-ngidul dan ketawa-ketiwi nggak jelas. Setelah perut kenyang, otomatis pikiran kembali tenang. Aku yang tadinya pesimis bisa melanjutkan perjalanan langsung optimis lagi. Ah, betapa lapar bisa mengacaukan isi pikiran!
Selesai makan, aku, Mbak Fai, dan Mbak Nisa pamit buat istirahat, padahal saat itu masih pukul 9 malam. Aku sudah terlampau lelah. Setelah membungkus diriku dalam SB dan berbaring di samping Mbak Nisa, seketika mataku terpejam. Sungguh, itu adalah tidur terlelap yang kurasakan di gunung. Lebih tepatnya, sih, ngebo. Kalau biasanya di gunung aku tidur dua sampai tiga jam, ini hampir 9 jam coooooy! Membahagiakan sekali.


Lantas, bagaimana dengan perjalanan selanjutnya? Mampukah saya mendaki pakai rok sampai Kalimati--atau bahkan puncak? Apakah Mas Pencit dan Mas Pleir cukup sabar menghadapi saya yang lelet ini?


Tunggu kisah kami di tulisan berikutnya! :D

This entry was posted on Senin, 26 Oktober 2015. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply