Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #4


"Ada macaaaan!"
“Macaaan!”
“Macaaan!”
Kalimati yang semula tenang dan damai mendadak ramai. Di luar tenda, orang-orang berteriak ketakutan. Sontak aku terjaga dan merasakan tubuhku merinding luar biasa. Aku tidak berani keluar tenda meskipun orang-orang menyuruh mengosongkan tenda. Badanku kian panas dingin setelah menyadari bahwa Mas Pencit dan Mas Pleir tidak ada di tempat. Semakin lama, auman macan terdengar semakin nyaring. Kata mas-mas gondrong ketika memberikan briefing, di Kalimati memang ada macan yang suka keliaran, tapi di Sumber Mani, bukan di tempat ini. Aku kian ketakutan. Angin berembus kencang. Seorang kakek tua berbaju serba putih tiba-tiba masuk ke dalam tenda. Matanya tajam menatapku.
“Kamu lolos!”
“Ap… apa?”
“Kamu dapat melanjutkan perjalanan sampai akhir.”
Kemudian ia menghilang. Jantungku berdegup kencang. Apa yang barusan kulihat? Aku mengucek mata berkali-kali. Auman macan itu kini tak terdengar lagi, berganti suara berisik orang-orang.
“Iku arek-arek Jember gak digugahi ta? Tendane sepi banget!”
“Oiiii, Mbak Jember! Mas Jember!”
“Wis-wis, jarne. Mungkin mereka summit-nya masih nanti.”
“Oke, kita berangkat!”
“Semangat! Kalau ada yang capek, ngomong. Ingat, tujuan utama kita bukanlah puncak, tapi pulang dengan selamat!”
“Ya! Semangat!!”
Kemudian teriakan-teriakan itu menghilang bersamaan dengan langkah kaki mereka. Aku mengerutkan kening. Kenapa suasananya jadi beda begini? Aku mengucek mataku sekali lagi. Dan alangkah terkejutnya aku ketika mendapati Mas Pencit dan Mas Pleir tengah molor dengan santainya. What the hell, ternyata suara macan dan kakek tua tadi tadi beneran ada. Beneran ada dalam mimpi, maksudnya.
“Mas! Mas!”
“Hm?”
“Pukul berapa sekarang?”
Mas Pencit bangun dari tidur, menyalakan senter, lantas melihat jam tangannya. “Pukul 22.45 WIB. Ya ampun, ternyata tadi kita nggak pasang alarm.”
“Tadi mas-mas tenda sebelah pada tereak kenceng banget, makanya aku bangun. Untung ada mereka,” ujarku, lantas melanjutkan dalam hati, untung ada suara macan dan kakek tua juga.

Mas Pleir kemudian bangun. Sambil mengucek mata, ia mengambil nesting berisi nasi dan sarden di pojokan tenda. Mas Pencit langsung bikin minuman hangat. Sambil makan, kami mengobrol. Sebenarnya aku sangat malas makan, tapi tetap kupaksakan karena tubuhku butuh energi yang cukup untuk menempuh perjalanan selanjutnya. Apalagi seharian tadi aku hanya mengunyah beberapa butir kentang dan apel. Aku tidak mau pingsan di tengah jalan gegara kurang makan.
“Berangkat pukul berapa kita?” tanyaku lagi.
“Pukul 12, ya. Santai, masih lama.”
Setelah makan, kami memeriksa kembali perlengkapan summit. Headlamp, jaket, air, dan cemilan. Meskipun Mas Pencit sudah membawa air yang lebih dari cukup, tapi aku tetap jaga-jaga dengan membawa sebotol kecil air. Tak lupa pula mengantongi dua batang cokelat silverquuen. Setengah jam kemudian, kami pun keluar tenda.


Senin, 19 Oktober 2015
Tepat tengah malam, kami memulai perjalanan. Mas Pencit di depan sebagai leader, aku di tengah, dan Mas Pleir di belakangku. Setelah melewati sebuah belokan, langkah kami terhenti.
“Kayaknya kita salah jalan,” ujar Mas Pencit.
“Ha?”
“Iya, dulu sih lewat belakang shelter sana, tapi kan sekarang jalurnya ditutup. Tadi kata mas-mas sebelah lewat sini, tapi aku kok ragu ya?”
“Kita cari barengan aja gimana? Tenda-tenda sebelah kita pada sepi. Ayo jalan ke sana!”
Kami lantas berjalan menuju shelter. Di sana ada beberapa tenda yang tampak menyala.
“Mas, mau summit?”
“Iya.”
“Boleh bareng nggak, Mas? Kami tadi salah jalan.”
“Boleh, Mas. Tapi kami mau makan dulu, ya.”
“Oke, monggo.”
Sementara mereka menuntaskan acara makan, kami menunggu di luar. Malam itu, langit bersinar sangat cerah. Ribuan bintang bertebaran. Masya Allah, betapa indah ciptaan-Nya. Aku tak henti-hentinya berdecak kagum.
“By the way, Mas, kalau sudah sampe Arcopodo, kamu tahu jalan, kan?” tanyaku ke Mas Pencit.
“Tahu, Mbak. Kenapa emang?”
“Kita bareng mereka sampe Arcopodo saja, ya, habis itu jalan sendiri,” kataku.
Mas Pencit mengangguk, tanpa tahu kalau aku sebenarnya menyimpan gelisah setelah berdiri hampir setengah jam lamanya. Entahkah ini perasaanku saja atau gimana, tapi aku merasa ada hal yang membuatku kurang nyaman.
“Kenapa mereka lama, ya?” Mas Pencit memandangi jam tangannya. “Sudah setengah jam lewat, nih.”
“Apa kita duluan aja?”
“Jangan ambil risiko, ah!”
“Eh, itu tenda yang di sono pada keluar orangnya. Apa kita ikut mereka aja, Mas?”
Mas Pencit mengarahkan senternya ke utara. Tampak belasan bule tengah berjalan cepat.
“Ojo lah, bule itu. Jalannya cepet banget kek setan. Kita nunggu anak-anak ini aja,” ujar Mas Pencit.
Aku dan Mas Pleir mengangguk saja. Berdiam diri selama hampir satu jam rupa-rupanya bikin tubuhku kembali menggigil, padahal aku sudah memakai baju panjang dua lapis dan jaket dua lapis. Tapi, yah, tetap saja terasa dingin. Aku berusaha mengusir dingin dengan berjalan kaki ke sana ke mari sembari merapatkan jaket. Brrrr!
“Mas-mas, ayo kita berangkat!” panggil seorang mas-mas.
Mas? Aku cekikikan. Yeah, wajar kalau mereka tidak mengenaliku sebagai cewek. Kepalaku tertutup tudung jaket, dan mukaku pun tertutup masker. Setelah berdoa bersama, kami pun memulai perjalanan panjang malam itu, tepat pukul satu dini hari.
“Lu jadi sweeper di belakang, ya!” perintah seorang mas-mas.
“Oke, jumlahnya 13 orang kan ini?”
“Yoi. Oksigen udah lu bawa, kan?”
“Siap!”
Hmmm. Setelah iseng bertanya pada salah satu dari mereka, tahulah aku bahwa mereka adalah rombongan dari Jakarta. Pantas, kelihatan dari gaya ngomongnya. Setelah berjalan beberapa meter, aku berhenti sejenak untuk mengatur napas. Jantungku berdetak cepat seperti biasa. Selang beberapa detik, kami kembali berjalan. Trek awal menuju Arcopodo tidaklah terlalu sulit karena didominasi oleh jalanan mendatar. Akan tetapi, lama-kelamaan trek semakin menanjak dan dibutuhkan tenaga ekstra untuk mendakinya. Belum lagi, kami harus selalu waspada karena di kanan-kiri kami ada jurang menganga. Meleng dikit saja, sudah pasti wassalam. Semakin ke atas, angin berembus kian kencang. Baru juga beberapa menit berjalan, aku sudah ngos-ngosan. Beberapa kali aku berhenti untuk mengatur napas. Otomatis, orang-orang yang ada di belakangku juga ikutan berhenti. Tiba-tiba aku jadi tidak enak sendiri. Aku tidak mau jadi beban mereka. Akhirnya, aku pun kembali melangkah walau napasku masih tak beraturan. Karena terlalu memaksakan diri menyesuaikan ritme orang-orang di depanku, lagi-lagi aku berhenti. Napasku agak sesak. Aku tidak mampu menyeimbangkan langkahku yang super lelet dengan langkah leader yang was-wes-wos.
“Mas?” Aku menoleh ke belakang, mencari Mas Pencit dan Mas Pleir. Pandanganku sudah berkunang-kunang.
“Iya, Mbak?” Mas Pencit mendekat, disusul oleh Mas Pleir.
“Kepalaku pusing banget,” ujarku sembari memijit kening.
“Ya udah, istirahat dulu aja.”
Satu per satu orang yang berjalan di belakangku pun melewati kami.
“Mas, aku jalan pelan, ya, nyusul mereka. Kami tunggu di atas,” mas-mas sweeper berpamitan, semacam kode kalau mereka sudah tidak bisa berjalan bersama kami lagi.
Kami bertiga mengangguk saja. Lama kami termakan hening. Pusing di kepalaku tak kunjung mereda. Perutku pun mual-mual, serasa ingin muntah. Mungkin ini yang dinamakan AMS, semacam gejala sakit di ketinggian.
“Kita sudah nyampe Arcopodo belum, Mas?”
“Belum, Mbak.”
Perasaanku jadi was-was. “Trus gimana? Kita, kan, nggak tahu jalan.”
“Nggak papa, udah lumayan jauh kok ini jalannya. Insya Allah kita nggak nyasar.”
Setelah beristirahat cukup lama, kami kembali melanjutkan perjalanan. Trek yang kami lalui kian menantang. Beberapa kali aku diperingatkan oleh mereka agar hati-hati. Kuarahkan headlamp ke bawah. Tampak jurang di kanan-kiri kami. Aku bergidik, takut terpeleset.
“Awas, Mbak. Pegangan pohon!”
Aku menelan ludah sembari berpegangan pada pohon. Tak ada bonus yang kami temukan. Yang ada hanyalah jalur menanjak. Semakin lama, angin semakin kencang. Kalau aku oleng sedikit saja, pastilah jurang itu akan memakanku hidup-hidup. Setelah satu jam perjalanan, mataku menangkap beberapa patokan atau nisan bertuliskan nama-nama pendaki yang meninggal di Mahameru. Lagi-lagi bulu kudukku berdiri. Melihat nisan-nisan itu sontak mengingatkanku pada kematian. Merinding. Dulu aktivis Soe Hoek Gie juga mati di sini gegara menghirup asap beracun. Dan sekarang, aku justru berjalan menuju puncak, tempat asap beracun tersebut.
Kami melanjutkan perjalanan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sekitar pukul 3 pagi, sampailah kami di batas vegetasi atau biasa disebut Kelik. Kami langsung disambut oleh jalanan berpasir dan angin kencang. Kami sudah cukup jauh meninggalkan hutan. Tak ada lagi pepohonan di sana. Kepalaku mendongak, menatap trek menjulang nan berpasir. Inikah yang disebut area Blank 75? Konon, banyak orang tersesat di jalur ini. Perjuangan baru akan dimulai, Ndi. Bersemangatlah!
Baru juga akan berjalan, tiba-tiba Mas Pleir berlari ke atas, mendekati Mas Pencit.
“Mas, aku turun, ya!”
Mataku terbelalak. Segera kususul mereka. “Kenapa, Mas?”
“Badanku agak nggak enak. Takut makin sakit kalau kupaksain,” jelas Mas Pleir.
“Lhoooo, Mas!” Aku membik-membik, tidak bisa membayangkan dia turun sendirian. “Kita turun aja po?”
Mas Pleir menggeleng. “Nggak usah, kalian lanjut aja. Semangat, ya!”
“Lhoooo, Mas …”
Hening.
“Aku boleh minta air, nggak?”
Aku segera mengangsurkan botol minumku. “Ini, Mas. Dibawa aja, ya!”
“Nggak usah, aku minta dikit aja, kok.”
Aku kembali diam. Entahlah, saat itu aku merasa begitu sedih. Kedengarannya memang agak drama, tapi begitulah kenyataannya. Ketika teman seperjalanan tak lagi lengkap, serasa ada yang hilang. Apalagi, kami sudah berjalan sejauh ini. Aku lantas merogoh saku celana, mengambil sebatang cokelat.
“Ini, Mas, buat sangu pulang. Masih ada satu, kok, buat aku sama Mas Pencit. Kamu hati-hati, ya!” kuangsurkan sebatang cokelat untuknya, persis kayak emak-emak yang tak tega melepas anaknya pergi.
Mas Pleir tersenyum. “Aku turun dulu, ya! Semangat kalian!”
Aku dan Mas Pencit menatap kepergian Mas Pleir dengan perasaan entah. Walaupun dia tercatat sebagai anak Mapala yang pernah ke sini, tetap saja aku takut dia kenapa-napa. Apa jadinya kalau dia tersesat? Dia, kan, nggak ada barengan. Pikiranku melantur ke mana-mana.
“Ayo lanjut, Mbak!” Mas Pencit memecah keheningan.
Aku melangkah pelan, beberapa kali kembali menoleh ke belakang. “Dia nggak papa kan, ya?”
“Udah, nggak papa. Yok, jalan!”
“Mas, kamu masih kuat kan?”
Mas Pencit mengangguk sembari mengangkat dua jempol tangannya. “Harusnya aku yang nanya gitu ke kamu!”
“Oh, iya, hahaha!”
Kami kembali berjalan. Tiba-tiba aku teringat salah satu kalimat dalam novel 5 CM yang kubaca beberapa tahun lalu. Kepala yang akan lebih sering menengadah dari biasanya. Ya, itulah yang kami lakukan. Kami harus sering-sering menengadah untuk melihat medan di atas kami. Harus selalu waspada, karena batu-batu besar itu bisa jatuh kapan saja dan mengenai kepala kami. Jangan sampai kami meleng. Ketika menengadah, aku melihat banyaaaak sekali lampu berkelip-kelip, menandakan bahwa cukup banyak pendaki yang melakukan summit.
“Mas, trek yang disebut naik 5 turun 3 itu apa ini, ya?” tanyaku sembari berjalan.
“Ya, tapi ini belum seberapa, kita masih bisa jalan sambil berdiri soalnya. Nanti agak atas lagi, treknya lebih sadis,” jawab Mas Pencit.
“Wew …” aku bergumam.
Setelah beberapa menit berjalan, terbukti lah omongannya Mas Pencit itu. Berdasarkan banyak informasi yang kubaca di internet, perjalanan menuju puncak Mahameru tidaklah mudah. Trek berpasir nan berbatu akan menyulitkan sekaligus menantang langkah kaki setiap pendaki. Dan di sinilah kesabaran kami diuji. Setiap naik lima langkah, kakiku pasti merosot turun dua atau tiga langkah. Semakin ke atas, jalan yang kami lalui kian terjal. Beberapa kali kami harus minggir ke kanan atau ke kiri untuk menghindari batu yang jatuh.
“Pukul berapa sekarang, Mas?” tanyaku ke Mas Pencit yang berada beberapa meter di bawahku.
“Pukul  setengah empat pagi, Mbak,” jawab Mas Pencit.
“Istirahat bentar, ya!” kataku sembari mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Hahaha, tempat yang nyaman katamu? Mana ada!
“Oke, Mbak.”
Aku lantas membalikkan badan pelan-pelan, takut teperosok. Bisa membayangkan rasanya duduk di kemiringan 70 derajat? Kayak mau jatuh! Aku menoleh ke kanan dan sontak menelan ludah. Sekitar satu meter di kananku, tampak jurang tengah mangap-mangap kelaparan. Gelap gulita membuatku tidak sadar kalau aku berjalan terlalu mendekati jurang kematian. Aku lantas geser ke kiri. Kulongokkan kepalaku ke bawah dan baru sadar betapa tingginya jalur yang kudaki. Beberapa pendaki tampak terengah-engah naik ke atas.
Aku mengigil. Gigiku bergemeletuk menahan dingin. Angin kencang kembali menampar-nampar mukaku. Gawat, aku tidak boleh berdiam diri terlalu lama. Bisa-bisa hipotermia. Kukeluarkan botol minum di saku, lantas meneguknya beberapa kali. Meskipun dingin dan tidak terlalu haus, aku harus tetap minum agar tidak kehabisan cairan. Begitu saran dari mas-mas gondrong pas briefing. Baru saja aku akan lanjut jalan, kulihat serombongan pendaki turun pelan-pelan. Beberapa tampak dipapah oleh teman-temannya.
“Sudah muncak, Mas?” tanyaku.
“Nggak, Mbak. Kami turun,” jawab salah satu pendaki.
Aku mengangguk saja, lantas memandang kepergian mereka dengan bimbang. Mereka laki-laki, loh, Ndi. Fisik mereka jelas jauh lebih kuat dari kamu. Dan mereka memutuskan pulang! Kamu yakin kuat sampai atas?
“Banyak yang turun, ya, Mas. Tuh, orang-orang yang papasan ama kita tadi juga turun!” kataku sembari menunjuk dua orang pendaki yang lewat tak jauh dari kami.
“Memang kayak gitu, Mbak. Dulu pas aku muncak di sini juga banyak yang nyerah di tengah jalan. Headlamp pada nyala di mana-mana, tapi makin lama makin abis,” jelas Mas Pencit, jeda beberapa saat kemudian melanjutkan, “tapi di situ lah sensasinya. Hanya orang yang betul-betul sabar dan bermental kuat yang bisa tahan jalan sampe atas!”
Aku mengangguk-angguk. “Ya sudah, ayo jalan. Mari kita uji kesabaran kita. Bismillah!”
Kami kembali menghadapi trek berpasir. Kini yang kami lakukan bukanlah berjalan normal, tetapi merangkak! Aku berusaha menerapkan konsep jalan zig-zag ala mas gondrong, tapi tidak cukup membantu. Cara kedua adalah merangkak sembari membenamkan sepatu ke dalam pasir. Tujuannya biar nggak merosot plus jadi penopang. Barulah kaki satunya naik ke atas. Aku mengikuti cara kedua. Meskipun kaki sudah kubenamkan dalam-dalam, tetapi tetap saja merosot satu atau dua langkah. Dan sungguh demi apa pun, ini benar-benar melelahkan jika dilakukan terus-menerus. Ujung kakiku terasa sangat sakit. Untuk menempuh satu meter, kami harus beberapa kali naik-merosot naik-merosot naik-merosot. Aku mulai kelelahan. Biasanya tubuhku akan berkeringat, tetapi kini tidak. Dingin. Aku seolah mati rasa.
“Allahu Akbar! Se … ma … ngat!” aku bertakbir sembari menghapus segala pikiran-pikiran negatif.
Mas Pencit tidak berkomentar apa pun. Ia terus saja merangkak di belakangku. Mulutku tak henti-hentinya bertakbir. Setiap kali berhasil menjejak satu langkah, aku akan berhenti beberapa detik, lantas kembali merangkak. Angin kencang terasa menampar-nampar muka. Makin ke atas, treknya makin miring. Tak ada tempat bersandar atau duduk. Di mana-mana hanya pasir dan batu. Aku berusaha untuk tidak menginjak batu-batu besar seukuran kepala manusia, akan sangat membayakan kalau batu itu jatuh dan mengenai kepala pendaki di bawahku. Selama satu jam kami merangkak ke atas dengan jeda beberapa detik, menjejak selangkah dua langkah dengan bonus merosot beberapa langkah. Tak kupedulikan celana, jaket dan sarung tangan yang menyatu dengan pasir.
Aku terus saja merangkak, hingga di suatu titik, aku merasakan dadaku tiba-tiba sesak. Dingin. Dingin. Dingin. Telapak tanganku mati rasa. Napasku putus-putus. Ke mana perginya oksigen itu? Dadaku kian sesak dan pandangan mataku sontak mengabur. Seharusnya aku tak boleh berdiam diri terlalu lama, tapi rasa-rasanya kakiku tak sanggup lagi menjejak. Aku mulai meracau tak jelas. Kutangkupkan kedua tangan untuk mengusir dingin, tapi tak berpengaruh sama sekali. Napasku kian habis. Dingin. Dingin. Dingin. Beberapa meter di atasku, tampak seorang pendaki yang dipapah temannya. Ia pun menggigil hebat sepertiku. Teman-temannya sontak mendekapnya sembari berkata “Tahan, tahan, tahan. Kamu kuat!”
Melihat mereka, setitik air jatuh di pipiku. Tahukah kamu bagaimana rasanya kedinginan dan kesulitan bernapas? Nyawaku seakan berada di ujung kerongkongan. Aku tak mampu berteriak, yang ada hanya racauan-racauan tak jelas.

Ya Allah, dingin! Aku tak bisa bernapas! Aku ingin dipeluk oleh siapa pun!

Dipeluk oleh siapa pun? Kedengarannya memang konyol, tapi itulah yang paling kubutuhkan saat itu. Kedinginan di tengah jalur dengan kemiringan 90 derajat, oksigen kian menipis, belum lagi pemandangan jurang yang siap menelanku kapan saja, aku tidak memikirkan apa pun selain mendapatkan dekapan orang-orang agar tubuhku kembali menghangat. Tapi yang terjadi kemudian aku hanya diam di tempat. Mau berteriak minta tolong rasanya sudah tak sanggup. Apa yang harus kulakukan? Jika diam di tempat, aku akan mati kedinginan. Jika meneruskan perjalanan, kakiku belum bisa kugerakkan. Jika turun, aku takut batu-batu itu akan mengenai orang-orang di bawahku—meski saat itu aku tak melihat lagi ada orang yang naik. Serba salah. Sesak di dadaku belum juga hilang. Angin bertiup kian kencang. Napasku semakin putus-putus. Rasa-rasanya, energiku sudah habis.


Aku takut mati ….

Apa jadinya kalau aku mati di sini?

Aku takut mati ….

Aku takut mati ….

Dengan sisa-sisa tenaga, aku memanggil Mas Pencit lirih. “Mas … pukul … berapa … sekarang?”
Mas Pencit yang berada di bawahku sontak melihat jam tangannya. “Setengah lima kurang, Mbak.”
Sudah subuh, aku membatin.
“Mas, aku takut mati …”
“…..”
“Dingin banget. Bagaimana kalau aku mati?”
“…..”
“Aku nggak bisa napas…”
“Pikiran negatif emang bakal sering muncul kalau lagi kelelahan begini. Aku tadi juga takut mati.”
Ya, aku memang kelelahan. Satu jam merangkak-merosot merangkak-merosot membuat energiku habis. Tolong, ya Allah, jangan ambil nyawaku dulu!

Kubalikkan badanku dengan amat hati-hati, lalu mencoba duduk pelan-pelan. Dan seperti biasa, merosot beberapa kali. Kutunaikan shalat Subuh dengan posisi duduk nyaris tegak.
“Allahu Akbar ...” Aku mengangkat kedua tangan sembari terpejam. Gigiku masih saja bergemeletuk. Di tengah bacaan sholat, kedua orang tuaku hadir di pelupuk mata. Terbayang wajah khawatir mereka menantikan diriku yang tak ada kabar. Harusnya Minggu sore aku sudah ada di rumah, tapi nyatanya aku masih berjuang menuju puncak Mahameru. Kurasakan mataku berair, lalu menderas begitu saja. Usai mengucap salam, kubuka mataku pelan-pelan. Mulanya tampak buram berair, tetapi kemudian berganti dengan gulungan awan dan semburat oranye di sekelilingku.

Masya Allah …

Aku tergugu. Tak dapat lagi kugambarkan bagaimana keindahan pagi itu. Lukisan alam yang sungguh memukau. Kami dikelilingi oleh lautan awan dan cahaya matahari yang muncul pelan-pelan. Dadaku terasa penuh. Barangkali, inilah sunrise terindah yang kutemui. Di tengah rasa lelah yang teramat sangat, aku dihadiahi maha karya Allah yang tak ternilai harganya. Saking terpukaunya, aku sampai tidak kepikiran untuk memotret keindahan alam itu. Biar saja. Ada kalanya kau hanya perlu duduk diam menikmati apa yang tersaji di depan mata tanpa diribetkan oleh seonggok kamera. Sejauh mata memandang, yang kulihat hanyalah gradasi warna putih dan oranye. Melihat semua keindahan itu, mendadak tubuhku seolah di-charge. Ada semacam perasaan bahagia bercampur semangat yang menghasilkan energi positif.
“Gimana, Mbak? Lanjut?” tanya Mas Pencit yang melihatku diam saja.
Aku mengangguk. “Kita lanjut, tapi …”
“Hm?”
“Gimana kalau ditarget aja?”
“Maksudnya?”
“Begini, kalau sampai pukul 8 kita belum sampai puncak, kita turun saja. Bagaimana?” usulku. Sesungguhnya saat itu aku tak enak hati dengan dia. Jalanku amat lelet, aku takut dia bakalan bosan dan merasa terbebani. Aku tak tega melihatnya merangkak tunuk-tunuk di bawahku. Padahal kalau sendirian, dia bisa sampai atas sejak tadi.
“Hahaha!” dia hanya tertawa, kemudian tangannya menunjuk ke atas. “Mbak, lihat itu deh!”
“Apa?” aku ikut mendongak dan refleks ngowoh.
Di atas sana, tampak asap wedus gembel tengah berarak ke arah timur. Inikah asap yang berasal dari kawah Jonggring Soloka itu? Inikah asap yang dulu dihirup oleh aktivis Soe Hoek Gie?
“Lihat, deh, tuh udah kelihatan asapnya. Puncaknya udah kelihatan. Dikit lagi, kok, abis ngelewatin batu besar itu kita udah nyampe. Ayo semangat!” Mas Pencit mengompori, seolah mengabaikan saranku tadi.
“Iya kah? Waaaa, ayo, ayo! Semangat! Allahu Akbar!” seruku kegirangan.
Sungguh ajaib, tenagaku mendadak full. Mentalku yang semula drop banget, kini kembali lagi. Di kepalaku sudah terbayang rasanya menjejakkan kaki di sana, melihat bendera merah putih berkibar di puncak tertinggi Pulau Jawa. Seperti orang kesetanan, aku merangkak ke atas dengan semangat menggila. Dengan medan yang kian terjal dan ekstrim, kakiku terus saja menjejak pasir dan bebatuan. Tak terhitung berapa kali kami merosot, bahkan nyaris jatuh. Ada semangat yang menggelora di dalam dada. Aku seolah lupa bahwa subuh tadi mentalku nyaris runtuh. Lupa bahwa tubuhku nyaris hipotermia karena tak tahan diterjang dingin. Lupa bahwa aku sempat kehabisan oksigen dan takut mati!
Di tengah semangat yang menggila itu, kami berkali-kali berpapasan dengan pendaki lain yang beranjak turun. Otomatis, debu-debu beterbangan dengan ganasnya. Kami buru-buru minggir dan berpegangan pada batu besar. Sembari menunggu jalur agak sepi, aku merenung. Mendaki gunung tak boleh egois, apalagi di jalur yang ekstrim begini. Setiap pendaki haruslah peka dengan keadaan sekitar. Seperti yang terjadi pagi itu, kami harus minggir untuk menghindari terjangan batu-batu besar dan debu yang mengaburkan pandangan. Barulah setelah mereka turun dengan jarak agak jauh, kami melanjutkan perjalanan.
“Astaga! Kalian masih di sini rupanya!” sapa seorang pendaki yang tengah turun.
Aku mendongak. Mas-mas sweeper! Di belakangnya, tampak beberapa pendaki yang membersamai kami semalam.
“Iya, Mas.”
“Kukira semalam kalian turun, habisnya nggak ketemu-ketemu. Semangat, ya! Sebentar lagi nyampe atas!” ia menyemangati, begitu pula teman-temannya.
Kami tersenyum sembari mengacungkan jempol. Setelah mereka pergi, kami kembali merangkak ke atas. Pelan-pelan saja, asal selamat. Setelah sampai di sebuah batu besar, kami berhenti dan memutuskan untuk bersandar sebentar. Kukeluarkan sepotong cokelat dan sebotol air dari saku celana. Sembari mengatur pernapasan, kami menikmati cokelat yang sudah membeku. Keras kayak batu, tapi tetap saja terasa nikmat.
“Gilak, jari-jariku masih kerasa beku. Susah gerak,” kataku sembari mencopot sarung tangan.
“Haha, aku juga!”
“Omong-omong, ini bukannya batu besar yang kamu tunjuk tadi? Yang katamu abis itu langsung nyampe puncak?” tiba-tiba aku curiga.
“Bukan, batunya yang di atas itu, tuh! Dekeeet, bentar lagi, kok!”
Aku mendongak ke atas. “Batu paling gede itu?”
“Iya.”
Aku mengangguk-angguk saja. Walaupun matahari sudah muncul, tetap saja diam berlama-lama membuat kami kembali kedinginan. Segera kukenakan kembali sarung tanganku, lantas melanjutkan perjalanan. Saat itulah, tipuan mata terjadi. Batu besar yang ditunjuk Mas Pencit terasa sangaaaaat dekat, tapi entah kenapa kakiku tak kunjung menjejaknya. Sekuat dan secepat apa pun aku merangkak, batu besar itu tak jua tergapai. Barangkali ini yang dinamakan dekat di mata jauh di dengkul.
Kukira batu besar itu dapat kucapai dalam waktu seperempat jam, tapi nyatanya hingga sejam merangkak, aku belum juga sampai. Tanpa sadar, aku dan Mas Pencit berpisah jalur. Ia berada di jalur kiri, sedangkan aku berada di jalur kanan. Kami dipisahkan oleh batu-batu besar yang berdiri kokoh. Ketika melongok ke bawah, tengkukku tiba-tiba berdiri. Di bawah sana, tak seorang pun pendaki yang tampak naik. Pun ketika aku mendongak ke atas, hanya ada satu dua pendaki yang turun. Jadi, kami adalah pendaki terakhir yang tengah berjuang merangkak ke atas? Aku menelan ludah. Takut sekaligus khawatir. Menurut informasi yang kubaca, pendaki dilarang berada di puncak terlalu lama. Maksimal pukul 9 harus sudah turun kembali. Di atas jam itu, asap wedus gembel tak lagi ramah karena mengeluarkan gas beracun.
“Mas! Pukul berapa sekarang?” aku berteriak dari atas.
Kulihat ia melirik jam tangan di kejauhan, lantas menjawab, “Pukul setengah delapan, Mbak!”
Lagi-lagi aku menelan ludan. Kami hanya memiliki waktu 1,5 jam lagi! Tanpa banyak kata, aku kembali merangkak.
“Allahu Akbar … Allahu Akbar … ayo semangat, Ndi!” kukumandangkan takbir untuk mengalirkan energi positif di dalam diri.
“Allahu Akbar!”
Blegh!
Aku tak dapat menahan keseimbangan dan jatuh tersungkur. Mukaku telah bercampur dengan pasir dan debu. Aku terbatuk-batuk seketika. Ketika menoleh ke arah kanan, jantungku seakan berhenti seketika. Jurang! Kalau tadi aku jatuh beberapa jengkal lagi, sudah pasti jurang itu akan menangkapku dengan suka hati.
Dengan tubuh gemetar, aku kembali merangkak menjauhi pinggir jurang, lantas meraba-raba batu besar sebagai pegangan. Kulongokkan kepalaku ke jalur kiri. Tampak Mas Pencit tengah beristirahat di samping bebatuan. Syukurlah, dia masih di sana. Setelah mengatur napas beberapa detik, tanganku kembali menggapai pasir dan bebatuan di atasku. Bermenit-menit aku merangkak tanpa jeda.
Leherku terasa agak sakit. Sejak pukul 3 tadi, kepalaku tak henti-hentinya mendongak. Benar, perjalanan menuju puncak Mahameru memang memerlukan kesabaran tinggi. Entah sudah berapa lama aku merangkak, tahu-tahu energiku menyusut begitu saja. Tepat di batu besar yang ditunjuk Mas Pencit tadi, aku tumbang kehabisan tenaga. Mentalku mendadak down ketika tahu bahwa di atas sana masih ada jalur yang harus kulewati.

Katanya habis batu ini udah nyampe puncak?
Kenapa puncaknya makin nggak keliatan?
Manaaaaa?
Ini namanya puncak PHP! Dekat di mata jauh di dengkul!

Aku menyumpah-nyumpah dalam hati, baru sadar kalau aku dibohongi. Sebenarnya, ini adalah trik basi yang dilakukan oleh pendaki. Ungkapan “Ayo dikit lagi!” selalu diucapkan ketika teman seperjalanan tampak putus asa. Pada pendakian-pendakian sebelumnya, teman-temanku juga sering bilang begitu kalau melihatku nglokro. DAN ANEHNYA, AKU SELALU PERCAYA! Entah aku-nya yang bego atau teman-temanku yang terlalu pandai menyalurkan semangat kepadaku, ungkapan itu selalu berhasil membuat kakiku melangkah lebih jauh lagi.
Tapi, lain halnya dengan Mahameru. Bisa dibilang, ini adalah pendakian terlama yang kulakukan. Biasanya aku hanya menghabiskan sehari semalam, tapi ini? Sudah dua hari tiga malam aku di gunung ini, dan belum pulang juga. Jadi, bisakah kau bayangkan betapa lelahnya diriku?
Rasa lelah, lapar, putus asa, dan gondok bercampur jadi satu. Sejak pukul 11 malam mataku terjaga untuk mempersiapkan summit ini. Sudah 7 jam lebih perjalanan menuju puncak kulakukan, tapi kibaran bendera merah putih itu tak jua tampak. Tiba-tiba aku teringat cerita mas-mas pendaki yang kutemui di Tanjakan Cinta kemarin. Benar, perjalanan ini memang melelahkan. Mereka menghabiskan waktu 6 jam menuju puncak dari Kalimati, sementara aku? Memikirkan hal itu, rasa pesimis dan frustrasi menjalariku seketika.
Tubuhku sudah terlampau letih. Dan ketika menengok ke atas, ujung perjalanan ini belum juga tampak. Karena kehausan, kurogoh kembali saku celanaku. Oh, sial! Airku habis! Aku melongok ke bawah. Kulihat Mas Pencit tengah merangkak ke atas, menyusulku. Aku ngedumel seorang diri.

Pokoknya, kalau Mas Pencit sudah sampai sini, aku mau minta turun!
Peduli setan dengan puncak Mahameru!
Aku tak mau mati kelelahan di sini!

Beribu pikiran negatif mendominasi otakku. Bibirku sudah memberengut penuh kekesalan. Kulihat Mas Pencit menghentikan langkah, lantas duduk. Oiii, aku kehausan!
“Maaaas!” panggilku.
Ia mendongak. “Ha?”
“Airku habis!”
Ia serta-merta kembali merangkak ke atas, menuju jalur bagian kanan. Beberapa menit kemudian, sampailah ia di tempatku dengan penuh kepayahan. Tanpa berucap apa pun, ia mengambil botol besar di dalam tas, lalu menuangkan sebagian isinya ke dalam botol kecil milikku. Aku lantas meminumnya.
“Aaaah! Segar!” ucapku sembari menutup botol minum.
Ketika aku menoleh, kulihat Mas Pencit juga tengah menenggak air. Kuperhatikan air mukanya yang tampak lelah. Anak ini, sejak berangkat dari Ranupane sampai berada di ketinggian sekian ribu mdpl tidak pernah mengeluh sama sekali. Lihat! Sekarang ia bahkan mau-maunya menemaniku mendaki sekuat kakiku melangkah. Ia selalu berjalan pelan di belakangku, padahal ia bisa saja berlari. Ia pun selalu sigap ketika aku nge-down dan mulai rewel. Dengan ia yang merelakan diri membersamaimu sampai saat ini, yakin kau akan minta turun?
“Lanjut, Mbak? Ayo, bentar lagi nyampe loh!” ia kembali berkelakar.
“Hmm, masih jauh kayaknya. Pukul berapa sekarang?” aku berusaha mengusir jauh-jauh pikiran untuk turun.
“Setengah 9 kurang.”
“What?” aku mangap. “Bukannya kita boleh di atas maksimal pukul 9, ya?”
“Wis, ayo munggah wae. Insya Allah sampe. Yuk, semangat!”
Aku masih mangap, dan dia merangkak naik begitu saja. Wei, aku ditinggal! Aku buru-buru menyusulnya. Merangkak sedikit demi sedikit, merosot sedikit demi sedikit. Ya, pada akhirnya aku batal mengajaknya turun. Aku akan mengerahkan segenap kekuatanku untuk mendaki. Selama kakiku masih bisa bergerak, selama tanganku masih dapat menggapai pasir dan bebatuan sebagai pegangan, selama semangatku masih ada, aku akan terus melangkah. Puncak memang bukan segalanya, tetapi selagi kau masih memiliki keyakinan dan semangat, lanjutkan langkahmu! Aku bersorak dalam hati, lupa kalau beberapa menit yang lalu aku kelelahan dan nyaris ngambek minta turun.
Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Empat menit. Lima menit. Belum sampai juga! Sepuluh menit. Lima belas menit. Dua puluh menit. Ini mana puncaknya? Dua puluh lima menit. Ya Allah, kok nggak nyampe-nyampe? Benar-benar puncak Pe-Ha-Pe! Dekat di mata jauh di dengkul!
“Ayo, Mbak! Semangaaaat!” seorang mas-mas pendaki yang baru turun memberikan semangat ketika melihatku megap-megap merangkak ke atas.
“Terima kasih, Mas!” aku menyunggingkan senyum sembari mengangkat jempol.
“Sendirian aja, Mbak?”
“Nggak. Itu teman saya di atas.”
“Ooo. Nanti kalau sampai atas, jangan lama-lama, ya! Makin siang, asapnya mulai beracun!”
Ia kemudian pamit turun, meninggalkan jejak dan debu beterbangan. Aku kembali merangkak. Sedikit lagi, Indi! Ayo! Mas Pencit berkali-kali berhenti dan menoleh ke belakang, mengecek apakah aku masih utuh. Tahu bahwa aku mulai kelelahan dan berpotensi meracau nggak jelas, ia kembali berteriak dari atas.
“Ayo, Mbak! Semangat!”
“Dohkaaaah! Puncak PHP!”
“Hahaha! Ayo!” ia lanjut merangkak ke atas.
Aku mendengus. Terselip perasaan takut di dalam hati, terlebih setelah melihat si wedus gembel menampakkan muka. Kelihatan dekat sekali. Bagaimana kalau asap beracun yang keluar dari kawah Jonggring Soloka menghantam kami?
Begitu sampai di sebuah batu besar, aku berhenti. Napasku mulai yak-yakan. Nggak stabil. Kaki pun terasa agak gemetar. Aku menenggak airku sekali lagi.
“Astaga! Kalian baru mau naik?” teriak seorang pendaki.
“Iya, Mas. Di atas masih ada orang?”
“Nggak ada, Mas. Tinggal kami berdua, ini juga mau turun. Kirain kami yang paling terakhir di puncak, ternyata masih ada pendaki lagi. Luar biasa, semangat, ya, kalian!” sahut pendaki satunya.
“Puncak masih jauh nggak, Mas?” tanyaku.
“Nggak, kok, Mbak. Tinggal belok kiri ngelewatin batu ini, sekitaran lima menitan lah, baru nyampe puncak,” jelas si mas-mas.
“Sumpah?” alisku bertaut tanda curiga.
“Iya, Mbak.”
“Alah, paling abis belok kiri nanti naik lagi, belok lagi trus nggak nyampe-nyampe. Ojo ngapusi aku talah, Mas, katakan yang sebenarnya. Aku diapusi thok ket mau!”
“Hahaha! Suer, nggak bohong. Udaaah, lanjut naik aja. Semangat pokoknya, jangan nyerah!”
“Iya, semangat! Kalau sudah nyampe atas, jangan lama-lama. Asapnya mulai bahaya!”
Duh, aku kembali bergidik. Mereka berdua kemudian berpamitan sembari melambaikan tangan.
“SEMANGAT! SEMANGAT!”
Sepeninggal mereka, aku baru menyadari sesuatu. Mas Pencit ilang!
“Maaas?” aku memanggil-manggil.
Tidak ada jawaban. Aku lantas berbelok ke kiri seperti yang dikatakan oleh dua pendaki tadi. Ketika berbelok, aku melewati semacam lorong dengan bebatuan tinggi. Sambil berpegangan pada batu tersebut, aku berusaha melangkah ke atas.
“Maaas? Kamu di manaaa?” panggilku sekali lagi.
Masih tak ada jawaban.
“Maaas!!” aku pun berteriak, mulai ketakutan. Mas-mas pendaki tadi sudah pergi, dan kini Mas Pencit entah di mana. Aku takut tersesat, apalagi aku menemui beberapa belokan. Aku harus belok ke mana?
“Maaas!” aku membik-membik seorang diri. Kakiku mulai gemetaran. Menuruti insting, aku berbelok ke kanan. Tampak satu tanjakan yang cukup curam. Sembari berpegangan pada batu-batu besar, susah payah aku melangkah sedikit demi sedikit. Begitu tanjakan itu berhasil kulewati, mataku menangkap sesosok manusia tengah berdiri di samping bendera merah putih sembari melambaikan tangan ke arahku.
“Yaaaaiy!” ia berteriak sembari mengepalkan kedua tangan ke udara.
Aku membeku beberapa detik. Mulutku ternganga. Dengan langkah patah-patah, kudekati ia bersamaan dengan jatuhnya setetes air dari pelupuk mata. Rasa-rasanya aku sudah tak sanggup berjalan, tapi kupaksakan untuk tetap melangkah walau pelan. Sesampainya di depan bendera dan plang bertuliskan “Mahameru 3676 mdpl”, aku menjatuhkan diriku begitu saja. Satu per satu butiran bening menguasai pipiku. Aku sudah sampai di sini, di atap Pulau Jawa!
Allahu Akbar! Terima kasih, ya, Allah!
Kusembunyikan mukaku dengan kedua tangan, membiarkan air mata itu berjatuhan begitu saja. Momen ini tentu tidak disia-siakan oleh Mas Pencit. Ia sigap mengambil kamera di dalam tas, lantas dengan gembira memotretku yang tengah tertelungkup di bawah Sang Saka Merah Putih.
Setelah cukup lama dlosoran di tanah, aku berdiri pelan-pelan. Dengan perasaan haru bercampur bahagia, kuedarkan pandanganku ke segala arah. Kami dikelilingi lautan awan yang begitu indah. Langit biru bersinar amat cerah. Tak jauh dari puncak Mahameru, tampak kawah Jonggring Soloka. Di bawah sana, kota Lumajang dan sekitarnya tampak hijau menawan. Inilah sebagian kecil dari Indonesiaku yang begitu megah!
“Mbak, ayo foto-foto dulu. Kita nggak bisa lama-lama di sini,” Mas Pencit mengingatkan.
“Oh, ya. Pukul berapa sekarang?”
“Setengah 10.”
Glekh! Kami segera foto-foto. Tak lupa aku mengambil tulisan pesanan teman-teman. Hahaha, begitulah. Setiap kali akan mendaki, ada saja yang nitip tulisan. Lama-lama kusuruh bayar juga mereka, haha.
“Eh, kita belum foto bareng. Yaaah, nggak ada siapa pun di sini yang bisa dimintain tolong buat ngefotoin. Pake timer nggak papa, ya!” aku mengambil batu besar, lalu meletakkan kameraku di sana.
“10… 9… 8 … 7…,” aku menghitung dan buru-buru berlari ke arah Mas Pencit.
Ckrak! Ckrek! Ckrak! Ckrek!
Walau hasilnya tak sebagus kalo difotoin orang, tak apalah. Aku tak akan pernah melupakan hari itu. Menjadi pendaki terakhir yang menjejakkan kaki di puncak tertinggi Pulau Jawa dengan penuh perjuangan.
Bum…bum…bum…
Wedus gembel keluar perlahan-lahan dari kawah Jonggring Saloka. Asap itu mengarah kepada kami! Mukaku pucat seketika.
“Mas! Mas! Itu kok ngarah ke sini? Ayo lari!” aku panik. Terbayang gas beracun yang bisa memangsa kami tanpa ampun.
“Nggak papa, kok. Itu nggak ke sini. Sini kufotoin dulu!”
“Sumpah nggak papa?”
“Iya, nggak papa. Gih!”
Aku lantas mengambil bendera dan berpose dengan latar belakang asap mengerikan tersebut. Sejujurnya saat itu aku masih teramat panik. Asap itu keluar setiap 10 menit sekali. Selesai foto-foto, aku lekas mengajaknya turun.
“Huhkaaaah, medheni! Ayok mudun!”
“Haha, yoooo!”
Kami lantas meninggalkan puncak Mahameru dengan perasaan haru. Lagi-lagi, kami menghadapi trek berpasir.
“Mbak, aku duluan turun, ya!”
Aku mengangguk. Mataku masih terpukau dengan pemandangan yang tersaji. Di bawah sana, tampak bukit-bukit menjulang. Aku terpesona melihat jalur di bawah sana. Sungguh mengerikan! Aku baru sadar kalau aku baru saja melewati trek curam yang nyaris membuatku mati kedinginan. Jika perjalanan naik memakan waktu yang amat lama, lain halnya dengan turun. Aku bisa perosotan! Aku sengaja memerosotkan diriku agar tidak capek, tapi ternyata malah bikin sepatuku penuh pasir dan batu. Belum lagi debunya ugal-ugalan. Aku kembali berdiri, lalu turun pelan-pelan.
“Lho! Mas Pencit ke mana?” aku celingukan tidak menemukan Mas Pencit di bawah.
Kukira dia hanya akan meninggalkanku beberapa meter, tahunya dia menghilang! Aku kembali panik. Rasa takut sontak menjalari seluruh tubuhku.

Hei, kalian adalah pendaki terakhir!
Lihat, sekarang tak ada siapa-siapa di jalur ini!
Dan kau … kau sendirian!

Aku bergidik. Baru kali ini aku sendirian di gunung dengan trek semenakutkan ini.
“Maaas?” aku berteriak.
Hening.
“MAAAASSS!”
Tetap hening.
“MAAAASSS!”
Yang ada hanya desau angin.

Aku kembali membik-membik. Ada yang bergolak di dalam perutku. Alamaak, aku kebelet pipis dan nggak bawa tisu basah!

“Ayo, Mbak…” ujar sebuah suara.
Aku tolah-toleh. Jelas tak ada orang. Bulu romaku sontak berdiri lagi. Suara siapa itu? Apakah aku berhalusinasi?
“Tolong, dong, jangan gangguin … please, jangan bikin aku ngompol!” aku membik-membik sembari menahan pipis. Tak mau dirasuki pikiran aneh-aneh, aku pun turun dengan hati-hati.




Mas Pencit! Kamu di manaaaaa?!


finally, tersungkur!:')


:)


Pendaki terakhir :'))

This entry was posted on Jumat, 04 Desember 2015. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply