"Ada macaaaan!"
“Macaaan!”
“Macaaan!”
Kalimati
yang semula tenang dan damai mendadak ramai. Di luar tenda, orang-orang
berteriak ketakutan. Sontak aku terjaga dan merasakan tubuhku merinding luar
biasa. Aku tidak berani keluar tenda meskipun orang-orang menyuruh mengosongkan
tenda. Badanku kian panas dingin setelah menyadari bahwa Mas Pencit dan Mas
Pleir tidak ada di tempat. Semakin lama, auman macan terdengar semakin nyaring.
Kata mas-mas gondrong ketika memberikan briefing,
di Kalimati memang ada macan yang suka keliaran, tapi di Sumber Mani, bukan di
tempat ini. Aku kian ketakutan. Angin berembus kencang. Seorang kakek tua
berbaju serba putih tiba-tiba masuk ke dalam tenda. Matanya tajam menatapku.
“Kamu
lolos!”
“Ap…
apa?”
“Kamu
dapat melanjutkan perjalanan sampai akhir.”
Kemudian
ia menghilang. Jantungku berdegup kencang. Apa yang barusan kulihat? Aku
mengucek mata berkali-kali. Auman macan itu kini tak terdengar lagi, berganti
suara berisik orang-orang.
“Iku
arek-arek Jember gak digugahi ta? Tendane sepi banget!”
“Oiiii,
Mbak Jember! Mas Jember!”
“Wis-wis,
jarne. Mungkin mereka summit-nya
masih nanti.”
“Oke,
kita berangkat!”
“Semangat!
Kalau ada yang capek, ngomong. Ingat, tujuan utama kita bukanlah puncak, tapi
pulang dengan selamat!”
“Ya!
Semangat!!”
Kemudian
teriakan-teriakan itu menghilang bersamaan dengan langkah kaki mereka. Aku
mengerutkan kening. Kenapa suasananya jadi beda begini? Aku mengucek mataku
sekali lagi. Dan alangkah terkejutnya aku ketika mendapati Mas Pencit dan Mas
Pleir tengah molor dengan santainya. What
the hell, ternyata suara macan dan kakek tua tadi tadi beneran ada. Beneran
ada dalam mimpi, maksudnya.
“Mas!
Mas!”
“Hm?”
“Pukul
berapa sekarang?”
Mas
Pencit bangun dari tidur, menyalakan senter, lantas melihat jam tangannya.
“Pukul 22.45 WIB. Ya ampun, ternyata tadi kita nggak pasang alarm.”
“Tadi
mas-mas tenda sebelah pada tereak kenceng banget, makanya aku bangun. Untung
ada mereka,” ujarku, lantas melanjutkan dalam hati, untung ada suara macan dan kakek tua juga.
Mas
Pleir kemudian bangun. Sambil mengucek mata, ia mengambil nesting berisi nasi
dan sarden di pojokan tenda. Mas Pencit langsung bikin minuman hangat. Sambil
makan, kami mengobrol. Sebenarnya aku sangat malas makan, tapi tetap kupaksakan
karena tubuhku butuh energi yang cukup untuk menempuh perjalanan selanjutnya.
Apalagi seharian tadi aku hanya mengunyah beberapa butir kentang dan apel. Aku
tidak mau pingsan di tengah jalan gegara kurang makan.
“Berangkat
pukul berapa kita?” tanyaku lagi.
“Pukul
12, ya. Santai, masih lama.”
Setelah
makan, kami memeriksa kembali perlengkapan summit.
Headlamp, jaket, air, dan cemilan. Meskipun Mas Pencit sudah membawa air
yang lebih dari cukup, tapi aku tetap jaga-jaga dengan membawa sebotol kecil
air. Tak lupa pula mengantongi dua batang cokelat silverquuen. Setengah jam kemudian, kami pun keluar tenda.
Senin, 19 Oktober 2015
Tepat
tengah malam, kami memulai perjalanan. Mas Pencit di depan sebagai leader, aku di tengah, dan Mas Pleir di
belakangku. Setelah melewati sebuah belokan, langkah kami terhenti.
“Kayaknya
kita salah jalan,” ujar Mas Pencit.
“Ha?”
“Iya,
dulu sih lewat belakang shelter sana,
tapi kan sekarang jalurnya ditutup. Tadi kata mas-mas sebelah lewat sini, tapi
aku kok ragu ya?”
“Kita
cari barengan aja gimana? Tenda-tenda sebelah kita pada sepi. Ayo jalan ke
sana!”
Kami
lantas berjalan menuju shelter. Di
sana ada beberapa tenda yang tampak menyala.
“Mas,
mau summit?”
“Iya.”
“Boleh
bareng nggak, Mas? Kami tadi salah jalan.”
“Boleh,
Mas. Tapi kami mau makan dulu, ya.”
“Oke,
monggo.”
Sementara
mereka menuntaskan acara makan, kami menunggu di luar. Malam itu, langit
bersinar sangat cerah. Ribuan bintang bertebaran. Masya Allah, betapa indah
ciptaan-Nya. Aku tak henti-hentinya berdecak kagum.
“By the way,
Mas, kalau sudah sampe Arcopodo, kamu tahu jalan, kan?” tanyaku ke Mas Pencit.
“Tahu,
Mbak. Kenapa emang?”
“Kita
bareng mereka sampe Arcopodo saja, ya, habis itu jalan sendiri,” kataku.
Mas
Pencit mengangguk, tanpa tahu kalau aku sebenarnya menyimpan gelisah setelah
berdiri hampir setengah jam lamanya. Entahkah ini perasaanku saja atau gimana,
tapi aku merasa ada hal yang membuatku kurang nyaman.
“Kenapa
mereka lama, ya?” Mas Pencit memandangi jam tangannya. “Sudah setengah jam
lewat, nih.”
“Apa
kita duluan aja?”
“Jangan
ambil risiko, ah!”
“Eh,
itu tenda yang di sono pada keluar orangnya. Apa kita ikut mereka aja, Mas?”
Mas
Pencit mengarahkan senternya ke utara. Tampak belasan bule tengah berjalan
cepat.
“Ojo
lah, bule itu. Jalannya cepet banget kek setan. Kita nunggu anak-anak ini aja,”
ujar Mas Pencit.
Aku
dan Mas Pleir mengangguk saja. Berdiam diri selama hampir satu jam rupa-rupanya
bikin tubuhku kembali menggigil, padahal aku sudah memakai baju panjang dua
lapis dan jaket dua lapis. Tapi, yah, tetap saja terasa dingin. Aku berusaha
mengusir dingin dengan berjalan kaki ke sana ke mari sembari merapatkan jaket. Brrrr!
“Mas-mas,
ayo kita berangkat!” panggil seorang mas-mas.
Mas?
Aku cekikikan. Yeah, wajar kalau mereka tidak mengenaliku sebagai cewek.
Kepalaku tertutup tudung jaket, dan mukaku pun tertutup masker. Setelah berdoa
bersama, kami pun memulai perjalanan panjang malam itu, tepat pukul satu dini
hari.
“Lu
jadi sweeper di belakang, ya!”
perintah seorang mas-mas.
“Oke,
jumlahnya 13 orang kan ini?”
“Yoi.
Oksigen udah lu bawa, kan?”
“Siap!”
Hmmm.
Setelah iseng bertanya pada salah satu dari mereka, tahulah aku bahwa mereka
adalah rombongan dari Jakarta. Pantas, kelihatan dari gaya ngomongnya. Setelah
berjalan beberapa meter, aku berhenti sejenak untuk mengatur napas. Jantungku
berdetak cepat seperti biasa. Selang beberapa detik, kami kembali berjalan.
Trek awal menuju Arcopodo tidaklah terlalu sulit karena didominasi oleh jalanan
mendatar. Akan tetapi, lama-kelamaan trek semakin menanjak dan dibutuhkan
tenaga ekstra untuk mendakinya. Belum lagi, kami harus selalu waspada karena di
kanan-kiri kami ada jurang menganga. Meleng dikit saja, sudah pasti wassalam.
Semakin ke atas, angin berembus kian kencang. Baru juga beberapa menit
berjalan, aku sudah ngos-ngosan. Beberapa kali aku berhenti untuk mengatur
napas. Otomatis, orang-orang yang ada di belakangku juga ikutan berhenti.
Tiba-tiba aku jadi tidak enak sendiri. Aku
tidak mau jadi beban mereka. Akhirnya, aku pun kembali melangkah walau
napasku masih tak beraturan. Karena terlalu memaksakan diri menyesuaikan ritme
orang-orang di depanku, lagi-lagi aku berhenti. Napasku agak sesak. Aku tidak
mampu menyeimbangkan langkahku yang super lelet dengan langkah leader yang was-wes-wos.
“Mas?”
Aku menoleh ke belakang, mencari Mas Pencit dan Mas Pleir. Pandanganku sudah
berkunang-kunang.
“Iya,
Mbak?” Mas Pencit mendekat, disusul oleh Mas Pleir.
“Kepalaku
pusing banget,” ujarku sembari memijit kening.
“Ya
udah, istirahat dulu aja.”
Satu
per satu orang yang berjalan di belakangku pun melewati kami.
“Mas,
aku jalan pelan, ya, nyusul mereka. Kami tunggu di atas,” mas-mas sweeper berpamitan, semacam kode kalau
mereka sudah tidak bisa berjalan bersama kami lagi.
Kami
bertiga mengangguk saja. Lama kami termakan hening. Pusing di kepalaku tak
kunjung mereda. Perutku pun mual-mual, serasa ingin muntah. Mungkin ini yang
dinamakan AMS, semacam gejala sakit di ketinggian.
“Kita
sudah nyampe Arcopodo belum, Mas?”
“Belum,
Mbak.”
Perasaanku
jadi was-was. “Trus gimana? Kita, kan, nggak tahu jalan.”
“Nggak
papa, udah lumayan jauh kok ini jalannya. Insya Allah kita nggak nyasar.”
Setelah
beristirahat cukup lama, kami kembali melanjutkan perjalanan. Trek yang kami
lalui kian menantang. Beberapa kali aku diperingatkan oleh mereka agar
hati-hati. Kuarahkan headlamp ke
bawah. Tampak jurang di kanan-kiri kami. Aku bergidik, takut terpeleset.
“Awas,
Mbak. Pegangan pohon!”
Aku
menelan ludah sembari berpegangan pada pohon. Tak ada bonus yang kami temukan.
Yang ada hanyalah jalur menanjak. Semakin lama, angin semakin kencang. Kalau
aku oleng sedikit saja, pastilah jurang itu akan memakanku hidup-hidup. Setelah
satu jam perjalanan, mataku menangkap beberapa patokan atau nisan bertuliskan
nama-nama pendaki yang meninggal di Mahameru. Lagi-lagi bulu kudukku berdiri. Melihat
nisan-nisan itu sontak mengingatkanku pada kematian. Merinding. Dulu aktivis
Soe Hoek Gie juga mati di sini gegara menghirup asap beracun. Dan sekarang, aku
justru berjalan menuju puncak, tempat asap beracun tersebut.
Kami
melanjutkan perjalanan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sekitar
pukul 3 pagi, sampailah kami di batas vegetasi atau biasa disebut Kelik. Kami
langsung disambut oleh jalanan berpasir dan angin kencang. Kami sudah cukup
jauh meninggalkan hutan. Tak ada lagi pepohonan di sana. Kepalaku mendongak,
menatap trek menjulang nan berpasir. Inikah yang disebut area Blank 75? Konon,
banyak orang tersesat di jalur ini. Perjuangan
baru akan dimulai, Ndi. Bersemangatlah!
Baru
juga akan berjalan, tiba-tiba Mas Pleir berlari ke atas, mendekati Mas Pencit.
“Mas,
aku turun, ya!”
Mataku
terbelalak. Segera kususul mereka. “Kenapa, Mas?”
“Badanku
agak nggak enak. Takut makin sakit kalau kupaksain,” jelas Mas Pleir.
“Lhoooo,
Mas!” Aku membik-membik, tidak bisa
membayangkan dia turun sendirian. “Kita turun aja po?”
Mas
Pleir menggeleng. “Nggak usah, kalian lanjut aja. Semangat, ya!”
“Lhoooo,
Mas …”
Hening.
“Aku
boleh minta air, nggak?”
Aku
segera mengangsurkan botol minumku. “Ini, Mas. Dibawa aja, ya!”
“Nggak
usah, aku minta dikit aja, kok.”
Aku
kembali diam. Entahlah, saat itu aku merasa begitu sedih. Kedengarannya memang
agak drama, tapi begitulah kenyataannya. Ketika teman seperjalanan tak lagi
lengkap, serasa ada yang hilang. Apalagi, kami sudah berjalan sejauh ini. Aku
lantas merogoh saku celana, mengambil sebatang cokelat.
“Ini,
Mas, buat sangu pulang. Masih ada satu, kok, buat aku sama Mas Pencit. Kamu
hati-hati, ya!” kuangsurkan sebatang cokelat untuknya, persis kayak emak-emak
yang tak tega melepas anaknya pergi.
Mas
Pleir tersenyum. “Aku turun dulu, ya! Semangat kalian!”
Aku
dan Mas Pencit menatap kepergian Mas Pleir dengan perasaan entah. Walaupun dia
tercatat sebagai anak Mapala yang pernah ke sini, tetap saja aku takut dia
kenapa-napa. Apa jadinya kalau dia tersesat? Dia, kan, nggak ada barengan.
Pikiranku melantur ke mana-mana.
“Ayo
lanjut, Mbak!” Mas Pencit memecah keheningan.
Aku
melangkah pelan, beberapa kali kembali menoleh ke belakang. “Dia nggak papa
kan, ya?”
“Udah,
nggak papa. Yok, jalan!”
“Mas,
kamu masih kuat kan?”
Mas
Pencit mengangguk sembari mengangkat dua jempol tangannya. “Harusnya aku yang
nanya gitu ke kamu!”
“Oh,
iya, hahaha!”
Kami
kembali berjalan. Tiba-tiba aku teringat salah satu kalimat dalam novel 5 CM
yang kubaca beberapa tahun lalu. Kepala
yang akan lebih sering menengadah dari biasanya. Ya, itulah yang kami
lakukan. Kami harus sering-sering menengadah untuk melihat medan di atas kami.
Harus selalu waspada, karena batu-batu besar itu bisa jatuh kapan saja dan
mengenai kepala kami. Jangan sampai kami meleng. Ketika menengadah, aku melihat
banyaaaak sekali lampu berkelip-kelip, menandakan bahwa cukup banyak pendaki
yang melakukan summit.
“Mas,
trek yang disebut naik 5 turun 3 itu apa ini, ya?” tanyaku sembari berjalan.
“Ya,
tapi ini belum seberapa, kita masih bisa jalan sambil berdiri soalnya. Nanti
agak atas lagi, treknya lebih sadis,” jawab Mas Pencit.
“Wew
…” aku bergumam.
Setelah
beberapa menit berjalan, terbukti lah omongannya Mas Pencit itu. Berdasarkan
banyak informasi yang kubaca di internet, perjalanan menuju puncak Mahameru
tidaklah mudah. Trek berpasir nan berbatu akan menyulitkan sekaligus menantang
langkah kaki setiap pendaki. Dan di sinilah kesabaran kami diuji. Setiap naik
lima langkah, kakiku pasti merosot turun dua atau tiga langkah. Semakin ke
atas, jalan yang kami lalui kian terjal. Beberapa kali kami harus minggir ke
kanan atau ke kiri untuk menghindari batu yang jatuh.
“Pukul
berapa sekarang, Mas?” tanyaku ke Mas Pencit yang berada beberapa meter di
bawahku.
“Pukul setengah empat pagi, Mbak,” jawab Mas Pencit.
“Istirahat
bentar, ya!” kataku sembari mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Hahaha, tempat yang nyaman katamu? Mana ada!
“Oke,
Mbak.”
Aku
lantas membalikkan badan pelan-pelan, takut teperosok. Bisa membayangkan
rasanya duduk di kemiringan 70 derajat? Kayak mau jatuh! Aku menoleh ke kanan
dan sontak menelan ludah. Sekitar satu meter di kananku, tampak jurang tengah
mangap-mangap kelaparan. Gelap gulita membuatku tidak sadar kalau aku berjalan
terlalu mendekati jurang kematian. Aku lantas geser ke kiri. Kulongokkan
kepalaku ke bawah dan baru sadar betapa tingginya jalur yang kudaki. Beberapa
pendaki tampak terengah-engah naik ke atas.
Aku
mengigil. Gigiku bergemeletuk menahan dingin. Angin kencang kembali
menampar-nampar mukaku. Gawat, aku tidak boleh berdiam diri terlalu lama.
Bisa-bisa hipotermia. Kukeluarkan botol minum di saku, lantas meneguknya
beberapa kali. Meskipun dingin dan tidak terlalu haus, aku harus tetap minum
agar tidak kehabisan cairan. Begitu saran dari mas-mas gondrong pas briefing. Baru saja aku akan lanjut
jalan, kulihat serombongan pendaki turun pelan-pelan. Beberapa tampak dipapah
oleh teman-temannya.
“Sudah
muncak, Mas?” tanyaku.
“Nggak,
Mbak. Kami turun,” jawab salah satu pendaki.
Aku
mengangguk saja, lantas memandang kepergian mereka dengan bimbang. Mereka laki-laki, loh, Ndi. Fisik mereka
jelas jauh lebih kuat dari kamu. Dan mereka memutuskan pulang! Kamu yakin kuat
sampai atas?
“Banyak
yang turun, ya, Mas. Tuh, orang-orang yang papasan ama kita tadi juga turun!”
kataku sembari menunjuk dua orang pendaki yang lewat tak jauh dari kami.
“Memang
kayak gitu, Mbak. Dulu pas aku muncak di sini juga banyak yang nyerah di tengah
jalan. Headlamp pada nyala di
mana-mana, tapi makin lama makin abis,” jelas Mas Pencit, jeda beberapa saat
kemudian melanjutkan, “tapi di situ lah sensasinya. Hanya orang yang
betul-betul sabar dan bermental kuat yang bisa tahan jalan sampe atas!”
Aku
mengangguk-angguk. “Ya sudah, ayo jalan. Mari kita uji kesabaran kita.
Bismillah!”
Kami
kembali menghadapi trek berpasir. Kini yang kami lakukan bukanlah berjalan
normal, tetapi merangkak! Aku berusaha menerapkan konsep jalan zig-zag ala mas
gondrong, tapi tidak cukup membantu. Cara kedua adalah merangkak sembari membenamkan
sepatu ke dalam pasir. Tujuannya biar nggak merosot plus jadi penopang. Barulah
kaki satunya naik ke atas. Aku mengikuti cara kedua. Meskipun kaki sudah
kubenamkan dalam-dalam, tetapi tetap saja merosot satu atau dua langkah. Dan
sungguh demi apa pun, ini benar-benar melelahkan jika dilakukan terus-menerus.
Ujung kakiku terasa sangat sakit. Untuk menempuh satu meter, kami harus
beberapa kali naik-merosot naik-merosot naik-merosot. Aku mulai kelelahan.
Biasanya tubuhku akan berkeringat, tetapi kini tidak. Dingin. Aku seolah mati
rasa.
“Allahu
Akbar! Se … ma … ngat!” aku bertakbir sembari menghapus segala pikiran-pikiran
negatif.
Mas
Pencit tidak berkomentar apa pun. Ia terus saja merangkak di belakangku.
Mulutku tak henti-hentinya bertakbir. Setiap kali berhasil menjejak satu
langkah, aku akan berhenti beberapa detik, lantas kembali merangkak. Angin
kencang terasa menampar-nampar muka. Makin ke atas, treknya makin miring. Tak
ada tempat bersandar atau duduk. Di mana-mana hanya pasir dan batu. Aku
berusaha untuk tidak menginjak batu-batu besar seukuran kepala manusia, akan
sangat membayakan kalau batu itu jatuh dan mengenai kepala pendaki di bawahku.
Selama satu jam kami merangkak ke atas dengan jeda beberapa detik, menjejak
selangkah dua langkah dengan bonus merosot beberapa langkah. Tak kupedulikan
celana, jaket dan sarung tangan yang menyatu dengan pasir.
Aku
terus saja merangkak, hingga di suatu titik, aku merasakan dadaku tiba-tiba
sesak. Dingin. Dingin. Dingin. Telapak tanganku mati rasa. Napasku putus-putus.
Ke mana perginya oksigen itu? Dadaku kian sesak dan pandangan mataku sontak
mengabur. Seharusnya aku tak boleh berdiam diri terlalu lama, tapi rasa-rasanya
kakiku tak sanggup lagi menjejak. Aku mulai meracau tak jelas. Kutangkupkan
kedua tangan untuk mengusir dingin, tapi tak berpengaruh sama sekali. Napasku
kian habis. Dingin. Dingin. Dingin. Beberapa meter di atasku, tampak seorang
pendaki yang dipapah temannya. Ia pun menggigil hebat sepertiku. Teman-temannya
sontak mendekapnya sembari berkata “Tahan, tahan, tahan. Kamu kuat!”
Melihat
mereka, setitik air jatuh di pipiku. Tahukah kamu bagaimana rasanya kedinginan
dan kesulitan bernapas? Nyawaku seakan berada di ujung kerongkongan. Aku tak
mampu berteriak, yang ada hanya racauan-racauan tak jelas.
Ya Allah, dingin! Aku tak bisa
bernapas! Aku ingin dipeluk oleh siapa pun!
Dipeluk
oleh siapa pun? Kedengarannya memang konyol, tapi itulah yang paling kubutuhkan
saat itu. Kedinginan di tengah jalur dengan kemiringan 90 derajat, oksigen kian
menipis, belum lagi pemandangan jurang yang siap menelanku kapan saja, aku
tidak memikirkan apa pun selain mendapatkan dekapan orang-orang agar tubuhku
kembali menghangat. Tapi yang terjadi kemudian aku hanya diam di tempat. Mau
berteriak minta tolong rasanya sudah tak sanggup. Apa yang harus kulakukan?
Jika diam di tempat, aku akan mati kedinginan. Jika meneruskan perjalanan,
kakiku belum bisa kugerakkan. Jika turun, aku takut batu-batu itu akan mengenai
orang-orang di bawahku—meski saat itu aku tak melihat lagi ada orang yang naik.
Serba salah. Sesak di dadaku belum juga hilang. Angin bertiup kian kencang.
Napasku semakin putus-putus. Rasa-rasanya, energiku sudah habis.
Aku takut mati ….
Apa jadinya kalau aku mati di sini?
Aku takut mati ….
Aku takut mati ….
Dengan
sisa-sisa tenaga, aku memanggil Mas Pencit lirih. “Mas … pukul … berapa …
sekarang?”
Mas
Pencit yang berada di bawahku sontak melihat jam tangannya. “Setengah lima kurang,
Mbak.”
Sudah subuh,
aku membatin.
“Mas,
aku takut mati …”
“…..”
“Dingin
banget. Bagaimana kalau aku mati?”
“…..”
“Aku
nggak bisa napas…”
“Pikiran
negatif emang bakal sering muncul kalau lagi kelelahan begini. Aku tadi juga
takut mati.”
Ya,
aku memang kelelahan. Satu jam merangkak-merosot merangkak-merosot membuat
energiku habis. Tolong, ya Allah, jangan
ambil nyawaku dulu!
Kubalikkan
badanku dengan amat hati-hati, lalu mencoba duduk pelan-pelan. Dan seperti
biasa, merosot beberapa kali. Kutunaikan shalat Subuh dengan posisi duduk
nyaris tegak.
“Allahu
Akbar ...” Aku mengangkat kedua tangan sembari terpejam. Gigiku masih saja
bergemeletuk. Di tengah bacaan sholat, kedua orang tuaku hadir di pelupuk mata.
Terbayang wajah khawatir mereka menantikan diriku yang tak ada kabar. Harusnya
Minggu sore aku sudah ada di rumah, tapi nyatanya aku masih berjuang menuju
puncak Mahameru. Kurasakan mataku berair, lalu menderas begitu saja. Usai
mengucap salam, kubuka mataku pelan-pelan. Mulanya tampak buram berair, tetapi
kemudian berganti dengan gulungan awan dan semburat oranye di sekelilingku.
Masya Allah …
Aku
tergugu. Tak dapat lagi kugambarkan bagaimana keindahan pagi itu. Lukisan alam
yang sungguh memukau. Kami dikelilingi oleh lautan awan dan cahaya matahari
yang muncul pelan-pelan. Dadaku terasa penuh. Barangkali, inilah sunrise terindah yang kutemui. Di tengah
rasa lelah yang teramat sangat, aku dihadiahi maha karya Allah yang tak
ternilai harganya. Saking terpukaunya, aku sampai tidak kepikiran untuk memotret
keindahan alam itu. Biar saja. Ada kalanya kau hanya perlu duduk diam menikmati
apa yang tersaji di depan mata tanpa diribetkan oleh seonggok kamera. Sejauh
mata memandang, yang kulihat hanyalah gradasi warna putih dan oranye. Melihat
semua keindahan itu, mendadak tubuhku seolah di-charge. Ada semacam perasaan bahagia bercampur semangat yang
menghasilkan energi positif.
“Gimana,
Mbak? Lanjut?” tanya Mas Pencit yang melihatku diam saja.
Aku
mengangguk. “Kita lanjut, tapi …”
“Hm?”
“Gimana
kalau ditarget aja?”
“Maksudnya?”
“Begini,
kalau sampai pukul 8 kita belum sampai puncak, kita turun saja. Bagaimana?”
usulku. Sesungguhnya saat itu aku tak enak hati dengan dia. Jalanku amat lelet,
aku takut dia bakalan bosan dan merasa terbebani. Aku tak tega melihatnya
merangkak tunuk-tunuk di bawahku. Padahal
kalau sendirian, dia bisa sampai atas sejak tadi.
“Hahaha!”
dia hanya tertawa, kemudian tangannya menunjuk ke atas. “Mbak, lihat itu deh!”
“Apa?”
aku ikut mendongak dan refleks ngowoh.
Di
atas sana, tampak asap wedus gembel tengah berarak ke arah timur. Inikah asap
yang berasal dari kawah Jonggring Soloka itu? Inikah asap yang dulu dihirup
oleh aktivis Soe Hoek Gie?
“Lihat,
deh, tuh udah kelihatan asapnya. Puncaknya udah kelihatan. Dikit lagi, kok,
abis ngelewatin batu besar itu kita udah nyampe. Ayo semangat!” Mas Pencit
mengompori, seolah mengabaikan saranku tadi.
“Iya
kah? Waaaa, ayo, ayo! Semangat! Allahu Akbar!” seruku kegirangan.
Sungguh
ajaib, tenagaku mendadak full.
Mentalku yang semula drop banget, kini kembali lagi. Di kepalaku sudah
terbayang rasanya menjejakkan kaki di sana, melihat bendera merah putih
berkibar di puncak tertinggi Pulau Jawa. Seperti orang kesetanan, aku merangkak
ke atas dengan semangat menggila. Dengan medan yang kian terjal dan ekstrim,
kakiku terus saja menjejak pasir dan bebatuan. Tak terhitung berapa kali kami
merosot, bahkan nyaris jatuh. Ada semangat yang menggelora di dalam dada. Aku
seolah lupa bahwa subuh tadi mentalku nyaris runtuh. Lupa bahwa tubuhku nyaris
hipotermia karena tak tahan diterjang dingin. Lupa bahwa aku sempat kehabisan
oksigen dan takut mati!
Di
tengah semangat yang menggila itu, kami berkali-kali berpapasan dengan pendaki
lain yang beranjak turun. Otomatis, debu-debu beterbangan dengan ganasnya. Kami
buru-buru minggir dan berpegangan pada batu besar. Sembari menunggu jalur agak
sepi, aku merenung. Mendaki gunung tak boleh egois, apalagi di jalur yang
ekstrim begini. Setiap pendaki haruslah peka dengan keadaan sekitar. Seperti
yang terjadi pagi itu, kami harus minggir untuk menghindari terjangan batu-batu
besar dan debu yang mengaburkan pandangan. Barulah setelah mereka turun dengan
jarak agak jauh, kami melanjutkan perjalanan.
“Astaga!
Kalian masih di sini rupanya!” sapa seorang pendaki yang tengah turun.
Aku
mendongak. Mas-mas sweeper! Di
belakangnya, tampak beberapa pendaki yang membersamai kami semalam.
“Iya,
Mas.”
“Kukira
semalam kalian turun, habisnya nggak ketemu-ketemu. Semangat, ya! Sebentar lagi
nyampe atas!” ia menyemangati, begitu pula teman-temannya.
Kami
tersenyum sembari mengacungkan jempol. Setelah mereka pergi, kami kembali
merangkak ke atas. Pelan-pelan saja, asal selamat. Setelah sampai di sebuah
batu besar, kami berhenti dan memutuskan untuk bersandar sebentar. Kukeluarkan
sepotong cokelat dan sebotol air dari saku celana. Sembari mengatur pernapasan,
kami menikmati cokelat yang sudah membeku. Keras kayak batu, tapi tetap saja
terasa nikmat.
“Gilak,
jari-jariku masih kerasa beku. Susah gerak,” kataku sembari mencopot sarung
tangan.
“Haha,
aku juga!”
“Omong-omong,
ini bukannya batu besar yang kamu tunjuk tadi? Yang katamu abis itu langsung
nyampe puncak?” tiba-tiba aku curiga.
“Bukan,
batunya yang di atas itu, tuh! Dekeeet, bentar lagi, kok!”
Aku
mendongak ke atas. “Batu paling gede itu?”
“Iya.”
Aku
mengangguk-angguk saja. Walaupun matahari sudah muncul, tetap saja diam
berlama-lama membuat kami kembali kedinginan. Segera kukenakan kembali sarung
tanganku, lantas melanjutkan perjalanan. Saat itulah, tipuan mata terjadi. Batu
besar yang ditunjuk Mas Pencit terasa sangaaaaat dekat, tapi entah kenapa
kakiku tak kunjung menjejaknya. Sekuat dan secepat apa pun aku merangkak, batu
besar itu tak jua tergapai. Barangkali ini yang dinamakan dekat di mata jauh di dengkul.
Kukira
batu besar itu dapat kucapai dalam waktu seperempat jam, tapi nyatanya hingga
sejam merangkak, aku belum juga sampai. Tanpa sadar, aku dan Mas Pencit
berpisah jalur. Ia berada di jalur kiri, sedangkan aku berada di jalur kanan.
Kami dipisahkan oleh batu-batu besar yang berdiri kokoh. Ketika melongok ke
bawah, tengkukku tiba-tiba berdiri. Di bawah sana, tak seorang pun pendaki yang
tampak naik. Pun ketika aku mendongak ke atas, hanya ada satu dua pendaki yang
turun. Jadi, kami adalah pendaki terakhir yang tengah berjuang merangkak ke
atas? Aku menelan ludah. Takut sekaligus khawatir. Menurut informasi yang
kubaca, pendaki dilarang berada di puncak terlalu lama. Maksimal pukul 9 harus
sudah turun kembali. Di atas jam itu, asap wedus gembel tak lagi ramah karena
mengeluarkan gas beracun.
“Mas!
Pukul berapa sekarang?” aku berteriak dari atas.
Kulihat
ia melirik jam tangan di kejauhan, lantas menjawab, “Pukul setengah delapan,
Mbak!”
Lagi-lagi
aku menelan ludan. Kami hanya memiliki waktu 1,5 jam lagi! Tanpa banyak kata,
aku kembali merangkak.
“Allahu
Akbar … Allahu Akbar … ayo semangat, Ndi!” kukumandangkan takbir untuk
mengalirkan energi positif di dalam diri.
“Allahu
Akbar!”
Blegh!
Aku
tak dapat menahan keseimbangan dan jatuh tersungkur. Mukaku telah bercampur
dengan pasir dan debu. Aku terbatuk-batuk seketika. Ketika menoleh ke arah
kanan, jantungku seakan berhenti seketika. Jurang! Kalau tadi aku jatuh
beberapa jengkal lagi, sudah pasti jurang itu akan menangkapku dengan suka
hati.
Dengan
tubuh gemetar, aku kembali merangkak menjauhi pinggir jurang, lantas
meraba-raba batu besar sebagai pegangan. Kulongokkan kepalaku ke jalur kiri.
Tampak Mas Pencit tengah beristirahat di samping bebatuan. Syukurlah, dia masih
di sana. Setelah mengatur napas beberapa detik, tanganku kembali menggapai
pasir dan bebatuan di atasku. Bermenit-menit aku merangkak tanpa jeda.
Leherku
terasa agak sakit. Sejak pukul 3 tadi, kepalaku tak henti-hentinya mendongak.
Benar, perjalanan menuju puncak Mahameru memang memerlukan kesabaran tinggi.
Entah sudah berapa lama aku merangkak, tahu-tahu energiku menyusut begitu saja.
Tepat di batu besar yang ditunjuk Mas Pencit tadi, aku tumbang kehabisan
tenaga. Mentalku mendadak down ketika tahu bahwa di atas sana masih ada jalur
yang harus kulewati.
Katanya habis batu ini udah nyampe
puncak?
Kenapa puncaknya makin nggak
keliatan?
Manaaaaa?
Ini namanya puncak PHP! Dekat di
mata jauh di dengkul!
Aku
menyumpah-nyumpah dalam hati, baru sadar kalau aku dibohongi. Sebenarnya, ini
adalah trik basi yang dilakukan oleh pendaki. Ungkapan “Ayo dikit lagi!” selalu
diucapkan ketika teman seperjalanan tampak putus asa. Pada pendakian-pendakian
sebelumnya, teman-temanku juga sering bilang begitu kalau melihatku nglokro. DAN ANEHNYA, AKU SELALU
PERCAYA! Entah aku-nya yang bego atau teman-temanku yang terlalu pandai
menyalurkan semangat kepadaku, ungkapan itu selalu berhasil membuat kakiku
melangkah lebih jauh lagi.
Tapi,
lain halnya dengan Mahameru. Bisa dibilang, ini adalah pendakian terlama yang
kulakukan. Biasanya aku hanya menghabiskan sehari semalam, tapi ini? Sudah dua
hari tiga malam aku di gunung ini, dan belum pulang juga. Jadi, bisakah kau
bayangkan betapa lelahnya diriku?
Rasa
lelah, lapar, putus asa, dan gondok bercampur jadi satu. Sejak pukul 11 malam
mataku terjaga untuk mempersiapkan summit
ini. Sudah 7 jam lebih perjalanan menuju puncak kulakukan, tapi kibaran bendera
merah putih itu tak jua tampak. Tiba-tiba aku teringat cerita mas-mas pendaki
yang kutemui di Tanjakan Cinta kemarin. Benar, perjalanan ini memang melelahkan.
Mereka menghabiskan waktu 6 jam menuju puncak dari Kalimati, sementara aku?
Memikirkan hal itu, rasa pesimis dan frustrasi menjalariku seketika.
Tubuhku
sudah terlampau letih. Dan ketika menengok ke atas, ujung perjalanan ini belum
juga tampak. Karena kehausan, kurogoh kembali saku celanaku. Oh, sial! Airku
habis! Aku melongok ke bawah. Kulihat Mas Pencit tengah merangkak ke atas,
menyusulku. Aku ngedumel seorang diri.
Pokoknya, kalau Mas Pencit sudah
sampai sini, aku mau minta turun!
Peduli setan dengan puncak
Mahameru!
Aku tak mau mati kelelahan di sini!
Beribu
pikiran negatif mendominasi otakku. Bibirku sudah memberengut penuh kekesalan.
Kulihat Mas Pencit menghentikan langkah, lantas duduk. Oiii, aku kehausan!
“Maaaas!”
panggilku.
Ia
mendongak. “Ha?”
“Airku
habis!”
Ia
serta-merta kembali merangkak ke atas, menuju jalur bagian kanan. Beberapa
menit kemudian, sampailah ia di tempatku dengan penuh kepayahan. Tanpa berucap
apa pun, ia mengambil botol besar di dalam tas, lalu menuangkan sebagian isinya
ke dalam botol kecil milikku. Aku lantas meminumnya.
“Aaaah!
Segar!” ucapku sembari menutup botol minum.
Ketika
aku menoleh, kulihat Mas Pencit juga tengah menenggak air. Kuperhatikan air
mukanya yang tampak lelah. Anak ini,
sejak berangkat dari Ranupane sampai berada di ketinggian sekian ribu mdpl
tidak pernah mengeluh sama sekali. Lihat! Sekarang ia bahkan mau-maunya
menemaniku mendaki sekuat kakiku melangkah. Ia selalu berjalan pelan di
belakangku, padahal ia bisa saja berlari. Ia pun selalu sigap ketika aku
nge-down dan mulai rewel. Dengan ia yang merelakan diri membersamaimu sampai
saat ini, yakin kau akan minta turun?
“Lanjut,
Mbak? Ayo, bentar lagi nyampe loh!” ia kembali berkelakar.
“Hmm,
masih jauh kayaknya. Pukul berapa sekarang?” aku berusaha mengusir jauh-jauh
pikiran untuk turun.
“Setengah
9 kurang.”
“What?”
aku mangap. “Bukannya kita boleh di atas maksimal pukul 9, ya?”
“Wis,
ayo munggah wae. Insya Allah sampe. Yuk, semangat!”
Aku
masih mangap, dan dia merangkak naik begitu saja. Wei, aku ditinggal! Aku
buru-buru menyusulnya. Merangkak sedikit demi sedikit, merosot sedikit demi
sedikit. Ya, pada akhirnya aku batal mengajaknya turun. Aku akan mengerahkan
segenap kekuatanku untuk mendaki. Selama
kakiku masih bisa bergerak, selama tanganku masih dapat menggapai pasir dan
bebatuan sebagai pegangan, selama semangatku masih ada, aku akan terus
melangkah. Puncak memang bukan
segalanya, tetapi selagi kau masih memiliki keyakinan dan semangat, lanjutkan
langkahmu! Aku bersorak dalam hati, lupa kalau beberapa menit yang lalu aku
kelelahan dan nyaris ngambek minta turun.
Satu
menit. Dua menit. Tiga menit. Empat menit. Lima menit. Belum sampai juga! Sepuluh menit. Lima belas menit. Dua puluh
menit. Ini mana puncaknya? Dua puluh
lima menit. Ya Allah, kok nggak
nyampe-nyampe? Benar-benar puncak Pe-Ha-Pe! Dekat di mata jauh di dengkul!
“Ayo,
Mbak! Semangaaaat!” seorang mas-mas pendaki yang baru turun memberikan semangat
ketika melihatku megap-megap merangkak ke atas.
“Terima
kasih, Mas!” aku menyunggingkan senyum sembari mengangkat jempol.
“Sendirian
aja, Mbak?”
“Nggak.
Itu teman saya di atas.”
“Ooo.
Nanti kalau sampai atas, jangan lama-lama, ya! Makin siang, asapnya mulai
beracun!”
Ia
kemudian pamit turun, meninggalkan jejak dan debu beterbangan. Aku kembali
merangkak. Sedikit lagi, Indi! Ayo! Mas Pencit berkali-kali berhenti dan
menoleh ke belakang, mengecek apakah aku masih utuh. Tahu bahwa aku mulai
kelelahan dan berpotensi meracau nggak jelas, ia kembali berteriak dari atas.
“Ayo,
Mbak! Semangat!”
“Dohkaaaah!
Puncak PHP!”
“Hahaha!
Ayo!” ia lanjut merangkak ke atas.
Aku
mendengus. Terselip perasaan takut di dalam hati, terlebih setelah melihat si
wedus gembel menampakkan muka. Kelihatan dekat sekali. Bagaimana kalau asap beracun yang keluar dari kawah Jonggring Soloka
menghantam kami?
Begitu
sampai di sebuah batu besar, aku berhenti. Napasku mulai yak-yakan. Nggak
stabil. Kaki pun terasa agak gemetar. Aku menenggak airku sekali lagi.
“Astaga!
Kalian baru mau naik?” teriak seorang pendaki.
“Iya,
Mas. Di atas masih ada orang?”
“Nggak
ada, Mas. Tinggal kami berdua, ini juga mau turun. Kirain kami yang paling
terakhir di puncak, ternyata masih ada pendaki lagi. Luar biasa, semangat, ya,
kalian!” sahut pendaki satunya.
“Puncak
masih jauh nggak, Mas?” tanyaku.
“Nggak,
kok, Mbak. Tinggal belok kiri ngelewatin batu ini, sekitaran lima menitan lah,
baru nyampe puncak,” jelas si mas-mas.
“Sumpah?”
alisku bertaut tanda curiga.
“Iya,
Mbak.”
“Alah,
paling abis belok kiri nanti naik lagi, belok lagi trus nggak nyampe-nyampe.
Ojo ngapusi aku talah, Mas, katakan yang sebenarnya. Aku diapusi thok ket mau!”
“Hahaha!
Suer, nggak bohong. Udaaah, lanjut naik aja. Semangat pokoknya, jangan nyerah!”
“Iya,
semangat! Kalau sudah nyampe atas, jangan lama-lama. Asapnya mulai bahaya!”
Duh,
aku kembali bergidik. Mereka berdua kemudian berpamitan sembari melambaikan
tangan.
“SEMANGAT!
SEMANGAT!”
Sepeninggal
mereka, aku baru menyadari sesuatu. Mas Pencit ilang!
“Maaas?”
aku memanggil-manggil.
Tidak
ada jawaban. Aku lantas berbelok ke kiri seperti yang dikatakan oleh dua
pendaki tadi. Ketika berbelok, aku melewati semacam lorong dengan bebatuan
tinggi. Sambil berpegangan pada batu tersebut, aku berusaha melangkah ke atas.
“Maaas?
Kamu di manaaa?” panggilku sekali lagi.
Masih
tak ada jawaban.
“Maaas!!”
aku pun berteriak, mulai ketakutan. Mas-mas pendaki tadi sudah pergi, dan kini
Mas Pencit entah di mana. Aku takut tersesat, apalagi aku menemui beberapa
belokan. Aku harus belok ke mana?
“Maaas!”
aku membik-membik seorang diri. Kakiku
mulai gemetaran. Menuruti insting, aku berbelok ke kanan. Tampak satu tanjakan
yang cukup curam. Sembari berpegangan pada batu-batu besar, susah payah aku
melangkah sedikit demi sedikit. Begitu tanjakan itu berhasil kulewati, mataku
menangkap sesosok manusia tengah berdiri di samping bendera merah putih sembari
melambaikan tangan ke arahku.
“Yaaaaiy!”
ia berteriak sembari mengepalkan kedua tangan ke udara.
Aku
membeku beberapa detik. Mulutku ternganga. Dengan langkah patah-patah, kudekati
ia bersamaan dengan jatuhnya setetes air dari pelupuk mata. Rasa-rasanya aku
sudah tak sanggup berjalan, tapi kupaksakan untuk tetap melangkah walau pelan.
Sesampainya di depan bendera dan plang bertuliskan “Mahameru 3676 mdpl”, aku
menjatuhkan diriku begitu saja. Satu per satu butiran bening menguasai pipiku.
Aku sudah sampai di sini, di atap Pulau Jawa!
Allahu Akbar! Terima kasih, ya,
Allah!
Kusembunyikan
mukaku dengan kedua tangan, membiarkan air mata itu berjatuhan begitu saja.
Momen ini tentu tidak disia-siakan oleh Mas Pencit. Ia sigap mengambil kamera
di dalam tas, lantas dengan gembira memotretku yang tengah tertelungkup di
bawah Sang Saka Merah Putih.
Setelah
cukup lama dlosoran di tanah, aku
berdiri pelan-pelan. Dengan perasaan haru bercampur bahagia, kuedarkan
pandanganku ke segala arah. Kami dikelilingi lautan awan yang begitu indah. Langit
biru bersinar amat cerah. Tak jauh dari puncak Mahameru, tampak kawah Jonggring
Soloka. Di bawah sana, kota Lumajang dan sekitarnya tampak hijau menawan. Inilah sebagian kecil dari Indonesiaku yang
begitu megah!
“Mbak,
ayo foto-foto dulu. Kita nggak bisa lama-lama di sini,” Mas Pencit
mengingatkan.
“Oh,
ya. Pukul berapa sekarang?”
“Setengah
10.”
Glekh!
Kami segera foto-foto. Tak lupa aku mengambil tulisan pesanan teman-teman.
Hahaha, begitulah. Setiap kali akan mendaki, ada saja yang nitip tulisan.
Lama-lama kusuruh bayar juga mereka, haha.
“Eh,
kita belum foto bareng. Yaaah, nggak ada siapa pun di sini yang bisa dimintain
tolong buat ngefotoin. Pake timer nggak papa, ya!” aku mengambil batu besar,
lalu meletakkan kameraku di sana.
“10…
9… 8 … 7…,” aku menghitung dan buru-buru berlari ke arah Mas Pencit.
Ckrak! Ckrek! Ckrak! Ckrek!
Walau
hasilnya tak sebagus kalo difotoin orang, tak apalah. Aku tak akan pernah
melupakan hari itu. Menjadi pendaki terakhir yang menjejakkan kaki di puncak
tertinggi Pulau Jawa dengan penuh perjuangan.
Bum…bum…bum…
Wedus
gembel keluar perlahan-lahan dari kawah Jonggring Saloka. Asap itu mengarah
kepada kami! Mukaku pucat seketika.
“Mas!
Mas! Itu kok ngarah ke sini? Ayo lari!” aku panik. Terbayang gas beracun yang
bisa memangsa kami tanpa ampun.
“Nggak
papa, kok. Itu nggak ke sini. Sini kufotoin dulu!”
“Sumpah
nggak papa?”
“Iya,
nggak papa. Gih!”
Aku
lantas mengambil bendera dan berpose dengan latar belakang asap mengerikan
tersebut. Sejujurnya saat itu aku masih teramat panik. Asap itu keluar setiap
10 menit sekali. Selesai foto-foto, aku lekas mengajaknya turun.
“Huhkaaaah,
medheni! Ayok mudun!”
“Haha,
yoooo!”
Kami
lantas meninggalkan puncak Mahameru dengan perasaan haru. Lagi-lagi, kami
menghadapi trek berpasir.
“Mbak,
aku duluan turun, ya!”
Aku
mengangguk. Mataku masih terpukau dengan pemandangan yang tersaji. Di bawah
sana, tampak bukit-bukit menjulang. Aku terpesona melihat jalur di bawah sana.
Sungguh mengerikan! Aku baru sadar kalau aku baru saja melewati trek curam yang
nyaris membuatku mati kedinginan. Jika perjalanan naik memakan waktu yang amat
lama, lain halnya dengan turun. Aku bisa perosotan! Aku sengaja memerosotkan
diriku agar tidak capek, tapi ternyata malah bikin sepatuku penuh pasir dan
batu. Belum lagi debunya ugal-ugalan. Aku kembali berdiri, lalu turun
pelan-pelan.
“Lho!
Mas Pencit ke mana?” aku celingukan tidak menemukan Mas Pencit di bawah.
Kukira
dia hanya akan meninggalkanku beberapa meter, tahunya dia menghilang! Aku
kembali panik. Rasa takut sontak menjalari seluruh tubuhku.
Hei, kalian adalah pendaki
terakhir!
Lihat, sekarang tak ada siapa-siapa
di jalur ini!
Dan kau … kau sendirian!
Aku
bergidik. Baru kali ini aku sendirian di gunung dengan trek semenakutkan ini.
“Maaas?”
aku berteriak.
Hening.
“MAAAASSS!”
Tetap
hening.
“MAAAASSS!”
Yang
ada hanya desau angin.
Aku
kembali membik-membik. Ada yang
bergolak di dalam perutku. Alamaak, aku kebelet pipis dan nggak bawa tisu
basah!
“Ayo,
Mbak…” ujar sebuah suara.
Aku
tolah-toleh. Jelas tak ada orang. Bulu romaku sontak berdiri lagi. Suara siapa
itu? Apakah aku berhalusinasi?
“Tolong,
dong, jangan gangguin … please,
jangan bikin aku ngompol!” aku membik-membik
sembari menahan pipis. Tak mau dirasuki pikiran aneh-aneh, aku pun turun dengan
hati-hati.
Mas Pencit! Kamu di manaaaaa?!
finally, tersungkur!:') |
:) |
Pendaki terakhir :')) |