Menggapai Puncak Pe-Ha-Pe #5

Satu-satunya hal yang ada dalam pikiranku ketika Mas Pencit menghilang adalah ucapan mas-mas gondrong pas ngasih petuah. Biasanya para pendaki suka lupa diri kalau turun dari puncak. Saking senengnya main perosotan sampai ga fokus sama medan, tahu-tahu udah nyasar aja. Dulu pernah ada yang nyasar, pas ngelewatin area Blank 75 dia nggak fokus, dikiranya jalan lurus padahal ngarah ke kanan. Sampai akhirnya dia jatoh di jurang sebelah kanan itu. Dua hari dia bertahan tanpa bekal apa pun. Dan anehnya, pas tim SAR nyari ke sana, dia nggak ada. Kalian tahu dia ke mana? Dia tiba-tiba aja pindah ke sekitaran jurang sebelah kiri. Percaya nggak percaya, ada yang mbopong dia ke sana.
Dan sekarang, aku sedang turun, sendirian! Aku bergidik sendiri. Baru kali ini aku berada di gunung sendirian, tanpa melihat manusia satu ekor pun. Rasanya … hmm, jangan kautanyakan. Pada sebuah turunan, kuhentikan langkahku. Perutku bergolak kian beringas. Kebelet pipis, sudah tak tahan lagi! Duh, pipis, nggak, ya? Mana nggak bawa tisu basah lagi! Bingung melanda seketika. Kutengok ke belakang, jelas nggak ada orang. Kanan-kiriku pun kosong melompong. Tempat ini terlalu terbuka. Gimana kalau ada penunggunya? Gimana kalau penunggunya nggak suka sama aku?
Alamaaaaak! Tapi aku sudah tak tahan lagi. Kalau aku tetap maksain turun dengan beban yang sudah di ‘ujung’, bisa-bisa aku ngompol. Oh, tidak. Baiklah. Aku lantas turun beberapa langkah, mendekati sebuah batu seukuran lemari empat pintu. Sambil komat-kamit “Maaf, ya … aku sudah nggak tahan. Tolong jangan ganggu, aku nggak aneh-aneh kok!”, kuselesaikan ritual mendebarkan tersebut. Setelahnya, aku kembali tolah-toleh. Sedetik kemudian, lariiiii! Ya, aku turun sambil berlari gegara bergidik.
Gedebug! Nyungsep satu kali. Aku buru-buru berdiri, lalu kembali lari. Gedebug! Nyungsep kedua kali. Berdiri, lari lagi. Gedebug! Nyungsep ketiga kali. Seperti orang kerasukan, aku berlari ala zig-zag. Batu-batu runtuh seketika. Debu beterbangan dengan semena-mena. Setelah nyungsep untuk yang kelima kalinya, barulah aku berhenti lari. Kupikir-pikir gila juga, ya. Lari-larian kek dikejar setan, padahal nggak ada yang ngejar. Penunggu Mahameru pun  mungkin juga terbengong-bengong melihatku pecicilan seperti itu.
Ketika melongok ke bawah, kulihat seonggok tas berwarna oranye tergantung di atas pohon. Di bawahnya tampak seorang manusia berjaket merah tengah sandaran sambil ongkang-ongkang kaki. Mas Pencit! Ya Allah ya kariiiim, kukira dia hilang! Dengan perasaan senang sekaligus sebal, aku berjalan turun pelan-pelan. Otakku tetap berkonsentrasi dengan medan di depanku. Jangan lengah, jangan sampe salah jalan! Kira-kira seperempat jam kemudian, sampailah aku di batas vegetasi. Bibirku monyong seketika. Agak ngambek gitu ceritanya. Tanpa mengucap sepatah kata pun, aku berjalan melewatinya, lantas duduk di sebuah undakan.
“Mau lanjut jalan apa istirahat dulu, Mbak?” tanya Mas Pencit.
“Istirahat dulu lah! Kakiku sakit banget!” jawabku ketus. Ya, lagian, dikira ngetrek nyaris 12 jam itu sebentar apa? Tega-teganya turun duluan pula! Aku kesal setengah mati.
“Oke,” ia melanjutkan tidur ayamnya, kemudian menjelaskan tanpa kuminta, “aku tadi duluan soalnya medannya curam begitu. Kalau aku jalan di atasmu, nanti kepalamu kejatohan batu. Kalau aku jalan di bawahmu, kepalaku yang kena. Makanya aku jalan duluan, ngasih jarak yang jaoh. Tadi aku nunggu kamu lama banget e, Mbak. Hampir aja kususul ke atas, untungnya kepalamu nongol abis itu.”
Aku menoleh ke belakang. “Ooo, begitu…”
Tak kiro koe sengojo ninggal aku e, Mas, aku membatin. Ternyata dia tak sejahat yang kupikirkan. Hmmm, orang kalau lagi capek memang cenderung emosional dan berpikiran negatif. Kalau dia memang berniat menelantarkanku *halah*, mana mungkin dia mau-maunya menemaniku sampai puncak? Dan, lihatlah, sekarang dia benar-benar tidur.
Pukul berapa sekarang? Aku tak tahu. Jika mengikuti rencana kemarin, harusnya sore ini kami sudah sampai di Ranupani, kemudian pulang. Hmm, pulang. Terbayang di kepalaku wajah khawatir orang-orang di rumah. Jangan-jangan Bapak sudah ada di Ranupani dan merusuhi petugas basecamp, memastikan kalau aku tidak tersesat atau dimakan macan. Memikirkan hal itu membuatku merasa bersalah. Harusnya pas di Pos 3 kemarin aku menyalakan ponsel dan mengabarinya barang sebentar, tetapi waktu itu aku terlampau mager. Yassalam, anak macam apa aku ini.
Sembari menikmati semilir angin, kulepas sepatuku yang terasa berat. Benar saja, sepatu itu sudah penuh dengan pasir dan kerikil. Untuk menghadapi jalur puncak Mahameru, sangat disarankan untuk memakai gaiter agar sepatu nggak kemasukan pasir. Lebih mantap lagi kalau membawa trekking pole untuk menjaga keseimbangan tubuh. Kalau enggak, ya, kayak aku gini, kaki terasa celekat-celekit gegara kena kerikil.  
“Argh! Sepatukuuu!” aku spontan menjerit ketika menyadari pinggir sepatuku mangap-mangap. What the hell, sepatu baruku! Mau nangis dan ngamuk rasanya. Bagaimana mungkin sepatu yang baru aja kubeli dua minggu lalu langsung njelehi kayak gini? Kepercayaanku terhadap merk sepatu yang terkenal ini langsung luntur. Sumpah, harganya aja setara dengan jatah makanku sebulan. Rasa-rasanya ingin membakar toko outdoor itu sekembalinya di Jogja nanti. Fix, tak blacklist koe. Nggak mau lagi pake barang merk itu!
“Mas, ayo jalan!” aku berdiri dengan penuh kejengkelan.
Beberapa saat kemudian, Mas Pencit sudah siap di belakangku. Kami pun berjalan dalam diam. Aku masih badmood gegara sepatu telo itu, sementara Mas Pencit tampaknya masih mengumpulkan nyawa. Perjalanan turun rupa-rupanya bikin kakiku sakit. Rasanya jauh lebih melelahkan ketimbang pas naik. Pada siang hari, jalur pendakian tampak jelas. Beberapa kali kami melewati jalur sempit berhias jurang di kanan-kiri. Tanganku refleks berpegangan pada pepohonan agar tidak kepeleset.
Bisa dibilang, perjalanan turun ini adalah akumulasi dari semua rasa capek. Bayangkan, kami mendaki sejak pukul satu malam sampai setengah 10 pagi di puncak, lantas menuruni jalur puncak yang luar binasa itu selama satu jam. Dan kini, kami masih harus turun menuju Kalimati yang tidak dekat. Siang itu, kami benar-benar sedikit berbicara. Konon, perjalanan tidak akan terasa melelahkan kalau kita bercanda dengan teman seperjalanan. Tapi, entahlah, selera humorku lenyap begitu saja.
Terus-menerus berjalan tanpa istirahat membuat perutku bergejolak. Mulanya kubiarkan saja, tapi lama-kelamaan semakin menjadi. Pada sebuah turunan, tiba-tiba saja badanku terhuyung-huyung, nyaris saja terperosok jika tak segera berpegangan pada akar-akar pohon. Aku lantas duduk di pinggiran jalur sembari memijit-mijit kepala. Mas Pencit menyandarkan tubuhnya beberapa meter di atasku. Lagi-lagi aku mengalami hal yang sama seperti di Merbabu beberapa waktu lalu. Semua yang kulihat tampak gandeng-gandeng. Bumi seolah berputar. Tanganku terasa dingin. Pergolakan di dalam perut semakin ugal-ugalan, bikin pengen muntah.
“Huek!” mulutku mangap, tapi tak ada yang keluar selain angin. Duh, kembung nih. Segera kuoleskan minyak kayu putih di perut, entah ngaruh atau tidak, bawaannya tenang aja kalau sudah pake obat itu.
Selang beberapa menit, kupaksakan kakiku untuk menuruni jalur. Hari sudah semakin siang, jangan sampai bikin Mas Pleir khawatir di bawah sana. Saat itulah, aku melakukan aksi merengut sepanjang jalan. Nggak, aku nggak ngambek sama Mas Pencit atau apa, mukaku kalau sudah capek memang seperti itu. Manyun terus.
Karena sudah kehabisan energi, langkah kakiku amat patah-patah. Timik-timik banget. Tanganku sebisa mungkin berpegangan pada pohon atau tanaman apa pun agar tidak limbung. Pada turunan terakhir, rasa lelahku sedikit terobati ketika melihat hamparan bunga edelweiss. Inilah salah satu hal yang kusukai ketika mendaki gunung, menatap langsung keindahan edelweiss dari dekat. Aku masih ingat benar, pertama kalinya lihat bunga edelweiss pas main ke Bromo tahun lalu. Di sana, bunga edelweiss dihias secantik mungkin, lantas diperjualbelikan oleh warga lokal.
Melewati taman edelweiss, telingaku menangkap kicauan orang-orang di bawah sana. Artinya, Kalimati sudah dekat. Kupercepat langkahku, tapi tak sampai-sampai juga. Benar, Mahameru memang gunung yang penuh dengan PHP. Dekat di mata jauh di dengkul. Selalu saja begitu. Kepalaku tak henti-hentinya cenat-cenut, tanda mau nggeblak. Diam-diam aku pesimis. Sampai sesiang ini kami tak juga sampai di Kalimati, lantas apakah kami bisa melanjutkan perjalanan ke Ranupani sebelum hari gelap? Mustahil rasanya. Jika tenagaku benar-benar habis nanti, sepertinya Mas Pencit dan Mas Pleir harus rela membuat tandu darurat untukku.
Aku hampir saja pingsan ketika melihat pucuk shelter di bawah sana. Terseret-seret kakiku menuju ke sana. Tenagaku sudah lowbat. Setelah melewati jalur sempit dan semak-semak, sampailah kami di Kalimati. Tenda-tenda di sekitaran shelter sudah tak tampak lagi. Pun tenda-tenda tetangga kami, semua tengah bersiap-siap pulang. Dari jauh, kulihat Mas Pleir mondar-mandir serupa seorang ayah yang cemas menunggu anak-anaknya pulang. Begitu melihat kami, wajahnya langsung berubah.
“Kukira kalian hilang! Tadi aku sampe nanya-nanya ke anak-anak yang pada turun. Pokoknya kalau sampai pukul 2 kalian nggak nongol, aku bakal nyusul ke atas,” jelas Mas Pleir panjang lebar. “Gimana? Sampe puncak nggak?”
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk. Nggak sanggup berkomentar, maunya nggeblak aja. Mas Pencit menghampiri Mas Pleir di tenda, sementara aku langsung mengempaskan diriku di bawah pohon rindang. Sekilas aku melihat Mas Pencit dan Mas Pleir memindahkan tenda tak jauh dariku, mungkin biar nggak kepanasan. Sedetik kemudian, mataku mengatup berteman semilir angin. Entah berapa lama aku tertidur, tahu-tahu badanku menggigil.
“Mbak, mbak…,” suara Mas Pencit masuk ke gendang telingaku.
Kubuka mataku pelan-pelan. “Ha?”
“Minum dulu, gih!” ia menyodorkan segelas madu hangat.
“Makasih,” kuterima madu hangat darinya dengan setengah sadar. Sambil terkantuk-kantuk, aku lantas meminumnya. Perutku menghangat seketika. Ah, segar sekali rasanya.
“Tidurmu lelap banget, Mbak. Kakimu masih sakit kah?” komentar Mas Pleir.
Aku memandangi kakiku. “Nggak segempor tadi, sih. Aku kayaknya emang ngantuk berat tadi.”
“Kita mau ngecamp di mana malam ini? Di sini aja apa di Ranukumbolo?” tanya Mas Pencit.
“Hm?” aku agak bingung. “Mmm, eh, di Ranukumbolo aja gimana?”
“Bukannya di sana lebih dingin, ya? Di sini aja lah,” timpal Mas Pleir.
Aku hanya mengangguk sambil mencerna perkataan mereka. Diam-diam aku terharu. Mereka tahu benar bagaimana kondisi fisikku hari ini, lantas merelakan diri tinggal di gunung lebih lama. Oh, Tuhan, terima kasih sudah mengirimkan dua anak Mapala yang penuh pengertian ini!
Sore itu, kami menghabiskan waktu dengan mengobrol di depan tenda. Beberapa pendaki tampak datang dari kejauhan.
“Mau muncak ntar malem, Mas?” tanya salah satu dari mereka.
“Nggak, Mas, kami sudah turun. Besok baru pulang,” jawab Mas Pleir.
“Oke, Mas. Kami bikin tenda dulu, ya!”
“Yoii!”
Kalimati tak seramai kemarin. Di sisi kiri shelter, yang tersisa hanya tenda kami. Para pendaki yang akan summit nanti malam memilih tempat yang tak jauh dari shelter. Semakin sore, angin bertiup kian kencang. Aku langsung pindah ke dalam tenda. Beberapa saat kemudian, Mas Pencit menyusul dan tertidur pulas dalam hitungan menit. Aku dan Mas Pleir masih saja melanjutkan topik obrolan yang berubah-ubah. Aku duduk di pinggiran tenda, sementara ia menyeruput kopi di luar tenda.
“Kamu nggak ngantuk po, Mas?”
“Nggak. Aku sudah tidur seharian tadi, tapi sebentar-sebentar bangun nyariin kalian,” jelasnya sembari merapatkan jaket hitamnya.
“Kami jadi pendaki terakhir yang nyampe puncak. Pas pulang aku udah kayak zombie, fisik ama otak udah nggak sinkron, haha!”
“Iya, Mas Pencit udah cerita tadi. Jalanmu udah kayak orang mau jatoh setiap saat. Untung kamu ditemenin dia.”
“Kenapa emang?”
“Dia itu hebat.”
“Hebat gimana?”
“Ya, paling bisa diandalkan dalam situasi kritis. Orang kalau sudah di gunung bakal ketahuan, kan, sifat aslinya?”
Aku mengangguk.
“Setiap pendakian pasti menyimpan banyak pelajaran. Percaya nggak, dulu dia nyaris bunuh diri di gunung!”
“Ha? Kenapa?”
“Waktu itu dia lagi sakit dan harus bawa beban banyak banget. Orang kalau sudah capek dan mentalnya down biasanya suka mikir yang enggak-enggak. Untung temen-temennya pada motivasi dia. Bayangin, apa jadinya kalau mereka saling nggak peduli?”
Lagi-lagi aku mengangguk. Benar, rasa lelah dan mental melemah adalah musuh terbesar dalam perjalanan.
“Btw, kalian nggak papa pulang terlambat?” tiba-tiba tercetus pertanyaan itu. Entahlah, aku masih merasa nggak enak.
“Sebenernya aku besok ada UTS, sih, tapi  nggak papa. Santai aja,” ujar Mas Pleir, membuatku kaget setengah mati.
“Eh, serius? Trus gimana UTS-nya?”
“Santai, dosennya bisa dilobi.”
“Serius?”
“Iya.”
“Kalau kamu nggak bisa UTS gimana?”
“Santai, yang penting kita selamat dulu. UTS urusan belakangan.”
Ah, aku benar-benar merasa berdosa. Seandainya aku nggak tepar, pasti sekarang kami sudah berjalan menuju Ranupani. Entah harus kubalas dengan apa kebaikan mereka.
“Mas, cerita dong, kegiatan anak Mapala itu ngapain aja? Aku penasaran, dulu sempat pengen ikut Mapala tapi nggak jadi.”
“Kenapa nggak jadi?”
“Ada kendala lah pokoknya.”
Detik berikutnya, ia membagi pengalamannya selama bergabung dengan Mapala Teknik UNEJ, mulai dari sistem perekrutan anggota, diklat, teknik survival, dll. Secara tidak langsung, pengetahuanku bertambah. Sesorean itu, kami terus saja mengobrol dengan topik random.
“Kayaknya nanti malam bakal ada badai,” ujar Mas Pleir sembari menatap kejauhan.
“Ha? Serius?”
“Iya. Lihat, deh, awannya, gelap banget! Kok ngeri, ya?”  Mas Pleir buru-buru beranjak. Matanya terus mengawasi awan gelap di atas sana.
Aku sebenarnya ingin keluar dan melihat secara langsung, tapi terlampau mager. Mana dinginnya semakin menusuk kulit. Mas Pleir lantas masuk tenda, merebahkan dirinya di sebelah Mas Pencit.
Menjelang maghrib, rintik-rintik air turun perlahan, tapi tidak bertahan lama. Karena tidak menemukan teman ngoceh, aku lantas menutup tenda dan menggelung tubuhku di dalam sleeping bag. Semakin malam, angin bertiup kian kencang. Seperti diselimuti es, tubuhku menggigil kedinginan. Antara sadar dan tidak, mulutku terus-menerus meracau. Tenda yang mulanya tenang mendadak bergoyang-goyang diterpa angin. Meskipun tenda sudah ditutup rapat, debu-debu tetap berebutan masuk.
Malam itu, tidurku sama sekali tidak nyenyak. Tenda seakan mau runtuh diterpa badai gila-gilaan. Aku sudah menekuk tubuhku sedemikan rupa. Wajahku kututup masker untuk menghalau debu. Tapi, tetap saja aku tak bisa terlelap. Jadilah aku meracau nggak jelas. Aku baru benar-benar bisa memejamkan mata setelah melewati Subuh.


Selasa, 20 Oktober 2015.

Pukul 8 pagi, kami berkemas-kemas setelah sarapan. Badai belum benar-benar berlalu. Angin kencang masih berputar-putar di Kalimati. Kuedarkan pandanganku ke segala arah. Benar-benar sepi.
“Aku semalam benar-benar nggak bisa tidur,” kataku sembari memamah sisa cemilan.
“Sama. Mas Pencit ini, loh, nggak gerak sama sekali,” timpal Mas Pleir.
“Kekeselan aku rek, haha!” Mas Pencit mesam-mesem.
“Iya. Kekeselen ngopeni aku,” tambahku.
“Kakimu masih sakit, Mbak?” tanya Mas Pencit.
“Udah enggak. Ayok, jalan!”
Setelah mengucap basmallah, kami pun berjalan. Ah, akhirnya pulang. Sesampainya di Pos Jambangan, kami bertemu beberapa pendaki yang tengah berkemas-kemas. Rupa-rupanya mereka berniat muncak semalam, tapi karena badai, niat itu pun dibatalkan. Kepalaku kembali menengok ke belakang, menatap puncak Mahameru yang Maha Agung itu. Rasanya masih belum percaya kalau kemarin aku hampir mati menggigil di sana, diterpa angin musim kemarau hingga nyaris kehabisan oksigen.
Setelah melewati Oro-Oro Ombo yang kering kerontang itu, Mas Pleir dan Mas Pencit menjatuhkan diri di atas rerumputan, menghadap Danau Ranukumbolo. Aku terus saja berjalan menuruni Tanjakan Cinta, terlampau terpukau dengan keeksotisan danau yang terhampar di depan mata. Beberapa kali aku menjepret pemandangan di depan dengan kamera saku kesayangan. Karena meleng, pada sebuah turunan aku nyaris terpeleset. Sontak kamera di tangan jatuh begitu saja.
“Tidaaaak!! Kameraku …!” aku blingsatan mengambil kamera yang kini penuh debu. Perasaanku mulai tak enak. Benar saja, kamera itu kini tidak berfungsi. Mau nangis rasanya. Terbayang pahitnya perjuangan mengumpulkan uang untuk membeli kamera yang belum ada setahun itu. Sudahlah sepatu mangap, ditambah lensa kamera njepat.
“Ayo istirahat di shelter, nanti kameranya coba dibenerin di sana,” ujar Mas Pleir.
Kami lantas menuruni Tanjakan Cinta. Siang itu, Ranukumbolo teramat sepi, berbeda dengan weekend kemarin. Hanya ada satu tenda di sana, itu pun sedang dibongkar. Beberapa pendaki tampak melanjutkan perjalanan, sebagian lainnya beranjak pulang. Sesampainya di shelter, kami mengistirahatkan badan. Mas Pencit dan Mas Pleir pun membuat minuman hangat untuk mengusir hawa dingin, sementara aku masih saja rempong dengan kamera.
“Pak, kami numpang istirahat, ya!” seruan seorang pendaki membuyarkan konsentrasiku.
“Monggo, istirahat di dalam juga nggak papa,” jawab bapak pemilik shelter ramah.
Beberapa detik kemudian, tampak empat mas-mas pendaki mendekat ke arah kami. Satu di antaranya membongkar tas dan mengeluarkan peralatan masak.
“Mau turun apa naik, Mbak?” sapa salah satu di antara mereka.
“Turun, Mas,” aku mengulas senyum.
Kuperhatikan mas-mas yang tengah mengotak-atik kamera digital di tangannya. Tanpa tahu malu, aku langsung mendekatinya sembari menyodorkan kameraku. “Mas, kameraku habis jatoh. Bisa benerin nggak?”
“Kok bisa jatoh?” tanyanya sambil menatap lamat-lamat kameraku.
“Meleng tadi pas jalan.”
Setelah diotak-atik sedemikian rupa, kamera itu tetap ngambek. Nggak mau nyala.
“Nggak bisa nih, Mbak. Diservis aja biar aman,” katanya.
Aku mengangguk lemah. Ya sudah lah, mau bagaimana lagi. Sambil menyesap segelas madu hangat yang disodorkan oleh Mas Pleir, kami mengobrol. Mas-mas pendaki itu ternyata berasal dari Kalimantan dan tengah menjalani kuliah di UMM.
“Kalian pada mau turun pukul berapa?” tanya mas-mas yang tadi mencoba benerin kameraku.
“Jam 12-an.”
“Bareng, ya!”
“Okeee!”
Karena berdiam diri membuat tubuhku kembali menggigil, aku lantas pergi ke pinggir danau, menikmati riak air sembari memotret dengan kamera hape. Hasilnya tidak sebagus kamera saku, hauft. Tak lama kemudian, angin kencang kembali datang. Debu berputar-putar ke arahku. Sontak aku berlari ke shelter sambil memakai masker. Gila, sudah sesiang ini, angin masih saja mengamuk di mana-mana.
Pukul 12 lewat beberapa menit, kami ber-7 mengucapkan selamat tinggal pada Ranukumbolo dan berjalan pulang. Setengah jam kemudian, sampailah kami di Pos 4 dengan napas terengah-engah. Danau Ranukumbolo masih tampak jelas dari atas. Saat itu, tiba-tiba saja ada pikiran random di kepala. Aku ingin makan semangka!
Setelah lima menit beristirahat, kami kembali berjalan. Berbeda dengan weekend yang dipenuhi pendaki, hari itu benar-benar sepi. Hanya satu dua saja yang berpapasan dengan kami. Sesampainya di Pos 3, aku harus menelan kekecewaan karena bapak-bapak penjual semangka dan gorengan tak ada di sana.
“Ya ampun, aku ngidam semangka segar!” racauku.
“Iya, nih. Kok nggak ada, ya?”
“Kayaknya dia jualan pas weekend aja.”
“Yah, padahal enak…”
Kami terus saja meracau berbagai macam makanan. Untuk mengusir lelah, mas-mas UMM menawarkan  nutrisari hangat yang tak mampu ditolak oleh siapa pun. Bergantian kami meminumnya. Rasanya? Numero uno!
“Eh, itu kok ada api?” celetuk mas-mas UMM berambut cepak.
“Mana?”
“Noh, di sono, noh! Gede banget pula apinya!”
Kami sontak berdiri. Benar saja, di ujung sana, tampak kobaran api tengah melalap pepohonan di sekitarnya.
“Kebakaran!”
“Gila, apinya gede banget! Gimana, dong, ini?”
“Mau balik apa nekat?”
Aku hanya mematung. Ya Allah, apa lagi ini? Setelah diserang badai semalaman, sekarang … kebakaran?
Salah satu mas-mas UMM berjalan mendekati kobaran api, sementara yang lainnya mencari kayu untuk memadamkan api. Aku? Diam tak bergerak.
“Heiii, sini!” mas-mas UMM melambaikan tangannya. “Apinya udah hampir melewati jalur, kita harus lari sekenceng-kencengnya!”
“Ayo, Mbak!”
Aku tergagap. “Eh, iya …”
Tampak olehku kobaran api tengah merangsek masuk ke jalur pendakian. Setelah berusaha memadamkan api di jalur pendakian, tiga mas-mas UMM pun berlari sekencang-kencangnya.
“Ayo lariii! Ati-atiii!” teriak mereka.
Mas Pleir dan Mas Pencit menyuruhku lari duluan. Sambil menenangkan debaran jantung yang nggak karu-karuan, aku berlari menyusul mas-mas UMM. Aku berusaha menghindari api yang menyala-nyala di kanan dan kiriku. Seketika tubuhku terasa panas. Tak lama kemudian, Mas Pleir dan Mas Pencit berlari menyusulku.
Setelah cukup jauh dari kobaran api, kami ber-7 langsung glesotan di tanah. Ngos-ngosan. Rasa-rasanya seperti mimpi. Aku bergidik sendiri. Belum juga rasa lelah itu hilang, kami mencium bau asap.
“Gaes … rupanya di atas sini juga ada yang kebakar, gaes! Ayo lari lagi!” seru mas-mas UMM sembari menunjuk ke atas.
Lagi-lagi tampak kobaran api. Kami kembali berlari kencang demi menyelamatkan nyawa. Rupa-rupanya tidak hanya berhenti di situ. Setelah kami berhasil menghindar, kobaran api yang lain menyambut kami di depan sana. Total ada lima titik kebakaran yang menghadang kami. Meski tak sebesar di titik pertama, tetap saja hal itu membahayakan. Adegan lari-larian pun berhenti di Pos 1.
“Minum! Minum! Minum! Gila, haus!” caracau mas-mas UMM.
Aku masih saja terlongong-longong dengan kejadian barusan. Ada lima titik kebakaran di gunung ini. Benar-benar bikin jantungan. Tak jauh dari kami, tampak beberapa pendaki tengah berjalan.
“Mas, mau naik? Hati-hati, ada kebakaran!” seru mas-mas UMM.
“Oh, ya? Di mana?” tanya salah satu pendaki.
“Di sekitaran Pos 2 sampe Pos 3. Apinya nggak terlalu gede, tapi tetep waspada, Mas!”
“Oke, Mas, terima kasih, ya!”
Mereka lantas melanjutkan perjalanan. Aku hanya bisa ngowoh di tempat. Serius mereka lanjut jalan? Nggak takut dimakan api gitu? Gila. Kalau aku jadi mereka, sudah pasti aku akan balik badan alias pulang. Sepeninggal mereka, mataku menangkap beberapa puntung rokok yang tersebar di tanah. Mendadak aku kesal sendiri. Kayak gini nih yang bikin kebakaran!
“Yok, jalan lagi! Keburu gelap nanti,” ajakku.
“Yoook!”
Dengan sisa-sisa tenaga, kami kembali melanjutkan perjalanan. Sumpah, kakiku udah mau tremor rasanya. Benar, perjalanan terberat adalah ketika pulang. Semua rasa lelah terakumulasi di badan.
“Ayo, semangat! Bentar lagi kita nyampe basecamp!” seru mas-mas di depanku.
Dengan langkah patah-patah, aku menguatkan diri berjalan di belakang mereka. 30 menit kemudian, tampak sawah-sawah penduduk membentang di sisi kiri kami. Sedikit lagi. Karena kelelahan, aku memutuskan untuk berhenti dan membiarkan mas-mas UMM berjalan duluan. Toh bentar lagi juga nyampe basecamp.
“Mbak, jangan berhenti di sini,” ujar Mas Pencit.
“Kenapa?”
“Lihat tulisan di belakangmu.”
Aku sontak menoleh. PERHATIAN! JANGAN ISTIRAHAT DI SINI, ADA POHON MAU TUMBANG!
“Duh, Gustiiiii,” aku mengurut dada, lalu kembali berjalan.
“Semangat! Tuh, gerbangnya udah keliatan!” seru Mas Pleir.
Aku menatap ke depan. Benar, gerbang pendakian tampak begitu jelas. Kami bertiga lantas berjalan pelan ke sana. Timbul rasa haru yang menyesak di dada.

Ya Allah, terima kasih telah membiarkan kami pulang dengan selamat ….

Sesampainya di basecamp, tampak olehku sesosok laki-laki berjaket merah tengah mondar-mandir dengan wajah tegang. Mas Ilham!
“Heiiiii, Mas!” aku melambaikan tangan ke arahnya.
“Ya Allah, reeeek! Tak kiro kowe kabeh ilang! Aku wes takon nang kabeh uwong, untung enek seng weruh awakmu. Jatukno lak tak susul munggah!” cerocos Mas Ilham.
“Ya, maap. Ada kejadian tak terduga selama di gunung, hehehe…,” aku meringis saja.
Kami lantas dlosoran sembari menikmati semangkuk bakso. Sumpah, rasanya begitu nikmat. Kayak nggak makan bertahun-tahun, hahahaha. Hari beranjak maghrib ketika kami turun dari basecamp Ranupani. Setelah melewati jalanan yang penuh batu-batu brutal, sampailah kami di Lumajang. Sesampainya di rumah Mas Ilham, aku langsung mengaktifkan ponsel sembari menunggu Mas Pleir bersih-bersih diri.
Tak perlu menunggu lama, puluhan sms, miss call, bbm, dan whatsapp memenuhi ponselku. Semuanya begitu brutal mencari kabarku yang sudah dua hari tak jua pulang. Di antara semua itu, hal yang paling menyesakkan adalah ketika membaca sms bapak dan ibu.

Nduk, sudah pulang? Apa nginep di tempat Dilla?

Kok belum pulang?

Nduk, kalau sudah turun kasih kabar, ya.

Gunung Lawu kebakaran, Nduk. Apa kamu baik-baik saja?

Kenapa belum ada kabar juga? Bapak dan Ibu nggak enak makan.

Seketika mataku berair. Terbayang wajah khawatir mereka ketika menunggu kabar dariku. Maafkan aku, Pak, Bu. Entah apa yang akan mereka katakan jika tahu apa yang terjadi di Mahameru. Puncak yang membuatku nyaris kehabisan oksigen, amukan badai semalaman, juga kebakaran. Lagi-lagi aku mengucap syukur.
Sungguh, perjalanan menuju Mahameru bukanlah perjalanan biasa. Bisa dibilang, ini adalah perjalanan spiritualku. Bukan hanya fisik dan mentalku saja yang diuji, tapi juga kedekatanku pada-Nya. Masih terekam jelas dalam otakku, bagaimana air mata itu jatuh berhamburan dalam subuh paling hening. Subuh paling mencekam sepanjang hidupku. Di tengah jalur yang dapat melenyapkan nyawa siapa saja, aku menangkap kebesaran-Nya. Gulungan awan itu. Sunrise terindah itu. Semua tak akan bisa kulupakan. Dan di atas semua itu, Dia mengizinkanku untuk hidup lebih lama lagi. Terima kasih, Allah…
Selang dua hari setelah pendakian itu, dalam perjalanan pulang ke Jogja, beranda facebook-ku dipenuhi berita kebakaran Mahameru. Gunung tertinggi di Pulau Jawa itu pada akhirnya resmi ditutup demi pemulihan ekosistem. Lagi-lagi, aku mengucap syukur.
Beribu terima kasih kuucapkan pada Mbak Fai, Mbak Nisa, Mas Fendi, Mas Ilham, dan dua malaikat penjagaku, Mas Pleir dan Mas Pencit. Terima kasih sudah memberikan pengalaman dan pelajaran berharga dalam pendakian kali ini. Tanpa kalian semua, rangkaian perjalanan ini tak akan pernah terjadi. Dan, ya, jangan kapok mendaki. Sampai jumpa di pendakian selanjutnya … :’)


Yogyakarta, 18 Desember 2015
Pukul 20.38 WIB


Indiana Malia


istirahat sejenak


setelah badai semalaman

Pulang!

This entry was posted on Selasa, 29 Desember 2015. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply