Satu-satunya
hal yang ada dalam pikiranku ketika Mas Pencit menghilang adalah ucapan mas-mas
gondrong pas ngasih petuah. Biasanya para
pendaki suka lupa diri kalau turun dari puncak. Saking senengnya main perosotan
sampai ga fokus sama medan, tahu-tahu udah nyasar aja. Dulu pernah ada yang
nyasar, pas ngelewatin area Blank 75 dia nggak fokus, dikiranya jalan lurus
padahal ngarah ke kanan. Sampai akhirnya dia jatoh di jurang sebelah kanan itu.
Dua hari dia bertahan tanpa bekal apa pun. Dan anehnya, pas tim SAR nyari ke
sana, dia nggak ada. Kalian tahu dia ke mana? Dia tiba-tiba aja pindah ke
sekitaran jurang sebelah kiri. Percaya nggak percaya, ada yang mbopong dia ke sana.
Dan
sekarang, aku sedang turun, sendirian! Aku bergidik sendiri. Baru kali ini aku
berada di gunung sendirian, tanpa melihat manusia satu ekor pun. Rasanya … hmm,
jangan kautanyakan. Pada sebuah turunan, kuhentikan langkahku. Perutku bergolak
kian beringas. Kebelet pipis, sudah tak tahan lagi! Duh, pipis, nggak, ya? Mana
nggak bawa tisu basah lagi! Bingung melanda seketika. Kutengok ke belakang,
jelas nggak ada orang. Kanan-kiriku pun kosong melompong. Tempat ini terlalu
terbuka. Gimana kalau ada penunggunya? Gimana kalau penunggunya nggak suka sama
aku?
Alamaaaaak!
Tapi aku sudah tak tahan lagi. Kalau aku tetap maksain turun dengan beban yang
sudah di ‘ujung’, bisa-bisa aku ngompol. Oh, tidak. Baiklah. Aku lantas turun
beberapa langkah, mendekati sebuah batu seukuran lemari empat pintu. Sambil
komat-kamit “Maaf, ya … aku sudah nggak tahan. Tolong jangan ganggu, aku nggak
aneh-aneh kok!”, kuselesaikan ritual mendebarkan tersebut. Setelahnya, aku
kembali tolah-toleh. Sedetik kemudian, lariiiii! Ya, aku turun sambil berlari
gegara bergidik.
Gedebug!
Nyungsep satu kali. Aku buru-buru berdiri, lalu kembali lari. Gedebug! Nyungsep kedua kali. Berdiri,
lari lagi. Gedebug! Nyungsep ketiga
kali. Seperti orang kerasukan, aku berlari ala zig-zag. Batu-batu runtuh
seketika. Debu beterbangan dengan semena-mena. Setelah nyungsep untuk yang kelima
kalinya, barulah aku berhenti lari. Kupikir-pikir gila juga, ya. Lari-larian
kek dikejar setan, padahal nggak ada yang ngejar. Penunggu Mahameru pun mungkin juga terbengong-bengong melihatku
pecicilan seperti itu.
Ketika
melongok ke bawah, kulihat seonggok tas berwarna oranye tergantung di atas
pohon. Di bawahnya tampak seorang manusia berjaket merah tengah sandaran sambil
ongkang-ongkang kaki. Mas Pencit! Ya Allah ya kariiiim, kukira dia hilang!
Dengan perasaan senang sekaligus sebal, aku berjalan turun pelan-pelan. Otakku
tetap berkonsentrasi dengan medan di depanku. Jangan lengah, jangan sampe salah
jalan! Kira-kira seperempat jam kemudian, sampailah aku di batas vegetasi. Bibirku
monyong seketika. Agak ngambek gitu ceritanya. Tanpa mengucap sepatah kata pun,
aku berjalan melewatinya, lantas duduk di sebuah undakan.
“Mau
lanjut jalan apa istirahat dulu, Mbak?” tanya Mas Pencit.
“Istirahat
dulu lah! Kakiku sakit banget!” jawabku ketus. Ya, lagian, dikira ngetrek
nyaris 12 jam itu sebentar apa? Tega-teganya turun duluan pula! Aku kesal
setengah mati.
“Oke,”
ia melanjutkan tidur ayamnya, kemudian menjelaskan tanpa kuminta, “aku tadi
duluan soalnya medannya curam begitu. Kalau aku jalan di atasmu, nanti kepalamu
kejatohan batu. Kalau aku jalan di bawahmu, kepalaku yang kena. Makanya aku
jalan duluan, ngasih jarak yang jaoh. Tadi aku nunggu kamu lama banget e, Mbak.
Hampir aja kususul ke atas, untungnya kepalamu nongol abis itu.”
Aku
menoleh ke belakang. “Ooo, begitu…”
Tak kiro koe sengojo ninggal aku e,
Mas,
aku membatin. Ternyata dia tak sejahat yang kupikirkan. Hmmm, orang kalau lagi
capek memang cenderung emosional dan berpikiran negatif. Kalau dia memang
berniat menelantarkanku *halah*, mana mungkin dia mau-maunya menemaniku sampai
puncak? Dan, lihatlah, sekarang dia benar-benar tidur.
Pukul
berapa sekarang? Aku tak tahu. Jika mengikuti rencana kemarin, harusnya sore
ini kami sudah sampai di Ranupani, kemudian pulang. Hmm, pulang. Terbayang di kepalaku wajah khawatir orang-orang di rumah. Jangan-jangan
Bapak sudah ada di Ranupani dan merusuhi petugas basecamp, memastikan kalau aku
tidak tersesat atau dimakan macan. Memikirkan hal itu membuatku merasa
bersalah. Harusnya pas di Pos 3 kemarin aku menyalakan ponsel dan mengabarinya
barang sebentar, tetapi waktu itu aku terlampau mager. Yassalam, anak macam apa
aku ini.
Sembari
menikmati semilir angin, kulepas sepatuku yang terasa berat. Benar saja, sepatu
itu sudah penuh dengan pasir dan kerikil. Untuk menghadapi jalur puncak
Mahameru, sangat disarankan untuk memakai gaiter
agar sepatu nggak kemasukan pasir. Lebih mantap lagi kalau membawa trekking pole untuk menjaga keseimbangan
tubuh. Kalau enggak, ya, kayak aku gini, kaki terasa celekat-celekit gegara
kena kerikil.
“Argh!
Sepatukuuu!” aku spontan menjerit ketika menyadari pinggir sepatuku
mangap-mangap. What the hell, sepatu
baruku! Mau nangis dan ngamuk rasanya. Bagaimana mungkin sepatu yang baru aja
kubeli dua minggu lalu langsung njelehi kayak
gini? Kepercayaanku terhadap merk sepatu yang terkenal ini langsung luntur.
Sumpah, harganya aja setara dengan jatah makanku sebulan. Rasa-rasanya ingin
membakar toko outdoor itu
sekembalinya di Jogja nanti. Fix, tak blacklist koe. Nggak mau lagi pake barang
merk itu!
“Mas,
ayo jalan!” aku berdiri dengan penuh kejengkelan.
Beberapa
saat kemudian, Mas Pencit sudah siap di belakangku. Kami pun berjalan dalam
diam. Aku masih badmood gegara sepatu
telo itu, sementara Mas Pencit
tampaknya masih mengumpulkan nyawa. Perjalanan turun rupa-rupanya bikin kakiku
sakit. Rasanya jauh lebih melelahkan ketimbang pas naik. Pada siang hari, jalur
pendakian tampak jelas. Beberapa kali kami melewati jalur sempit berhias jurang
di kanan-kiri. Tanganku refleks berpegangan pada pepohonan agar tidak
kepeleset.
Bisa
dibilang, perjalanan turun ini adalah akumulasi dari semua rasa capek.
Bayangkan, kami mendaki sejak pukul satu malam sampai setengah 10 pagi di
puncak, lantas menuruni jalur puncak yang luar binasa itu selama satu jam. Dan
kini, kami masih harus turun menuju Kalimati yang tidak dekat. Siang itu, kami
benar-benar sedikit berbicara. Konon, perjalanan tidak akan terasa melelahkan
kalau kita bercanda dengan teman seperjalanan. Tapi, entahlah, selera humorku
lenyap begitu saja.
Terus-menerus
berjalan tanpa istirahat membuat perutku bergejolak. Mulanya kubiarkan saja,
tapi lama-kelamaan semakin menjadi. Pada sebuah turunan, tiba-tiba saja badanku
terhuyung-huyung, nyaris saja terperosok jika tak segera berpegangan pada
akar-akar pohon. Aku lantas duduk di pinggiran jalur sembari memijit-mijit
kepala. Mas Pencit menyandarkan tubuhnya beberapa meter di atasku. Lagi-lagi
aku mengalami hal yang sama seperti di Merbabu beberapa waktu lalu. Semua yang
kulihat tampak gandeng-gandeng. Bumi seolah berputar. Tanganku terasa dingin.
Pergolakan di dalam perut semakin ugal-ugalan, bikin pengen muntah.
“Huek!”
mulutku mangap, tapi tak ada yang keluar selain angin. Duh, kembung nih. Segera
kuoleskan minyak kayu putih di perut, entah ngaruh atau tidak, bawaannya tenang
aja kalau sudah pake obat itu.
Selang
beberapa menit, kupaksakan kakiku untuk menuruni jalur. Hari sudah semakin
siang, jangan sampai bikin Mas Pleir khawatir di bawah sana. Saat itulah, aku
melakukan aksi merengut sepanjang jalan. Nggak, aku nggak ngambek sama Mas
Pencit atau apa, mukaku kalau sudah capek memang seperti itu. Manyun terus.
Karena
sudah kehabisan energi, langkah kakiku amat patah-patah. Timik-timik banget. Tanganku sebisa mungkin berpegangan pada pohon
atau tanaman apa pun agar tidak limbung. Pada turunan terakhir, rasa lelahku
sedikit terobati ketika melihat hamparan bunga edelweiss. Inilah salah satu hal
yang kusukai ketika mendaki gunung, menatap langsung keindahan edelweiss dari
dekat. Aku masih ingat benar, pertama kalinya lihat bunga edelweiss pas main ke
Bromo tahun lalu. Di sana, bunga edelweiss dihias secantik mungkin, lantas
diperjualbelikan oleh warga lokal.
Melewati
taman edelweiss, telingaku menangkap kicauan orang-orang di bawah sana.
Artinya, Kalimati sudah dekat. Kupercepat langkahku, tapi tak sampai-sampai
juga. Benar, Mahameru memang gunung yang penuh dengan PHP. Dekat di mata jauh
di dengkul. Selalu saja begitu. Kepalaku tak henti-hentinya cenat-cenut, tanda
mau nggeblak. Diam-diam aku pesimis.
Sampai sesiang ini kami tak juga sampai di Kalimati, lantas apakah kami bisa
melanjutkan perjalanan ke Ranupani sebelum hari gelap? Mustahil rasanya. Jika
tenagaku benar-benar habis nanti, sepertinya Mas Pencit dan Mas Pleir harus
rela membuat tandu darurat untukku.
Aku
hampir saja pingsan ketika melihat pucuk shelter
di bawah sana. Terseret-seret kakiku menuju ke sana. Tenagaku sudah lowbat. Setelah
melewati jalur sempit dan semak-semak, sampailah kami di Kalimati. Tenda-tenda
di sekitaran shelter sudah tak tampak
lagi. Pun tenda-tenda tetangga kami, semua tengah bersiap-siap pulang. Dari
jauh, kulihat Mas Pleir mondar-mandir serupa seorang ayah yang cemas menunggu
anak-anaknya pulang. Begitu melihat kami, wajahnya langsung berubah.
“Kukira
kalian hilang! Tadi aku sampe nanya-nanya ke anak-anak yang pada turun.
Pokoknya kalau sampai pukul 2 kalian nggak nongol, aku bakal nyusul ke atas,”
jelas Mas Pleir panjang lebar. “Gimana? Sampe puncak nggak?”
Aku
hanya tersenyum sambil mengangguk. Nggak sanggup berkomentar, maunya nggeblak aja. Mas Pencit menghampiri Mas
Pleir di tenda, sementara aku langsung mengempaskan diriku di bawah pohon
rindang. Sekilas aku melihat Mas Pencit dan Mas Pleir memindahkan tenda tak
jauh dariku, mungkin biar nggak kepanasan. Sedetik kemudian, mataku mengatup
berteman semilir angin. Entah berapa lama aku tertidur, tahu-tahu badanku
menggigil.
“Mbak,
mbak…,” suara Mas Pencit masuk ke gendang telingaku.
Kubuka
mataku pelan-pelan. “Ha?”
“Minum
dulu, gih!” ia menyodorkan segelas madu hangat.
“Makasih,”
kuterima madu hangat darinya dengan setengah sadar. Sambil terkantuk-kantuk,
aku lantas meminumnya. Perutku menghangat seketika. Ah, segar sekali rasanya.
“Tidurmu
lelap banget, Mbak. Kakimu masih sakit kah?” komentar Mas Pleir.
Aku
memandangi kakiku. “Nggak segempor tadi, sih. Aku kayaknya emang ngantuk berat
tadi.”
“Kita
mau ngecamp di mana malam ini? Di sini aja apa di Ranukumbolo?” tanya Mas
Pencit.
“Hm?”
aku agak bingung. “Mmm, eh, di Ranukumbolo aja gimana?”
“Bukannya
di sana lebih dingin, ya? Di sini aja lah,” timpal Mas Pleir.
Aku
hanya mengangguk sambil mencerna perkataan mereka. Diam-diam aku terharu.
Mereka tahu benar bagaimana kondisi fisikku hari ini, lantas merelakan diri
tinggal di gunung lebih lama. Oh, Tuhan, terima kasih sudah mengirimkan dua
anak Mapala yang penuh pengertian ini!
Sore
itu, kami menghabiskan waktu dengan mengobrol di depan tenda. Beberapa pendaki
tampak datang dari kejauhan.
“Mau
muncak ntar malem, Mas?” tanya salah satu dari mereka.
“Nggak,
Mas, kami sudah turun. Besok baru pulang,” jawab Mas Pleir.
“Oke,
Mas. Kami bikin tenda dulu, ya!”
“Yoii!”
Kalimati
tak seramai kemarin. Di sisi kiri shelter,
yang tersisa hanya tenda kami. Para pendaki yang akan summit nanti malam memilih tempat yang tak jauh dari shelter. Semakin sore, angin bertiup
kian kencang. Aku langsung pindah ke dalam tenda. Beberapa saat kemudian, Mas
Pencit menyusul dan tertidur pulas dalam hitungan menit. Aku dan Mas Pleir
masih saja melanjutkan topik obrolan yang berubah-ubah. Aku duduk di pinggiran
tenda, sementara ia menyeruput kopi di luar tenda.
“Kamu
nggak ngantuk po, Mas?”
“Nggak.
Aku sudah tidur seharian tadi, tapi sebentar-sebentar bangun nyariin kalian,”
jelasnya sembari merapatkan jaket hitamnya.
“Kami
jadi pendaki terakhir yang nyampe puncak. Pas pulang aku udah kayak zombie,
fisik ama otak udah nggak sinkron, haha!”
“Iya,
Mas Pencit udah cerita tadi. Jalanmu udah kayak orang mau jatoh setiap saat.
Untung kamu ditemenin dia.”
“Kenapa
emang?”
“Dia
itu hebat.”
“Hebat
gimana?”
“Ya,
paling bisa diandalkan dalam situasi kritis. Orang kalau sudah di gunung bakal
ketahuan, kan, sifat aslinya?”
Aku
mengangguk.
“Setiap
pendakian pasti menyimpan banyak pelajaran. Percaya nggak, dulu dia nyaris
bunuh diri di gunung!”
“Ha?
Kenapa?”
“Waktu
itu dia lagi sakit dan harus bawa beban banyak banget. Orang kalau sudah capek
dan mentalnya down biasanya suka mikir yang enggak-enggak. Untung
temen-temennya pada motivasi dia. Bayangin, apa jadinya kalau mereka saling
nggak peduli?”
Lagi-lagi
aku mengangguk. Benar, rasa lelah dan mental melemah adalah musuh terbesar
dalam perjalanan.
“Btw,
kalian nggak papa pulang terlambat?” tiba-tiba tercetus pertanyaan itu.
Entahlah, aku masih merasa nggak enak.
“Sebenernya
aku besok ada UTS, sih, tapi nggak papa.
Santai aja,” ujar Mas Pleir, membuatku kaget setengah mati.
“Eh,
serius? Trus gimana UTS-nya?”
“Santai,
dosennya bisa dilobi.”
“Serius?”
“Iya.”
“Kalau
kamu nggak bisa UTS gimana?”
“Santai,
yang penting kita selamat dulu. UTS urusan belakangan.”
Ah,
aku benar-benar merasa berdosa. Seandainya aku nggak tepar, pasti sekarang kami
sudah berjalan menuju Ranupani. Entah harus kubalas dengan apa kebaikan mereka.
“Mas,
cerita dong, kegiatan anak Mapala itu ngapain aja? Aku penasaran, dulu sempat
pengen ikut Mapala tapi nggak jadi.”
“Kenapa
nggak jadi?”
“Ada
kendala lah pokoknya.”
Detik
berikutnya, ia membagi pengalamannya selama bergabung dengan Mapala Teknik
UNEJ, mulai dari sistem perekrutan anggota, diklat, teknik survival, dll.
Secara tidak langsung, pengetahuanku bertambah. Sesorean itu, kami terus saja
mengobrol dengan topik random.
“Kayaknya
nanti malam bakal ada badai,” ujar Mas Pleir sembari menatap kejauhan.
“Ha?
Serius?”
“Iya.
Lihat, deh, awannya, gelap banget! Kok ngeri, ya?” Mas Pleir buru-buru beranjak. Matanya terus
mengawasi awan gelap di atas sana.
Aku
sebenarnya ingin keluar dan melihat secara langsung, tapi terlampau mager. Mana
dinginnya semakin menusuk kulit. Mas Pleir lantas masuk tenda, merebahkan
dirinya di sebelah Mas Pencit.
Menjelang
maghrib, rintik-rintik air turun perlahan, tapi tidak bertahan lama. Karena
tidak menemukan teman ngoceh, aku lantas menutup tenda dan menggelung tubuhku
di dalam sleeping bag. Semakin malam,
angin bertiup kian kencang. Seperti diselimuti es, tubuhku menggigil
kedinginan. Antara sadar dan tidak, mulutku terus-menerus meracau. Tenda yang
mulanya tenang mendadak bergoyang-goyang diterpa angin. Meskipun tenda sudah
ditutup rapat, debu-debu tetap berebutan masuk.
Malam
itu, tidurku sama sekali tidak nyenyak. Tenda seakan mau runtuh diterpa badai
gila-gilaan. Aku sudah menekuk tubuhku sedemikan rupa. Wajahku kututup masker
untuk menghalau debu. Tapi, tetap saja aku tak bisa terlelap. Jadilah aku
meracau nggak jelas. Aku baru benar-benar bisa memejamkan mata setelah melewati
Subuh.
Selasa, 20 Oktober 2015.
Pukul
8 pagi, kami berkemas-kemas setelah sarapan. Badai belum benar-benar berlalu.
Angin kencang masih berputar-putar di Kalimati. Kuedarkan pandanganku ke segala
arah. Benar-benar sepi.
“Aku
semalam benar-benar nggak bisa tidur,” kataku sembari memamah sisa cemilan.
“Sama.
Mas Pencit ini, loh, nggak gerak sama sekali,” timpal Mas Pleir.
“Kekeselan
aku rek, haha!” Mas Pencit mesam-mesem.
“Iya.
Kekeselen ngopeni aku,” tambahku.
“Kakimu
masih sakit, Mbak?” tanya Mas Pencit.
“Udah
enggak. Ayok, jalan!”
Setelah
mengucap basmallah, kami pun berjalan. Ah, akhirnya pulang. Sesampainya di Pos
Jambangan, kami bertemu beberapa pendaki yang tengah berkemas-kemas. Rupa-rupanya
mereka berniat muncak semalam, tapi karena badai, niat itu pun dibatalkan. Kepalaku
kembali menengok ke belakang, menatap puncak Mahameru yang Maha Agung itu.
Rasanya masih belum percaya kalau kemarin aku hampir mati menggigil di sana,
diterpa angin musim kemarau hingga nyaris kehabisan oksigen.
Setelah
melewati Oro-Oro Ombo yang kering kerontang itu, Mas Pleir dan Mas Pencit
menjatuhkan diri di atas rerumputan, menghadap Danau Ranukumbolo. Aku terus
saja berjalan menuruni Tanjakan Cinta, terlampau terpukau dengan keeksotisan
danau yang terhampar di depan mata. Beberapa kali aku menjepret pemandangan di
depan dengan kamera saku kesayangan. Karena meleng, pada sebuah turunan aku
nyaris terpeleset. Sontak kamera di tangan jatuh begitu saja.
“Tidaaaak!!
Kameraku …!” aku blingsatan mengambil kamera yang kini penuh debu. Perasaanku
mulai tak enak. Benar saja, kamera itu kini tidak berfungsi. Mau nangis
rasanya. Terbayang pahitnya perjuangan mengumpulkan uang untuk membeli kamera
yang belum ada setahun itu. Sudahlah sepatu mangap, ditambah lensa kamera
njepat.
“Ayo
istirahat di shelter, nanti kameranya coba dibenerin di sana,” ujar Mas Pleir.
Kami
lantas menuruni Tanjakan Cinta. Siang itu, Ranukumbolo teramat sepi, berbeda
dengan weekend kemarin. Hanya ada satu tenda di sana, itu pun sedang dibongkar.
Beberapa pendaki tampak melanjutkan perjalanan, sebagian lainnya beranjak
pulang. Sesampainya di shelter, kami mengistirahatkan badan. Mas Pencit dan Mas
Pleir pun membuat minuman hangat untuk mengusir hawa dingin, sementara aku
masih saja rempong dengan kamera.
“Pak,
kami numpang istirahat, ya!” seruan seorang pendaki membuyarkan konsentrasiku.
“Monggo,
istirahat di dalam juga nggak papa,” jawab bapak pemilik shelter ramah.
Beberapa
detik kemudian, tampak empat mas-mas pendaki mendekat ke arah kami. Satu di
antaranya membongkar tas dan mengeluarkan peralatan masak.
“Mau
turun apa naik, Mbak?” sapa salah satu di antara mereka.
“Turun,
Mas,” aku mengulas senyum.
Kuperhatikan
mas-mas yang tengah mengotak-atik kamera digital di tangannya. Tanpa tahu malu,
aku langsung mendekatinya sembari menyodorkan kameraku. “Mas, kameraku habis
jatoh. Bisa benerin nggak?”
“Kok
bisa jatoh?” tanyanya sambil menatap lamat-lamat kameraku.
“Meleng
tadi pas jalan.”
Setelah
diotak-atik sedemikian rupa, kamera itu tetap ngambek. Nggak mau nyala.
“Nggak
bisa nih, Mbak. Diservis aja biar aman,” katanya.
Aku
mengangguk lemah. Ya sudah lah, mau bagaimana lagi. Sambil menyesap segelas
madu hangat yang disodorkan oleh Mas Pleir, kami mengobrol. Mas-mas pendaki itu
ternyata berasal dari Kalimantan dan tengah menjalani kuliah di UMM.
“Kalian
pada mau turun pukul berapa?” tanya mas-mas yang tadi mencoba benerin kameraku.
“Jam
12-an.”
“Bareng,
ya!”
“Okeee!”
Karena
berdiam diri membuat tubuhku kembali menggigil, aku lantas pergi ke pinggir
danau, menikmati riak air sembari memotret dengan kamera hape. Hasilnya tidak
sebagus kamera saku, hauft. Tak lama kemudian, angin kencang kembali datang.
Debu berputar-putar ke arahku. Sontak aku berlari ke shelter sambil memakai
masker. Gila, sudah sesiang ini, angin masih saja mengamuk di mana-mana.
Pukul
12 lewat beberapa menit, kami ber-7 mengucapkan selamat tinggal pada
Ranukumbolo dan berjalan pulang. Setengah jam kemudian, sampailah kami di Pos 4
dengan napas terengah-engah. Danau Ranukumbolo masih tampak jelas dari atas.
Saat itu, tiba-tiba saja ada pikiran random di kepala. Aku ingin makan
semangka!
Setelah
lima menit beristirahat, kami kembali berjalan. Berbeda dengan weekend yang
dipenuhi pendaki, hari itu benar-benar sepi. Hanya satu dua saja yang
berpapasan dengan kami. Sesampainya di Pos 3, aku harus menelan kekecewaan
karena bapak-bapak penjual semangka dan gorengan tak ada di sana.
“Ya
ampun, aku ngidam semangka segar!” racauku.
“Iya,
nih. Kok nggak ada, ya?”
“Kayaknya
dia jualan pas weekend aja.”
“Yah,
padahal enak…”
Kami
terus saja meracau berbagai macam makanan. Untuk mengusir lelah, mas-mas UMM
menawarkan nutrisari hangat yang tak
mampu ditolak oleh siapa pun. Bergantian kami meminumnya. Rasanya? Numero uno!
“Eh,
itu kok ada api?” celetuk mas-mas UMM berambut cepak.
“Mana?”
“Noh,
di sono, noh! Gede banget pula apinya!”
Kami
sontak berdiri. Benar saja, di ujung sana, tampak kobaran api tengah melalap
pepohonan di sekitarnya.
“Kebakaran!”
“Gila,
apinya gede banget! Gimana, dong, ini?”
“Mau
balik apa nekat?”
Aku
hanya mematung. Ya Allah, apa lagi ini?
Setelah diserang badai semalaman, sekarang … kebakaran?
Salah
satu mas-mas UMM berjalan mendekati kobaran api, sementara yang lainnya mencari
kayu untuk memadamkan api. Aku? Diam tak bergerak.
“Heiii,
sini!” mas-mas UMM melambaikan tangannya. “Apinya udah hampir melewati jalur,
kita harus lari sekenceng-kencengnya!”
“Ayo,
Mbak!”
Aku
tergagap. “Eh, iya …”
Tampak
olehku kobaran api tengah merangsek masuk ke jalur pendakian. Setelah berusaha
memadamkan api di jalur pendakian, tiga mas-mas UMM pun berlari
sekencang-kencangnya.
“Ayo
lariii! Ati-atiii!” teriak mereka.
Mas
Pleir dan Mas Pencit menyuruhku lari duluan. Sambil menenangkan debaran jantung
yang nggak karu-karuan, aku berlari menyusul mas-mas UMM. Aku berusaha
menghindari api yang menyala-nyala di kanan dan kiriku. Seketika tubuhku terasa
panas. Tak lama kemudian, Mas Pleir dan Mas Pencit berlari menyusulku.
Setelah
cukup jauh dari kobaran api, kami ber-7 langsung glesotan di tanah.
Ngos-ngosan. Rasa-rasanya seperti mimpi. Aku bergidik sendiri. Belum juga rasa
lelah itu hilang, kami mencium bau asap.
“Gaes
… rupanya di atas sini juga ada yang kebakar, gaes! Ayo lari lagi!” seru
mas-mas UMM sembari menunjuk ke atas.
Lagi-lagi
tampak kobaran api. Kami kembali berlari kencang demi menyelamatkan nyawa.
Rupa-rupanya tidak hanya berhenti di situ. Setelah kami berhasil menghindar,
kobaran api yang lain menyambut kami di depan sana. Total ada lima titik
kebakaran yang menghadang kami. Meski tak sebesar di titik pertama, tetap saja
hal itu membahayakan. Adegan lari-larian pun berhenti di Pos 1.
“Minum!
Minum! Minum! Gila, haus!” caracau mas-mas UMM.
Aku
masih saja terlongong-longong dengan kejadian barusan. Ada lima titik kebakaran
di gunung ini. Benar-benar bikin jantungan. Tak jauh dari kami, tampak beberapa
pendaki tengah berjalan.
“Mas,
mau naik? Hati-hati, ada kebakaran!” seru mas-mas UMM.
“Oh,
ya? Di mana?” tanya salah satu pendaki.
“Di
sekitaran Pos 2 sampe Pos 3. Apinya nggak terlalu gede, tapi tetep waspada,
Mas!”
“Oke,
Mas, terima kasih, ya!”
Mereka
lantas melanjutkan perjalanan. Aku hanya bisa ngowoh di tempat. Serius mereka
lanjut jalan? Nggak takut dimakan api gitu? Gila. Kalau aku jadi mereka, sudah
pasti aku akan balik badan alias pulang. Sepeninggal mereka, mataku menangkap
beberapa puntung rokok yang tersebar di tanah. Mendadak aku kesal sendiri.
Kayak gini nih yang bikin kebakaran!
“Yok,
jalan lagi! Keburu gelap nanti,” ajakku.
“Yoook!”
Dengan
sisa-sisa tenaga, kami kembali melanjutkan perjalanan. Sumpah, kakiku udah mau
tremor rasanya. Benar, perjalanan terberat adalah ketika pulang. Semua rasa
lelah terakumulasi di badan.
“Ayo,
semangat! Bentar lagi kita nyampe basecamp!” seru mas-mas di depanku.
Dengan
langkah patah-patah, aku menguatkan diri berjalan di belakang mereka. 30 menit
kemudian, tampak sawah-sawah penduduk membentang di sisi kiri kami. Sedikit
lagi. Karena kelelahan, aku memutuskan untuk berhenti dan membiarkan mas-mas
UMM berjalan duluan. Toh bentar lagi juga nyampe basecamp.
“Mbak,
jangan berhenti di sini,” ujar Mas Pencit.
“Kenapa?”
“Lihat
tulisan di belakangmu.”
Aku
sontak menoleh. PERHATIAN! JANGAN ISTIRAHAT DI SINI, ADA POHON MAU TUMBANG!
“Duh,
Gustiiiii,” aku mengurut dada, lalu kembali berjalan.
“Semangat!
Tuh, gerbangnya udah keliatan!” seru Mas Pleir.
Aku
menatap ke depan. Benar, gerbang pendakian tampak begitu jelas. Kami bertiga
lantas berjalan pelan ke sana. Timbul rasa haru yang menyesak di dada.
Ya Allah, terima kasih telah
membiarkan kami pulang dengan selamat ….
Sesampainya
di basecamp, tampak olehku sesosok laki-laki berjaket merah tengah
mondar-mandir dengan wajah tegang. Mas Ilham!
“Heiiiii,
Mas!” aku melambaikan tangan ke arahnya.
“Ya
Allah, reeeek! Tak kiro kowe kabeh ilang! Aku wes takon nang kabeh uwong,
untung enek seng weruh awakmu. Jatukno lak tak susul munggah!” cerocos Mas
Ilham.
“Ya,
maap. Ada kejadian tak terduga selama di gunung, hehehe…,” aku meringis saja.
Kami
lantas dlosoran sembari menikmati semangkuk bakso. Sumpah, rasanya begitu
nikmat. Kayak nggak makan bertahun-tahun, hahahaha. Hari beranjak maghrib
ketika kami turun dari basecamp Ranupani. Setelah melewati jalanan yang penuh
batu-batu brutal, sampailah kami di Lumajang. Sesampainya di rumah Mas Ilham,
aku langsung mengaktifkan ponsel sembari menunggu Mas Pleir bersih-bersih diri.
Tak
perlu menunggu lama, puluhan sms, miss call, bbm, dan whatsapp memenuhi
ponselku. Semuanya begitu brutal mencari kabarku yang sudah dua hari tak jua
pulang. Di antara semua itu, hal yang paling menyesakkan adalah ketika membaca
sms bapak dan ibu.
Nduk, sudah pulang? Apa nginep di
tempat Dilla?
Kok belum pulang?
Nduk, kalau sudah turun kasih
kabar, ya.
Gunung Lawu kebakaran, Nduk. Apa
kamu baik-baik saja?
Kenapa belum ada kabar juga? Bapak
dan Ibu nggak enak makan.
Seketika
mataku berair. Terbayang wajah khawatir mereka ketika menunggu kabar dariku. Maafkan aku, Pak, Bu. Entah apa yang
akan mereka katakan jika tahu apa yang terjadi di Mahameru. Puncak yang membuatku nyaris kehabisan oksigen, amukan badai
semalaman, juga kebakaran. Lagi-lagi aku mengucap syukur.
Sungguh,
perjalanan menuju Mahameru bukanlah perjalanan biasa. Bisa dibilang, ini adalah
perjalanan spiritualku. Bukan hanya fisik dan mentalku saja yang diuji, tapi
juga kedekatanku pada-Nya. Masih terekam jelas dalam otakku, bagaimana air mata
itu jatuh berhamburan dalam subuh paling hening. Subuh paling mencekam
sepanjang hidupku. Di tengah jalur yang dapat melenyapkan nyawa siapa saja, aku
menangkap kebesaran-Nya. Gulungan awan itu. Sunrise
terindah itu. Semua tak akan bisa kulupakan. Dan di atas semua itu, Dia
mengizinkanku untuk hidup lebih lama lagi. Terima
kasih, Allah…
Selang
dua hari setelah pendakian itu, dalam perjalanan pulang ke Jogja, beranda facebook-ku dipenuhi berita kebakaran
Mahameru. Gunung tertinggi di Pulau Jawa itu pada akhirnya resmi ditutup demi
pemulihan ekosistem. Lagi-lagi, aku mengucap syukur.
Beribu
terima kasih kuucapkan pada Mbak Fai, Mbak Nisa, Mas Fendi, Mas Ilham, dan dua
malaikat penjagaku, Mas Pleir dan Mas Pencit. Terima kasih sudah memberikan
pengalaman dan pelajaran berharga dalam pendakian kali ini. Tanpa kalian semua,
rangkaian perjalanan ini tak akan pernah terjadi. Dan, ya, jangan kapok
mendaki. Sampai jumpa di pendakian selanjutnya … :’)
Yogyakarta,
18 Desember 2015
Pukul
20.38 WIB
Indiana Malia
Indiana Malia
istirahat sejenak |