Entah
kalimat apa yang harus kuucapkan ketika novel ini selesai kutulis. Rasanya
pengen nangis. Benar-benar lega. Seolah beban yang beberapa bulan terakhir
menggelayuti diri langsung hilang, berganti dengan keharuan yang teramat sangat
manakala melihat naskah ini terselesaikan. Sungguh, aku bahagia …
Bagiku,
novel ini terasa sangat istimewa. Novel yang kutulis dengan lelehan air mata
dan tawa di setiap Bab. Novel yang lain dari yang lain. Kau tahu kenapa?
Bagiku, novel ini tak ubahnya sebagai obat penawar. Novel ini telah
menyembuhkan luka, menghilangkan rasa kecewa, mengajari tentang makna ikhlas
dan melepaskan, menghilangkan rasa egois yang begitu tinggi, juga mengenyahkan
segala kebencian yang pernah tersemat di hati. Sungguh, aku bahagia bisa
menyelesaikannya. Novel ini telah bereinkarnasi dari tidur panjangnya selama
setahun lebih. Perjalanan dalam menulis novel ini tak akan dapat kulupakan
seumur hidup.
Semua
ini berawal dari sebuah e-mail beberapa bulan yang lalu. Aku menerima
pemberitahuan bahwa penerbit X
mengadakan sayembara menulis novel. Aku mengacuhkannya karena saat itu
aku tengah mengikuti seleksi menjadi penulis penerbit Y yang sangat menyita
waktu. Seleksi ini menggunakan sistem gugur per minggu. Setiap peserta
diberikan tugas dan akan gugur di minggu itu jika tulisan tidak memenuhi
kualifikasi. Kalau tidak salah, saat itu peserta yang mendaftar sebanyak
900-an, dan hanya diambil 10 orang untuk di-training menjadi penulis. Selama 3
bulan aku bersaing dengan ratusan orang itu. Aku lolos hingga babak terakhir,
tapi entah kenapa hingga saat ini tak ada kabar. Rasanya kesal setengah mati,
tapi yah … lebih baik kuikhlaskan saja. Aku pun pura-pura melupakan seleksi itu
dan menulis hal lain.
“Ndy,
aku ikut lomba Young Romance Indonesia lho! Kamu gak pengen ikut?” kata Dilla,
salah seorang temanku. Dulu aku dan dia pernah ikut audisi editor di penerbit
Y, tapi sama-sama enggak lolos -_-
“Kapan
terakhir?” tanyaku.
“25
desember, Ndy.”
Aku
melihat kalender. Waktu tinggal 2 minggu lagi, meeeeen! Aku bingung. Begitu
sampai di kost, aku langsung menyalakan notebook putihku dan menggalau sampai
pagi. Tak ada satu kalimat pun yang kutulis. Sebenarnya aku punya 1 draft novel
yang kelak akan kubuat jika sudah terikat kontrak dengan penerbit Y. Tapi
bagaimana kalau ternyata penerbit itu tiba-tiba memintaku menuliskannya? Tentu
saja aku tak dapat mengikutsertakan novel itu untuk audisi. Oh, god!
Pagi
harinya, entah kenapa tanganku tiba-tiba membuka folder lama, kumpulan tulisan
jaman SMA. Ada satu judul file yang
membuatku terpaku: Me Vs Einstein.
Itu adalah novel pertamaku. Mendadak dadaku agak sesak ketika membacanya
kembali. Bagaimana mungkin aku bisa lupa? Novel itu kutulis menjelang UAN. Saat
semua orang sibuk belajar, aku justru menulis novel, hahahaha.
Aku
masih ingat, saat itu aku seperti orang kesurupan. Aku menyelesaikan novel itu
selama seminggu. Di keningku seolah ada tulisan besar-besar: GO INDY! POKOKNYA
HARUS JADI!. Hahaha. Selama seminggu itu, bagai orang kesetanan aku terus
menulis di sela-sela les, ujian, sekolah, dan kegiatan lainnya. Aku hanya
berhenti ketika makan, mandi, atau shalat. Selanjutnya aku hanya mengurung diri
di dalam kamar dan memainkan jari-jariku bagai orang kesetanan. Begitu novel
itu jadi, aku langsung mengirimkannya ke penerbit Z dan …. Jeng jeng jeng …
ditolak! -_______-
Sejak
saat itu aku tak pernah menggubrisnya lagi. Aku sibuk dengan UAN, lalu pergi ke
kota untuk ikut bimbingan belajar persiapan SNMPTN selama sebulan. Lolos
SNMPTN, aku terbang ke Jogja dan menyiapkan segala macam untuk persiapan
kuliah. Dalam sekejap aku lupa dengan novel itu dan juga … ‘kamu’, makhluk yang
telah menyumbangkan inspirasi dalam menghidupkan tokoh utama novel ini.
Dan
bulan desember lalu, alarm bawah sadarku berbunyi lagi, membangunkan novel itu
dari tidur panjangnya selama setahun lebih. Entah dapat bisikan dari mana, aku
ingin sekali memperbaiki novel itu, merombaknya menjadi tulisan yang lebih
baik. Awalnya, aku mengalami banyak benturan, salah satunya adalah omongan
orang-orang luar yang secara tidak langsung menjatuhkan mentalku. Beruntunglah,
salah seorang kakak angkatan membangkitkan kembali semangatku dengan kalimat
mujarabnya: Ada kalanya kita tidak harus mendengarkan suara-suara dari luar.
Teruslah berjalan. Kau selamanya tak akan bisa berkembang kalau memikirkan
ucapan orang. Jangan pedulikan dan teruslah menulis!
Aku
pun mulai menulis dengan target 20 halaman sehari. Ketika tangan ini menulis
kalimat pertama, dalam sekejap semua memori usang itu berloncatan keluar. Bab
yang menceritakan tentang MOS itu mau tak mau membuatku ingat kembali masa-masa
SMA-ku yang kocak abis! Aku tak bisa menghentikan tawa ketika menuliskannya.
Ngakak berkali-kali sampai membuat mbak kosku bingung. Aku terus menulis, hingga
sesuatu yang tak kuinginkan terjadi. Akhir minggu, badanku terserang demam
tinggi. Aku tak bisa melakukan apa pun. Selama seminggu aku tidak kuliah dan
hanya tergolek lemah di dalam kamar kos. Aku menyerah dengan audisi novel itu.
Ada sedikit perasaan tak rela mengingat aku sudah menyelesaikan separuh
tulisan. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku terserang demam dan tak mungkin menulis
dalam keadaan pusing. Ya sudah, ku ikhlaskan saja. Mungkin Allah sedang
meyuruhku beristirahat. Bukankah sakit itu meluruhkan dosa?
Setelah
aku sembuh, aku langsung pulang ke kampung halaman bersama Anggun. Ada undangan
pernikahan yang harus kami hadiri. Saa itulah, sebuah keajaiban terjadi. Audisi
YRI diperpanjang sampai tanggal 30 januari! Yatta ….!!!!!!!! Aku jingkrak-jingkrak,
hahahaha. Ketika kembali ke Jogja, aku langsung meneruskan tulisanku. Tapi apa
mau dikata, UAS telah menungguku. Setelah menghitung kemungkinan ini-itu, aku
menghentikan aktivitasku dan fokus pada UAS. Selesai UAS, rupa-rupanya masih
ada agenda yang tak bisa kutinggalkan, yaitu maen bareng anak-anak sasindo ke
Wonosobo, hahaha. Baiklah, anggap saja itu refreshing
setelah UAS. Tanggal 21 Januari aku
pulang ke kampung halaman. Maunya sih ketika sampai di rumah langsung nulis,
tapi tiba-tiba kereta yang kutumpangi ngadat selama 4 jam di Surabaya. Sampe
rumah langsung tepar -_____-
Waktuku
tinggal 8 hari lagi. Aaaaa, ottokeeee …?! Aku kebingungan di rumah. Masa iya
aku harus menyerah lagi? Oooo, tidak bisa!! Pokoknya harus jadi! Dengan
mengerahkan segala kekuatan, aku mati-matian nulis kayak orang kesetanan. Rasane, isuk koyo awan, awan koyo bengi. Tangi koyo turu, turu koyo
tangi. Aku menulis di malam hari dan tepar di pagi hari. Benar-benar kayak
kalong! Bayangkan saja, jam 9 malam sampe pagi aku menulis dan setelah itu mati
selama beberapa jam. Aku tak keluar rumah barang sehari. Menulis kayak orang
kesurupan, lupa makan, lupa mandi (hahahaha), dan lupa mengurus diri sendiri.
Ibuku yang melihat kelakuanku hanya bisa ngomel panjang-pendek.
“Nduwe
anak wedhok 2 tapi kok rasane koyo ra nduwe anak! Kabeh seneng nglowo. Seng
gede nulis novel koyo wong ra kopenan, seng cilik nggawe cerpen mbuh gawe lomba
opo.Lek wes isuk do teler kabeh! Omah jan ra kerumat blas, ra enek seng
ngewangi aku resik-resik.”
Ahahahaha.
Gomen, Mak … -____-
Ketika
dalam proses menulis itu, mau tak mau seluruh ingatanku kembali ke masa
beberapa tahun silam. Terlebih aku menulisnya di kampung halaman. Bayangan masa
SMP dan SMA berseliweran di kepala. Beberapa kali aku galau dan stuck, gak bisa nerusin tulisan. Tapi
aku mencoba menguatkan diri.
Menguatkan
diri?
Menguatkan
diri?
APA
NDY? MENGUATKAN DIRI?! Prek!
Toh
pada akhirnya tanganku berhenti mengetik ketika mencapai Bab 24. Membiarkan
mataku terpejam sejenak untuk mengingat sebuah masa yang telah lama terlewati.
Dan tanpa mampu dicegah, air mataku luruh perlahan. Ada rasa sakit yang
menjalar kembali. Aaaaah, bukankah setiap orang berhak untuk merasa cengeng
selama beberapa saat? Ini adalah Bab terberat di antara Bab lainnya. Tapi
untunglah, aku masih bisa memasukkan unsur komedi untuk menyamarkan ‘sesuatu’
itu. Ketika Bab 24 selesai kutulis, aku pun bernapas lega dan melanjutkan
tulisan ke Bab selanjutnya.
Novel
Me Vs Einstein kali ini benar-benar
kurombak total. Jika dulu aku dengan egoisnya hanya memasukkan unsur fiksi 20%,
maka sekarang sebaliknya. Imajinasiku kuperluas. Benar-benar fiksi meski
intinya menyampaikan hal yang sama. Beberapa hal kurombak ulang, mulai dari
nama tokoh, setting tempat,
penambahan tokoh, hingga ending
cerita yang sama sekali berbeda dengan novel yang dulu. Ketika aku menulis
novel ini, entah kenapa aku suka sekali dengan tokoh Mada Vidiatama. Dia adalah
tokoh tambahan dalam novel ini. Mungkin gara-gara di sela-sela menulis aku
menonton drama Goong, jadinya
karakter si Vidi kubuat mirip dengan Prince Youl, salah satu tokoh drama Goong yang kusukai. Hahahahahahah! Aku
memang sedikit terbawa dengan drama itu, dan mau tak mau berpengaruh pada tulisanku. Tokoh Vidi
kugambarkan sebagai sosok yang ramah dan pandai membuat puisi. Aku sering
menyebutnya sebagai ‘lelaki puisi’. #aseeeek
Tokoh
Vidi benar-benar membuatku bersemangat untuk menulis. Aku jatuh cinta dengan
tokoh bikinanku sendiri, hahaha. Ketika menulis ending, aku tersenyum-senyum sendiri. Membayangkan tokoh Vidi yang
membawa sepotong hati milik Ken ke Jepang selama bertahun-tahun dan kembali
dengan sebuah proposal untuk Ken. Seru kali ya kalo ending perjalanan kuliahku juga seperti Ken *eh*, hahahaha.
Entahlah, aku sukaaaaaa sekali menulis novel Me Vs Einstein kali ini.
Lalu, bagaimana dengan tokoh Majesta? Dia adalah tokoh sentral dalam novel ini.
Dia yang menyebabkan tokoh Ken masuk SMA Candradimuka, dia yang menyebabkan Ken
mengikuti ekskul Einstein yang sama sekali tak disukainya, dia yang menyebabkan
Ken mati-matian belajar IPA, dan dia pula yang menyebabkan Ken jatuh berdebum
ke dalam jurang yang paling dalam *eaaaaaa*.
Novel
ini kutulis dengan bahasa yang sangat ringan, nge-pop banget lah pokoknya. Ada
banyak hal yang ingin kusampaikan kepada pembaca melalui novel itu. Dan semua
itu terangkum di bagian ending. Aku
percaya, sesuatu yang berbau ‘pertama kali’ pasti sulit untuk dilupakan. Tapi,
ingatlah selalu bahwa yang pertama belum tentu jadi yang terakhir. Anggap saja
hal itu sebagai pembelajaran diri. *aseeeek!*
Di
bawah ini adalah kalimat yang kubuat untuk ending.
Aku suka kalimat ini, hoho.
Kau tahu? Cinta sejati adalah melepaskan. Ya,
melepaskan sejauh mungkin, bukan memborgolnya dengan perasaan yang kita miliki.
Lepaskanlah … sejauh-jauhnya … karena Tuhan telah merancang semua alur itu
dengan baik. Biarkan saja dia pergi. Jika Tuhan memang berkehendak sesuai
dengan apa yang kita inginkan, maka dia akan kembali dengan sendirinya.
Percayalah, karena tulang rusuk itu tak pernah tertukar ….
Dan
pada akhirnya, novel ini telah bereinkarnasi pada hari Sabtu, 26 Januari 2013
Pukul 21.49 WIB. Aku legaaaaaaaaaaaaaa!
“Betewe,
itu kisah nyatamu bukan sih?” tanya salah seorang pembaca.
Aku
hanya bisa menjawab, “Tak ada satu pun tulisan yang murni fiksi, maka simpulkan
saja sendiri. Pembaca yang peka pasti bisa tahu, hehehe.”
Lalu,
bagaimana sih isi dari novel Me Vs
Einstein? Hahaha, cari tahu saja sendiri karena aku tak akan
mengungkapkannya di sini. Aku hanya ingin menceritakan proses pembuatan novel
itu, bukan isinya kok :p
Baiklah,
yang jelas aku mengucapkan banyak terima kasih kepada nama-nama yang kupinjam
dalam novel ini: Ken Jingga, Mada, Vidi, Anggun, dll. Juga kepada Keceng dan
Mas Andi atas sumbangan puisinya, kepada sahabatku Rozi atas sumbangan surat
misteriusnya, dan semua pihak yang telah memberikan semangat dan percaya padaku
bahwa aku bisa menyelesaikannya. Terakhir, terima kasih untuk ‘kamu’ yang telah
memberikan inspirasi dan membuat novel ini ‘jadi’. Thanks a lot all … :)
Jember, Selasa 29 Januari 2013
Puku 07.46 WIB
_Indiana Malia_