Mengasuh Anak

Beberapa saat yang lalu, saya terlibat diskusi yang cukup menarik bersama Mbak Jazimah Al-Muhyi, penulis terkenal itu lho.... *walaupun saya belum pernah baca buku beliau, hehehe*. Awalnya saya tertarik membaca status beliau, lalu belagak sok kenal en ikut-ikutan komen. Dari sekian banyak Ibu-ibu yang komen atau curhat masalah anak, saya satu-satunya yang masih lajang lho.... *apa sih!*. Intinya, Mbak Jazimah enggan menyekolahkan keempat anaknya sampai usia 7 tahun. Waaaacksss? 7 Tahun? :O Saya terheran-heran dan tergelitik untuk bertanya.
"Bukannya tak sayang pada anak, tapi ini dikarenakan sistem pendidikan zaman sekarang yang cukup membuat hati miris." Kata Beliau.
Lha, memangnya ada apa sih dengan pendidikan di negeri ini? *pura-pura ga tau*
Menurut Mbak Jazimah, tujuh tahun pertama adalah usia emas, periode terbaik untuk mengokohkan ideologi hidup, dan beliau ingin mentrasfer keseluruhan nilai hidup yang beliau dapatkan kepada anak-anak. 
Usia balita adalah usia kreativitas, di mana perkembangan otak sangat dahsyat menyerap dan mengolah segala hal. Namun kebanyakan sekolah yang ada di negeri ini terburu-buru mengajarkan calistung, yang hal tersebut justru bisa menjadi penghambat bagi laju pesatnya kreativitas anak.
"Allah mendidik setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Saya tidak pernah mengajari anak sulung saya berhitung, tapi secara alami dia jago menghitung. Biarkanlah anak-anak bebas bermain, menikmati keindahan masa kecilnya, Allah yang akan membimbing jiwa dan pikirannya memilih apa-apa yang hendak dia pelajari dan dengan cara apa," lanjutnya.
Woooow, so sweet banget, Mbak. Kata-katamu semakin menguatkan saya untuk menjadi Ibu yang baik dalam mendidik anak-anak saya kelak *ehm*.
"Hati saya nyeri menyaksikan anak-anak kecil berangkat sekolah dengan langkah berat, pulang sekolah dengan wajah lesu. Bagaimana tidak begitu? Level TK saja sudah dibebani PR, ada ujian, dituntut berbagai kemampuan," kata Mbak Jazimah.
Langsung mak jleb-jleb, Mbak! Pasalnya, saya juga sering nyeri melihat pemandangan seperti itu yang jelas-jelas ada di depan mata saya. Saya memang tak punya anak, tapi saya punya adik yang masih TK. Namanya Adinda. Anak ini bisa dibilang sangat cerdas dibanding Mbaknya yang tak lain adalah saya *kenyataan pahit*. Dia sangat atraktif dan sering bertanya ini-itu. Waktu saya belum kuliah di Jogja, saya seringkali kewalahan saat menemaninya bermain. Dia sering bertanya tentang apaaaaaa saja yang dilihatnya. Walau pertanyaannya sepele, tapi kadang-kadang saya juga kebingungan dalam menjawab.
"Mbak, kenapa bumi itu bulat?" tanyanya. Saya perlu berpikir keras karena saya tidak mungkin menjawab begini, "Bumi itu bulat karena bentuknya tidak kotak" atau "Udah dari sononya, mau bagaimana lagi?".
"Mbak, Allah itu di mana?" tanyanya lagi. Saya juga tidak mungkin bilang, "Allah itu ada di dalam hati kita" atau "Allah itu ada di langit" karena pasti Dinda bakal kebingungan. Kalau ada di dalam hati, mana Dia? Kok gak kelihatan?
Begitulah. Pertanyaan-pertanyaan yang sederhana namun tak boleh diremehkan dalam menjawab, karena anak pasti akan menyerap apa saja yang didapatnya. Daya ingat anak kecil sangat kuat.
Tapi entah kenapa, saat memasuki TK, Dinda mengalami banyak perubahan. Dia tak lagi banyak bertanya. Parahnya lagi, kalau lagi ngambek, dia gak mau sekolah. Dia lebih senang bermain sepak bola di samping rumah bersama anak-anak lain yang belum 'waktunya' sekolah. Waktu saya tanya, dia hanya menjawab, "Nggak mau. Dinda belum hafal bahasa inggris."
Olala, kasihan sekali kau, Nak. Yah, seperti yang dikatakan Mbak Jazimah Al-Muhyi tadi, anak masih level TK tapi sudah dibebani oleh tugas-tugas yang belum seharusnya mereka emban. Bukankah seharusnya kreativitas anak akan berkembang saat memasuki bangku TK? Ironisnya, yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya bisa bermain-main, sang anak malah dibikin jenuh dengan hal-hal yang belum waktunya untuk dicerna.
Hmmm, ternyata mendidik anak itu tidak semudah yang saya bayangkan. Memang sudah seharusnya bagi seorang Ibu yang mempunyai anak usia balita untuk full time di rumah  agar bisa maksimal dalam mendampingi tumbuh kembang anak. 
Seluruh pernyataan Mbak Jazimah tadi semakin menguatkan hati saya untuk menjadi madrasah pertama bagi anak-anak saya kelak *ehm*. Hanya fokus pada anak-anak alias tidak bekerja di luar rumah saat anak masih balita. Walaupun saat ini anjuran wanita untuk keluar rumah sering digembar-gemborkan, entah itu dengan embel-embel emansipasi atau apalah namanya, peran seorang Ibu tetaplah yang utama. Yakin deh, anak yang diasuh oleh baby sitter pasti akan berbeda dengan anak yang diasuh oleh Ibu kandung. Pokoknya, kelak saya akan mengasuh anak-anak saya dengan tangan sendiri. Mendidik mereka agar menjadi pribadi yang shaleh dan shalehah. 
Mengenai cita-cita, saya jadi teringat dengan tulisan yang saya posting di FB waktu masih SMA dulu. Postingan yang cukup bikin teman-teman saya gempar atas cita-cita terbesar saya yang dinilai kurang wah. Hmmmm, kapan-kapan deh saya posting di sini, sekalian bernostalgila dengan tulisan jadul, hehehe.
Wealah dalah, ini kenapa saya malah membahas rencana masa depan saya ya? --"
Ya sudahlah, sebelum melantur kemana-mana, saya akhiri saja.
Salam Ibu!! *apa sih! -_-

Jogja, Senin 21 Mei 
Pukul 00.32 WIB








This entry was posted on Minggu, 20 Mei 2012 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply