Jejak-Jejak Itu…






Mengapa mereka mendatangiku lagi?

Siapa yang kau maksud?

Mereka….

Mereka siapa?

Ya…mereka….

Bukankah kau sudah menghilang dari kehidupan mereka?

Mereka yang mendatangiku lagi, bukan aku!!

Ya, aku tahu…

Apa yang harus kulakukan?

###
            Saat-saat seperti ini lah yang paling aku benci. Kala kesibukan itu menghilang, mereka mendatangiku lagi. Terlebih lagi dia, satu diantara mereka. Ah, mengapa jejak-jejak itu masih saja muncul? Tak bisakah aku menghapusnya?
            Seperti sore ini. Tak sengaja aku menemukan buku agenda cokelat kusam itu, juga sebuah kotak berisi diary dan berlembar-lembar kertas yang teronggok di lemari. Ku buka benda keramat itu. Sebentar-sebentar aku tertawa, tapi menginjak lembar terakhir, tawa itu menghilang. Sesak.
            Bagaimana kabarmu? Apakah kau sehat? Apa kesibukanmu sekarang? Bagaimana proyek bukumu? Masih ingatkah kau kepadaku, kawan? Dan beragam pertanyaan lainnya memenuhi kepalaku…
###
            “Kau tahu? Mereka mendatangiku lagi!” kataku sembari menyeruput es jeruk. Malam itu, jam menunjukkan pukul 22.15 WIB. Aku dan Intan adalah penghuni terakhir di warung Cak Wawan yang super enak ini.
         “Ini sudah yang ketiga kalinya. Tiga malam berturut-turut. Aku sampai ketakutan….” lanjutku sebelum Intan sempat membuka mulut.
            Intan terdiam sebentar. Wajahnya memancarkan rasa kasihan. Aku melahap T4 perlahan-lahan, pura-pura tak memerhatikan raut mukanya.
            “Mungkin mereka juga teringat kau….” Kata Intan.
            “Benarkah?”
            “Tentu saja. Mereka tak punya teman aneh selain kau, hahaha.”
            “Ah, kau ini…”
            Kami kembali melanjutkan makan. Tapi pikiranku berkelana ke suatu masa. Aku tak tahu, apakah masa itu disebut masa yang indah atau pahit. Lidahku tak mampu merasakannya. Mati rasa.
            Kupikir aku telah lupa, tapi ternyata tidak. Pemandangan itu telah ku kubur hidup-hidup. Berharap aku tak akan pernah mengingatnya lagi. Tapi nyatanya? Tiga malam berturut-turut pemandangan itu hadir di alam bawah sadarku! Membuatku bingung dan tentu saja ketakutan setengah mati.

            Saat itu…

            Pantai Payangan tak terlalu ramai. Pantai yang terletak di Jember bagian selatan itu tampak indah meskipun dihiasi sampah di sana-sini. Ya, Pantai Payangan memang bukan obyek wisata resmi seperti Pantai Watu Ulo atau pun Pantai Papuma. Tak ada petugas resmi yang mengurus Pantai Payangan ini. Tapi tetap saja menarik minat pengunjung, terutama pengunjung yang doyan gratisan, karena untuk memasuki tempat ini tak perlu mengeluarkan uang. Yah, seperti kami berempat. Aku, Intan, Ara, dan Kak Rei. Intan adalah sahabatku sejak SMA, sedangkan Ara dan Kak Rei adalah musuh kecilku. Musuh kecil? Hahaha, begitulah. Mereka adalah musuh kecil yang kini menjadi temanku. Ini adalah pertemuan pertamaku dengan mereka setelah lima tahun lost contact. Kak Rei kuliah di Jogja, sedangkan Ara melanjutkan sekolah di Malang.
            “Napsu amat sih ngeliatin laut? Pengen nyebur?” Ara tersenyum melihat ekspresi wajahku yang sangat bergairah menatap laut.
            “Pengen, sih, tapi ombaknya gede banget!” jawabku sambil berlari-lari kecil ke pinggir pantai. Berkecipak-kecipak dengan air. Ara, Kak Rei, dan Intan hanya geleng-geleng melihatku. Aku tertawa lepas. Aku suka laut.
            “Ayo naik gunung!” ajak Kak Rei.
         Ah, sebenarnya bukan gunung, tapi bukit yang cukup tinggi. Kalau kau bisa mendaki sampai puncak, kau akan menemukan pemandangan yang luar biasa indah. Laut lepas beserta keindahan yang terpancar disekitarnya.
            “Ayoooo!!” aku langsung mengikuti Kak Rei dari belakang. Sementara itu, Ara dan Intan berjalan santai di belakangku.
            “Woaaaah!! Ini sangat menyenangkan!!” teriakku kegirangan.
            “Aaaaaaa!!” Intan berteriak-teriak ketakutan. Wajahnya sangat pucat. Dia hampir terperosok. Ops, aku baru ingat, Intan takut ketinggian. Jangankan mendaki bukit, mendaki tangga saja dia sudah ketakutan, haha. Aku hanya bisa menertawakannya.
            “Hahaha, sini kubantu….” Ara yang kasihan melihat Intan langsung menawarkan tangannya. Intan pun selamat dari mara bahaya, hohoho.
            Aku baru saja akan melanjutkan perjalanan ketika Kak Rei turun dan menampakkan ekspresi kecewa.
             “Hei, kenapa kau?” tanyaku.
          “Kita disuruh turun sama orang itu. Ga tau deh mo ada ritual apaan, huh!” jawab Kak Rei sambil menunjuk seseorang berpakaian aneh.
            Hm. Ya sudah lah. Kami lalu memutuskan untuk turun, tak berani melawan. Di tempat ini memang sering diadakan ritual-ritual kejawen atau apalah itu namanya. Kami lalu duduk-duduk di pasir.
            “Setelah lulus nanti, kau mau kuliah di mana?” tanya Ara.
            “Pengennya di UI, kalo gak ya di UM…” jawabku.
            “Ngambil jurusan apa?”
            “Komunikasi ato Sastra Indonesia…”
            “Sip lah..”
            “Kalo kamu di mana, Tan?” kali ini Kak Rei yang bertanya.
            “Aku mau tes di STAN.” Jawab Intan.
         “Cocok sih, kamu kan emang jago Akuntansi. Kalo aku disodorin begituan, mati deh!” komentarku. Semuanya tertawa.
            Tapi, siapa yang menyangka kalau pada akhirnya aku dan Intan malah sama-sama terdampar di UGM? Takdir memang penuh misteri.
            “Udah jam lima, balik yuk! Emakku udah nelpon!” kata Ara.
            Kami lalu beranjak mengambil sepeda motor masing-masing. Itu adalah pertemuan terakhirku yang ‘berkesan’ baik dengan Ara, karena besok dia harus kembali ke Malang. Hari-hari selanjutnya, aku masih bisa menemukan batang hidung Kak Rei karena anak itu memang agak lama di sini. Dan di sini lah semua itu berawal. Pada akhirnya, mereka berdua lenyap dari kehidupanku. Hanya saja, mereka pergi dengan cara yang berbeda….

###

            “Jangan dilupakan. Dibiarkan saja…” kata Intan.
            “Ha?”
             “Aku tahu apa yang membuatmu sok sibuk akhir-akhir ini. Kesibukanmu mungkin memang bisa membuatmu lupa, tapi hanya sekejap.”
            Aku terdiam. Membenarkan.
            “Dia adalah kawan terbaikmu, Lyla. Mungkin kau sedih, tapi percayalah itu adalah keputusannya yang paling baik.”
                  “Apa maksudmu?”
          “Dia melakukannya saat ini karena tak ingin melihatmu bertambah sedih di kemudian hari. Dia hanya ingin mengurangi kesedihanmu sedikit demi sedikit, hingga kemudian kau akan terbiasa dan tak sedih lagi.”
                  “Rasanya sakit, ya.”
      “Memang. Tapi tetap saja kau tak bisa mencaci-maki waktu yang telah mempertemukan kau dengan mereka, karena secara tidak langsung kau bisa belajar banyak hal dengan mereka.”
                “Belajar banyak?”
            “Iya. Kau pikir siapa yang bisa membuatmu kuat sampai detik ini? Dulu,  Allah pernah memberikanmu cobaan melalui Ara. Mungkin memang pahit di awal, tapi pada akhirnya kau bisa melewatinya, kan? Bahkan, kau bisa berubah menjadi lebih baik, Insya Allah…”
                  “Mmmm…”
            “Sebagai kawanmu, Kak Rei bahkan rela bersusah payah membantumu untuk keluar dari masalah yang melilit itu. Kalau saja dia belagak masa bodoh dan membiarkanmu berjalan di jalan yang belum saatnya kau lewati, mana mungkin kau bisa seperti ini?”
            Aku menunduk.
           
            Ara? Ya. Kau memang mengujiku saat itu…

            “Apa kau bilang?!” teriakku. Badanku mendadak limbung. Tanganku meraba-raba ke segala tempat, mencari pegangan. Wajahku pucat seketika. Takut.
            “Bbee..benaarr, Lyla…” terpatah-patah Intan mengucapkan kalimat itu.
            “Ng..nggak…mungkin…” aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Air mataku langsung berhamburan keluar.
            “Barusan…dia…bilang..begitu…padaku...” lanjut Intan. Air matanya pun jatuh. “Katanya, sudah…stadium…tiga…”
            Aku terduduk di lantai. Kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Air mataku semakin deras mengalir.
            Ara sakit!! Ah, bagaimana mungkin? Tampaknya dia baik-baik saja selama ini. Mengapa begitu mendadak? Mengapa aku baru tahu sekarang? Mengapa dia hanya memberitahu Intan, dan tidak memberitahuku?
            “Dia sekarang ada di rumah sakit, Lyla…” kata Intan.
            “Apa?”aku tercekat.
            “Kau sayang padanya bukan?”
            Aku terdiam.
            “Lyla, kau sayang padanya bukan?” tanya Intan sekali lagi.
     Ya. Aku memang mulai ‘berani’ menyayanginya. Setidaknya, aku menerima kehadirannya dalam hatiku yang membeku sekian lama. Aku tidak tahu, apakah pintu yang ku tutup rapat-rapat itu bisa dia buka. Yang ku tahu, dia tak pernah berhenti berusaha untuk mengambil kunci yang kusembunyikan di sini: di dasar hati.
            “Aku belum yakin, Tan…” jawabku pada akhirnya.
            Ku longok hatiku sekali lagi, lalu kutanya, “Apa kau memang bisa menerimanya?”. Dia tak menjawab apapun. Hanya memberikan sebuah perasaan yang aku sendiri pun tak tahu maksudnya.
          “Katakan padanya….sekarang….” kata Intan. Dia menyodorkan hapenya kepadaku.
            Aku melotot.” Apa maksudmu?”
          “Kau tak mau menyesal di kemudian hari, kan? Katakan, Lyla. Walaupun kau belum yakin sepenuhnya, tapi setidaknya kau tidak terlambat….”
            Lagi-lagi aku terdiam.
            Haruskah?
            Ara…..haruskah ini kulakukan?
           Aku tahu, tujuh tahun memang bukan waktu yang lama bagimu untuk menyimpan semua itu. Apa namanya? Ah, aku lupa, yang pasti kau menyimpan namaku di hatimu.
           
Dan, pada akhirnya sebaris kalimat manis itu aku luncurkan, “Aku sayang padamu.” Dan kau tentu saja menyambutnya dengan penuh suka cita. Kau berpikir bahwa penantianmu selama tujuh tahun itu telah berakhir. Iya, kau memang sudah berhasil mengambil kunci yang kusembunyikan itu. Pintu itu memang mulai terkuak, sedikit demi sedikit.
Tapi, tahukah kau bahwa batinku memberontak? Seperti ada yang berteriak-teriak dan menyuruhku untuk berhenti. Aku bingung. Apa yang bisa kulakukan? Tak ada! Sementara sakitmu bertambah parah, haruskah aku meninggalkanmu begitu saja? Tentu saja tidak. Aku bukan orang yang setega itu. Aku tak tahan melihatmu menderita seperti itu. Kau tahu? Aku pun juga merasakan sakitmu! Membayangkan kau terbaring di rumah sakit, terbujur lemah tak berdaya, benar-benar membuatku ngilu. Entah sudah berapa banyak air mata yang ku buang karena aku merasa begitu bodoh, tak bisa membantu apapun untukmu.
Di sisi yang lain, aku marah dengan Kak Rei. Ke mana makhluk itu? Tiba-tiba menghilang tanpa kabar apa pun! Ku coba tuk menghubunginya, tapi selalu gagal. Ingin sekali aku memberitahukan keadaan Ara yang nyaris sekarat. Tapi entah kenapa, kau seolah-olah tak peduli!
“Ada apa dengan Kak Rei?” aku mulai kebingungan.
“Untuk apa kau pedulikan dia? Toh dia tak memikirkan kau atau pun Ara sama sekali!” sahut Intan.
“Tapi Ara sakit, Tan! Dia hampir mati!”
“Sudahlah. Kalau dia peduli, dia pasti kembali.”

###

“Ara tak mengenaliku lagi!” Aku memeluk Intan sembari menangis. Sore itu, sepulang les persiapan UAN, aku dan Intan duduk di belakang sekolah. Aku tak sanggup memendam semua ini seorang diri.
“Sabar, yah…” Intan tak mampu berkata apapun. Dia membiarkanku menangis sepanjang sore itu.
“Apa yang harus kulakukan? Ara…Ara…sakitnya bertambah parah….” Aku tersedu.
Memang benar, Ara mulai tak mengenaliku. Dia sering terlihat kebingungan dengan segala hal. Walau dia berada jauh di luar kota sana, tapi aku selalu tahu perkembangannya. Aku nyaris frustasi.
“Kau siapa?” suara Ara di seberang sana terdengar dingin. Aku tercekat.
“Aku Lyla!!”
“Lyla siapa? Aku tak punya teman bernama Lyla!”
Hatiku mendadak sakit.
“Kau pasti ingat aku! Kau pasti ingat aku!”
“Apa yang bisa membuatku ingat padamu?”
Lalu dari mulutku mengalir cerita itu. Tentang masa-masa yang kita lewati saat masih berseragam merah putih. Pertama kalinya kau melihatku saat pembagian kelas, seorang anak berambut panjang dan berbaju kotak-kotak. Saat kau menungguku di tempat parkir sepulang les, sampai semua sepeda habis, namun aku tak juga muncul.  Saat kau rajin mengirimiku sepucuk surat sehabis pulang les. Saat kau mulai tahu bahwa aku adalah manusia ganas yang tak pernah kau bayangkan. Saat aku mencaci-maki habis dirimu. Saat kau dan Kak Rei bersekongkol untuk membuntutiku. Saat aku menghajarmu habis-habisan di jalan besar. Ya, kebencianku menumpuk-numpuk pada dirimu. Hingga setelah kelulusan, kau pergi jauh ke kota Apel, tapi aku tak peduli.
Lima tahun kemudian, takdir mempertemukan aku, kau, juga kak Rei kembali. Banyak yang berubah. Kebencian itu sudah lenyap dan berganti dengan kekonyolan saat mengingat kisah mengenaskan itu. Tapi, ternyata hatimu tak pernah berubah. Dan mungkin, aku mulai mempercayaimu untuk membuka pintu yang telah terkunci lama ini.
“Begitukah?” tanya Ara.
“Ya…” jawabku dengan terisak.
“Apakah…pintu itu sudah bisa ku buka?”
Aku tak mampu menjawabnya…hanya tangis yang keluar dari bibirku…
Lagi-lagi batinku bergejolak. Menyuruhku untuk berhenti. Ada rasa bersalah yang menjalari hati. Aku bingung. Perasaan ini berkembang dengan sendirinya. Apa aku salah?
Sekali lagi: Aku tak mampu meninggalkannya…

###

Tiba-tiba saja, Kak Rei datang dengan wajah tanpa dosa. Cengar-cengir, puas sekali melihatku frustasi.
“Ke mana saja kau? Jahat! Kau benar-benar jahat!! Pergi tanpa pamit dan membiarkanku kebingungan seorang diri! Kau tahu tidak, hah? Kawanmu hampir mati!!” aku kalap.
Kak Rei hanya tersenyum. “Jangan hubungi Ara mulai sekarang.”
“Apa maksudmu?” aku emosi.
“Ku bilang, biarkan Ara. Fokuslah pada ujian akhirmu dulu, nanti akan kujelaskan…”
“Ara kan sedang…”
“Iya, aku tahu! Makanya, biarkan dia dulu! Aku menyuruhmu begini bukan tanpa alasan!”
“Tapi, Ara…”
“Aku bilang, biarkan!! Memangnya kau istrinya sampai-sampai harus mengurusinya sampai sejauh ini?”
Hatiku mencelos mendengarnya.
Iya, aku memang bukan siapa-siapanya. Aku hanyalah seseorang yang mulai berani memberikan kunci pintuku kepadanya…
“Jangan sampai ujian akhirmu rusak hanya gara-gara masalah ini. Mulai sekarang, FOKUS PADA UAN!!” bentak Kak Rei.
Aku mengkerut. Tak berani membantah ucapan kawan yang sudah ku’tua’kan itu. Sejak itu, aku ‘menghilang’kan diri. Ara tentu saja bingung. Aku tak berani menghubunginya, karena Kak Rei pasti akan membawa rotan dan memukulku sampai babak belur. Kak Rei membuatku takut.
Aku lalu mulai fokus dengan beragam ujian yang menghampiriku setiap hari. Ulangan, try out, ujian praktik, UAS, hingga UAN. Tapi, di sela-sela semua itu aku masih saja penasaran. Ada apa sebenarnya?

###

Tubuhku limbung. Tak percaya dengan kenyataan yang kuhadapi. Aku menangis keras-keras. Rasa marah, benci, merasa dikhianati, dan lain-lain bertumpuk jadi satu. Hatiku terasa sakit sekali.
“BRENGSEK!!” teriakku keras-keras.
“Sabar, Lyla…” ucap Kak Rei.
“Saat ini, aku benar-benar ingin Ara mati!! MATI!!” teriakku lagi.
Kak Rei terdiam. Membiarkanku mengeluarkan semua kekecewa. Aku dendam kesumat dengan Ara! Seandainya dia sekarang ada di sini, pasti sudah kutebas kepalanya sampai putus!
Kepergian Kak Rei selama ini ternyata bukan tanpa alasan. Dia mengalami musibah besar. Dan di sela-sela itu, dia mencoba menyelidiki sesuatu. Yah, sesuatu yang membuat mulutku menganga dan  mataku hampir copot.
ARA MEMBOHONGIKU!!!
Dia tidak pernah sakit sekeras itu! Aku tidak habis pikir mengapa dia melakukan semua itu padaku. Ingin mendapatkan hatiku? Bah, apa-apaan ini!
“Ara jahat……!” aku meraung-raung. Menangis sekeras-kerasnya. Hatiku sakit. Sakit sekali. Memangnya dia siapa sampai berani-beraninya melakukan ini padaku? Membuatku merasa khawatir, membuatku menangis karena terlalu mengkhawatirkannya, membuatku frustasi!!
Lalu, apa? Dia ingin menarik simpatiku? Ingin mendapatkan hatiku dengan cara licik seperti ini? Oh, Ara memang benar-benar aktor yang ulung!
“Perasaannya memang tak pernah berubah padamu, hanya saja cara yang dia lakukan salah.” Kata Kak Rei.
“Aku benci dia!!”
“Sabar…..”
“Aku menyesal pernah menumbuhkan perasaan ini padanya…”
“Setidaknya, kau belum terjerumus.”
“Ya, kau benar, kawan….”

Baiklah, Ara…
Ternyata selama ini aku salah telah memelihara perasaan ini…
Jadi, biarkan aku pergi bersama rasa sakit ini…
Aku tahu bagaimana dalam perasaanmu terhadapku…
Tapi, maaf. Kau sendiri yang melubangi hatiku…
Kau sendiri yang menyulut api permusuhan kepadaku…
Jadi, biarkanlah aku pergi…
Biar ku bunuh perasaan yang belum terlanjur meluber ini…

###

“Lyla…kau tidak menaruh dendam, kan?” Intan membuyarkan lamunanku.
Aku menggeleng, lalu tersenyum. “Aku sudah memaafkan Ara…”
“Lalu, Kak Rei?” tanyanya lagi.
Aku tak mampu menjawab.
“Ini sudah waktunya, Lyla. Waktu yang kau takutkan itu sudah datang. Kau tak akan bisa mencegahnya….” Kata Intan lagi.
Aku tersenyum. “Ya. Kau benar, Intan…”
“Jangan disesali. Kau tak perlu melupakan masa lalu itu. Biarkan saja mengalir seperti air. Saat-saat seperti ini pasti akan datang. Biarkanlah, Lyla… biarkan dia mengambil keputusan pahit ini… “
Keputusan pahit? Ah, kurasa tidak. Ini adalah keputusan yang mau tak mau harus dia ambil…
“Ya. Aku tak akan pernah menyesalinya….” Kataku akhirnya.

Apapun itu…
Aku tak akan menyesalinya…
Biarkan jejak-jejak itu tetap hadir dalam hidupku…
Aku tak akan mencoba menghapusnya lagi…
Biarkan saja jejak-jejak itu termakan waktu…
Tersapu ombak…
Terbawa angin…
Lalu menghilang…


Jogja, Rabu 23 Mei 2012
Pukul 04.01 WIB
           

This entry was posted on Selasa, 22 Mei 2012 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply