Sesuatu Bernama ‘Waktu’…


Sesuatu Bernama ‘Waktu’…

          Kubolak-balik bukuku dengan kesal. Berusaha keras untuk memahami, namun nyatanya otakku tak mampu diajak berkompromi.  Satu halaman berlalu. Satu butiran bening terjatuh dari kelopak mata. Membasahi pipi. Lama-kelamaan menganak sungai.
          “Mengapa terasa menyakitkan?” erangku pilu.
          Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak bersedih? Ah, nyatanya sekarang malah sebaliknya…
          Kupaksakan diri untuk menulis kalimat demi kalimat. Teringat akan tugas yang harus kukumpulkan besok. Masih ada tiga buku yang menanti. Menunggu untuk dibaca. Tapi lagi-lagi, otakku tak mau bekerjasama.
          Sekelebat bayangan kembali mengusik. Ya sudahlah, kalau otak tak mau bekerjasama, apa mau dikata? Percuma saja kupaksakan. Sejenak aku terdiam. Kubiarkan bayangan itu menguasai labirin kepalaku…

          Lyla…
          Semalam aku bermimpi bertemu Lyla, disitu Lyla menangis.
          Kenapa ya? Perasaanku jadi tak enak…
          Seolah Lyla merasa kehilangan, entah kehilangan apa. Sebagai pelampiasan,
          Lyla menyibukkan diri dengan bermacam kegiatan…
          Benarkah itu, Lyla?

          Sebentuk pesan dari Kak Rere. Kakakku yang shalihah dan baik hati…

          Lyla tidak apa-apa...
          Mimpi hanyalah bunga tidur, kakakku sayang…

          Detik selanjutnya, mataku terasa panas. Ada cairan yang terbendung, memaksa untuk keluar. Ada segumpal duka. Ada segumpal bahagia. Entah apa namanya, aku tak tahu…
          Waktu. Ya, waktu yang dulu selalu kutakutkan sudah tiba. Waktu yang tak bisa dimajukan atau dimundurkan. Waktu yang tak bisa membawaku ke masa lalu atau meloncat ke masa depan. Waktu yang tak bisa menghapus sesuatu yang telah berlalu, kecuali dengan cara amnesia atau Alzheimer. Waktu yang penuh misteri. Penuh teka-teki.
          Tiba-tiba saja film itu kembali diputar dalam memori otakku. Film dengan latar hitam putih.
          Dua tahun yang lalu…
          Seragam putih abu-abu itu masih menempel di tubuhku. Seorang gadis yang tengah seru-serunya menikmati masa 17 tahun-nya. Menggeluti Palang Merah Remaja. Berpetualang ke hutan rimba bersama anak-anak PA. Menekuni dunia Jurnalistik. Bermain ombak di pantai kala sore hari. Balapan motor meski sering nyungsep di trotoar. Dan juga memancing bersama Ayahanda tercinta.
          Hingga badai itu pun datang. Merenggut semua kesenangan. Yang ada hanyalah duka berkepanjangan. Dan dua anak manusia itu memang bagai pinang tak berbelah. Yang satu membuatku nyaris gila, yang satunya lagi selalu membawakan air kendi saat mulutku kering, tak sanggup lagi mengumpat yang berbuah sumpah serapah.
          “Kau harus bersabar. Marah tak akan menyelesaikan persoalan!” ucapmu waktu itu.
          “Tapi aku benar-benar ingin membunuh kawanmu itu!” teriakku tak kalah nyaring.
          “Dia adalah sahabatku.”
          “Dia adalah musuhku.”
          “Kau ini keras kepala!”
          “Kepalaku memang terbuat dari batu, lalu kau mau apa?”
          “Maafkanlah dia, Lyla…”
          “Bah! Enak sekali kau ngomong. Aku tak akan memaafkan dia sebelum melihatnya mati di tanganku sendiri!”
          Dan kau terdiam. Mengajakku berdebat memang hanya akan menguras energi. Terserah kau mau bilang apa! Aku sudah mengasah celurit jauh-jauh hari, bersiap membabat habis manusia tak berperasaan itu.
          “Seharusnya kau bersyukur, Lyla…”
          “Bersyukur karena musibah ini? Kau ini gila apa!”
          “Cobalah berpikir. Dengan masalah ini, kau jadi tahu kebobrokan dia. Sehingga kau tidak terjerumus untuk…”
          “Apa? Maksudmu lope-lopean?”
          “Mungkin.”
          “Dia itu aktor yang ulung!”
          “Dia melakukannya karena perasaannya yang mendalam padamu. Dia tak ingin kehilangan kamu…hanya...hanya caranya saja yang salah…”
          “Hentikan. Jangan bahas dia lagi. Sudah cukup. Toh kau tahu, aku tak punya rasa apa-apa..”
          “Jadi, kau memaafkannya?” kau tampak berbinar.
          “Iya, tapi setelah aku berhasil memenggal kepalanya.”
          “Sadis sekali kau ini!”
          “Aku memang terlahir sadis.”
          Kau menghentikan semua ceracauanku sebelum bertambah parah. Kau biarkan aku. Mungkin memang butuh waktu untuk berpikir jernih. Tanpa kusuruh, kau seenaknya saja mendongengiku dengan bermacam cerita dari negeri antah berantah. Seolah mengalihkan perhatianku. Dan memang benar, aku tak jadi membunuh kawanmu itu. Pikiranku sudah jernih. Aku maafkan dia asal tak menghubungiku lagi.
          Waktu demi waktu berlalu. Masih berseragam putih abu-abu. Tapi sudah di penghujung waktu. Kini sedang giat-giatnya belajar untuk melawan ujian nasional yang menakutkan. Dan yang tak kalah penting, melawan SNMPTN agar bisa mewujudkan cita-citaku. Menjadi mahasiswa ilmu komunikasi. Impian sejak masih berseragam putih biru. Di sela-sela itu, kita berdiskusi.
          Tentang kejujuran.
          Tentang kesabaran.
          Tentang semangat.
          Tentang cinta sejati.
          Tentang kesetiaan.
          Tentang cita-cita.
          Tentang arti bersyukur.
          Tentang dunia dan seisinya.
          Tentang hidup dan mati.
          Tentang…segalanya…

          Kau hibur diriku saat kepalaku tak sanggup lagi memecahkan soal-soal. Kau bilang, sabar. Sabar, sabar, sabar, hingga aku bosan denga kata-katamu itu. 18 juni, tanggal keramat yang membuat nafsu makanku lenyap. Tanggal yang melumpuhkan semangatku.
          “SEMANGAT! PASTI ADA JALAN!” teriakmu.
          “Aku patah hati. UI menolakku mentah-mentah…”
          “Hei…masih ada SNMPTN tulis kan?”
          “Percuma.”
          “Lho?”
          “Tak dapat restu. Pokoknya jadi Guru, apa pun yang terjadi.”
          “Orang galak sepertimu tak pantas jadi Guru, hahaha…”
          “Terserah apa katamu lah!”
          “Lalu, sekarang kau mau bagaimana?”
          “Tau ah. Gelap!”
          Bayangan jaket kuning ku buang jauh-jauh. Harus mencari pengganti. Tapi apa? Di TV, aku melihat sebuah berita tentang Gudeg. Agaknya menarik.
          “Menurutmu, Jogja bagaimana?”
          “Hei, kau mau ke Jogja?”
          “Mungkin.”
          Dan memang benar, takdirku jatuh di Kota Gudeg ini. Aku lolos SNMPTN. Semua orang mengucapkan selamat, meski aku sendiri masih terbayang akan impian yang ku kubur hidup-hidup.
          Waktu berlalu…
     Kujalani kehidupan yang terasa amat baru ini. Baru, karena ini adalah masa ‘perbaikan diri’. Sangat sulit memang, tapi aku akan bertahan.
          “Hidup adalah pilihan.” Katamu setahun yang lalu.
   Iya. Dan ini adalah pilihanku…
         
Hingga waktu itu pun datang. Kau berteriak:

 Hei…
 Kulihat burung kecil itu sudah terbang!
Alhamdulillah, saat-saat seperti ini memang pasti akan datang.
Selamat tinggal burung kecil…
Aku yakin, kau akan bisa   menghadapi        semua tantangan yang ada di  depanmu!
          Burung kecil, semangat terus ya!
          Burung kecil terus mengepakkan sayapnya hingga ia di telan cakrawala.
          Sedih, haru, memenuhi pelupuk mataku.
          Kubalikkan badan, dan aku pun juga harus terus melangkah……

          Iya. Waktu itu memang telah datang…
          Membuatku sedih tak karuan…
          Juga membuatku bahagia tak alang kepalang…
         
        Film itu telah selesai diputar. Sedih. Senang. Haru. Entahlah, tak dapat kujelaskan semua ini…

      Ku tatap buku “Sakinah Bersamamu” dan “Nagabhumi 2” yang kau impi-impikan sejak dulu itu. Mendadak dadaku sesak.
          Hei, kawan…
          Sebentar lagi buku ini akan berpindah ke tanganmu…
          Hanya tinggal menunggu waktu saja…

          Selamat….
          Doaku kan menyertaimu…
          Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah…

       Ku hembuskan nafas perlahan. Ya, inilah akhir seperti yang kita harapkan dulu. Walau terasa menyedihkan, tapi inilah jalan yang terbaik…selamat tinggal…

Jogja, 28 Maret 2012
Pukul 23.42 WIB

_Zakia Salsabila_ 




This entry was posted on Jumat, 30 Maret 2012 and is filed under ,,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply