Aku melihatmu lagi. Untuk yang kesekian kali. Wajahmu tampak samar-samar, lantas pergi. Begitu berulang kali. Peluh bercucuran setiap kali aku terbangun. Dan ketika kulirik jam di dinding, jarum menunjuk angka tiga. Ya, pukul tiga pagi. Apa yang kau lakukan? Mengapa mendatangiku ..., lagi?
Pasti ada yang salah.
Ya, aku yakin. Pasti ada yang salah dengan alam bawah sadarku.
Kenapa?
Apa maksudmu menemuiku beberapa hari ini?
||
|
||
Bagaikan air dan api yang tak bisa menyatu, kurasa seperti itu. Aku dengan segala kebebasan dan keliaranku, sementara kau dengan segala sikap posesif yang berusaha keras mengukungku. Kau bilang, tak boleh seperti ini tak boleh seperti itu. Selama berada di sisimu, kau tak akan membiarkan siapapun mendekatiku. Tidak dengan dia, dia, atau dia.
"Aku tak suka dengan sikapmu!" bentakku.
"Aku melakukannya karena kau. Aku tak ingin kehilanganmu untuk yang kesekian kali." Kau tetap bersikukuh.
"Aku tak akan pergi ke mana-mana. Jangan kekanak-kanakan!"
"Siapa yang kekanak-kanakan? Aku hanya berusaha melindungimu"
"Ralat! Kau mengekangku!"
"Aku mencintaimu. Sungguh."
Aku terdiam menatapmu.
"Aku mencintaimu. Sungguh ...," ulangmu.
Lalu bibirku membisu.
"Kau percaya padaku, kan?"
Aku bergeming. Kutatap dalam-dalam kedua bola matamu. Benarkah ini?"
||
|
||
"Mengapa kau melakukannya?" tanyaku datar. Air mataku telah kering.
"Aku ..."
"Mengapa kau membohongiku?"
"Aku ..."
"Beginikah caramu mencintaiku? Melakukan kepura-puraan demi mengambil hatiku?"
"Bukan begitu. Aku hanya ..."
"Maaf, aku tak percaya padamu lagi. Mulai saat ini, aku akan melupakan apapun yang telah kita lalui di hari kemarin."
Kemudian kau dan aku saling menjauh.
||
|
||
"Baginya, kau tak tergantikan," kata temanmu.
Aku berdeham. "Apa maksudnya mendatangiku bermalam-malam ini?"
"Dia merindukanmu."
"Hm. Lelaki posesif itu ..."
"Dia akan pergi jauh."
"Ke mana?"
"Berkeliling dunia. Ehm, kurasa ... dia mendatangimu karena ingin berpamitan padamu."
Aku tersenyum. "Ya."
"Kau memaafkannya?"
"Selalu."
"Kau ...."
"Tapi sampai kapanpun, air dan api tak akan pernah bisa bersatu, kan?"
||
|
||
Jadi, kuucapkan selamat jalan. Untukmu yang mendatangiku bermalam-malam lalu ...
Pasti ada yang salah.
Ya, aku yakin. Pasti ada yang salah dengan alam bawah sadarku.
Kenapa?
Apa maksudmu menemuiku beberapa hari ini?
||
|
||
Bagaikan air dan api yang tak bisa menyatu, kurasa seperti itu. Aku dengan segala kebebasan dan keliaranku, sementara kau dengan segala sikap posesif yang berusaha keras mengukungku. Kau bilang, tak boleh seperti ini tak boleh seperti itu. Selama berada di sisimu, kau tak akan membiarkan siapapun mendekatiku. Tidak dengan dia, dia, atau dia.
"Aku tak suka dengan sikapmu!" bentakku.
"Aku melakukannya karena kau. Aku tak ingin kehilanganmu untuk yang kesekian kali." Kau tetap bersikukuh.
"Aku tak akan pergi ke mana-mana. Jangan kekanak-kanakan!"
"Siapa yang kekanak-kanakan? Aku hanya berusaha melindungimu"
"Ralat! Kau mengekangku!"
"Aku mencintaimu. Sungguh."
Aku terdiam menatapmu.
"Aku mencintaimu. Sungguh ...," ulangmu.
Lalu bibirku membisu.
"Kau percaya padaku, kan?"
Aku bergeming. Kutatap dalam-dalam kedua bola matamu. Benarkah ini?"
||
|
||
"Mengapa kau melakukannya?" tanyaku datar. Air mataku telah kering.
"Aku ..."
"Mengapa kau membohongiku?"
"Aku ..."
"Beginikah caramu mencintaiku? Melakukan kepura-puraan demi mengambil hatiku?"
"Bukan begitu. Aku hanya ..."
"Maaf, aku tak percaya padamu lagi. Mulai saat ini, aku akan melupakan apapun yang telah kita lalui di hari kemarin."
Kemudian kau dan aku saling menjauh.
||
|
||
"Baginya, kau tak tergantikan," kata temanmu.
Aku berdeham. "Apa maksudnya mendatangiku bermalam-malam ini?"
"Dia merindukanmu."
"Hm. Lelaki posesif itu ..."
"Dia akan pergi jauh."
"Ke mana?"
"Berkeliling dunia. Ehm, kurasa ... dia mendatangimu karena ingin berpamitan padamu."
Aku tersenyum. "Ya."
"Kau memaafkannya?"
"Selalu."
"Kau ...."
"Tapi sampai kapanpun, air dan api tak akan pernah bisa bersatu, kan?"
||
|
||
Jadi, kuucapkan selamat jalan. Untukmu yang mendatangiku bermalam-malam lalu ...