#10DaysKFPart1 Dia yang Membuatku Jatuh Cinta

Ketika ditanya soal tipe kekasih dambaan, pikiran saya langsung tertuju pada perpustakaan kecil saya di rumah. Segala jenis buku ada di sana. Ya, saya suka membaca apa saja. Dan secara otomatis, saya pun mendambakan kekasih yang gila buku. Dengannya, saya tak akan merasa kehabisan topik pembicaraan.
Dan cinta itu datang begitu cepat. Kelas satu SMP, saya sudah menggilai seorang kakak kelas jenius. Hobinya menghabiskan buku-buku di perpustakaan, ikut olympiade di mana-mana, aktif organisasi, saleh pula. Saya menamakannya cinta dalam diam #alah. Lima tahun saya menyimpan namanya dan enggan menerima cinta siapa pun. Hingga pada akhirnya saya harus membuang perasaan itu jauh-jauh karena memilikinya adalah sebuah kemustahilan. Otaknya terlalu jenius, saya mah apa, cuma butiran marimas.


Selain membaca, saya juga suka kluyuran. Naik gunung, keluar-masuk hutan. kemping, apa pun yang berbau alam. Tentu saja, saya pun menginginkan kekasih yang bisa diajak berkelana, mengenal beragam manusia di luaran sana. Saya bahkan berangan-angan bakal dilamar dengan seperangkat alat mendaki dan kelak berbulan madu di Gunung Rinjani. Menjelang akhir masa kuliah, saya kembali jatuh cinta. Kami dipertemukan di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Karena memiliki hobi yang sama, kami langsung nyambung, bahkan melakukan perjalanan bersama. Kami mendaki Gunung Ijen, mengejar blue fire di sana. Saya belum bisa lupa bagaimana ekspresi kami ketika berhasil mendekati blue fire. Kami menyaksikan api biru raksasa menari-nari. Indah sekali. Apalagi saat itu langit bertabur jutaan bintang. Pasca perjalanan itu, kisah kami mendadak kandas. Dia menghilang secara tiba-tiba, dan saya pun disibukkan skripsi kemudian lupa dengan sendirinya.


Lepas dari status mahasiswa, saya menjelajah pedalaman Papua Barat bersama kaum militer dalam rangka Ekspedisi NKRI. Itulah kali pertama saya mengenal dunia mereka. Sebelum berangkat pelatihan sebulan di Pusdikpassus Batujajar, senior saya yang pernah mengikuti Ekspedisi NKRI mewanti-wanti untuk tidak jatuh cinta pada militer, entah itu TNI maupun Polri. Saya pun menegaskan, tujuan saya untuk pengabdian, bukan cinta-cintaan. Tetapi kau bisa bayangkan, kan, seperti apa rasanya bertemu mereka sejak pagi sampai pagi? Toh hati saya jatuh juga. Pada dia, seorang militer yang sangat unik dan tidak neko-neko. Saya secara otomatis meleleh ketika mendengarnya mengaji. Ya, tentu saja saya menginginkan seorang laki-laki yang taat pada-Nya agar kelak bisa membimbing saya dalam berumah tangga. Tetapi, lagi-lagi kisah itu harus kandas karena alasan yang mau tak mau bikin saya mundur perlahan.


Lalu skenario pun berubah. Seseorang datang menawarkan hatinya kepadaku. Sebelumnya, kami sudah dekat. Sangat dekat malah. Saya merasa nyaman berbagi cerita dengannya, apa pun itu. Oh, ya, dia adalah seorang fotografer. Kau tahu, saya suka dengan laki-laki yang berkutat dengan kamera, meskipun saya nggak paham-paham amat dengan foto. Dia juga suka membaca. Saya masih ingat betapa modusnya dia ketika meminjam Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer pada saya. Hahaha. Dan, yah, dia pun menjadi kekasih saya. Kekasih pertama saya, tepatnya, karena yang sebelum-sebelumnya sekadar dekat kemudian menguap begitu saja. Kepadanya, saya pernah menaruh harapan bahwa hubungan ini bisa dibawa ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi harapan itu pun harus dimusnahkan seiring dengan jarak yang terbentang di antara kami. Kami terpisah pulau dan tak tahu kapan bisa bertemu kembali. Dia pun mengakui, perasaannya kian hari kian luntur dan bikin hati saya hancur. Untuk kesekian kalinya, kisah itu berakhir.


Kini saya sendiri. Tidak sedang dekat dengan siapa pun, dan enggan menjalin hubungan lagi. Di usia saya yang menjelang 24 tahun, sudah bukan saatnya lagi untuk main-main dengan perasaan. Konon, kata orang, jodoh kita biasanya tak jauh-jauh dari lingkungan pekerjaan. Bapak saya guru, ndilalah dapat muridnya sendiri. Kawan saya pendaki, jodohnya pendaki juga. Ada pula kawan perwira TNI yang mendapatkan kowad.


Dan saya adalah seorang wartawan. Mungkinkah kelak entah kapan saya terlibat cinta lokasi dengan rekan seprofesi di tempat liputan? Sungguh saya tak bisa membayangkan. Jika dua wartawan menikah, kelak rumahnya akan suwung karena sering ditinggal liputan. Hahahaha.


Apa pun itu, saya yakin, jodoh tak akan pernah tertukar.
Secinta apa pun kau dengan seseorang, kalau garis jodohmu bukan dengannya, sampai kapan pun tak akan bisa bersama. Begitu pula sebaliknya.
Mungkin terdengar klise, tapi setelah melewati perenungan mendalam #halah, saya mempercayai hal itu.



Jalani saja. Jalani saja. Jalani saja.


Hingga waktu yang indah itu tiba.





Jakarta, Rabu, 18 Januari 2017.



Indiana Malia




Tulisan ini diikutsertakan dalam #WritingChallenge #10DaysKampusFiksi. Mau baca tulisan lainnya? Follow Twitter @KampusFiksi, yak!



This entry was posted on Rabu, 18 Januari 2017. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply