“Setidaknya,
hari ini senyumku bisa terbit … ,”
“Apa
kau bilang?”
“Dia
mengembalikan senyumku.”
“Kkk
… kau … kau melihatnya?”
Aku
tak lagi menjawab. Tapi senyumku masih terus mengembang. Rere hanya memandangku
dengan penuh keheranan sekaligus penasaran.
***
Mataku
sudah mencapai 5 watt. Entah sudah berapa kali aku menguap siang ini. Setiap
lima menit sekali aku selalu melirik jam dinding yang terpajang di depan kelas.
Pukul 14.00 WIB. Sial, kuliah baru akan berakhir dua jam lagi. Aku tak tahan
lagi.
Di
depan kelas, Bu Nora tengah asyik menjelaskan materi Novel Pop. Aku
memandangnya dengan mata setengah tertutup. Kepalaku juga mengangguk-angguk
beberapa kali. Bukan karena paham, tapi karena mengantuk.
“Heh,
bangun! Kalo ketahuan tidur ntar digaplok kamu!” Vita yang duduk tepat di
sampingku buru-buru mencubit lenganku, menyuruhku bangun.
“Hmm
…,” aku hanya menggumam pelan. Angin semilir yang perlahan masuk melalui
jendela semakin membuatku terlena. Siang ini aku memang duduk di barisan paling
pinggir, tepat di samping jendela.
“Yaelah
nih bocah!” Vita geleng-geleng.
Aku
tidak menggubrisnya sama sekali. Aku benar-benar lelah. Dua minggu terakhir
tenagaku diforsir. Aku hanya tidur dua jam sehari. Semester ini sepertinya aku
pantas mendapatkan gelar sebagai manusia kura-kura alias kuliah-rapat
kuliah-rapat. Tiada hari tanpa rapat. Beginilah akibatnya kalau aku terlalu kemrungsung mengikuti berbagai
organisasi. Capek. Rapat yang bikin repot. Tapi biar bagaimana pun harus tetap
kujalani. Sudah menjadi tanggung jawabku.
Aku
juga terbiasa disebut sebagai wanita malam. Eits, jangan berpikiran negatif
dulu. Wanita malam yang ku maksud adalah wanita yang selalu terjaga di malam
hari. Jika pagi sampai sore hidupku kuhabiskan di kampus, maka pada malam
harinya akan kuhabiskan di depan laptop. Mengerjakan tugas kampus kalau lagi
rajin, tapi seringnya sih mainan FB, hahaha. Aku bisa tahan melek sampai pukul
4 pagi. Setelah itu, aku baru bisa menutup mataku rapat-rapat. Dan seperti
biasa, aku akan terlambat masuk kelas jika ada kuliah pagi. Itulah sebabnya
kenapa aku selalu bersorak ketika ada jadwal kelas siang.
“Yak,
Tara, bisa bantu Ibu menjelaskan tentang perbedaan sastra serius dan sastra
populer?” suara Bu Nora bagaikan guntur di siang bolong. Membuatku kaget
setengah pingsan.
“Nggg
… ,” aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
“Pssst!”
Vita menyorongkan catatan kecil di tanganku. Aha! Ini pasti catatannya. Aku
bernapas lega.
“Cerita
dalam sastra populer cenderung stereotipe, bisa langsung dipahami hanya dengan
sekali baca. Hal ini berbeda dengan sastra serius yang harus dibaca berulang
kali agar bisa memahaminya.” Aku menjawabnya dengan lancar. Lagakku macam orang
pintar saja.
“Bagus!
Jadi teman-teman, sastra itu …,” Bu Nora kembali menjelaskan materi.
Dan
aku kembali mengantuk. Vita yang sudah lelah mencubit lenganku hanya
geleng-geleng kepala. Aku lalu melemparkan pandangan ke luar jendela, menikmati
angin semilir yang lewat di depan mukaku. Kuamati orang-orang yang berkumpul di
bawah pepohonan rindang, juga orang-orang yang hilir mudik. Di Panggung
Terbuka, tampak puluhan anak yang tengah duduk melingkar. Kalau dilihat dari
wajahnya sih, sepertinya mereka anak-anak Antropologi. Entah apa yang mereka
lakukan di sana. Aku lalu mengalihkan pandanganku ke depan arah lain, dan dalam
hitungan detik mataku langsung terbuka lebar-lebar. Hampir copot rasanya!
Aku
mengelus dadaku yang mendadak berdetak tak beraturan. Seperti ada aliran
listrik yang menjalari tubuhku. Terlampau bahagia. Ya Tuhan, benarkah itu dia?
Aku mengucek mataku beberapa kali.
Kudekatkan
wajahku ke kaca jendela, meyakinkan diri. Siapa tahu ternyata aku hanya
bermimpi. Tapi … tidak, aku sama sekali tidak bermimpi! Aku benar-benar
melihatnya. Sosok berbaju putih yang tengah duduk di bawah pohon sembari
menenteng sebuah samurai. Juga tas ransel hitam yang terpasang di punggungnya.
Aku melihatnya tertawa lepas bersama teman-temannya. Duhai, tawa Sakura itu …
Aku
sudah tidak mendengar suara Bu Nora lagi. Yang ada dalam pikiranku sekarang
adalah dia. Hanya dia. Aku terus mengamatinya tanpa mempedulikan sekitarku.
Kenapa dia bisa ada di sini? Batinku bertanya tak karuan.
Berapa
lama aku tak melihatnya? Ah, ku rasa hampir tiga bulan. Dan sekarang, dia ada
di sini!
“Tara,
kamu dipanggil tuh!” Vita menyikut lenganku.
“Ha?”
“Kamu
dipanggil Bu Nora! Beliau sedang mengecek presensi kelas,” jelas Vita.
“Tara
Afidha?” Bu Nora tampak tak sabar.
“Hadir,
Bu!” aku buru-buru mengacungkan tangan.
Bu
Nora menatapku dengan sebal, lalu kembali menatap presensi yang dipegangnya.
Aku lalu melemparkan pandanganku ke luar jendela lagi. Tapi … dia tak ada! Ke
mana dia? Kuedarkan pandanganku ke segala arah, tapi sosoknya tak juga muncul.
Aku menelan ludah. Kecewa.
***
“Ooo
… jadi itu yang membuatmu bahagia hari ini?” Rere tersenyum.
Aku
mengangguk. “Benar-benar tidak ku sangka.”
“Lalu,
apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” tanya Rere.
“Maksudmu?”
“Hhh
… maksudmu, sampai kapan kau akan terus begini?”
“Entahlah.”
Aku menggeleng.
“Aku
tahu bagaimana perasaanmu. Pasti kau bingung sekali. Memangnya kau tidak ingin
dia tahu?”
Lagi-lagi
aku menggeleng. “Tidak. Lagi pula, untuk apa?”
“Lah,
siapa tahu gayung itu bersambut.”
“Hahaha,
kau ini ada-ada saja. Sudahlah, biarkan aku aku sendiri yang merasakannya. Kau
tahu? Cinta sejati adalah melepaskan. Ya, melepaskan sejauh mungkin, bukan
memborgolnya dengan perasaan yang kita miliki. Lepaskanlah … sejauh-jauhnya …
karena Tuhan pasti telah merancang semua alur itu. Biarkan saja dia pergi. Jika
Tuhan memang berkehendak sesuai dengan apa yang kita inginkan, maka dia akan
kembali dengan sendirinya …”
“Halah,
kau sok puitis!”
Aku
hanya tertawa.
*bersambung dulu deh*
Jogja, Rabu 26 September 2012.
Pukul 20.18 WIB