Pergilah ...!


Dan ketika aku merasa bahwa semua ini akan berujung sia-sia, aku membiarkan sakuraku tumbuh begitu saja. Otakku sepenuhnya sadar bahwa sakura itu tak akan pernah bisa kusentuh dengan cara apapun meski bunga itu terus saja bermekaran. Ketika semuanya telah mencapai puncak dari segalanya, sakura itu luruh satu per satu. Kemudian layu, mengering, lalu berserakan tanpa guna. Dan seketika itu pula aku sadar, bahwa dunia kita sangat berbeda. Di matamu, selamanya aku hanyalah anak-anak, tak lebih. Jadi, sebelum lubang di hati itu melebar karena kau gerogoti setiap saat, maka pergilah!
Ya, pergilah sampai aku benar-benar tak bisa melihatmu sesuka hati.
Pergilah sampai aku tak mengingat dirimu lagi.
Pergilah sampai aku bisa melupakanmu.
Pergilah sampai aku bisa melupakan sakura yang pernah kutanam dengan sepenuh hati ...

Aku tahu, cepat atau lambat kau tak lagi ada di sini. Aku tahu, cepat atau lambat kau akan menyingkir perlahan-lahan dari hidupku. Aku tahu, sakura itu tidak akan pernah tumbuh di hatimu, sekuat apa pun aku mencoba menanamkannya. Aku tahu, lambat laun kuncup-kuncup yang telah mekar di jiwaku ini akan semakin layu karena tak kau sirami. Dan aku pun tahu, semua ini akan berakhir sia-sia …

Jadi, bisakah kau pergi?
Benar. Aku ingin kau pergi jauh-jauh dariku, meski aku tak tahu apa yang akan terjadi pada diriku selanjutnya. Iya, aku merasakan ada yang patah di sini ketika menyadari sebuah kenyataan yang sama. Kenyataan seperti yang telah kuhadapi di hari-hari yang telah lalu. Hatiku, Kazu. Hatiku patah dan mungkin akan semakin berserakan jika kau masih tetap hinggap di kepalaku.

                                                                                                         ****

"Kau serius?" Raisa menatap mataku lekat-lekat.
AKu mengangguk pasti. "Untuk apa aku berbohong padamu?"
"Ya, Tuhan! Jangan bilang dia tidak menyadarinya sampai saat ini!"
"Menyadari apa?"
"Jangan pura-pura bodoh, Alia. Aku tahu kau diam-diam telah menyirami bunga sakura itu setiap hari. Dan apa kabarnya sekarang?"
"Bunga itu telah layu. Aku tak akan pernah menyiraminya lagi."
"Alia! Jangan bertindak bodoh!"
"Ku rasa, ini adalah hal paling benar yang harus kulakukan kalau tak ingin remuk redam."
Raisa terdiam.
"Sudahlah, Raisa. Duniaku dan dunianya begitu berbeda. Dia adalah langit biru, sedangkan aku hanyalah debu yang beterbangan."
"Astaga! Kau terlalu merendah!"
Aku menggeleng cepat. "Tidak, Raisa. Itu memang benar. Memangnya apa yang bisa dia lihat dariku? Sampai kapan pun, aku hanya akan terlihat sebagai anak kecil di matanya, tak lebih."
"Kau tidak percaya diri hanya karena dia 'terlalu dewasa' di matamu?" Raisa tampak gemas.
Aku menunduk.
"Alia, apakah kau akan menyerah begitu saja?"
aku mengangguk. "Mau tak mau, ini harus kuakhiri. Aku tahu, ini adalah hal yang sia-sia."
"Mengapa?"
"Karena dia akan pergi, dan memang lebih baik kalau dia pergi. Dengan begitu, aku bisa cepat melupakannya."
"Bukankah impianmu nyaris sama dengan dirinya?"
"Apa?"
"Negeri Sakura."
Aku terdiam. Ya, Raisa benar ...
"Sudahlah, Raisa ... jangan ingatkan hal itu kepadaku."
"Kau tak ingin dia tahu?" tanya Raisa dengan wajah serius.
"Tahu apa?"
"Ya ... tahu bahwa kau telah menyirami sakura itu setiap hari."
Aku menggeleng. "Tidak. Aku tak ingin mengulangi kebodohan itu untuk yang kesekian kalinya. Apa gunanya kalau dia tahu? Mungkin itu akan melegakanku, tapi sama sekali tidak bisa mengubah kenyataan."
"Alia ..."
"Aku akan melepasnya, Raisa. Mulai detik ini, aku akan menghapus namanya dari otakku!"


                                                                                              ****

Kazu ... apakah kau tahu apa arti keikhlasan?
Yah, mungkin seperti yang aku rasakan saat ini. Aku akan meng-install kembali otakku agar semuanya kembali normal. Agar aku tak ingat bahwa aku pernah menanam sakura di dalam hatiku.
Ikhlas. Satu kata yang akan menguatkanku selama beberapa waktu ke depan. Pergilah, Kazu! Aku tak akan memberatkan langkahmu dengan tindakan bodoh yang pernah kulakukan di masa lalu. Tidak, kurasa ini cukup. Dan setelah kau pergi, kuharap sakura itu bisa ikut menghilang dalam sekejap mata ...

                                                                                                       ****

"Dia sudah pergi," kataku sembari memeluk Raisa. Beberapa detik yang lalu, pesawat itu terbang jauh ... jauh ke negeri Sakura.
"Bukankah kau sudah tahu arti sebuah keikhlasan?"
AKu mengangguk.
"Biarkan dia pergi. Lepas sejauh mungkin. Kita tak pernah tahu bagaimana rencana Tuhan terhadap manusia. Bisa jadi dia kembali dan memang ditakdirkan untukmu. Tapi kalau pun tidak, aku yakin kau akan bertemu dengan Kazuto yang lain." Raisa berusaha menghibur.
"Kazuto yang lain?"
"Iya, kau akan menemukan bunga sakura yang jauh lebih indah ..."
Aku mengangguk kecil. "Semoga saja."




Jogja, Selasa 30 Oktober 2012
Dalam heningnya pagi
Pukul 02.23 WIB

This entry was posted on Selasa, 30 Oktober 2012 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply