Setumpuk kertas kusam kutemukan teronggok di laci meja belajar. Kubuka dengan penasaran. Detik selanjutnya, air mukaku berubah. Ada yang mencelos di hati. Retak, kemudian pecah. Berserakan di lantai, di sudut kamar, di tumpukan pakaian kotor, di dalam lemari, lalu berakhir di kedua bola mataku. Hanya dalam satu kedipan saja, kristal bening itu tumpah. Basah.
Telah bertahun-tahun aku tak menyentuh surat panjang ini. Surat yang teramat panjang untuk menampung semua ceritamu. Juga ceritaku. Kusentuh kertas kusam itu perlahan. Warnanya telah menguning, termakan waktu. Ya, waktu yang telah membentangkan jarak antara kau dan aku. Jarak yang jauhnya jutaan tahun cahaya. Tak tersentuh. Seperti yang tertulis dalam novel Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya. Tak perlu lah aku menjelaskan isi novel itu dengan panjang lebar, karena aku tahu kau telah membacanya sejak novel itu terbit. Kau pecinta buku, aku tahu itu.
Hei, pernahkah kau merasa bahwa kau dan aku pernah menjadi alien yang tersesat ke bumi? Seperti tokoh dalam novel itu. Dulu ... ya, dulu. Kita pernah menjadi sepasang alien yang selalu menyendiri dari keramaian para manusia. Semua yang kita lakukan, hanya kita yang mengerti. Sementara orang-orang mengernyitkan dahi, merasa bahwa kita adalah makhluk aneh. Alien.
Dulu ..., kau dan aku bagaikan magnet. Rekat. Kau tidak pernah membiarkanku sendirian. Kau adalah orang pertama yang memberikan perlindungan ketika diriku merasa terancam.Tidak ada yang boleh mendekatiku, siapapun itu. Kaubilang, hanya kita yang dapat menjadi alien. Tidak boleh ada orang lain.
Tapi, lambat laun aku sadar bahwa kau berubah. Sedikit demi sedikit. Ketika aku mulai menginjak dunia kuliah, surat panjang yang dulu rutin kita tukar seminggu sekali tiba-tiba terhenti. Kau tidak menulis lagi. Begitu pula aku. Duniamu dan duniaku telah membentangkan jarak. Aku hidup di lingkungan pecinta seni dan budaya, sementara kau menggeluti matematika. Aku menyukai pekerjaan yang tidak terikat peraturan formal semacam wajib berseragam dan bersepatu, dan kau sebaliknya. Kau berangkat dengan seragam rapi, berdasi, dan bersepatu mengkilat. Pekerjaanmu teratur, berangkat pagi dan pulang sore. Awal bulan tinggal menerima gaji. Sementara aku tanpa jadwal pasti. Pulang dan pergi sesuka hati, dengan gaji yang tak pasti.
Iya, semakin lama jarak itu semakin jauh. Jauh ... sekali.
Tidak ada lagi diskusi-diskusi seru yang dulu sering kita lakukan di bawah rindangnya pepohonan. Tidak ada lagi acara bertukar surat berlembar-lembar, atau bertukar buku diary. Perlahan-lahan kau dan aku mulai saling melupakan. Seolah-olah kita tak pernah menjadi sepasang alien di tengah keramaian.
Hingga suatu ketika, datanglah surat itu. Bukan surat panjang, karena di dalamnya hanya tertulis satu kalimat: datanglah, gadis kecilku. Ya, hanya itu. Dan aku benar-benar datang. Menemuimu dan menemuinya, orang yang akan menemanimu menghabiskan waktu. Kusunggingkan senyum lebar, meski kutahu ada yang berbeda dengan sinar matamu. Sinar yang meredup, entah kenapa. Mungkin kau merasa bersalah karena telah melanggar janji yang kau ucapkan dulu, bahwa hanya kau dan aku yang dapat menjadi alien di bumi.
Dan kini, surat panjang itu ada di tanganku. Surat yang kita tulis berwaktu-waktu yang lalu. Aku terlempar ke lorong waktu. Ada banyak kisah yang tertulis di sana, ketika kita masih sama-sama menjadi alien. Tawaku meledak ketika membaca bagian paling menggelikan dalam surat itu, lalu di menit berikutnya aku menangis. Ya, surat terakhirmu membuat air mataku tidak bisa berhenti mengucur. Bodoh. Dulu aku sama sekali tidak menyadari bahwa surat itu merupakan sebuah pertanda. Jika kau menjadi sisianku, kupikir kita adalah alien yang sempurna. Begitu katamu. Dan aku baru menyadarinya beberapa tahun kemudian, ketika kau memutuskan untuk membentangkan jarak denganku. Mungkin kau lelah menunggu jawaban atas kalimat itu, sementara aku sama sekali tidak merasa sedang ditunggu. Lalu kau pun menghilang. Tanpa jejak. Dan kau kembali dengan membawa surat perintah agar aku datang. Menyakitkan.
Untukmu,
yang tak bisa kusebut dengan cara biasa.
Telah bertahun-tahun aku tak menyentuh surat panjang ini. Surat yang teramat panjang untuk menampung semua ceritamu. Juga ceritaku. Kusentuh kertas kusam itu perlahan. Warnanya telah menguning, termakan waktu. Ya, waktu yang telah membentangkan jarak antara kau dan aku. Jarak yang jauhnya jutaan tahun cahaya. Tak tersentuh. Seperti yang tertulis dalam novel Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya. Tak perlu lah aku menjelaskan isi novel itu dengan panjang lebar, karena aku tahu kau telah membacanya sejak novel itu terbit. Kau pecinta buku, aku tahu itu.
Hei, pernahkah kau merasa bahwa kau dan aku pernah menjadi alien yang tersesat ke bumi? Seperti tokoh dalam novel itu. Dulu ... ya, dulu. Kita pernah menjadi sepasang alien yang selalu menyendiri dari keramaian para manusia. Semua yang kita lakukan, hanya kita yang mengerti. Sementara orang-orang mengernyitkan dahi, merasa bahwa kita adalah makhluk aneh. Alien.
Dulu ..., kau dan aku bagaikan magnet. Rekat. Kau tidak pernah membiarkanku sendirian. Kau adalah orang pertama yang memberikan perlindungan ketika diriku merasa terancam.Tidak ada yang boleh mendekatiku, siapapun itu. Kaubilang, hanya kita yang dapat menjadi alien. Tidak boleh ada orang lain.
Tapi, lambat laun aku sadar bahwa kau berubah. Sedikit demi sedikit. Ketika aku mulai menginjak dunia kuliah, surat panjang yang dulu rutin kita tukar seminggu sekali tiba-tiba terhenti. Kau tidak menulis lagi. Begitu pula aku. Duniamu dan duniaku telah membentangkan jarak. Aku hidup di lingkungan pecinta seni dan budaya, sementara kau menggeluti matematika. Aku menyukai pekerjaan yang tidak terikat peraturan formal semacam wajib berseragam dan bersepatu, dan kau sebaliknya. Kau berangkat dengan seragam rapi, berdasi, dan bersepatu mengkilat. Pekerjaanmu teratur, berangkat pagi dan pulang sore. Awal bulan tinggal menerima gaji. Sementara aku tanpa jadwal pasti. Pulang dan pergi sesuka hati, dengan gaji yang tak pasti.
Iya, semakin lama jarak itu semakin jauh. Jauh ... sekali.
Tidak ada lagi diskusi-diskusi seru yang dulu sering kita lakukan di bawah rindangnya pepohonan. Tidak ada lagi acara bertukar surat berlembar-lembar, atau bertukar buku diary. Perlahan-lahan kau dan aku mulai saling melupakan. Seolah-olah kita tak pernah menjadi sepasang alien di tengah keramaian.
Hingga suatu ketika, datanglah surat itu. Bukan surat panjang, karena di dalamnya hanya tertulis satu kalimat: datanglah, gadis kecilku. Ya, hanya itu. Dan aku benar-benar datang. Menemuimu dan menemuinya, orang yang akan menemanimu menghabiskan waktu. Kusunggingkan senyum lebar, meski kutahu ada yang berbeda dengan sinar matamu. Sinar yang meredup, entah kenapa. Mungkin kau merasa bersalah karena telah melanggar janji yang kau ucapkan dulu, bahwa hanya kau dan aku yang dapat menjadi alien di bumi.
Dan kini, surat panjang itu ada di tanganku. Surat yang kita tulis berwaktu-waktu yang lalu. Aku terlempar ke lorong waktu. Ada banyak kisah yang tertulis di sana, ketika kita masih sama-sama menjadi alien. Tawaku meledak ketika membaca bagian paling menggelikan dalam surat itu, lalu di menit berikutnya aku menangis. Ya, surat terakhirmu membuat air mataku tidak bisa berhenti mengucur. Bodoh. Dulu aku sama sekali tidak menyadari bahwa surat itu merupakan sebuah pertanda. Jika kau menjadi sisianku, kupikir kita adalah alien yang sempurna. Begitu katamu. Dan aku baru menyadarinya beberapa tahun kemudian, ketika kau memutuskan untuk membentangkan jarak denganku. Mungkin kau lelah menunggu jawaban atas kalimat itu, sementara aku sama sekali tidak merasa sedang ditunggu. Lalu kau pun menghilang. Tanpa jejak. Dan kau kembali dengan membawa surat perintah agar aku datang. Menyakitkan.
Untukmu,
yang tak bisa kusebut dengan cara biasa.
Sudahlah, biarakn ia jadi masa lalu.
BalasHapuskan ada orang lain yang lebih baik di depan. ehem-ehem-ehem.
Hzzzz ... (-_-")7
Hapus