Rindu...

Rindu. Mungkin itu lah kata yang paling tepat untuk aku ucapkan saat ini. Ya, entah mengapa perasaan itu tiba-tiba muncul setelah sekian lama aku agak 'menjaga jarak' denganmu. Bergelut dengan bermacam aktivitas hingga aku benar-benar melupakanmu cukup lama. Semuanya kujalani begitu saja, hingga pada akhirnya aku sadar, ada sesuatu yang hilang. Di sini, di dalam hatiku...
Ah, kenapa sore ini tiba-tiba aku jadi melankolis begini? Aku kangeeeeen... T.T
Rindu dengan kamu... T.T

Aku  masih ingat bagaimana pertemuan awal kita hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk memilihmu. Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Sudah berapa lama hubungan kita terjalin? Ah, ya, hampir satu tahun lamanya...
Aku masih ingat jelas, saat itu aku masih berstatus sebagai maba. Maba yang kebingungan mencari pelabuhan hati. Di mana aku bisa menemukannya?
Saat itu lah, seseorang yang baik hati tidak sengaja memperkenalkanku padamu. Dia memberikan sebuah nomor hape yang kelak akan mempertemukan kita. Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya aku diberi kesempatan untuk bertemu denganmu.
"Perkenalkan, namaku Aulia." ucap seseorang saat menjemputku di depan Bakso Pak Ateng.
"Indiana." jawabku.
Lalu, kami pun menyusuri jalan untuk bertemu denganmu.
"Nah, ini dia..." kata Mbak Aul.
Aku mengangguk-angguk. Kupandangi dirimu dengan saksama. Di mataku, kau masih tampak asing. Tapi, kau begitu ramah. Sama sekali tak ada raut muka kesombongan.
Ah, ruangan itu... ruangan kecil yang cukup sesak tapi menimbulkan rasa nyaman. Ada banyak rak buku yang berjajar rapi. Di sisi kiri rak buku, terdapat puluhan koran yang berserakan. Menunggu untuk dibaca. Juga beberapa kardus dan beberapa barang bekas yang menumpuk di ruangan kecil bekas tempat muazin. Ya, ruangan ini memang bekas Mushola. Di samping barang-barang bekas itu, terdapat satu rak penuh berisi arsip-arsip surat. Di sudut ruangan, terdapat satu kipas angin yang berfungsi menyejukkan penghuninya.
Semakin lama, semakin banyak orang yang datang meramaikan ruangan itu.
"Namaku Yuar..."
"Hening..."
"Ulum..."
"Ghiffari..."
"Iin..."
dan seterusnya...
Kurekam nama mereka satu per satu di otakku. Tapi, saat itu aku masih belum tahu namamu. Aku malu  menakannya pada mereka. Jadi, aku diam saja :)
Beberapa minggu kemudian, aku diberi kesempatan untuk mengenalmu lebih dalam. Engkau mengundangku untuk bertemu. Hari minggu jam setengah 8 pagi. Ah, betapa bahagianya :)
Dengan penuh semangat, pagi itu aku mengendarai pit hitamku menuju tempat yang kau janjikan, di PP Muhammadiyah Jogja, Jl. Cik Di Tiro. Saat itu, aku tak mengenal siapa-siapa. Aku hanya 'bondo nekat' menemuimu.
"Silahkan masuk, dik..." ucap seorang Mbak dengan ramah. Aku mengangguk malu-malu, lalu masuk ke Aula.

Satu jam...

Kau belum muncul. Aku mulai kesal. Aku hanya mengenal satu orang di tempat itu. Namanya Kurnia Ilham, teman seangkatanku.

Setengah jam kemudian...

Barulah kau muncul. Aku illfeel!! Di dalam hati aku mengutukmu habis-habisan."Aku nggak  mau ketemu kamu lagi!"
Aku marah-marah, lalu mengirim sms pada Bapak yang isinya aku kecewa. Kata Bapak, "Jangan suudzan, Nduk... Mungkin ada sesuatu yang trobel.."
Aku terdiam menahan kesal.

Sepertinya kau merasa bersalah. Dengan kerendahan hati, kau pun meminta maaf dan mengenalkan diri padaku.
"Namaku Ibnu Khaldun..." katamu.
Mmmm, nama yang bagus. Ah, akhirnya aku bisa mengenalmu... :)

Hari demi hari berganti. Aku rutin mengikuti seluruh kegiatanmu. Hingga pada suatu hari, kau mengharuskanku mengikuti DAD (Darul Arqam Dasar). Katamu, itu sebagai salah satu syarat untuk membuktikan rasa cintaku padamu. Yah, anggap saja masa-masa pendekatan :)

Saat itu, kau membawaku ke Nitikan, tempat yang disebut-sebut sebagai tempat kelahiran K.H. Ahmad Dahlan. Kukira DAD itu biasa-biasa saja, tapi pada kenyataannya dari tempat ini lah badai ideologi mulai menyerangku. Aku masih ingat, di tempat inilah aku ditempa. Berdiskusi banyak hal. Bingung. Ya, saat-saat membingungkan adalah ketika bertemu dengan Mas Anggun. Filsafat Ilmu yang membuatku pusing dan jengkel.
"Apa yang ada di pikiranmu saat mengucapkan kata 'Allah'?"
Satu pertanyaan yang menimbulkan bermacam jawaban dari teman-teman. Lalu, dia membabat habis jawaban itu. Terserah kau lah, Mas. Aku sudah jengkel dan memutuskan untuk bergosip lewat surat-suratan dengan Anggun.

Aku: Mas Anggun kae ngopo seh?
Anggun: Emboh lho. Jarno...jarno...
Aku: Buh, sirahku muuuuuumet!
Anggun: Aku iyo. Ra nutut nuruti pemikirane Mas Anggun...

Aku ngakak kalau ingat surat-suratan itu.
Malam itu, badai pemikiran kembali menyerangku. Mumet. Ngantuk. Tapi, penasaran.
"Bukankah sistem pemerintahan yang benar itu seperti ini?" aku ngotot.
"Mbak harus banyak baca ya..." kata dia. Aku manyun. Tapi kupikir-pikir benar juga sih. Aku memang masih nyuwbi :D

Lalu, saat-saat membingungkan itu pun terjadi. Ya, malam itu aku dibuat kebingungan.
"Jika kalian yakin akan berjuang di sini, tetap di sni. Jika tidak, maka mundurlah..." sebuah kalimat meluncur. Sepertinya itu suara Mas Ulum. Aku tidak bisa melihat karena mataku tertutup slayer.

Dan aku pun melangkah mundur...
Karena aku tak yakin...
Ragu..
Takut...

Ya, aku memang berada di area abu-abu saat itu. Kau tahu? Tidak hanya Ibnu Khaldun yang aku dekati, tapi nama-nama lainnya juga. Tanpa sepengetahuan Ibnu Khaldun, aku bahkan pernah mengikuti beberapa aksi di jalan dengan 'yang lain'. Merasa bersalah? Tidak. Merasa menghianati? Apalagi. Menyesal? Tidak sama sekali. Karena saat itu aku memang dalam masa 'pencarian'.

"Sekarang, silahkan pegang erat-erat tangan yang ada di samping kalian." lanjut Mas Ulum.
Kami lalu berpegangan tangan, kemudian berikrar...
Kupikir, setelah aku memutuskan untuk melangkah mundur, mereka akan memusuhiku. Tapi nyatanya tidak, mereka biasa saja. Tetap ramah seperti biasa. Tidak pernah memaksaku untuk saklek dengan mereka. Mungkin dari sini lah rasa cintaku mulai tumbuh padanya, Ibnu Khaldun...

Satu semester lamanya aku menggalau. Nyaris apatis. Yah, namanya juga bingung. Entah mengapa aku merasa Ibnu Khaldun berseberangan dengan 'yang lain' itu. Wajah mereka sama tapi berbeda. Aku tak kuat memendamnya sendirian. Dan saat libur semester itu lah, aku mencurahkan semuanya pada Bapak. Kukatakan bahwa aku tak hanya mendekati Ibnu Khaldun, tapi juga 'yang lain'. Dengan penuh kesabaran, Bapak lalu perlahan-lahan melepaskan tali-tali yang selama ini menjerat pikiranku.
"Tak ada yang salah, Nduk. Semuanya memiliki cara berjuang masing-masing...." kata Bapak.
Aku mengangguk.


Kembali ke Jogja...
Kuputuskan untuk memilihmu, Ibnu Khaldun. Meski pada awalnya aku sempat goyah, tapi pada akhirnya aku merasa bahwa hanya kau lah yang bisa mengerti diriku *Eaaaa

Hari demi hari berganti, hingga kau memintaku untuk meneruskan estafet perjuangan.
"Fastabiqul Khairat!!! Allahu Akbar!!" teriakmu.
Di PP Muhammadiyah, aku dan teman-teman mengucapkan sumpah...

Semester 2. Ujian berdatangan...
Aku mulai 'melupakanmu' Khaldun. Jadwal padat. Aku sok sibuk dengan bermacam agenda. Sudah jarang menyambangimu lagi. Terkadang jengkel dengan teman-teman. Sms tidak dibalas. Diskusi sepi. Rapat yang datang ya itu-ituuuuuu saja. Ke mana yang lain saat amanah itu diemban? Tidak ingatkah dengan semua komitmen di awal? Ada rasa marah dan jengkel. Mungkin aku juga merasa bosan, hingga beberapa kali aku pun mangkir dari agenda Khaldun.
"Agenda ini lebih penting," kataku dengan sangat egois. Oh, jahatnya...


Aku mulai merasa 'kekeringan'. Aku haus. Tenggorokan ini butuh air...
Aku baru menyadari, kesibukanku yang seabrek tidak mampu menyejukkan hatiku. Tidak mampu menghilangkan virus galau yang akhir-akhir ini menyergapku.
Aku merasa, 'ada sesuatu yang hilang'. Entah apa itu, aku tidak tahu. Yang pasti, aku merasa yang hilang itu ada di sini, di dalam jiwaku yang mulai mengering...
Banyak yang mengatakan bahwa kini aku berbeda. Ya, aku pun merasa demikian. Entah apa yang berbeda itu aku tak begitu tahu. Aku hanya merasa, jiwa ini mulai mengering...
Gelora semangat itu mulai terkikis...
Membuatku ingin menangis...

Apa yang hilang?
Apa?
Ah, sampai detik ini pun aku tak tahu!!


Tidak sengaja aku membuka catatan lama yang mulai usang. Sebuah kado terindah dari para demisioner untuk kami. Kubaca sekali lagi. Dan aku ingin menangis...
Tulisan itu rasa-rasanya seperti apa yang kualami saat ini.

Ah, Khaldun...
Aku merasa berdosa padamu.
Kemana aku saat kau membutuhkanku?
Bahkan saat kau di DAA kemarin pun aku tak bisa datang...
Kemana aku saat teman-teman berjuang di sana?
Mementingkan agenda lain?
Ketiduran LAGI?


Saat ini, hanya satu yang hinggap di kepalaku.
Aku rindu Khaldun...
Aku rindu suasana komsat...
Aku rindu Kampus Tawangsari...



Di kamar seorang diri.
Kamis, 19 Juli 2012 Pukul 17.05 WIB
                                                   Pasca musyawarah komisariat...

                                                       Baksos di Tepus, Gunung Kidul.

                                                              i heart you dah...:*

This entry was posted on Kamis, 19 Juli 2012 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply