Pelukan Perpisahan

Senja turun perlahan-lahan, menyapa kami yang duduk diam menatap kejauhan. Lampu-lampu taman menyala satu per satu. Dan kami masih saja terdiam. Sibuk bertengkar dengan suara-suara dalam pikiran. 
"Lia ...," dia membuka suara.
Aku menoleh.  Menatap matanya yang masih saja seteduh dulu, kemudian tersenyum tipis. Lia? Hahahaha. Panggilan masa kecilku. Entah kapan terakhir kali dipanggil dengan nama itu.
"Kamu apa kabar?" tanyanya kemudian.
"Baik. Kamu?" aku balik bertanya.
"Sama. Aku juga baik. Kuliahmu bagaimana? Lancar?"
"Begitulah. Sedang menyusun Tugas Akhir."
"Semangat, ya. Kamu masih sendiri aja? Mmm, maksudku, masih memutuskan untuk sendiri?"
"Hahaha. Iya. Kenapa? Jangan bilang kamu mau mengejarku lagi!"
"Hahaha, sayangnya kamu tidak terkejar."
Aku terdiam. Dia pun terdiam.
"Kamu tahu mengapa aku ingin bertemu denganmu hari ini--setelah dua tahun lamanya kita nyaris lost contact?"
"Ya?"
"Aku ingin berterima kasih."
"Untuk?"
"Untuk semuanya. Untuk segala pelajaran yang bisa kupetik darimu. Untuk segala perasaan yang 9 tahun kuperjuangkan namun tetap tidak bisa meluluhkanmu."
"Re, jangan ..."
"Aku belum selesai bicara," potongnya. Diraihnya kedua tanganku, lalu ia kembali melanjutkan, "Kamu tahu? 9 tahun lebih aku mengenalmu. 9 tahun lebih aku berjuang mendapatkan hatimu. 9 tahun lebih aku berharap kau lah yang kelak akan mendampingiku. 9 tahun lebih aku berkeyakinan bahwa kau akan membalas perasaan ini. Tetapi pada akhirnya aku sadar, kau memang bukan untukku."
Aku membeku.
"Dan aku memang tidak akan bisa mengimbangi ritme hidupmu yang begitu bebas. Kita begitu berbeda, aku tahu itu. Aku memiliki cinta yang menggebu-gebu padamu, sementara bagimu cinta pada lawan jenis adalah hal terakhir yang ada di pikiranmu. Itulah mengapa kau masih saja bertahan dengan kesendirian."
"Re ..."
"Sedari dulu aku mendamba pernikahan, sementara bagimu pernikahan adalah hal kesekian yang kau pikirkan. Kucoba meyakinkan, tapi kau masih saja takut dengan apa yang disebut komitmen. Jiwa dan ragamu terlalu bebas, dan aku tak mampu meraihnya. Di kemudian hari aku sadar, dunia kita memang berbeda. Berdampingan denganku hanya akan membuat hidupmu tertekan, kan? Aku tahu, hatimu hanya bisa dimenangkan oleh orang yang bisa membawamu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, melihat luasnya dunia, bukan dengan orang sepertiku."
"Re, hentikan! Tolong!" air mataku mulai runtuh. 
Dihapusnya air mataku dengan sebelah tangannya. "Jangan menangis. Wanita tomboy macam kamu haram menangis, hahaha!"
"Aku ... aku ... aku sama sekali tidak bermaksud menyakitimu. Aku ..."
"Iya, aku tahu. Aku tahu kamu memang tidak akan bisa membuatku lebih dari sekadar teman. Maafkan aku yang selama ini selalu memaksamu untuk membuka hati untukku."
Air mataku kian menderas.
"Ini untukmu," ia mengangsurkan sepucuk amplop merah.
"Apa ini?" aku membuka amplop itu perlahan. Dan jantungku seakan berhenti berdetak. Di sana, tertulis sebuah nama yang bersanding dengan namanya.
"Kamu akan menikah?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Ya. Dalam waktu dekat."
"Selamat ...," aku tak mampu membendung rasa haru.
"Terima kasih," ia tersenyum kecil. "Itulah mengapa aku ingin bertemu denganmu saat ini, agar tuntas segala perasaanku. Terlalu banyak rasa terima kasih yang harus kuberikan padamu. Darimu, aku mengerti bagaimana rasanya mencintai dengan tulus. Darimu, aku mengerti bagaimana rasanya berjuang."
"Re ..."
"Ternyata beginilah takdir berbicara. Tuhan mempertemukanku dengan dia, wanita yang mencintaiku tanpa kuminta. Wanita yang bersedia mengarungi kehidupan bersamaku, dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Ternyata, dia lah yang Tuhan berikan padaku."
"Kamu bahagia?"
"Tentu saja," ia tersenyum lebar. Tampak sekali kalau ia tidak berbohong.
"Syukurlah, kau sudah menemukan pendamping hidupmu."
"Terima kasih, Li..."
"Sudahlah, jangan berterima kasih terus-menerus. Aku pun harus berterima kasih padamu."
"Untuk?"
"Untuk segalanya. Terima kasih pernah mencintaiku sedemikian rupa. Wanita yang akan mendampingimu itu pastilah beruntung bisa mendapatkanmu."
"Ya. Begitu pula denganmu. Beruntung sekali laki-laki yang bisa mendapatkan wanita keras kepala dan selalu menolak jatuh cinta sepertimu. Wanita yang pernah kukejar 9 tahun lamanya tapi memilih menyendiri."
"Hahaha, sial!" aku tertawa kecil.
"Benar, kan? Aku mengenalmu sejak kanak-kanak. Aku tahu benar, jika kau benar-benar menjatuhkan hati pada seseorang, hatimu tak bisa pindah ke mana-mana. Tentunya kau masih ingat dengan si X yang kau cintai diam-diam bertahun-tahun lamanya--dan selalu membuatku cemburu--tapi tak bisa membalas perasaanmu."
"Hei, jangan membahas si X lagi! Hahaha, sial, kau mengingatkanku pada laki-laki brengsek itu!" 
"Hahaha. Tak apa. Sesekali menengok masa lalu untuk ditertawakan."
Jam menunjukkan pukul 6 sore. Langit telah sepenuhnya gelap.
"Aku harus pulang," Re beranjak dari duduknya.
Aku pun berdiri.
"Terima kasih sudah bersedia menemuiku," ucapnya.
"Sama-sama."
Kami saling menatap dalam diam. 
"Aku pamit ... jaga dirimu baik-baik, ya," dia menyalamiku.
Aku mengangguk. Dia membalikkan badan, kemudian berjalan menjauh.
"Re, tunggu!" panggilku. Setengah berlari aku menghampirinya lagi.
"Ada apa?" tanyanya.
"Kemari sebentar," aku memeluknya. Dua puluh detik berlalu dalam diam. "Aku lah yang harus berterima kasih padamu, Re."
Dia mengacak-acak kepalaku pelan. Kami tahu, ini adalah pelukan perpisahan. 
"Maaf jika selama ini aku terlalu sering menyakiti hatimu."
"Sudah, jangan katakan itu," Dilepaskannya pelukan perpisahan itu. "Dengar, gadis kecil. Kamu sudah menempati bagian tersendiri di hatiku. Darimu, aku belajar menjadi kuat. Tanpa perjalanan sepanjang ini, aku tak mungkin bertemu dengan sosok yang kucintai sekarang, kan?"
Aku mengangguk pelan. Dia memelukku sekali lagi, lantas pergi tanpa menoleh sedikit pun....






Untukmu,
seseorang yang pernah mengisi masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasaku.
Selamat menempuh hidup baru. Berbahagialah selalu...



Jogja, 23 Maret 2015.
Pukul 01.27 WIB.

This entry was posted on Minggu, 22 Maret 2015. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

3 Responses to “Pelukan Perpisahan”